Cucuk Espe
Harian SURYA Juni 2009 (ketika masih memiliki Rubrik Budaya)
Udara masih terasa basah. Semalam hujan turun tanpa ampun. Di luar matahari masih bermalas-malasan sembunyi di balik awan. Ketika itu, Kyai Madenun sedang berpikir keras di depan cermin dalam kamar. Berulang kali dia mengernyitkan dahi. Ada setumpuk persoalan berat yang hinggap di pikiran. Kopyahnya agak miring menutupi separo kening.
“Ini tidak masuk akal!” lenguhnya sambil menghempaskan napas berat. Sejenak dia melempar pandangan ke luar lewat jendela. Tampak puluhan santri sedang membersihkan halaman.
Wajah Kyai Madenun makin kacau. Makin dipikir persoalan yang sedang bertengger di otaknya makin tidak menemukan jawaban. Keresahan kyai setengah baya itu makin memuncak.
“Aturan macam apa ini? Jika sampai diberlakukan, jelas melanggar agama. Dan pemerintah harus menanggung akibatnya apabila nanti muncul protes dari seluruh kalangan pesantren di negeri ini,” pikir Kyai Madenun.
Dan kalau perlu, dialah orang pertama yang akan protes. Ya! Sebentar lagi penguasa di negeri ini akan mengeluarkan peraturan pemerintah tentang jenggot. Di dalam peraturan pemerintah (Permen No ‘entah berapa’ Tahun 2005) jelas disebutkan jika seluruh warga negara dilarang memelihara jenggot, terutama warga dari kalangan pondok pesantren. Sebab, dalam catatan kriminal kepolisian menunjukkan banyak kalangan berjenggot yang aktivitasnya sangat membahayakan umat.
Mata Kyai Madenun melotot melihat wajahnya sendiri dalam cermin. Dia masih belum percaya dengan berita yang di dengarnya tiga hari lalu itu. Menurutnya, jenggot adalah hak asasi, bahkan sunnah Rosul. Apa pemerintah kurang pekerjaan sehingga perlu mengutak-atik jenggot warganya? Lagipula apakah semua orang berjenggot itu berbahaya? Bukankah yang berjenggot yang ‘berbahaya’ itu hanya sebuah kebetulan saja?
Kyai Madenun berang.
Dalam benaknya mengatakan jika saat ini jenggot saja diatur, mungkin tahun depan akan ada undang-undang bulu ketiak yang mengatur panjang dan pendeknya bulu apek tersebut.
“Astaghfirullah…,” keluhnya. Dan pekerjaan paling berat jika peraturan pemerintah tentang jenggot itu jadi diberlakukan, dia harus melatih diri duduk di hadapan santrinya tanpa jenggot. Ini repot!
Sebab selama ini, seolah telah menjadi brand image bahwa Kyai Madenun memiliki jenggot agak jarang dan panjang hingga dada. Juga konon, jenggot yang dimilikinya menimbulkan rasa percaya diri yang besar. Jenggot yang dipelihara sejak lima tahun lalu itu, seakan mengukuhkan dirinya di hadapan masyarakat, jika Kyai Madenun adalah kyai berjenggot yang memiliki aura luar biasa.
Lantas sekarang? Harus hadir tanpa jenggot! Tak bisa dibayangkan bagaimana nanti wujud wajah Kyai Madenun. Mungkin lebih bersih, tapi jenggot menebar kharisma tersendiri. Inilah masalahnya. Rupanya pemerintah belum mampu melihat sisi lain keindahan jenggot dan yang lebih penting aura segerombol rambut yang nangkring di dagu. Tahunya pemerintah, kaum berjenggot telah menebar korban di mana-mana. Sebut saja tempat wisata, café, hotel-hotel berbintang, bahkan di sejumlah kantor kedutaan negara asing.
Sementara sisi positif kaum berjenggot tak pernah dilirik. Siapa yang menggerakkan laju roda pendidikan agama, atau menjadi guru sukarela di TPQ-TPQ, kebetulan banyak yang berjenggot. Wajah Kyai Madenun memerah. Sebab dia juga tak bisa menyalahkan orang-orang berjenggot yang telah merusak citra aura positif jenggot dengan melakukan aksi anarkhis. Tapi beginilah akibatnya.
Matahari di luar makin dalam menelusup di balik awan. Sementara Kyai Madenun masih mencari cara agar bisa tampil menarik, tetap berwibawa meski tanpa jenggot. Susah!
* * *
Beberapa hari kemudian…
Cuaca tak banyak berubah. Hanya hembusan angin sedikit kencang mengibarkan kain sarung Kyai Madenun yang pagi itu duduk di beranda sambil menyeruput secangkir kopi. Jemarinya dengan lentur mengelus jenggot yang menggelayut di dagunya. Dengan penuh perasaan dielusnya rambut yang sebagian telah memutih itu. Hatinya bangga, karena di jajaran kyai ‘papan atas’ di Pulau Jawa, Kyai Madenun dikenal karena memiliki bentuk jenggot yang khas.
Bahkan salah seorang teman kyai-nya dari Ponorogo menyebut ‘Kyai Jenggot’. Julukan itu disandang sejak dia memutuskan untuk terus memelihara jenggot sebagai trade mark. Tapi kini, pemerintah mengeluarkan peraturan yang akan melibas kaum berjenggot, terutama dari kalangan pondok pesantren. Sebab, pemerintah telah mengambil kesimpulan bahwa selama ini kaum berjenggot telah menebar keresahan umum berupa teror.
“Tidak masuk akal,” lenguh Kyai Madenun.
Jika benar pemerintah melarang memelihara jenggot warganya, jelas ini pelanggaran kebebasan hidup, menggilas hak asasi yang paling asasi! Jenggot saja diatur dengan peraturan resmi, apa pemerintah kurang pekerjaan? Apa tidak lebih baik mengatur harga BBM yang melambung, pengangguran yang makin tinggi, serta menteri-menteri yang tidak becus mengatur negara. Kenapa soal jenggot mesti menyita banyak pikiran.
Saat Kyai Madenun sedang asyik menghujat satu per satu petinggi negara, mendadak dikejutkan oleh suara gaduh yang makin lama makin keras menuju ke arah tempat tinggalnya. Belum sempat Kyai Madenun berpikir panjang, nampak puluhan santri dengan langkah yang garang sambil mengacung-acungkan tangan yang terkepal bergerak menghampirinya.
“Apa-apaan ini!” sontak teriak Kyai Madenun. Dan langsung berdiri menyongsong kedatangan santri yang berunjuk rasa.
“Kyai harus tegas!” seloroh salah seorang dari mereka.
“Ini tak bisa dibiarkan!”
“Harus diambil sikap segera!”
Mendengar lontaran-lontaran protes, Kyai Madenun makin bingung. Sebab, seingatnya dia tidak pernah melukai perasaan santri. Dan di kalangan pondoknya, Kyai Madenun dikenal paling sabar. Tapi ada apa dengan mereka? Serta merta dia berdialog dengan para santrinya yang masih dirasuki amarah.
“Kyai tidak boleh diam. Ini harus dihentikan!”
“Tenang…apa masalahnya?” tanya Kyai Madenun.
“Saya dengar pemerintah akan melarang masyarakat untuk berjenggot dan ada hukuman berat jika tidak patuh. Ini melanggar agama! Memelihara jenggot itu sunnah, Kyai! Dan lagi, katanya polisi akan masuk pesantren ini untuk mengambil cap jari kita. Ini keterlaluan. Kita ini santri…bukan orang gila yang berbahaya!” teriak salah satu dari mereka.
Perasaan Kyai Madenun nyaris meledak mendengar pernyataan itu. Dari mana mereka tahu? Apakah pemerintah telah menyebarkan pengumuman melalui media massa sehingga para santri tahu? Puluhan pertanyaan mencerca pikiran Kyai Madenun. Tapi soal tahunya dari mana, itu tak penting.
“Saya juga sedang memikirkan hal itu. Harap para santri tenang. Intervensi pemerintah ke pondok pesantren memang telah ngawur,” ucap Kyai Madenun yang segera disambut riuh setuju.
“Apakah Kyai setuju jika pemerintah mengeluarkan larangan untuk memelihara jenggot? Sebab kami di pondok ini, makin hari makin bangga dengan jenggot yang kami punya. Juga jenggot yang dipunyai Kyai. Sebab, kami merasa mantap dan pede jika beraktivitas dengan jenggot menempel di dagu. Saya tidak bisa membayangkan jika nanti dagu kami mulus dan Kyai tampil tanpa jenggot….Pasti lucu dan jatuh wibawa,” sambung salah seorang santri yang segera di sambut tepuk sorai.
“Hidup…jenggot…Pertahankan jenggot…! Jenggot tak ada hubungannya dengan korupsi jangan ditakuti!” begitulah yel-yel terus membumbung.
Kyai Madenun agak blingsatan. Satu sisi dia setuju dengan ucapan santrinya tapi sisi lain dia harus menenangkan mereka. Sebab jika aparat tahu, nanti dikira sedang merencanakan aksi massa. Bisa kacau!
“Tenang…tenang…saya telah mendengar kabar itu. Dan prinsipnya, saya juga setuju dengan usulan kalian. Jenggot adalah lambang kewibawaan. Jenggot adalah sunnah. Dan jenggot bukanlah aib,” seloroh Kyai Madenun.
“Bravo jenggot…! Terus apa yang akan kita lakukan, Kyai?”
Suasana tegang. Kyai Madenun mendelik tak menemukan jawaban. Sementara puluhan santri sedang asyik berbicara sesama santri. Cukup lama keadaan buntu, hingga akhirnya…
“Kita datangi para wakil rakyat. Kita minta untuk menyampaikan pesan agar peraturan gila pemerintah tidak jadi diberlakukan,” kata Kyai Madenun spontan.
“Setuju! Besok kita lanjutkan aksi ke gedung wakil rakyat untuk menyampaikan keinginan kita. Sebab kaum berjenggot juga manusia, yang punya hak hidup sama di negeri ini,” sorak sorai dan yel-yel mengiringi kepergian mereka dari pelataran rumah Kyai Madenun.
Sepeninggal santrinya, ada rasa cemas menggelayut di benak sang kyai. Satu pertanyaan yang terasa berat jawabnya; banyak aspirasi rakyat menumpuk di kolong laci para anggota dewan, tak terselesaikan. Tentu, untuk kasus jenggot ini, dia tak ingin bernasib sama. Harus dicari cara lain!.
* * *
Pukul 9.15 Wib, pagi.
Entah siapa yang memberitahu, hari itu, di depan gedung dewan telah berjajar truk-truk polisi. Wajah-wajah dingin bersenjata laras panjang berkeliaran di setiap sudut jalan. Sorot mata mereka selalu penuh dengan kecurigaan. Memang untuk itulah mereka bekerja dan dibayar. Suasana sedikit tegang.
Beberapa wartawan nampak bergerombol di samping pintu gerbang dekat pos jaga. Mereka asyik bersenda gurau dengan teman-teman seprofesinya seolah tak terusik ketegangan yang terjadi sekelilingnya. Terkadang mereka mendapat teguran dari aparat agar tidak membuat gaduh. Tapi dasar wartawan, tetap saja mereka berbuat seenaknya.
Hampir pukul sepuluh. Suasana makin tegang. Dan dari arah perempatan seratus meter dari gerbang gedung dewan, muncul serombongan massa dengan menumpang dua truk. Aparat terkesiap, kontan mereka berlari ke pos-nya masing-masing. Dan tentu, dengan moncong senjata mengarah tepat ke depan. Dua truk itu, berhenti tepat di depan pintu gerbang. Puluhan massa penumpangnya melompat turun.
Terakhir, Kyai Madenun keluar dengan sarung setengah di-cincing (diangkat sebatas lutut) dia berjalan di tengah gerombolan santrinya. Dan tak disangka, hampir bersamaan, muncul pula serombongan massa santri, entah dari pesantren mana. Yang jelas, mereka langsung bergabung dengan massa Kyai Madenun.
“Kami ingin ikut aksi solidaritas untuk jenggot ini, Kyai!” kata seorang massa yang baru datang tersebut. Tanpa banyak pertanyaan, Kyai Madenun pun mempersilahkan untuk bergabung.
Bersama mereka merangsek maju. Tapi aparat lebih dulu menghalangi dengan membuat barisan berlapis.
“Ini gedung rakyat, kenapa kami tidak boleh masuk?” kata Kyai Madenun.
“Tolong, harus pakai prosedur,” jawab seorang aparat.
“Meski hanya untuk menyampaikan aspirasi?”
“Benar!”
“Kami ini rakyat yang milih mereka,” serang Kyai Madenun. Suasana jadi memanas. Ditambah ratusan santri meneriakkan slogan hujatan pada pemerintah.
Akhirnya, terpaksa dengan menggunakan wareless, Kyai Madenun berorasi.
“Kami dari Forum Jenggot Cinta Damai di kota ini ingin menyampaikan aspirasi, agar Bapak-Bapak di dalam gedung ini bisa menghentikan rencana pemerintah yang akan melarang warganya memelihara jenggot. Jangan pernah berpikir kalau jenggot itu menakutkan dan perlu dibasmi!” teriak Kyai Madenun segera disambut dengan tepuk sorak massa di belakangnya.
“Jika peraturan itu benar diberlakukan, maka kami akan berbuat nekad. Sebab jenggot adalah kebanggaan kami. Dengan jenggot di dagu, kami bisa mantap dan makin kreatif untuk membangun negeri ini!”
Kalimat-kalimat orasi itu meluncur dengan deras dan cerdas dari mulut Kyai Madenun. Improvisasinya begitu luar biasa, seolah tak kehabiasan kata untuk memompa semangat massa santrinya.
“Kami hanya ingin masuk. Kami bukan penjahat yang akan merampok Bapak-Bapak. Kami rakyat yang ingin bertemu,” lanjut Kyai Madenun. Sejenak suasana memuncak. Puluhan aparat makin merapatkan barisan.
Yel-yel makin membumbung. Kyai Madenun mencoba negosiasi dengan aparat agar diperbolehkan masuk. Namun rupanya, cukup sulit, mereka tak diijinkan. Massa yang telah berorasi hampir satu jam lebih, kehilangan kesabaran. Akhirnya, mereka menyeruak maju barisan aparat. Teriakan dan nyanyian serta pekik Takbir terus menggema.
“Allahu Akbar…! Kita majuuu…!”
Keadaan kian kacau. Massa dan aparat saling dorong hingga ada beberapa yang terjatuh. Sebuah tragedi yang memalukan. Santri dan aparat saling berhadapan, saling beradu mulut, dan beradu otot. Mendadak tak jauh dari gerbang, terdengar ledakan cukup keras.
“Allahu Akbar…! Semua berlindung…!” Massa buyar. Juga aparat lari tunggang langgang. Asap hitam mengepul dari balik mobil Dalmas yang diparkir di seberang jalan.
Bom meledak! Membuyarkan aksi demo. Terdengar teriakan, jeritan serta rintihan berbaur. Aparat sibuk menyelamatkan diri, begitu juga para demonstran. Ada yang berlari terseok karena kakinya berdarah. Ada pula yang menutup muka yang penuh darah. Banyak pula yang hanya bisa merangkak di aspal jalan dengan tubuh penuh luka. Suasana kota kacau. Hingga akhirnya suasana hening. Asap masih tebal mengepul. Lima menit kemudian, saat asap sedikit hilang, kelihatan puluhan kendaraan hancur serta warung kaki lima dan toko-toko di sepanjang jalan turut rusak. Kaca-kaca gedung dewan ambrol. Keadaan tak terkendali. Aparat tak bisa berbuat apa-apa. Puluhan tubuh tergeletak berlumur darah di sepanjang jalan.
Dan di mana Kyai Madenun?
* * *
Sore harinya, hampir seluruh stasiun TV mem-blow up peristiwa peledakan di depan gedung dewan itu. Puluhan massa pendemo dan warga sipil serta aparat turut menjadi korban. Statement sementara yang dikeluarkan oleh kepolisian menyatakan kalau bom tersebut sengaja dilakukan oleh para demonstran dari kalangan pondok pesantren. Aksi bom tersebut dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan mereka atas sikap wakil rakyat yang tak mau menerima aspirasinya.
Tiga hari kemudian, polisi melansir rekonstruksi wajah pelaku pengeboman gedung dewan di setiap sudut jalan, terminal, stasiun, pasar-pasar, hingga lokalisasi. Selain itu, polisi juga makin ketat melakukan razia di setiap pintu masuk kota serta tempat-tempat keramaian. Juga, pondok pesantren tak luput dari jarahan aparat. Dan seperti biasa, polisi menyediakan hadiah jika ada mengetahui wajah dalam sketsa tersebut. Wajah tersebut mirip; Kyai Madenun!
Pemerintah pun makin mantap melarang warganya berjenggot.
Jenggot, apapun alasannya, berbahaya!**
Jombang, Desember 2005.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar