07/05/11

Puisi dan Kabar dari Lautan

Misbahus Surur *
http://www.lampungpost.com/

LAUT adalah metafora sekaligus sebuah “dunia”. Sebagai sebuah dunia, laut menjadi loka, atau setidaknya pintu gerbang, bagi sang tualang melabuhkan diri ke negeri-negeri yang tak diketahui. Guna menambatkan harapan-harapan baru yang (tak) terkonsep sebelumnya. Tempat si pengembara melupakan kegamangan dan kejumudan-kejumudan di daerah asal.

Dalam perjalanan ke laut yang sering tanpa (per)hitungan itu, si pengembara berharap menemukan kejutan-kejutan hidup yang tak terduga. Yang dapat merekahkan pandangan yang lebih bergairah, luas lagi cemerlang. Sedang sebagai metafora, laut adalah sebuah kesan (mungkin juga pesan) yang tertinggal, dari penemuan dunia dan semangat baru tadi. Yang dituang dalam berbagai imaji serta catatan-catatan. Karena itu, laut sering jadi pilihan juga alternatif pembebasan. Sebuah upaya memerdekakan diri dari simpul yang mengikat seraya meluaskan pikiran yang dipenjara batas dan sekat. Dalam ranah sastra, khususnya puisi, laut pada satu kutub merupakan simbol kebebasan dan kedalaman. Sedang pada kutub lain, adalah penanda untuk mengatasi instrumen (yang dianggap) dangkal dan terkungkung—untuk menyebut sedikit di antaranya. Meski begitu, di tangan penyair yang diselimuti enigma, metafora laut kerap tak mudah diduga.

Chairil Anwar, misalnya, dalam Kabar dari Laut, pernah menuliskan sesuatu yang patetis. Pada bait-bait awal puisi, ada sejenis penyesalan sekaligus ungkapan kekecewaan yang disulut oleh sebuah hubungan (dengan seorang wanita). Rasa bersalah itu dinyatakan dengan diksi “laut” yang menyiratkan perasaan tolol dan sesal tapi begitu puitik: Aku memang benar tolol ketika itu,/mau pula membikin hubungan dengan kau;/lupa kelasi tiba-tiba bisa sendiri di laut pilu,/berujuk kembali dengan tujuan biru. Sebuah takdir kepiluan di laut, tapi pada saat yang sama, secara tersirat, tak ditolaknya. Keadaan tolol juga begitu lemah yang tak berdaya dengan cium nafsu tersebut, kini telah jadi luka yang—sekali lagi—juga diingini.

Dan pada saat itu, dengan sadar, Charil menjadi tahu, dalam hidup, batas antara cium nafsu dan luka, umpama perjalanan buritan dan kemudi. Di mana titik pembatasan cuma tambah menyatukan kenang. Dalam puisi ini, pengalaman hidup yang didapat serasa begitu berdarah-darah. Namun sejak dari darat hingga laut, dari buritan sampai kemudi, pengalaman yang berharga itu, pada akhirnya membikin tenang dan tentram si penyair: Dan tawa gila pada whisky tercermin tenang, begitu kata Chairil. Sebuah kemabukan yang diingini setelah pengalaman hidup yang pahit kembali terkendali.

Adapun dalam Senja di Pelabuhan Kecil, idiom laut beserta segenap elemen-elemen yang terpancang kukuh di sana, seakan cuma tempat berhenti dan hening. Semua diksi dan idiom pada puisi itu, seolah jadi penyangga bagi sepi dan sendiri yang teguh. Tanah dan air tidur, ombak hilang, perahu tiada berlaut, desir hari lari berenang adalah senarai idiom yang menguatkan sebuah momen “kebersendirian” penyair. Kesendirian yang sadar diri namun begitu disesaki harap yang serasa (masih) jauh. Pun dalam Cintaku Jauh di Pulau, meski mula-mula nuansa kegembiraan tersembul, begitu sedikit dan serasa tarik-ulur. Lantas seperti ada yang begitu saja terputus di tengah jalan. Hal tersebut bisa kita rasakan pada kalimat dan metafora ini: perahu melancar, bulan memancar,/ di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar./ angin membantu, laut terang, tapi terasa/ aku tidak ‘kan sampai padanya. Harapan yang dibelai kemuraman itu dilanjutkan dengan dua baris—sebelum dua bait terakhir—yang kian mempertegas pasase di atas: Mengapa Ajal memanggil dulu/ Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?. Sebuah “ajal” yang disesali—dengan huruf pertama yang sengaja di-kapital-kan—tapi tetap tak dapat ditolak.

Wan Anwar, yang hidup jauh setelah Chairil, pada salah satu puisinya, juga mengabadikan metafora lautan. Dalam puisi yang berjudul Kau, Laut, dan Kata, penyair yang tutup usia akhir 2009 lalu ini, menulis: di geladak sudah tercium kata-kata/anyir seperti bangkai, di antara bayang-bayang/ kau sebut hidup adalah perjudian dan entah siapa/entah di mana seseorang mengangguk/untuk yang tak terbaca// … di dasar laut takdir bisa saja semacam gurita/ke mana kau berlayar, ia akan mengantar/setia bersama waktu yang tak letih berkibar/ … dan aku –tahukah kamu?- akulah gurita itu/senja dan waktu yang kau sebut kepulangan.

Jika setumpuk kata-kata di geladak anyir, bukankah “yang tertera” sudah tak indah lagi? Bukankah kata-kata “anyir seperti bangkai” yang sinis adalah paradoks bagi puisi indah dan manis. Lalu, apa gerangan yang terjadi dengan kata-kata? Tak ayal, idiom-idiom pembuka puisi tersebut, ternyata memetaforkan hidup yang seperti perjudian. Sebab watak hidup memang tak pasti, sebagaimana frase “yang tak terbaca” juga kata ”perjudian”. Dalam hidup seperti itu, tentu saja tak ada ketenteraman, alih-alih hidup kian sesak diimpit pertaruhan.

Dan metafor seseorang yang mengangguk bagi keadaan adalah mereka yang menyerah atau setuju pada nasib. Adapun diksi dan metafor gurita, di sini, barangkali bisa kita maknai sebagai usia dan kesempatan. Bisa juga kiasan bagi durasi kehidupan, yakni jatah hidup tiap orang yang melulu dikepung takdir. Sebuah takdir yang teramat setia menyelam ke dasar laut kehidupan, di mana sang penyair hidup bersama kata-katanya. Dengan begitu, selain sebagai monster yang ditakuti, diksi gurita dengan sadar juga didekati; ”akulah gurita itu”, kata si penyair untuk menunjukkan betapa dekatnya ia. Meski akhirnya makhluk itu akan melenyapkan usia dan kata-kata. Dengan demikian, senja dan waktu yang kau sebut kepulangan, adalah kesetiaan usia untuk menemani masa tua (baca: jatah hidup) dan mengantarnya menuju tempat berpulang.

Ungkapan-ungkapan lain yang direguk dari lautan, juga ditatah secara beda dan kuat oleh Iswadi Pratama. Dalam sajak yang berjudul Aku dan Ibu, Iswadi seolah menemukan laut lain dengan sebenar-benar laut: di atas kapal/ dari sebuah jendela/ibu menatap laut lepas//aku memandang ibu/ingin terjun ke dalam matanya/di mana laut lebih luas//tetapi mata ibu sudah kering/hanya batu-batu terkubur di situ//ibu menyaksikan laut tanpa batas/berenang menggantang gelombang/menuju pantai./aku melihat ibu dari atas kapal/menyimpan kedua matanya/dalam pelayaran tak pernah usai.

Air mata ibu bagi Iswadi adalah laut yang kerap dilupa. Bagi penyair yang juga seorang aktor ini, air di kantung mata itu seolah jenis laut dengan segala kedalaman yang bagi saya melebihi kedalaman laut ala Chairil. Tangis bahagia juga linangan kesedihan ibu adalah tanda kasih dan ikatan batin yang kuat antara ia dengan anaknya. Di sana, di ceruk mata itu, tersimpan luasnya ketulusan. Namun serasa ada sesuatu yang begitu pribadi ketika mata itu tiba-tiba kering. Entah karena bengkak untuk menangisi kepergian si anak, ataukah ada ihwal lain?

Lepas dari itu, kasih ibu tetap saja tulus, kendati sang anak melanglang entah ke mana. Sebab, sejauh manapun anaknya berlayar, mata ibu akan selalu di situ, senantiasa disimpan untuk anaknya. Demikianlah sedikit kabar yang dapat kita petik dari beberapa puisi yang mengharu-birukan lautan. Semoga laut masih akan biru dan sampai pada kita dengan rupa-rupa kabar yang lain.

*) Penyuka sastra, kuliah S-2 di UIN Maliki Malang

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita