Wawan Eko Yulianto*
http://nasional.kompas.com/
Apa perlunya sebuah buku yang pernah diterjemahkan puluhan tahun lalu diterjemahkan lagi oleh penerjemah yang berbeda?
Itulah pertanyaan yang menggantung di benak saya ketika membaca curriculum vitae Breon Mitchell, seorang profesor comparative literature asal Indiana University, Bloomington yang hadir di kampus kami sebagai penerjemah tamu. Prof. Breon Mitchell telah menerjemah ulang The Trial (Franz Kafka) dan sedang menyelesaikan penerjemahan The Tin Drum (Günter Grass) dari bahasa Jerman ke bahasa Inggris. Sebenarnya, masing-masing buku itu telah diterjemahkan puluhan tahun sebelumnya. The Trial, dalam edisi bahasa Inggris yang terkenal, diterjemahkan oleh pasangan Muir, dan The Tin Drum diterjemahkan oleh Ralph Manheim.
Mungkin akan terlintas di benak kita pertanyaan-pertanyaan semacam: “Apakah ada kesalahan pada masing-masing edisi terjemahan tersebut, sehingga harus 'dikoreksi'?” Namun, apa yang disampaikan oleh Breon Mitchell sendiri ternyata lebih dari sekedar salah dan benar. Banyak fakta menarik yang layak diambil sebagai pelajaran. Khusus untuk kesempatan ini, saya akan banyak menyoroti hal-hal yang terkait dengan proses penerjemahan The Tin Drum, mengingat tahun 2009 ini adalah peringatan 50 tahun penerbitan novel itu sejak diterbitkan pertama kali dalam bahasa Jerman. Lagipula, masih hangat di benak para pemerhati sastra bagaimana Günter Grass yang telah menjadi otoritas moral di negaranya itu membuat pengakuan mengejutkan dalam sebuah wawancara sebelum peluncuran bukunya Peeling the Onion (2006) bahwa dia terlibat dengan Waffen-SS, sayap militer partai Nazi.
Yang Personal
Di pihak sastrawan, Günter Grass sendiri ternyata telah sekitar 35 tahun menginginkan penerbitnya menerjemah ulang The Tin Drum. Grass menginginkan ada alternatif bagi pembaca, dan dia menunjukkan kesan kekurangpuasan dengan hasil terjemahan Ralph Manheim. Namun, penerbitnya kurang menggubris keinginan Grass tersebut. Ada kesan di pihak penerbit muncul semacam pertanyaan, 'Kenapa harus diterjemahkan ulang, mengeluarkan duit ulang, kalau edisi yang sudah ada di pasaran saja, yang diterjemahkan oleh seorang penerjemah kawakan, sudah bisa menyedot pembaca dan membuat Grass seterkenal ini di kalangan publik pembaca bahasa Inggris?'. Memang, fakta itu tak bisa dipungkiri. Bahkan, menurut Breon, terjemahan Manheim ini punya andil besar mengajak publik melirik sastra Jerman secara umum. Dan sangat besar kemungkinannya edisi Inggris inilah yang akhirnya membuka jalan sehingga banyak orang tertarik kepada Grass dan karya-karyanya selanjutnya hingga akhirnya dia bisa berkesempatan menyampaikan pidato penganugerahan Nobel Kesusastraan yang legendaris itu.
Akhirnya, penerbit pun mengiyakan keinginan Grass tersebut. Itupun karena memang momennya sedang tepat, yaitu peringatan 50 tahun penerbitan edisi pertama novel tersebut.
Di pihak penerjemah, ada kisah menarik sebelum dimulainya proses penerjemahan. Sebagai seorang profesor yang harus membimbing disertasi beberapa calon doktor dan menjadi direktur Lilly Library, salah satu perpustakaan buku langka terbesar di Amerika Serikat yang merupakan bagian dari Indiana University, Breon sendiri sudah lama tidak lagi berminat mencari order menerjemah karya sastra. Namun, dia langsung berminat ketika tawaran yang terakhir datang kepadanya itu adalah tawaran menerjemahkan The Trial dan The Tin Drum.
Namun, muncul dilema karena penerjemah pertama The Tin Drum, Ralph Manheim, adalah seorang sahabat karib Breon selama 7 tahun terakhir masa hidupnya. Dan Breon sendiri terlihat sangat menghargai terjemahan versi Ralph Manheim. Waktu mendapat kabar bahwa The Tin Drum akan diterjemahkan ulang, dan penerjemahnya adalah Breon Mitchell, istri almarhum Manheim langsung menelpon Breon dan bilang, “Kenapa kamu menghianati Ralph?” Mendapat pertanyaan yang tak butuh jawaban itu, Breon segera pesan tiket pesawat dan berangkat ke Cambridge, tempat tinggal Ny. Manheim, dan menjelaskan duduk persoalannya. Alhasil Breon pun bisa mulai mengerjakan penerjemahan buku itu, dan kekagumannya kepada terjemahan versi Manheim terlihat dengan tak henti-hentinya dia gunakan terjemahan Manheim sebagai salah satu sumber utamanya dalam bekerja. Dan Breon pun menulis catatan penyerta di akhir buku yang juga membahas peran karya terjemahan Ralph Manheim dan hal-hal lain yang terkait dengan proses penerjemahannya—mungkin serupa pengantar yang dia buat untuk terjemahan The Trial olehnya yang terbit pada tahun 1999 lalu.
Yang Teknis
Kalau sebelumnya saya menyinggung bahwa banyak detil dari karya Grass yang tak tersampaikan dalam terjemahan Manheim, itu bukan berarti bahwa Manheim adalah penerjemah yang buruk. Terjemahan bahasa Inggris novel The Tin Drum itu bisa dibilang sangat mulus—Breon menyebutnya sebagai 'terjemahan yang indah'. Pembaca sangat bisa menikmati ceritanya novel tersebut dengan membaca terjemahan versi Manheim tersebut. Di sinilah yang menjadi 'masalah'. Dalam bahasa Jerman, novel itu sebenarnya bukan novel yang secara bahasa benar-benar mulus. Ada kalimat-kalimat yang dengan sadar dibuat agak susah. Ada kata-kata yang dibuat dengan pertimbangan bunyi dan ritme. Dan hal-hal yang semacam itu menjadi hilang ketika novel tersebut dihadirkan ke dalam bahasa Inggris yang lancar, yang tentunya menuntut adanya pemenggalan di sana-sini untuk menyingkirkan hal-hal yang dirasa janggal. Padahal, Grass sendiri memendam keinginan pembaca berbahasa Inggris juga merasakan tekstur kebahasaan yang dirasakan para pembaca Jerman.
Uniknya, Breon mensinyalir ada sejumlah faktor di balik hadirnya 'kemulusbacaan' tersebut. Pertama-tama, Günter Grass ketika itu adalah seorang penulis muda yang berusia 30 tahun. Tak bisa dipungkiri, meskipun berusaha bersikap obyektif, pasti ada kecenderungan seorang pembaca—tak terkecuali penerjemah—untuk tidak langsung menggali dalam-dalam karya seorang penulis yang masih muda atau masih pemula. Karena itulah, dalam proses penerjemahan itu penerjemah atau editor cenderung menganggap hal-hal agak ganjil di dalam novel itu sebagai sesuatu yang tidak memiliki signifikansi dan bisa dilewati. Lagipula, pesan yang diusung novel The Tin Drum itu sendiri sudah terasa kuat. Jadi wajar saja penerjemahnya kurang memberi perhatian pada sisi teknis bahasa novel tersebut. Ditambah lagi, sudah bukan rahasia lagi kalau penerbit, yang memberi perhatian besar kepada daya jual sebuah buku—dan ini tidak bisa dibilang salah, karena bagaimanapun ini adalah sebuah bisnis—cenderung menginginkan sebuah novel yang enak dibaca. Maka, jadilah edisi Inggris pertama novel The Tin Drum itu sebuah novel mulus-baca seperti yang bisa kita temui.
Lagipula, Ralph Manheim waktu itu hanya diberi penerbit waktu menerjemahkan selama 6 bulan!
Dengan tujuan menghidupkan detil-detil yang ingin ditampilkan Günter Grass itu, Breon Mitchell pun memulai proses penerjemahan dari awal—dengan kesadaran sepenuhnya bahwa dirinya sedang menerjemahkan sebuah karya pemenang Nobel, karya yang banyak dibahas oleh para sarjana sastra, karya yang tak hanya isi ceritanya tapi juga bentuk bahasaannya juga dibuat dengan pertimbangan masak. Breon mengaku sudah menyukai novel The Tin Drum itu sejak pertama kali dia membaca edisi Jerman-nya ketika novel itu baru diterbitkan. Bahkan, dia menganggap The Tin Drum itu adalah novel berbahasa Jerman paling penting selama paruh kedua abad ke-20. Meski demikian, Breon masih membutuhkan buku-buku referensi untuk membantunya menerjemahkan novel tersebut. Referensi itu mencakup terjemahan karya Ralph Manheim dan buku-buku telaah kritis yang telah ditulis banyak sarjana atas buku tersebut. Di sini Breon mengembalikan lagi kalimat-kalimat panjang Grass yang telah 'dicacah' Manheim menjadi kalimat-kalimat pendek yang lebih akrab bagi pembaca berbahasa Inggris. Grass sendiri agak keberatan kalimat-kalimat panjang yang menurutnya memiliki ritme khusus itu dicacah sedemikian rupa oleh Manheim dengan alasan lebih mengakrabkan bahasanya bagi pembaca berbahasa Inggris. Sebab, menurut dia, bahkan pembaca berbahasa Jerman pun juga merasakan semacam ketidaknyamanan dengan kalimat-kalimat panjang itu. Dan dia juga ingin pembaca bahasa Inggris merasakan hal yang kurang lebih sama dengan yang dirasakan para pembaca Jerman. Dengan bekal cinta dan 'amunisi' semacam itu, Breon menerjemahkan The Tin Drum sambil bisa memperhatikan hal-hal renik yang penting, dan tentunya menghadirkannya kepada pembaca berbahasa Inggris dengan penguasaan seni penerjemahan yang terasah selama puluhan tahun.
Untungnya, Breon mendapat waktu tiga tahun untuk menyelesaikan terjemahan tersebut...
Ada satu pernyataan Breon Mitchell, yang dia sampaikan dalam diskusi dan pembacaan The Tin Drum di Goethe Institute New York pada tahun 2005, yang kiranya perlu dikutip di sini: “Sebagai teks, buku ini sangat kaya. Saya berani bilang tidak akan pernah ada yang bisa menerjemahkannya hingga seratus persen. Namun yang penting menurut saya adalah si penerjemah harus menyadari bahwa di situ ada masalah, dan bertanya 'Terus bagaimana kita menyiasatinya? Apa yang bisa kita lakukan?' Ada kalanya kami tidak bisa mendapatkan jawabannya.”
Yang Unik
Satu hal yang menarik di balik penerjemahan The Tin Drum ini adalah bentuk kolaborasi antara sastrawan dan penerjemah. Günter Grass dan penerbitnya rupanya ingin 'merayakan' 50 tahun penerbitan The Tin Drum secara besar-besaran, yaitu dengan penerjemahan (termasuk penerjemahan ulang) novel ini ke dalam 10 bahasa untuk diterbitkan pada tahun 2009 ini. Tidak hanya itu, Günter Grass kali ini tidak mau 'kecolongan' seperti yang terjadi dengan terjemahan karya Manheim. Dia mengundang 10 penerjemah yang sedang menggarap The Tin Drum untuk menyatukan visi di Gdansk, sebuah kota di Polandia.
Dalam pertemuan yang berlangsung selama seminggu ini, menurut Breon sebagai salah satu peserta, para penerjemah menyerahkan pertanyaan/komentar terkait kalimat-kalimat dalam novel yang menimbulkan pertanyaan atau keraguan di antara mereka. Dari kesepuluh penerjemah itu, terkumpul sekitar 3500 poin pertanyaan/komentar. Selama seminggu itu, Grass dan 10 penerjemah ini mengadakan konferensi yang berlangsung antara pukul 9 pagi sampai 5 sore, persis seperti orang kantoran. Mereka membaca novel itu dan membahas poin-poin pertanyaan dari para penerjemah. Selain itu, Günter Grass sendiri menyoroti bagian-bagian yang menurutnya penting untuk dijadikan perhatian para penerjemah. Pembacaan dengan sumber yang seperti itu semakin diperkuat lagi dengan 'napak tilas' ke tempat-tempat yang menjadi latar novel tersebut dengan dipandu oleh Günter Grass sendiri yang menunjukkan benda-benda, bangunan, dan sebagainya, yang diacu juga dalam novel itu.
Ini mengingatkan kita tentang hubungan erat antara sastrawan Argentina Jorge Louis Borges dengan penerjemah 'resminya', Norman Thomas di Giovanni, yang menghabiskan banyak waktu bersama-sama dan membahas tuntas karya-karya Borges yang sedang diterjemahkan.
Ada proses yang unik di sini. Di satu sisi si penerjemah seolah-olah 'tak lebih dari sekedar' mengantarkan apa yang ingin disampaikan si penulis ke bahasa yang berbeda. Seolah-olah, si penerjemah membiarkan egonya melebur dan menyerahkan diri sepenuhnya mengalihbahasakan apa yang diinginkan si penulis. Si penerjemah benar-benar mengekang dirinya menafsir dengan semaunya sendiri. Sebaliknya, dia sepenuhnya tunduk kepada teks dan si pencipta teks. Seolah mereka bersinergi, kembali ke masa sebelum buku aslinya diterbitkan.
Dengan begini, tidak penting lagi yang namanya 'penghianatan', sebuah tema yang kerap diusung para penerjemah atau pengkritik penerjemahan. Yang ada hanyalah bersama-sama masuk ke dalam pikiran si sastrawan dan mencoba mengikuti apa yang dimaksud si sastrawan ketika dia sedang menciptakan novel itu—meskipun tak bisa diingkari bisa saja yang dia ceritakan kepada para penerjemah ini bisa-bisa berbeda dengan perasaan si penulis ketika menulis karya tersebut.
Namun, demi menyadari kemustahilan mencari padanan untuk setiap hal yang ada dalam bahasa Jerman ke dalam bahasa-bahasa lain dunia, Grass juga memberi kebebasan kepada para penerjemahnya untuk berkreasi terkait dengan hal-hal tersebut. Di sini tampak ada yang perlu diperhatikan, yaitu 'penghianatan' itu hanya bisa terjadi pada tahap pembahasaan, sementara pada tahap pemahaman isi karya, penerjemah dituntut selaras dengan si sastrawan.
Demikianlah, meskipun penerjemahan ulang bukanlah sesuatu yang harus dilakukan atas karya-karya yang terjemahannya sudah usang, ternyata banyak yang bisa dipelajari dari situ. Selain itu, sepertinya para penerjemah Indonesia juga harus mengikuti langkah yang ditempuh Breon, yaitu membaca habis-habisan karya sekunder yang mendukung pemahaman pembaca atas karya sastra yang sedang digarap. Tapi, lagi-lagi muncul pertanyaan, apakah memungkinkan melakukan penerjemahan yang 'doyan' seperti itu dengan upah penerjemahan seperti yang ada di pasaran seperti sekarang ini.
The Tin Drum edisi peringatan ulang tahun emas ini akan diluncurkan pada bulan Oktober tahun 2009 ini. Sementara itu, saat ini Breon sedang merampungkan detil terjemahannya tersebut di tengah kesibukannya membimbing para calon doktor dan mengelola Lilly Library. Oh ya, dia juga langsung bergairah ketika tahu bahwa ada dua karya sastra penting Indonesia yang mengambil latar kota tempat tinggalnya, yaitu kumpulan cerpen Orang-orang Bloomington dan novel Olenka, dan otomatis langsung menyatakan keinginannya untuk mendapatkan buku-buku tersebut buat perpustakaan manuskrip dan buku langka yang dipimpinnya.
2 Februari 2010
* Wawan Eko Yulianto, seorang penerjemah dan blogger di http://berbagi-mimpi.info
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar