26/02/11

SEJARAH PERKEMBANGAN TEORI DAN KRITIK SASTRA INDONESIA

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Teori sastra (literary theory)[1] di Indonesia secara praksis sering kali dipahami juga sebagai kritik sastra (criticism).[2] Sementara kritik sastra tidak jarang diperlakukan sebagai pendekatan (approaches to literature).[3] Dalam hal ini, kritik sastra dianggap merupakan pendekatan yang dapat dimanfaatkan dan digunakan untuk berbagai kepentingan penelitian terhadap karya sastra konkret. Demikianlah, dalam banyak perbincangan, baik teori sastra maupun pendekatan atau penelitian sastra, hampir selalu ditempatkan dalam pengertian sebagai kritik sastra. Atau di bagian lain, teori sastra dikatakan juga sebagai teori kritik sastra.[4] Jadi, pembicaraan mengenai strukturalisme atau semiotik, misalnya, dianggap sebagai bagian dari pembicaraan teori kritik sastra.

Terlepas dari pemahaman yang tampak tumpang-tindih itu, sejauh pengamatan, hampir semua bersepakat, bahwa teori-teori itu sepenuhnya berasal dari Barat. Oleh karena itu, orientasi teori sastra di Indonesia dipahami dalam dikaitkannya dengan perkembangan teori sastra Barat. Kesan itu muncul ketika ada usaha-usaha untuk merumuskan teori sastra Indonesia yang khas dilahirkan berdasarkan cara pandang dan ruh kebudayaan Indonesia sendiri. Kesadaran untuk menghasilkan teori sastra yang khas Indonesia dan tidak bergantung teori sastra Barat itu, muncul lantaran dunia akademi tempat para mahasiswa dan dosen mempelajari dan mengembangkan ilmu sastra, dianggap telah menempatkan teori sastra modern cenderung lebih bersifat formalistik. Sementara itu, pembicaraan mengenai karya sastra itu sendiri atau kritik langsung terhadap karya sastra, kurang mendapat perhatian. Akibatnya, teori ditempatkan sebagai teori an sich, dan bukan dijadikan sebagai alat untuk menganalisis karya sastra. Demikianlah, atas anggapan itu, muncul kemudian keinginan dari beberapa pengamat sastra untuk tidak secara bulat-mentah menerima teori sastra Barat.

Subagio Sastrowardoyo, misalnya, mengungkapkan, “… dengan menitikberatkan pada teori-teori yang bergerak pada tataran yang umum dan abstrak tentang kesusastraan, maka terdapat kecenderungan yang kuat untuk meninggalkan penelaahan yang konkret terhadap karya sastra.”[5] Sebaliknya, ketika ada usaha untuk melakukan penelaahan yang konkret terhadap karya sastra atau melakukan kritik langsung atas karya sastra, teori-teori yang mestinya menjadi alat analisis, tiba-tiba seperti gagal mengemudikan analisis dan interpretasi untuk mengungkap kekayaan makna karya sastra. Teori-teori itu seperti kehilangan relevansinya manakala hendak dioperasionalisasikan. Ia pada akhirnya seperti tempelan belaka yang seolah-olah sekadar memberi kesan ilmiah. “Penyelidikan sastra jadinya ditandai oleh ketiadaan teori dan metode yang jelas. Mungkin ada semacam teori dan metode, tetapi lebih merupakan teori dan metode yang bersifat ad hoc, disesuaikan dengan bahan yang ada.”[6] Itulah yang terjadi dalam banyak skripsi (tugas akhir kesarjanaan), mahasiswa fakultas sastra. Teori sastra jadinya sekadar hendak menegaskan kesan ilmiah belaka, sementara tugasnya sebagai alat analisis, interpretasi, dan evaluasi, tidak jelas ke mana arahnya.

Teori-teori sastra yang diperkenalkan dan diajarkan dalam dunia akademi di Indonesia, memang tidak lain bersumber dari teori sastra Barat. Dengan demikian, pembicaraan teori sastra (Indonesia) pada hakikatnya adalah teori sastra Barat. Itulah anggapan yang selama ini berkembang dalam sejumlah buku yang membicarakan kritik sastra Indonesia. Apakah sebelum itu, sama sekali tidak ada usaha-usaha untuk mencoba merumuskan semacam teori sastra (Indonesia) yang lebih sesuai dengan estetika kultur Indonesia sendiri? Bagaimana duduk masalah yang sesungguhnya, sehingga pemahaman tentang teori sastra (Barat) dan usaha untuk menerapkannya seperti tetesan minyak dalam air; terpisah sendiri dan sering kali gagal menjadi alat analisis, interpretasi, dan evaluasi?

***

Dalam ilmu sastra,[7] ada tiga bidang kegiatan penelitian yang berkaitan dengan sastra dan kesastraan. Ketiganya tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Keberadaan masing-masing bidang bersifat saling melengkapi, komplementer dan saling mendukung. Mengingat sifatnya itu, ketiga bidang itu dapat dimasukkan ke dalam tiga wilayah kegiatan penelitian yang bersifat teoretis (teori sastra –literary theory), historis (sejarah sastra –literary history), dan kritis (kritik sastra –literary criticism).

Dalam wilayah studi sastra, perlu ditarik perbedaan antara teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra.[8] Teori sastra bekerja dalam bidang teori, misalnya penyelidikan tentang hal-hal yang berhubungan dengan pengertian sastra, hakikatnya, jenisnya, dasar-dasarnya, kriteria dan berbagai hal tentang itu. Ia adalah studi prinsip-prinsip sastra, kategori-kategorinya, kriteria, dan sejenisnya. Teori sastra hanya dapat disusun berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra,[9] dan ia harus menciptakan dasar konsep yang universal, atau sekurang-kurangnya konsep umum, yang dapat dipakai untuk mendeskripsikan dan menjelaskan fakta-fakta.[10] Dengan demikian, teori sastra merupakan salah satu cabang ilmu sastra yang berusaha merumuskan pengertian-pengertian tentang sastra, hakikat dan prinsip-prinsip sastra, melakukan pengklasifikasian terhadap jenis dan ragam-ragam sastra, serta menyodorkan bagaimana analisis, interpretasi dan evaluasi terhadap karya sastra konkret dapat dilakukan.

Sebagai salah satu cabang ilmu sastra, teori sastra dapat memberi kontribusinya bagi cabang ilmu sastra lainnya, yaitu kritik sastra dan sejarah sastra. Kritik sastra, misalnya, hanya mungkin dapat melakukan evaluasi terhadap karya sastra secara objektif, jika evaluasinya didasarkan pada teori sastra. Kritik terhadap karya sastra konkret hanya akan menghasilkan penilaian yang sangat subjektif dan tak berdasar, jika ia mengabaikan teori sastra sebagai landasan penilaiannya. Begitu juga, sejarah sastra hanya mungkin dapat menjalankan tugasnya dengan baik jika memperoleh bantuan teori sastra. Bagaimana mungkin sejarah sastra dapat mencatat terjadinya berbagai pembaruan dalam karya sastra jika ia tidak didukung oleh pemahaman mengenai teori sastra. Lalu, untuk apa pula teori sastra, jika ia tidak dimanfaatkan untuk kepentingan kritik sastra. Begitu pula, kritik sastra yang tidak menggunakan teori sastra sebagai alat ukurnya, hanya akan menghasilkan interpretasi dan evaluasi yang terlalu subjektif. Di situlah, teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra, hadir dalam fungsinya yang saling melengkapi.

Dengan pemahaman bahwa yang dimaksud teori sastra itu merupakan studi prinsip, kategori, dan kriteria berdasarkan penyelidikan terhadap sejumlah karya sastra dengan tujuan menghasilkan dasar konsepsi yang berlaku secara universal atau paling tidak, berlaku umum, maka pandangan Rachmat Djoko Pradopo,[11] bahwa kritik sastra Indonesia tahun 1950-1970 belum menggunakan teori sastra, yang dimaksud teori sastra itu adalah teori sastra Barat. Demikian juga pernyataan Subagio Sastrowardoyo bahwa Indonesia selalu terlambat dalam menerima pengetahuan tentang teori-teori sastra yang bermunculan di dunia Barat,[12] menegaskan kembali betapa teori sastra (Barat) menjadi begitu penting dalam perkembangan teori sastra di Indonesia.

Lebih lanjut, dikatakan Sastrowardoyo bahwa keterlambatan itu disebabkan oleh tiga hal. Pertama, jarak hubungan kultural dan intelektual antara Indonesia dengan benua Amerika dan Eropa. Kedua, pemasukan buku dan majalah yang bersifat akademis dari luar negeri yang belum lancar dan masih terbatas jenisnya. Ketiga, kemampuan dan penguasaan umum yang masih lemah dalam pemahaman bahasa asing, sehingga menghambat pendalaman ke dalam objek studi, khususnya teori sastra.[13]

Jika yang dimaksud keterlambatan menerima teori sastra, sebagaimana yang dikatakan Subagio Sastrowardoyo itu, sebagai keterlambatan menerima teori sastra Barat, maka masalah sebenarnya berkaitan dengan perkembangan kritik akademi atau kritik ilmiah. Dengan demikian, keterlambatan itu merupakan sesuatu yang wajar saja, jika itu ditempatkan dalam konteks kritik akademi atau kritik ilmiah. Apalagi jika mengingat munculnya kritik akademi atau kritik ilmiah, baru memperoleh bentuknya yang lebih jelas selepas tahun 1970-an, sebagaimana yang kemudian diajarkan di fakultas-fakultas sastra berbagai perguruan tinggi. Kritik sastra –yang di dalamnya menyangkut pembicaraan teori sastra— kemudian juga menjadi bagian dari kurikulum nasional pengajaran sastra.

Meskipun demikian, keterlambatan seperti dikatakan Subagio Sastrowardoyo itu sesungguhnya tidak juga sepenuhnya benar.[14] Anggapan terjadinya keterlambatan itu, sebenarnya cenderung lebih disebabkan oleh kelalaian membaca sejarah. Kritik dan teori sastra seolah-olah muncul tanpa sejarah. Itulah sebabnya, ketika ada usaha-usaha untuk merumuskan teori sastra sendiri –seperti yang pernah terjadi awal tahun 1980-an— pijakan pertama yang digunakan adalah teori sastra Barat, dan bukan lebih dahulu mencoba menyimak apa yang pernah terjadi sebelumnya. Atau, paling tidak, berangkat dari pertanyaan: apakah masalah itu sebelumnya pernah dibicarakan atau tidak. Dengan demikian, anggapan adanya keterlambatan penerimaan teori sastra Barat, boleh dikatakan muncul dari sikap apriori yang menafikan sejarah perkembangan teori dan kritik sastra Indonesia sendiri.

Jika melihat sejarah perjalanan kritik sastra di Indonesia yang justru sudah dimulai sejak zaman Pandji Poestaka,[15] maka dalam praktiknya, pembicaraan mengenai kritik dan teori sastra, sebenarnya sudah dimulai sejak itu. Jadi, usaha-usaha ke arah perumusan teori sastra Indonesia sangat mungkin pula justru sudah muncul sejak zaman Pandji Poestaka dan kemudian semarak pada zaman Poedjangga Baroe. Lalu, apakah lantaran tulisan-tulisan itu masih tercecer dalam lembaran-lembaran suratkabar dan majalah, maka pembicaraan mengenai teori dan kritik sastra Indonesia hampir tak pernah mengungkap berbagai tulisan itu? Jadi, mengapa berbagai tulisan yang tersebar dalam majalah atau suratkabar itu hampir-hampir tidak pernah disinggung dalam konteks pembicaraan teori sastra (Indonesia)?

Paling sedikit ada tiga hal yang menyebabkan berbagai tulisan dalam surat kabar dan majalah itu sering diabaikan dalam pembicaraan teori sastra.

Pertama, kecenderungan yang dilakukan para pengamat sastra Indonesia dalam menyusun sejarah sastra Indonesia mendasari penelitiannya pada karya-karya yang berujud buku, sementara karya-karya sastra yang masih tersebar di berbagai media massa sering kali diabaikan. A. Teeuw[16] dan Ajip Rosidi,[17] misalnya, menempatkan kelahiran kesusastraan Indonesia semata-mata berdasarkan karya-karya yang diterbitkan dalam bentuk buku. Akibatnya, awal kelahiran kesusastraan Indonesia, misalnya, dikatakannya berkisar pada kemunculan buku-buku terbitan Balai Pustaka. Padahal, cerita pendek, cerita bersambung (feuilleton), dan puisi, sudah sering bermunculan di berbagai suratkabar dan majalah pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Dengan demikian, karya-karya yang disiarkan media massa itu kehadirannya justru mendahului buku-buku terbitan Balai Pustaka. Jadi, kelahiran kesusastraan Indonesia modern sesungguhnya tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan penerbitan suratkabar dan majalah.

Kedua, pemahaman kritik sastra –khasnya kritik sastra ilmiah atau kritik sastra akademi— dianggap hanya berkaitan dengan karya-karya ilmiah yang berupa karya kesarjanaan (skripsi, tesis, atau disertasi). Bahkan ada kesan bahwa kritik ilmiah atau kritik akademi, seolah-olah hanya berada di wilayah institusi pendidikan (fakultas sastra) dan tidak berada di luar itu. Kritik akademi jadinya memperoleh pemaknaan yang sempit dan dianggap yang hanya dapat dilakukan oleh para sarjana. Kritikus di luar itu, seolah-olah hanya menghasilkan kritik umum atau kritik impresionistik yang menekankan kesan subjektif kritikus, dan bukan menempatkan karya sastra sebagai objek penelitiannya. Akibat pemahaman itulah, kritik sastra akademi atau kritik sastra ilmiah lalu dibedakan dengan kritik impresionistik yang ditulis oleh sastrawan. Sementara kritik sastra umum yang terdapat di media massa, baik berupa resensi buku, maupun ulasan terhadap karya sastra konkret, cenderung tidak diperlakukan sebagai model kritik sastra ilmiah atau kritik akademi.[18]

Ketiga, kuatnya pengaruh kritik aliran Rawamangun[19] dalam institusi pendidikan sastra di Indonesia ikut pula mempengaruhi cara pandang dan perlakuan terhadap esai-esai yang disiarkan majalah atau surat kabar. Akibatnya, kritik atau ulasan terhadap karya sastra konkret yang disiarkan media massa itu, sering kali dianggap tidak ilmiah.

Itulah beberapa faktor yang menyebabkan esai-esai (kritik sastra umum) yang disiarkan dalam suratkabar dan majalah kurang mendapat perhatian, bahkan terkesan seperti dibiarkan tercecer begitu saja. Untuk memberi gambaran, betapa pentingnya sejarah sastra –termasuk di dalamnya pembicaraan mengenai kritik dan teori sastra— mengungkap tulisan-tulisan dan perbalahan yang terjadi di media massa, berikut ini akan dibincangkan berbagai tulisan dalam mengenai teori sastra yang pernah disiarkan Pandji Poestaka, Poedjangga Baroe dan beberapa majalah lain yang terbit kemudian.

***

Seperti telah disebutkan, kritik sastra di Indonesia, secara praksis telah dimulai sejak Pandji Poestaka membuka rubrik atau ruangan “Memadjoekan Kesoesasteraan” yang diasuh Sutan Takdir Alisjahbana. Dalam rubrik itu, Alisjahbana banyak mengulas dan memberi tanggapan atas sejumlah puisi yang dikirim ke majalah itu, dan juga membandingkannya dengan syair. Di samping itu, ia juga menyampaikan pandangannya mengenai apa yang disebutnya sebagai “Kesusastraan Baru” dengan berbagai ciri-cirinya. Dengan konsep kesusastraan baru yang diajukannya itu, ia melakukan interpretasi dan evaluasi atas puisi-puisi yang dibicarakannya. Dengan begitu, Alisjahbana sesungguhnya tidak hanya sudah melakukan praktik kritik sastra, tetapi juga memulai pembicaraan mengenai teori sastra. Dalam ruang “Memadjoekan Kesoesasteraan” (Pandji Poestaka, edisi Mei 1932),[20] Alisjahbana menurunkan artikel berjudul “Menoedjoe Kesoesasteraan Baroe”. Ia mengawali tulisannya sebagai berikut:

Pastilah roebrik “Memadjoekan Kesoesasteraan” ini boekan sadja goenanja oentoek memoeatkan boeah tangan peodjangga kita. Sekali-kali ada djoega faedahnja, kalau dikemoekakan beberapa pikiran atau timbangan jang berfaedah oentoek memadjoekan kesoesasteraan.

Sekali ini kami hendak menoeliskan beberapa pertimbangan tentang kiasan dalam karang-mengarang pada oemoemnja dan dalam poeisi atau sjair pada choesoesnja.

Dikatakan lebih lanjut, bahwa kiasan, ibarat, atau perbandingan sangat penting dalam puisi Indonesia, mengingat bangsa Indonesia sudah sangat akrab dengan gaya bahasa itu. Kecenderungan yang menonjol pemakaian kiasan atau perbandingan dalam puisi waktu itu adalah kiasan atau perbandingan yang sudah sering digunakan orang atau yang banyak terdapat dalam karya-karya sastra lama. “Pengarang harus melepaskan dirinya dari kebiasaan mengarang yang lama itu. Ia harus mengemukakan perasaannya sendiri, pikirannya sendiri, dan pemandangannya sendiri…. Sesungguhnyalah yang pertama sekali harus dilangsungkan oleh pujangga bangsa kita dewasa ini: melepaskan dirinya dari kungkungan yang erat mengikat dan kurungan yang lembab dan gelap, membunuh semangat.” Demikian penegasan Alisjahbana. Oleh karena itu, pemakaian kiasan dalam puisi, menurutnya, menuntut syarat-syarat tertentu.

Maka sesungguhnya perbandingan, kiasan, ibarat itu ada syarat-syaratnya.

Untuk menyelidiki betapa harusnya syarat kiasan dalam syair, haruslah kita mengaji dahulu apa yang dinamakan syair atau puisi.

Syair atau puisi ialah penjelmaan perasaan dengan perkataan.[21]

Dalam uraian selanjutnya, Alisjahbana mengungkapkan sejumlah kriteria mengenai ciri-ciri kiasan, ibarat, atau perbandingan yang menurutnya mencerminkan semangat kesusastraan baru. Dengan begitu, secara langsung Alisjahbana tidak hanya mencoba merumuskan apa yang dimaksud dengan puisi dan syair, pengertian kiasan, perbandingan, dan ibarat, tetapi juga menyodorkan sejumlah kriteria pemakaian kiasan atau perbandingan dalam puisi baru.

Menurutnya, puisi lama cenderung mementingkan bunyi daripada isi atau amanat yang hendak penyair, sedangkan puisi baru, tidak hanya mempertimbangkan bunyi, tetapi juga makna setiap kata. “Tiap-tiap perkataan mesti kena tempatnya dan nyata arti dan perasaan yang dikemukakannya.[22] Dalam puisi baru … yang terpenting ialah perasaan dan pikiran yang masing-masing melahirkan bentuknya sendiri, yang sesuai benar tentang ikatan, pilihan kata, susunan kalimat dan irama dengan perasaan dan pikiran itu.”[23]

Selain Alisjahbana yang gencar sekali menyuarakan semangat kesusastraan baru,[24] beberapa penulis lain, di antaranya, Armijn Pane, Amir Hamzah, Sanusi Pane, Hoesein Djajadiningrat, Soewandhi, J.E Tatengkeng, juga mencoba membuat rumusan, kriteria, dan ciri-ciri tentang berbagai aspek kesusastraan. Dengan kata lain, para penulis itu secara sadar berusaha pula membincangkan persoalan “teori sastra”.

Armijn Pane dalam artikelnya “Kesoesasteraan Baroe”[25] mengungkapkan panjang lebar mengenai ciri-ciri kesusastraan Indonesia baru dan peranan pujangga (sastrawan) dalam membangun bangsanya. Meskipun artikel itu tidak secara langsung membicarakan teori sastra, setidak-tidaknya ada usaha Armijn Pane untuk menempatkan kedudukan sastrawan dalam masyarakat dan menyodorkan semacam kriteria, bagaimana seorang sastrawan menyampaikan gagasannya secara jujur, sesuai dengan hati nuraninya. “Seorang hamba seni jang sejati adalah hamba soekmanja…. Djadi bagaimana djoea, jang menjanji dalam sadjak, dalam gambaran seorang hamba seni jang sedjati, ialah soekmanja. Seorang hamba seni hidoep dalam masjarakat, djadi seorang achli masjarakat itoe. Ia adalah anak kepada masjarakat itoe, ia adalah gambaran dari pada masjarakat itoe.”[26] Dalam hubungan itulah, sastrawan tidak dapat melepaskan dirinya dari tanggung jawab sosialnya. Ia dapat dipandang mewakili masyarakat, mewakili kebudayaan dan daerahnya, juga mewakili semangat zamannya. “Setiap masjarakat lain seninja, setiap waktoe lain seninja.”[27] Bukankah hal itu pula yang dikatakan Rene Wellek dan Austin Warren, bahwa sastra sering dianggap sebagai potret sosial dan mengungkapkan semangat zamannya. “Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat” (literature is an expression of society).[28]

Selain membicarakan hubungan sastrawan dengan masyarakat, Armijn Pane juga menyampaikan beberapa ciri puisi baru yang menurutnya merupakan bentuk baru dari pantun. “Peodjangga baroe boekan hanja memindjam dari bangsa asing[29] akan menimboelkan vorm baroe, tetapi kami djoega membaroekan vorm jang lama soepaja sesoeai, sehidoep dengan semangat baroe.” Untuk mendukung pernyataannya itu, Armijn juga menyampaikan beberapa ulasan atas puisi-puisi yang muncul pada masa itu. Berikut ini akan dikutip ulasan Armijn Pane yang mengambil contoh kasus sebuah puisi karya Imam Soepardi yang dimuat Soeara PBI, Oktober 1932.

Kalau tidak karena sinar boelan

Tidaklah malam terang tjuatja

Beta termenoeng

Karena bingoeng

Kalau tidak karena kesadaran

Tidaklah kira, poetra bekerdja

Beta berloetoet

Ingin bersoedjoet

Dengan sepandang mata soedah kita ketahoei bahwa ini boekan pantoen, tetapi waktoe membatjanja, tiadalah tersingkirkan perasaan dari pada kita, bahwa ini jalah pantoen. Ritmenja, perasaannja, semangatnja sama dengan pantoen.

Itulah yang dimaksud Armijn Pane sebagai vorm baru, bentuk baru, yang membedakannya dengan pantun. Bukankah yang dilakukan Armijn Pane ini sebagai usaha untuk mengungkapkan ciri-ciri puisi baru dan merumuskan bentuknya sebagai gambaran dari semangat sastrawan pada masa itu? Dalam kerangka pemikiran Barat, bukankah itu termasuk sebagai bagian dari pembicaraan teori sastra?

Artikel lain yang juga memperlihatkan semangat untuk merumuskan kekhasan ciri-ciri kesusastraan Indonesia yang berbeda dengan kesusastraan Barat, dilakukan Prof. Dr. R.A. Hoesein Djajadiningrat. Pada peringatan 9 tahun berdirinya Sekolah Hakim Tinggi di Betawi, Hoesein Djajadiningrat menyampaikan pidatonya yang bertajuk “Arti Pantoen Melajoe jang Gaib.”[30]

Selain menyatakan keheranannya atas pandangan G.H. Werndly yang tidak menyinggung pantun dalam pembicaraannya mengenai sajak dalam bahasa Yunani dan Arab dan memperbandingkannya dengan persajakan Melayu, Hoesein Djajadiningrat juga menolak beberapa pendapat tentang pantun yang dikemukakan William Marsden, John Crawfurd, serta dua sarjana Belanda, W.R. van Hoevell dan L.K. Harmsen.. Menurutnya, Werndly telah salah menyebutkan “Pantun Speelman” sebagai “Syair Speelman”, sedangkan kekeliruan John Crawfurd terletak pada anggapannya yang menyebutkan pantun sebagai teka-teki. Adapun penolakan Djajadiningrat atas pendapat dua sarjana Belanda menyangkut isi pantun yang dalam dua baris pertamanya dikatakan sebagai “memberi keterangan yang bukan-bukan.”

Hal yang juga penting yang dilakukan Djajadiningrat adalah usahanya melacak asal-usul kata pantun. Menurutnya, kata pantun berasal dari perubahan kata paribahasa menjadi paribasan. Kata pari dalam bentuk yang lebih dihaluskan lagi kemudian menjadi pantun. Arti kata itu sendiri adalah umpama, seloka, paribahasa atau kiasan. Jadi, pantun adalah “suatu kuplet yang sebagian mengandung kiasan atau sesuatu yang kurang terang, yang dijelaskan oleh bagian yang lain, tiada peduli apa isinya, meskipun telah selayaknya kiasan yang dipakai demikian mempunyai semangatnya sendiri.”[31] Ia juga menyebutkan ciri-ciri yang melekat pada pantun, yaitu terdiri dari empat baris, tiap baris terdiri dari empat kaki, dan tiap kaki terbagi dua atau tiga suku kata dengan pola persajakan a-b-a-b. Sifatnya khas, karena setelah dua baris pertama, sekonyong-konyong datang perubahan arti kata-kata. Sementara inti pesannya terletak pada dua baris terakhir, yaitu isi suatu klanksuggestie,[32] yaitu bunyi yang memberi penunjuk bagi kedua baris yang akhir.

Ringkasnya, Djajadiningrat menegaskan bahwa pandangan para sarjana Barat cenderung keliru memahami pantun, karena ukuran yang digunakannya tidak lain dari persajakan Barat. Dengan membandingkan pantun dengan parikan dan wangsalan Jawa atau sisindiran dan wawangsalan Sunda, disimpulkan bahwa pantun merupakan puisi khas Melayu yang ciri-cirinya tidak akan dijumpai dalam sajak-sajak Barat. Oleh karena itu, pemahaman ciri-ciri sebuah kuplet disebut pantun atau syair dan syarat-syarat yang menyertainya penting artinya untuk menempatkan kekhasan pantun sebagai bentuk persajakan Melayu yang berbeda dengan bentuk persajakan lainnya.

Dalam Poedjangga Baroe, No. 9, Th. II, Maret 1934, Amir Hamzah juga membicarakan “Pantoen”.[33] Isinya, meski tidak seluas artikel Hoesein Djajadiningrat, menegaskan kembali kekhasan pantun sebagai bagian dari kekayaan kebudayaan Indonesia. “… bentoek pantoen Indonesia jang biasa itoe ja’ni, bahwa ia terdjadi dari empat baris dan doe baris jang diatas itoe pada sekali pandang tiada bersangkoet paoet dengan doea boeah kalimat jang dibawah. Inilah kegandjilannja pantoen Indonesia.” Seperti Djajadiningrat, Amir Hamzah juga mengingatkan, bahwa untuk memahami pantun, “hendaklah kita mengetahoei kehidoepan pikiran serta kesoesasteraan anak Indonesia, maka baharoelah moengkin kita menerangkan sangkoet paoet kalimat pantoen itoe.” Dengan perkataan lain, usaha untuk memahami pantun hanya mungkin dapat dilakukan lebih tepat jika pendekatannya berdasarkan ruh kebudayaan Indonesia sendiri.

Kritik terhadap pandangan para peneliti Barat terhadap pantun, juga dilakukan Intojo.[34] Mengingat begitu banyak terjadi kesalahpahaman dalam memahami pantun, Intojo mengingatkan:

… karena itu bangsa Indonesia mempunjai hak sepenuhnja untuk membanggakan tjiptaan nasionalnja: pantun ketjil jang memantjarkan keindahan jang halus dan menarik; jang mengandung gugusan asosiasi, lambang dan langgam aneka-ragam, jang bersilih-ganti bersahadja dan djelita. Karena itu orang Indonesiaberhak mengharap dari kawan-kawannja bangsa Eropah, supaja mereka menjelidiki pantun itu dan beladjar memahaminja lebih baik dari jang sudah; berbareng dengan itu orang Indonesia berkewadjiban membantunja dalam pekerdjaan jang tidak gampang itu.[35]

Dengan mengutip karangan seorang sarjana Italia, Dr. Giacomo Prampolini yang meneliti pantun dan membandingkannya dengan puisi-puisi berbagai bangsa, Intojo menolak anggapan bahwa pantun: hasil improvisasi (karangan dadakan) dan isinya amoreus (berhubungan dengan percintaan). Menurut Intojo, amoreus justru bukan sifat umum pantun, mengingat ada juga pantun anak-anak, pantun orang tua, dan pantun nasihat yang sama sekali tidak amoreus. Kekeliruan itu terjadi karena pantun dianggap sama dengan persajakan di belahan bumi yang lain yang menggunakan pola a-b-a-b. Jadi, menurut Prampolini, setiap sajak yang berpola a-b-a-b dapatlah dikatakan sebagai pantun.

Uraian Intojo selanjutnya menegaskan bahwa bagaimanapun juga, pantun memang memperlihatkan bentuk persajakan yang khas Melayu (Indonesia) yang justru tidak tidak terdapat dalam persajakan lain di dunia ini. Adanya kemiripan, tidaklah berarti sama persis atau identik. Dalam hal ini, menurut Intojo, pantun memang lahir dari tradisi kebudayaan Melayu (Indonesia). Oleh karena itu, ia punya kekhasannya sendiri yang membedakannya dengan puisi dalam kesusastraan bangsa lain.

Mencermati artikel-artikel tentang pantun yang ditulis Hoesein Djajadiningrat, Amir Hamzah, dan Intojo, tampaklah bahwa ketiganya secara tegas menolak pandangan keliru tentang pantun yang ditulis para sarjana Barat. Pertanyaannya kini: bukankah yang dilakukan ketiga penulis itu menyangkut kritik dan teori sastra, khasnya teori tentang pantun? Mengingat pantun menunjukkan kekhasan persajakan Melayu, bolehlah kiranya kita mengatakan, bahwa pembicaraan dalam ketiga artikel itu merupakan bagian dari pembicaraan teori sastra, khasnya mengenai teori sastra tentang pantun Melayu?

***

Penulis lain yang membincangkan masalah teori sastra, terutama yang muncul dalam majalah Poedjangga Baroe, antara lain, Sanusi Pane,[36] Soewandhi,[37] Armijn Pane,[38] Amir Hamzah,[39] dan teristimewa Alisjabahana.[40] Di antara para penulis zaman Pujangga Baru itu, Alisjahbana yang paling gencar menawarkan gagasan tentang konsep puisi baru. Menurutnya, “letak sari pembaroean poeisi Indonesia adalah hidoep-saktinja kembali perasaan, kembalinja poeisi kepada asalnja, jaitoe djiwa bernjanji.”[41]

Melalui pembicaraan sejumlah puisi yang muncul pada masa itu, Alisjahbana menyimpulkan ciri-ciri umum puisi Indonesia, yaitu: (1) kuatnya suara sukma penyair yang disebutnya dengan frase: djiwa bernjanji. (2) Lirik sebagai curahan kalbu individu penyair. Oleh karena itu juga bersifat individualisme. (3) Munculnya berbagai macam bentuk aliterasi. (4) Kecenderungan kuatnya insiatif penyair untuk memanfaatkan pilihan kata yang tepat. (5) Kecenderungan pengungkapan alam sebagai sumber inspirasi penyair. Meskipun beberapa ciri yang dilihat Alisjahbana menunjukkan adanya kesamaan dengan ciri-ciri romantisisme, tidaklah berarti kesamaan itu identik. Ciri individualisme dan pemanfaatan alam sebagai sumber inspirasi, misalnya, dikatakannya tidak dalam kerangka individualisme yang mementingkan diri pribadi. Dalam hal ini, individualisme yang dimaksud Alisjahbana sebatas pada kekhasan pribadi style penyair yang tercermin dalam karyanya. Sedangkan dalam kehidupan kemasyarakatan, seorang penyair tetap dituntut untuk memberi pencerahan kepada masyarakat. Jadi, ia menolak pendirian seni untuk seni, dan menganjurkan pendirian seni untuk masyarakat.[42]

Sementara mengenai pengungkapan alam sebagai sumber inspirasi bagi penyair didasarkan pada pandangan bahwa kekayaan alam Indonesia telah banyak memberi inspirasi atau ilham kepada para penyair, dan bukan lantaran para penyair itu prihatin pada eksploitasi alam, sebagaimana yang terjadi di Eropa. Dengan demikian, alam sebagai sumber inspirasi penyair Indonesia, justru dalam konteks pengagungan, dan bukan didasarkan pada keprihatinan atas keserakahan manusia memanfaatkan alam.

Demikianlah, para sastrawan zaman Pujangga Baru telah berusaha merumuskan sejumlah konsep atau pengertian yang menurut pengertian Rene Wellek dan Austin Warren, bukankah itu termasuk ke dalam pembicaraan teori sastra. Bahkan di antaranya, sebagaimana yang telah dilakukan Sutan Takdir Alisjahbana, mencoba pula mencari dan menyodorkan estetika puitik terhadap kecenderungan karya-karya sastra, terutama puisi, yang muncul pada masa itu. Pertanyaannya kini: dapatkah tulisan-tulisan itu dimasukkan ke dalam pembicaraan kritik dan teori sastra? Bukankah tulisan-tulisan itu juga menyangkut penyelidikan tentang hal-hal yang berhubungan dengan pengertian sastra, hakikat, jenis, dasar-dasar, kriteria dan berbagai hal tentang itu. Begitu juga apa yang dilakukan Alisjahbana tentang puisi dan Hoesein Djajadiningrat dan Intojo tentang pantun, bukankah pembicaraan yang demikian itu termasuk studi prinsip-prinsip sastra, kategori-kategori, kriteria, dan sejenisnya yang kemudian menghasilkan konsep umum yang berlaku dalam puisi Indonesia masa itu dan konsep umum tentang pantun?

***

Pada zaman pendudukan Jepang (1942—1945), semua kegiatan sastra dan budaya dan semua yang berkaitan dengan kegiatan publikasi, berada di bawah pengawasan Jawa Syimbun Kai, sebuah lembaga sensor pemerintah pendudukan Jepang yang bertanggung jawab atas segala kegiatan yang bersangkutan dengan penerbitan dan pementasan. Dengan begitu, gagasan dan pemikiran mengenai konsepsi sastra dan berbagai hal yang berkaitan dengan itu, juga berada di bawah pengawasan lembaga itu.[43] Meskipun pada masa itu, dalam beberapa suratkabar dan majalah, seperti harian Asia Raja dan majalah Djawa Baroe, kita masih dapat menjumpai artikel-artikel yang membicarakan karya sastra konkret (kritik sastra) atau konsepsi sastra (teori sastra) menurut kepentingan pemerintah pendudukan Jepang, pengaruhnya bagi usaha merumuskan konsepsi sastra sebagaimana yang pernah terjadi pada zaman Pujangga Baru, dapat dikatakan tidaklah cukup signifikan. Oleh karena itu, usaha melihat perkembangan teori sastra pada zaman Jepang, agak payah dilakukan. Walaupun begitu, apa yang dilakukan H.B. Jassin yang berusaha memetakan kesusastraan pada zaman Jepang, sedikit banyak cukup membantu kita untuk memahami model estetik sastra Indonesia pada masa itu.[44]

***

Memasuki dasawarsa tahun 1950-an, pembicaraan mengenai konsepsi (:teori) sastra semarak kembali setelah pada tahun 1947, terbit majalah mingguan Siasat dan Mimbar Indonesia. Pada bulan Maret 1948, majalah mingguan Siasat membuka ruangan kesusastraan “Gelanggang” yang mencerminkan semangat para pengelola rubrik ini untuk mengusung sikap kulturalnya.[45] Pada awalnya fokus pembicaraan dalam sejumlah artikel yang dimuat dalam ruangan “Gelanggang” berkisar pada konsepsi estetik Generasi Gelanggang. Penamaan Generasi Gelanggang sendiri pada akhirnya kalah populer setelah muncul penamaan Angkatan 45.[46] Konsepsi estetik Angkatan 45 inilah yang kemudian hampir mendominasi perbincangan kesusastraan Indonesia pada masa itu.

Dalam majalah Siasat, 22 Oktober 1950, dimuat sebuah dokumen penting yang diberi nama “Surat Kepercayaan Gelanggang” yang bertarikh 18 Februari 1950. Surat Kepercayaan Gelanggang inilah yang kemudian dipandang sebagai sikap dan dasar konsepsi estetik Angkatan 45. Jassin kemudian menafsirkan dan merumuskan konsepsi itu dengan apa yang disebutnya konsep humanisme—universal. Dalam penjelasannya, Jassin mengungkapkan: “Angkatan 45 tidak mengabdi kepada sesuatu isme, tapi mengabdi kepada kemanusiaan yang mengandung segala yang baik dari sekalian isme… Angkatan 45 mempunyai konsepsi humanisme universal.[47]

Penamaan Angkatan 45 dengan konsepsi humanisme universal itu ternyata bukan tanpa masalah. Paling tidak, setelah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) –sebuah lembaga kesenian yang berada di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI) berdiri 17 Agustus 1950, penentangan terhadap penamaan Angkatan 45 dengan konsepsi humanisme universalnya, gencar dilakukan oleh golongan sastrawan Lekra yang mengusung humanisme proletariat. Bagi Lekra, kebudayaan –termasuk di dalamnya kesusastraan—haruslah berpihak kepada rakyat. Dengan demikian, kesenian pun harus berpihak kepada rakyat.

Terjadinya polemik antara kelompok Angkatan 45 dan golongan Lekra pada awalnya justru memberi sumbangan berarti bagi usaha-usaha perumusan konsep-konsep sastra yang dalam kerangka kritik sastra dapatlah dimasukkan sebagai pembicaraan teori sastra. Kondisi itu bertambah semarak saat muncul majalah-majalah kesusastraan. Maka, berbagai pemikiran mengenai teori sastra telah berkembang semarak pada masa itu.

Dalam majalah Indonesia,[48] misalnya, banyak dimuat berbagai artikel mengenai konsep-konsep sastra, seperti hubungan sastra dan politik, definisi dan konsep sastra, masalah angkatan, kriteria sastra pornografi, sastra bertendens, tanggung jawab sosial sastrawan, keindahan dan kebaruan dalam sastra, dan sejumlah artikel lain yang mencoba memberi penjelasan atas berbagai hal yang berkaitan dengan kesusastraan.[49] Puncak pertentangan itu terjadi tahun 1965, ketika Lekra bersama organ PKI lainnya melakukan serangan dan teror terhadap para penanda tangan Manifes Kebudayaan yang mendukung konsep humanisme universal. Itulah masa khaos sastra Indonesia.

***

Pembicaraan mengenai teori sastra, mulai marak kembali setelah kritik dan teori sastra menjadi bahan pengajaran di fakultas sastra. Pengajaran teori dan kritik sastra dalam pengertian kritik ilmiah di Indonesia, seperti dimulai kembali.

Terjadinya kekacauan dalam kehidupan sastra Indonesia awal tahun 1960 sampai tahun 1965, menyadarkan kaum akademi bahwa campur tangan politik dalam kehidupan kesusastraan dan kebudayaan, telah berdampak sangat buruk.[50] Anggapan bahwa penilaian terhadap sastra hanya boleh dilakukan berdasarkan ideologi politik, seperti yang dilakukan sastrawan Lekra,[51] ternyata telah melahirkan kritik tanpa kriteria dan ukuran. Kritik jadinya seperti caci-maki karena tak ada teori yang digunakan sebagai landasan. Penilaian terhadap karya sastra menjadi relatif dan subjektif. Akibatnya terjadi kekacauan dalam kehidupan kesusastraan Indonesia secara keseluruhan.[52] Maka, agar sastra Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara sehat, kritik sastra harus dipisahkan dari kepentingan politik. Ia juga harus didasarkan atas landasan teori untuk menghasilkan penilaian yang objektif sebagai bentuk pertanggungjawaban ilmiahnya.

Sementara itu, praktik kritik sastra yang ditulis sastrawan cenderung menekankan pada kesan subjektif, tanpa menggunakan teori atau ukuran dan kriteria tertentu. Dalam hal ini, berlaku pula anggapan “sepuluh kritikus akan menghasilkan sepuluh penilaian”.

Itulah beberapa masalah yang melatarbelakangi lahirnya kesadaran untuk mencari identitas dan ukuran yang jelas dalam kritik dan teori sastra. Guna mencapai tujuan itu, diselenggarakan Simposium Bahasa dan Kesusasteraan Indonesia, 27 Oktober 1966, yang melibatkan peneliti dan sastrawan. Kegiatan serupa diselenggarakan lagi dalam rangka peringatan penyair Chairil Anwar, 30 April 1967.[53] Selepas terjadi perbalahan mengenai kritik sastra yang diwakili kelompok sastrawan dan peneliti sastra yang diselenggarakan 31 Oktober 1968, perbincangan kritik dan teori sastra menjadi isu penting.[54]

Selepas terjadi polemik antara pendukung kritik ilmiah atau kritik akademis (Aliran Rawamangun) dan pendukung kritik sastra melalui metode ganzheit (Metode Kritik Ganzheit),[55] teori-teori sastra Barat terus mengalir memasuki institusi-institusi pendidikan. Sejak simposium tahun 1968 itu, pengajaran kritik dan teori sastra di FSUI sendiri mulai mendapat perhatian serius dengan mencoba merumuskan prinsip dan ukuran yang boleh digunakan di dalam menilai karya sastra. Sejak itu pula, pengajaran kritik sastra di dalamnya mencakupi pembicaraan teori sastra. Secara eksplisit, dasar pijakan kritik sastra Aliran Rawamangun berlandasan pemikiran strukturalisme, seperti dikatakan Hutagalung. Pusat perhatian utama adalah karya itu sendiri (ergosentris). Maksudnya menempatkan karya sastra sebagai objek kajian. Dengan demikian, maka posisi karya sastra tidak lagi digeser oleh aspek eksternal di luar karya sastra tersebut.

Strukturalisme dan Aliran Kritik Baru (New Criticism) jelas berada di belakang pemikiran Aliran Rawamangun. Meski begitu, para pendukungnya tidak menunjukkan kesamaan sikap dalam menempatkan otonomi sastra dalam hubungannya dengan pengarang. Kritik Jassin, cenderung apresiatif dengan tetap menempatkan keberadaan dan latar belakang pengarang sebagai hal yang penting di dalam usaha memahami karya.[56] Hutagalung masih merasa perlu menggunakan ilmu lain (psikologi) untuk menganalisis karya sastra,[57] dan menempatkan pengarang sebagai bagian penting dalam memahami karya sastra.[58] Hal yang sama dilakukan Boen S. Oemarjati[59] dan J.U. Nasution.[60] Sementara Saleh Saad di dalam kuliah-kuliahnya selalu menekankan agar kritikus tidak berhubungan dengan pengarang jika ia hendak memahami sebuah karya. Jadi, di antara para pendukung Aliran Rawamangun, Saleh Saad yang secara tegas menempatkan karya sastra sebagai kenyataan otonom dan menolak menghubungkannya dengan pengarang.[61]

Tak dapat dinafikan pengaruh Aliran Rawamangun dalam pengajaran teori dan kritik sastra di berbagai universitas di Indonesia. Dengan begitu, teori-teori sastra Barat juga terus mengalir ke berbagai institusi pendidikan. Ada beberapa hal yang mendukung kuatnya pengaruh Aliran Rawamangun ini.

Pertama, adanya penataran-penataran sastra yang diselenggarakan atas kerja sama FSUI dan Pusat Pembinaan dan Pengambangan Bahasa yang pesertanya berasal dari berbagai universitas di Indonesia, telah ikut mempercepat penyebaran pengaruh aliran ini.

Kedua, dimasukkannya mata kuliah kritik sastra menjadi salah satu bagian penting dalam kurikulum institusi pendidikan sastra di Indonesia, telah mengharuskan semua institusi (Fakultas Sastra di berbagai universitas di Indonesia) menyertakan kuliah kritik sastra. Dalam hal ini, mata kuliah kritik sastra menjadi salah satu mata kuliah wajib yang berlaku dalam kurikulum nasional.

Ketiga, diterbitkannya sejumlah skripsi (tugas akhir kesarjanaan) ikut pula mendukung dan mengukuhkan pengaruh kritik sastra Aliran Rawamangun.

Keempat, adanya penyeragaman istilah-istilah di bidang sastra, makin meluaskan penyebaran pengaruhnya.[62] Dalam hal itu, sumbangan Aliran Rawamangun, penting artinya dalam merumuskan istilah sendiri, meski dasar pemikirannya dari teori Barat.

***

Kini perkembangan teori sastra di Indonesia seperti menyerap begitu saja teori-teori sastra dari Barat. Sebutlah, semiotik, feminisme dan gender, sampai sastra populer, cultural studies[63] dan New Historicism.[64] Ada dua hal yang diabaikan: Pertama, sejarah perjalanan pemikiran sastra, di dalamnya tentu saja berkaitan dengan persoalan konsepsi dan rumusan teoretis. Kedua, pemikiran yang berkembang dan tercecer di berbagai media massa. Akibatnya, sejak Aliran Rawamangun memperkenalkan Kritik Baru Amerika dan strukturalisme, teori dan kritik sastra Indonesia seperti berjalan tanpa sejarah.

Sementara institusi pendidikan seperti tersihir mengagumi teori sastra Barat, kita sendiri memang tak dapat mengabaikan keberadaan dan kontribusinya. Meski begitu, membutatulikan diri pada usaha-usaha yang telah dicoba oleh para pemikir kita, juga tidaklah elok. Oleh karena itu, sambil kita mempelajari segala teori sastra dari Barat itu, seyogianya kita juga membuka sejarah dan pemikiran yang tercatat dalam berbagai media massa. Siapa tahu, dari tumpukan sejarah dan ceceran lembaran majalah dan surat kabar, kita menemukan teori sastra yang khas milik bangsa sendiri, seperti yang ditunjukkan Hoesein Djajadiningrat, Amir Hamzah, dan Intojo mengenai pantun.

Dengan demikian, pengenalan teori dan kritik sastra Barat itu, sekadar alat yang boleh digunakan dalam mengenalisis karya-karya sastra Indonesia. Jika tidak cocok, tentu saja kita boleh menggunakan teori lain yang lebih tepat, atau kita cobakan teori yang kita rumuskan sendiri. Paling tidak, usaha-usaha ke arah itu memang sudah pernah dilakukan.

Demikianlah gambaran umum perjalanan sejarah teori dan kritik sastra Indonesia.

Mkl/teori-sastra/msm/28/11/02

Makalah Persidangan Teori dan Pemikiran Melayu, “Menjana Tamadun Melayu” diselenggarakan Dewan Bahasa dan Pustaka Wilayah Selatan Johor Bahru bekerja sama dengan Institut Pendidikan Nasional Universiti Nanyang Singapura dan Dinas Pendidikan Tanjung Balai Karimun, Riau, 12—14 Desember 2002.

CATATAN KAKI

[1]Rene Wellek dan Austin Warren (Theory of Literature (New York: Harcourt, Brace and Company, 1955, hlm. 27), menyebutnya dengantheory of literature sesuai judul bukunya. Istilah literary theory digunakan juga Rene Wellek dalam “Literary Theory, Criticism, and History,” Concepts of Criticism (New Haven and London: Yale University Press, 1967), hlm. 1—20. Boleh jadi istilah ini digunakan untuk memberi tekanan yang sama penting pada tiga bidang ilmu sastra, yaitu teori sastra (literary theory), sejarah sastra (literary history), dan kritik sastra (literary criticism). Dalam istilah yang berbeda, M.H. Abrams (A Glossary of Literary Terms, New York: Holt, Rinehart and Winston, 1981, hlm. 35) menyebutnya dengan theoretical criticism untuk membedakannya dengan criticism. Istilah yang juga digunakan C. Hugh Holman & William Harmon (A Handbook to Literature, New York: Macmillan Publishing Company, 1980, hlm. 502).

[2]Dalam diskusi dan kuliah kritik sastra, misalnya, buku Ann Jefferson & David Robey (Ed.), Modern Literary Theory, (London: Batsford, 1982), dan Terry Eagleton, Literary Theory, (Oxford: Basil Blackwell, 1983), menjadi buku wajib, berdampingan dengan buku Paul Hernadi,What is Criticism (Bloomington: Indiana University Press, 1981), buku David Lodge (Ed.), 20th Century Literary Criticism (London: Longman, 1985), dan buku Rene Wellek, Concepts of Criticism (New Haven and London: Yale University Press, 1967). Dalam hal ini, pengertian kritik sastra di dalamnya mencakupi juga teori sastra.

[3]Wilfred L Guerin, et al (A Handbook of Critical Approaches to Literature, New York: Harper & Row Publishers Inc., 1979), misalnya, menguraikan sejumlah pendekatan yang dapat digunakan dalam penelitian sastra. Di dalamnya disebutkan adanya pendekatan formalistik, psikologi, sosiologi, strutktural, dan feminisme. Jadi, kritik sastra digunakan sebagai alat (pendekatan) untuk melakukan penelitian sastra.

[4]Teori kritik sastra adalah istilah yang digunakan Rachmat Djoko Pradopo untuk menyebut kritik sastra teoretis (theoretical criticism), sekaligus untuk membedakannya dengan kritik praktik (practical criticism) atau kritik terapan (applied criticism).

[5]Subagio Sastrawardoyo, “Mencari Jejak Teori Sastra Sendiri,” Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 53.

[6]Umar Junus, “Teori Sastra dan Kreativitas Sastra,” Mitos dan Komunikasi (Jakarta: Sinar Harapan, 1981) hlm. 8—9.

[7]Istilah ilmu sastra mula diperkenalkan A. Teeuw dalam ceramah-ceramahnya mengenai berbagai penelitian sastra –termasuk teori sastra— di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada dan pada penataran di Tugu tahun 1977. Sebelum itu bidang ini masih sering disebut penelitian sastra atau studi sastra sebagaimana yang digunakan William Henry Hudson (An Introduction to the Study of Literature, London: George G. Harrap, 1922) atau teori sastra jika mengacu pada buku Rene Wellek dan Austin Warren (Theory of Literature, New York: Harcourt, Brace and Company, 1955). Dengan mengambil model penelitian bahasa yang disebut ilmu bahasa atau penelitian terhadap aspek kesenian atau ilmu seni dan estetika, maka bidang yang membicarakan teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra dalam kerangka kegiatan ilmiah dikatakanlah sebagai ilmu sastra. Tulisan-tulisan A. Teeuw itu disusun kembali lebih komprehensif yang kemudian diberi tajuk, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984).

Meskipun demikian, jauh sebelum itu, Amir Hamzah dalam artikelnya, “Kesoesasteraan” (Poedjangga Baroe, No. 12, Djoeni 1934, hlm. 363, dimuat juga dalam Amir Hamzah, Esai dan Prosa, Jakarta: Dian Rakyat, 1982, hlm. 21) memakai istilah “ilmu sastra” dalam konteks kekayaan khazanah kesusastraan Indonesia. Sementara Sutan Takdir Alisjahbana dalam artikel “Kesoesasteraan di Zaman Pembangoenan Bangsa,” (Poedjangga Baroe, Nomor Peringatan Poedjangga Baroe 1933—1938, hlm. 43—60, dimuat juga dalam Sutan Takdir Alisjahbana,Perjuangan Tanggung Jawab dalam Kesusasteraan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1977, hlm. 49—67) menyebut kesusastraan sebagai cabang seni, dan ilmu kesusastraan telah berusaha merumuskan berbagai definisi tentang seni puisi. Jadi, istilah “ilmu sastra” atau “ilmu kesusastraan” menurut Sutan Takdir Alisjahbana, telah muncul sejak zaman Pujangga Baru, meskipun pada masa itu, belum ada kejelasan wilayah cakupan serta rumusan atau definisi mengenai beberapa konsep dan istilah di dalam kesusastraan.

[8]Rene Wellek dan Austin Warren, Theory of Literature (New York: Harcourt, Brace and Company, 1955), hlm. 27. Lihat juga, Rene Wellek, “Literary Theory, Criticism, and History,” Concepts of Criticism (New Haven and London: Yale University Press, 1967), hlm. 1—20.

[9]Ibid.

[10]D.W. Fokkema & Elrud Kunne-Ibsch, Teori Sastra Abad Kedua Puluh, terj. J. Praptadiharja & Kepler Silaban (Jakarta: Gramedia, 1998), hlm. 12.

[11]Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995).

[12]Subagio Sastrowardoyo, “Keterlambatan Kita dalam Teori Sastra,” Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 44.

[13]Ibid., hlm. 45.

[14]Dalam Nomor Peringatan Poedjangga Baroe 1933—1938 yang antara lain memuat artikel Soetan Sjahrir, “Kesoesasteraan dan Ra’jat,” Soewandhie, “Masjarakat dan Bahasa,” Sutan Takdir Alisjahbana, “Kesoesasteraan di Zaman Pembangoenan Bangsa,” dan M. Amir, “Djiwa Poedjangga,” tampak jelas bahwa mereka juga tidak dapat menghindar dari pengaruh Barat. Beberapa konsep dan definisi mengenai sastra, puisi, prosa, pujangga, mereka kutip dari sumber-sumber Barat, termasuk dari karya William Henry Hudson, An Introduction to the Study of Literature, London: George G. Harrap, 1922.

[15]Kritik sastra di Indonesia sesungguhnya sudah dimulai sejak awal tahun 1932 ketika majalah Pandji Poestaka menyelenggarakan sebuah rubrik yang bertajuk “Memadjoekan Kesoesasteraan”. Sutan Takdir Alisjahbana tercatat sebagai salah seorang redaksinya. Dalam rubrik itu, Alisjahbana mengulas puisi-puisi yang dikirim ke majalah itu. Di samping itu, ia juga sering kali menyampaikan pandangannya mengenai pentingnya para sastrawan untuk mengungkapkan gagasannya secara bebas, tanpa harus terikat oleh bentuk-bentuk kesusastraan lama. Dalam Pandji Poestaka edisi 5 Juli 1932, Th. X, misalnya, dimuat sebuah artikel berjudul “Kritik Kesoesasteraan”. Dapat dikatakan, artikel inilah yang pertama secara eksplisit mencantumkan kata “kritik kesusastraan” dalam kritik sastra Indonesia. Dalam perjalanannya, selepas Alisjahbana keluar dari majalah Pandji Poestaka dan bersama Amir Hamzah dan Armijn Pane menumbuhkan majalahPoedjangga Baroe, tulisan-tulisan yang bersifat kritik dan teori sastra, makin ramai bermunculan dalam majalah itu.

[16]Buku A. Teeuw, Sastra Baru Indonesia (Ende: Nusa Indah, 1980), misalnya, sama sekali tidak menyinggung karya-karya sastra yang disiarkan majalah atau surat kabar. Akibatnya, banyak nama sastrawan Indonesia yang luput dari pengamatannya dan tak tercatat dalam buku-buku sejarah sastra Indonesia.

[17]Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Bandung: Bina Cipta, 1976), juga melakukan hal yang sama, yaitu tidak menyinggung khazanah karya sastra dalam majalah atau suratkabar. Dalam hal ini, baik Teeuw maupun Ajip Rosidi mengandalkan objek penelitiannya berdasarkan karya-karya yang telah diterbitkan sebagai buku.

[18]Berdasarkan media dan cara pengungkapannya, kritik sastra dapat dibagi ke dalam dua jenis kritik yaitu (1) kritik akademi atau kritik ilmiah dan (2) kritik sastra umum. Kritik akademi secara ketat menggunakan metodologi dan kerangka teori tertentu, sebagaimana yang disyaratkan dalam penulisan skripsi atau karya ilmiah dan karya kesarjanaan lainnya, sedang kritik umum yang memanfaatkan media massa (surat kabar dan majalah) sebagai wadahnya lebih menekankan pada aspek informasinya yang ditujukan kepada khalayak pembaca yang lebih luas. Dalam kritik sastra umum, kadangkala konsep dan istilah-istilah teknis, terpaksa harus disederhanakan, agar dapat dipahami masyarakat umum.

[19]Kritik sastra aliran Rawamangun adalah kritik sastra yang menekankan segi ilmiah dalam penelitiannya. Kelompok peneliti sastra ini sangat dipengaruhi oleh strukturalisme dan Kritik Baru Amerika (New Criticism). Para pendukung aliran ini diwakili oleh J.U. Nasution, S. Effendi, M. Saleh Saad, H.B. Jassin, M.S. Hutagalung, Boen S. Oemarjati, dan Lukman Ali. Yang dimaksud kelompok peneliti sastra ini adalah dosen-dosen FSUI dan peneliti di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Karena gedung kampus FSUI waktu itu letaknya bersebelahan dengan gedung Pusat Bahasa di kawasan Rawamangun, Hutagalung kemudian menyebutnya sebagai “Aliran Rawamangun”.

[20]Dimuat kembali dalam Sutan Takdir Alisjahbana, Perjuangan Tanggung Jawab dalam Kesusasteraan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1977, hlm. 16—48.

[21]Ejaan dalam kutipan ini disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan. Tampak di sini, Alisjahbana mencoba mendefinisikan konsep puisi. Menurut definisi sastra secara umum, rumusan Alisjahbana itu dapat dimaknai sebagai “gagasan yang lahir berdasarkan pengalaman –langsung atau tidak—ditambah imajinasi yang kemudian diungkapkan dengan bahasa sebagai medianya. Jadi, yang dimaksud perkataan menurut Alisjahbana, dapat dimaknai sebagai “bahasa sebagai medianya.”

[22]Sutan Takdir Alisjahbana, “Puisi Baru dan Lama,” Perjuangan Tanggung Jawab dalam Kesusasteraan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1977, hlm. 36. Dalam artikelnya yang berjudul “Puisi Baru sebagai Pancaran Masyarakat Baru,” yang dijadikan semacam pendahuluan buku Puisi Baru Jakarta: Dian Rakyat, 1975; Cet. 1: 1946), Alisjahbana mengemukakan, bahwa terjadinya pertemuan antara bangsa Indonesia dengan bangsa Eropa, telah membawa perubahan besar dalam cara pandang dan sikap masyarakat, termasuk cara pengungkapan dalam puisi. Itulah salah satu ciri yang kemudian membedakan puisi lama dan puisi baru.

[23]Sutan Takdir Alisjahbana, “Puisi Lama dan Puisi Baru,” Poedjangga Baroe, Djoeli—Agoestoes 1940. Dimuat juga dalam Perjuangan Tanggung Jawab dalam Kesusasteraan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1977, hlm. 79—82.

[24]Beberapa artikel Sutan Takdir Alisjahbana berikut ini memperlihatkan betapa sesungguhnya Alisjahbana telah berusaha membuat semacam teori sastra, khasnya yang berkaitan dengan ciri-ciri dan kriteria kesusastraan baru. Adapun artikel-artikel yang dimaksud adalah sebagai berikut: “Menoedjoe Seni Baroe,” (Poedjangga Baroe, No. 1, Th. I, Djoeli 1933), “Tidak ada jang dinanti,” (Poedjangga Baroe, No. 3, Th. I, September 1933), “Menghadapi Keboedajaan Baroe,” (Poedjangga Baroe, No. 12, Th. I, Djoeni 1934), “Poeisi Indonesia Zaman Baroe,” (Poedjangga Baroe, No. 3, 4, 5, 6, 7, dan 9, Th. II, September, Oktober, November, Desember 1934, Januari dan Maret 1935, No. 1, Th. III, Djoeli 1935, No. 9 dan 10, Th. III, Djanoeari dan Febroeari 1936, No. 3—4, Th. IV, September—Oktober 1936, No. 10, April 1937).

[25]Dimuat secara bersambung dalam Poedjangga Baroe, No. 1, 2, 3, 4, 5, Th. I, Djoeli—November 1933.

[26]Ibid., hlm. 9—10.

[27]Ibid.

[28]Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan, terj. Melani Budianta (Jakarta: Gramedia, 1995), hlm. 109—110.

[29]Yang dimaksud Armijn Pane dengan “memindjam dari bangsa asing” adalah bentuk soneta yang digunakan Muhammad Yamin dan beberapa penyair lainnya waktu itu.

[30]Dimuat secara bersambung dalam Poedjangga Baroe, No. 6, Th. I, November 1933, No. 8 dan 9, Th. I, Pebroeari—Maret 1934.

[31]Ibid., hlm. 197.

[32]Belakangan, ciri-ciri pantun dinyatakan terdiri dari empat baris (larik) yang terbagi dalam dua bagian, yaitu dua larik pertama berupa sampiran, dan dua larik terakhir berupa isi, yang menurut Hoesein Djajadiningrat menyampaikan isi suatu klanksuggestie (citraan bunyi).

[33]Dimuat juga dalam Amir Hamzah, Esai dan Prosa, Jakarta: Dian Rakyat, 1982, hlm. 49—59.

[34]Intojo, “Pantun,” Indonesia, No. 4 dan No. 7, Th. III, April dan Djuli 1952.

[35]Ibid., hlm. 55.

[36]Sanusi Pane, “Menghadapi Kolotisme,” Poedjangga Baroe, No. 3, Th. I, September 1933. Artikel ini lebih menegaskan lagi dukungan sejumlah intelektual Indonesia waktu itu atas penerbitan majalah Poedjangga Baru sebagai salah satu sarana ekspresi bagi pujangga (sastrawan) baru.

[37]Soewandhi (“Mentjari Bentoek Baroe,” Poedjangga Baroe, No. 10, Th. I, April 1934) mengungkapkan terjadinya perubahan berkesenian di Barat saat itu, juga terjadi di Indonesia. Menurutnya, semangat yang melatarbelakangi Poejangga Baroe adalah semangat romantik angkatan 80-an Belanda.

[38]Armijn Pane, “Kesoesasteraan Baroe,” Poedjangga Baroe, No. 1, 2, 3, 4, 5, Th. I, Djoeli—November 1933.

[39]Amir Hamzah, “Kesoesasteraan,” Poedjangga Baroe, No. 12, Th. I, Djoeni 1934, No. 2, 3, 4, 5, 6, 7, Th. II, Agoestoes, September, Oktober, November, Desember 1934, Djanuari 1935. Dimuat juga dalam Amir Hamzah, Esai dan Prosa, Jakarta: Dian Rakyat, 1982, hlm. 21). Meski Amir Hamzah membicarakan kesusastraan Indonesia dalam kerangka masuknya pengaruh kesusastraan Timur ke Indonesia, paling tidak, Amir Hamzah hendak menegaskan bahwa kesusastraan Indonesia tak dapat melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh kesusastraan India dan kesusastraan Timur lainnya.

[40]Selain artikel-artikel yang telah disebutkan dalam catatan kaki 24, Alisjahbana secara khusus mencoba membuat semacam kajian estetik puisi-puisi yang muncul pada zaman itu. Meski sesungguhnya yang dimaksud puisi Indonesia zaman baru lebih merupakan harapan dan cita-cita Alisjahbana sendiri yang begitu menggelora, dalam artikel “Poeisi Indonesia Zaman Baroe,” (Poedjangga Baroe, No. 3, 4, 5, 6, 7, 9, Th. II, 1934, No. 1, Th. III, Djoeni 1935) –beberapa di antaranya pernah dimuat dalam Pandji Poestaka—Alisjahbana mencoba melihat kecenderungan puisi pada masa itu.

[41]Ibid., hlm. 79.

[42]Masalah seni untuk masyarakat dan seni untuk seni itulah yang kemudian melahirkan polemik antara Alisjahbana dan Sanusi Pane. Belakangan, masalah ini muncul kembali pada tahun 1960-an ketika Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat—Partai Komunis Indonesia) menganjurkan seni untuk rakyat dan para penanda tangan Manifes Kebudayaan menolak pendirian itu dan menganjurkan paham seni untuk seni.

[43]Maman S. Mahayana, “Sikap Pemerintah Jepang di Bidang Sastra dan Budaya (1942—1945): Studi Kasus Harian Asia Raja” Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan). Depok: FSUI, 1994.

[44]Periksa Kata Pengantar dan Bagian Pendahuluan buku H.B. Jassin, Kesusasteraan Indonesia dimasa Djepang (Djakarta: Balai Pustaka, 1948) dan Gema Tanah Air (Djakarta: Balai Pustaka, 1948). Dalam Kata Pengantar dan Bagian Pendahuluan kedua buku itu, Jassin mengupas secara mendalam kecenderungan estetik kesusastraan Indonesia pada zaman Jepang dan awal kemerdekaan. Di samping itu, Jassin juga melihat perkembangan kesusastraan Indonesia masa itu dengan membandingkannya dengan kesusastraan zaman Pujangga Baru.

[45]Dalam Mukadimah Anggaran Dasar Generasi Gelanggang dikatakan bahwa “Generasi Gelanggang” lahir dari pergolakan roh dan pikiran yang sedang mencipta manusia Indonesia yang hidup. Generasi yang harus mempertanggungjawabkan dengan sesungguhnya penjadian bangsa ini. Generasi ini hendak melepaskan diri dari susunan lama yang telah mengakibatkan masyarakat yang lapuk dan berani menantang pandangan, sifat dan anasir lama ini untuk menyatakan kekuatan baru. Lihat H.B. Jassin, “Pendahuluan” Gema Tanah Air (Djakarta: Balai Pustaka, 1948), hlm. 12.

[46]Penamaan Angkatan 45 pertama kali dilansir Rosihan Anwar dalam majalah Siasat, 9 Januari 1949, sedangkan menurut Sitor Situmorang, nama Angkatan 45 justru datang dari Chairil Anwar. Lihat Maman S. Mahayana, Akar Melayu (Magelang: Indonesia Tera, 2001), hlm. 184—185.

[47]H.B. Jassin, Angkatan 45 (Djakarta: Balai Pustaka, 1951), hlm. 6.

[48]Majalah Indonesia pertama kali terbit Januari 1950. Majalah yang terbit bulanan ini banyak memuat artikel yang membicarakan konsep sastra dengan berbagai isu aktual mengenai kesusastraan.

[49]Pembicaraan agak lengkap mengenai polemik terhadap sejumlah konsep kesusastraan dalam kaitannya dengan ideologi sastrawan dalam kesusastraan Indonesia tahun 1950-an, periksa Maman S. Mahayana, Akar Melayu, khususnya dalam pembicaraan Bab 4 “Konflik-konflik Ideologis” (Magelang: Indonesia Tera, 2001), hlm. 181—239.

[50]Dalam tahun 1960–1965, kegiatan politik di Indonesia sudah sangat mengganggu berbagai aspek kehidupan kemasyarakatan. Slogan “Politik adalah Panglima” telah menempatkan kegiatan politik lebih penting daripada kegiatan apapun juga. Akibatnya, lapangan kehidupan yang lain, seperti ekonomi dan kebudayaan, termasuk di dalamnya kesusastraan, mengalami kekacauan.

[51]Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) adalah sebuah badan atau organisasi kebudayaan, khasnya kesenian yang berada di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam lapangan kesusastraan, Lekra menganjurkan faham realisme sosialis. Menurut fahaman ini, kesusastraan harus berpihak kepada rakyat. Oleh karena itu, Lekra menganut fahaman seni untuk rakyat dan menentang fahaman seni untuk seni. Penelitian Yahaya Ismail, Pertumbuhan, Perkembangan, dan Kejatuhan Lekra di Indonesia (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1972) mengungkapkan secara lengkap mengenai masalah ini.

[52]Puncak kekacauan itu terjadi ketika Presiden Soekarno, pada tanggal 8 Mei 1964 melarang Manifes Kebudayaan; sebuah pernyataan sikap seniman dan budayawan Indonesia yang menentang keterlibatan politik dalam lapangan kebudayaan dan kesenian. Mengenai pertentangan para pendukung Manifes Kebudayaan dan golongan sastrawan Lekra, selain penelitian Yahaya Ismail, lihat juga D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail, Prahara Budaya (Bandung: Mizan, 1995). Periksa juga Maman S. Mahayana, Akar Melayu (Magelang: Indonesiatera, 2001), hlm. 181–223.

[53]Lukman Ali (Ed.), Tentang Kritik Sastra: Sebuah Diskusi. (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1978), hlm. ix.

[54]Kelompok sastrawan diwakili Arief Budiman, Goenawan Mohammad, Salim Said, dan beberapa sastrawan dari Dewan Kesenian Jakarta. Kelompok peneliti sastra diwakili J.U. Nasution, S. Efendi, Saleh Saad, Jassin, M.S. Hutagalung, Boen S. Oemarjati, dan Lukman Ali. Hutagalung, Op. Cit., hlm. 16–18.

[55]Metode Kritik Ganzheit adalah sebuah metode kritik (seni) yang diajukan Arief Budiman. Menurutnya, Metode Kritik Ganzheit merupakan suatu proses partisipasi aktif dari sang kritisi terhadap karya seni yang dihadapinya. Dalam hal ini, hubungan atara kritikus dengan karya seni melahirkan pertemuan dialogis. Berdasarkan pengalaman estetik terhadap karya seni, kritkus mengungkapkan pengalamannya itu. Lahirlah sebuah kritik seni. Lebih lanjut, lihat Arief Budiman, “Metode Ganzheit dalam Kritik Seni” (Horison, April 1968).

[56]Periksa H.B. Jassin, Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I–IV (Jakarta: Gunung Agung, 1955, 1962, 1967.

[57]M.S. Hutagalung, Jalan tak ada Ujung: Mochtar Lubis (Jakarta: Gunung Agung: 1963).

[58]M.S. Hutagalung, Tanggapan Dunia Asrul Sani (Jakarta: Gunung Agung: 1967).

[59]Boen S. Oemarjati, Roman Atheis Achdiat Karta Mihardja: Suatu Pembicaraan (Jakarta: Gunung Agung, 1962).

[60]J.U. Nasution, Sitor Situmorang sebagai Penyair dan Pengarang Cerita Pendek (Jakarta: Gunung Agung, 1963).

[61]Belakangan diketahui, Saleh Saad sangat mendukung gagasan Roland Barthes mengenai kematian pengarang (“The Death of the Author,” Roland Barthes, Image-Music-Text. London: Routledge, 1977). Mengingat mata kuliah kritik sastra diselenggarakan M. Saleh Saad, maka sejak awal tahun 1970-an sampai awal tahun 1980, pengaruhnya masih sangat kuat bagi mahasiswa peserta mata kuliah ini.

[62]Beberapa istilah yang berhasil dibakukan, di antaranya, istilah Plot menjadi alur, setting menjadi latar, character menjadi tokoh, narrator menjadi pencerita, dll. Buku Panuti Sudjiman (Ed.), Kamus Istilah Sastra (Jakarta: Gramedia, 1986), merupakan contoh salah satu usaha penyeragaman istilah sastra itu.

[63]Memasukkan kajian budaya (cultural studies) dalam pengajaran kritik sastra didasarkan pada pertimbangan pentingnya peranan kritik sastra dalam menganalisis karya sastra dan mengkaitkannya dengan persoalan budaya. Dalam hal ini, karya sastra diperlakukan sebagai salah satu produk budaya. Mengenai materi ini, yang menjadi buku pegangan adalah antologi artikel yang dihimpun John Storey (Ed),Cultural Theory and Popular Culture (New York: Harvester Wheatsheap, 1994) dan karya Tony Bennet, Popular Fiction: Technology, Ideology, Production, Reading (London: Routledge, 1990).

[64]New Historicism adalah sebuah gerakan kesadaran sejarah baru yang muncul sebagai reaksi atas pengaruh New Criticism. Di dalam kritik sastra, New Historicism mencoba memanfaatkan berbagai macam aliran, mazhab, dan teori. Yang menonjol dari aliran ini adalah usahanya untuk memanfaatkan berbagai disiplin ilmu lain (interdisipliner). Dalam pandangan aliran ini, Kritik Baru dianggap telah mengisolasi karya sastra dari segala macam unsur di luar sastra. Mengenai hal ini, lihat H. Aram Veeser (Ed.), The New Historicism (New York: Routledge, 1989).

Seni (tak) Tergantung Anggaran

Asarpin*
http://www.lampungpost.com/

DALAM beberapa bulan terakhir, ada yang unik pada diskusi sastra di Lampung. Beberapa pengarang tampaknya sedang serius merancang sebuah kredo tentang seni dan sastra yang “tergantung pada uang”. Kalau tidak ada anggaran dari pemerintah, maka seni dianggap akan mati. Seniman dan sastrawan mulai berkarya dengan mengharapkan jasa!

Memang, sejak “pahlawan tanpa tanda jasa” disematkan pada para guru, lalu dikritik di mana-mana, sekarang orang malas untuk disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Kalau perlu jadi pengarang dengan puluhan bintang jasa dan bisa kaya raya. Para seniman kemudian mendekatkan diri pada kuasa modal dan mengorbankan integritas seni. Selain itu, upaya menginduk pada negara dianggap sah demi memperoleh suntikan modal.

Menjadi kaya tidak ada yang melarangnya. Saya bersimpati pada Pramoedya walau pun rumahnya sudah mentereng, dan amat mencolok dibandingkan dari rumah-rumah di sekitarnya. Tapi Pram tidak mengemis pada pemerintah. Tidak bikin proposal. Demikian pula Afrizal Malna. Penyair ini mungkin satu-satunya yang sudah punya nama besar dengan menghasilkan ratusan puisi yang mendapat apresiasi luas, tapi sekaligus paling melarat dan sampai sekarang tidak punya rumah. Ia tak punya uang kecuali mengharapkan hasil dari honor tulisan di koran, atau sebagai pembicara dalam diskusi tentang seni.

Dulu Afrizal masih bekerja di UPC Jakarta, dan mengandalkan honor Rp1,5 juta/bulan. Padahal Afrizal adalah salah satu pendiri UPC yang sumbangannya terhadap gerakan kaum miskin kota dengan warna budaya sangat dominan. Waktu kami masih tinggal serumah, beberapa kali Afrizal meminjam uang Rp10 ribu kepada saya untuk beli rokok. Ini cukup sering, tidak hanya kepada saya.

Afrizal sempat juga diselamatkan beberapa wartawan televisi yang memintanya membuat skenario film pendek. Tapi saya tahu betul bahwa Afrizal mau menggarap skenario film itu kalau tidak diatur dan diarahkan si pemesan. Ia ingin membuatnya dengan merdeka, agar bisa tulus.

Maka, agak ganjil kedengarannya kalau seniman dan sastrawan di Lampung meributkan soal anggaran. Kita semua sepakat bahwa pemerintah harus mengalokasikan dana untuk kegiatan seni dan sastra sama sebagaimana mereka memperlakukan politik, bahkan sudah sewajarnya jika perhatian pemerintah lebih terfokus pada soal seni, budaya, dan sastra, karena ini persoalan nilai. “Pada 2010 ini pemerintah harus memikirkan strategi kebudayaan di Lampung,” tulis Iswadi.

Sejak dulu, pemerintah kita memang tidak peka, tidak terbiasa berpikir keras, apalagi mau memikirkan strategi kebudayaan. Sementara senimannya sejak dulu “berkesenian secara melarat”, kata Taufiq Ismail. Tapi terlampau berharap pada gubernur atau wali kota, sekalipun mereka kita dukung saat pencalonan, bisa membuat ketergantungan yang tidak sehat, padahal sejak lama seniman hidup dengan memotong tali pusar ketergantungan.

Lagi pula, apa sih yang sudah dilakukan seniman dan sastrawan Lampung selama ini? Melihat cara-cara mereka mendesak pemerintah untuk memberi dana bagi perkembangan seni dan sastra di Lampung, terkesan mereka sudah banyak jasa dan perlu dihargai, seperti Sutardji dihargai oleh Pemprov Riau.

Sumbangan mereka terhadap perbaikan kualitas masyarakat Lampung tidak terlalu jelas. Selama ini mereka hanya mengharumkan nama Lampung di kancah pergaulan seni dan sastra nasional, tetapi hanya sebatas mengharumkan saja. Apanya yang harum, warganya, tradisinya, bahasanya, menjadi tidak jelas juga.

Kalau saja kegelisahan para seniman dan sastrawan Lampung itu terbit dari hati yang tulus, memikirkan seni dan sastra sampai berdarah-darah, saya sangat bangga. Tapi saya kira, tudingan yang dialamatkan kepada pemerintah selama ini, punya ekor yang panjang. Kritik yang bertubi-tubi kepada pemerintah kadang menyimpan motif yang tidak punya hubungan langsung dengan nasib seni dan sastra di tanah Lampung, tetapi lebih pada mengharapkan dana pribadi.

Munculnya puluhan sastrawan di Lampung dengan karya yang lumayan bagus, dan mendapat apresiasai nasional, justru karena mereka tidak menggantungkan hidup dengan dana dari pemerintah. Jangan-jangan kalau Pemprov atau Pemkot sudah ngasih dana, para seniman dan sastrawan kita akan bernasib sama dengan para aktivis LSM di Lampung yang kehilangan daya kritis. Tidak ada dana dari Pemprov selama ini justru sudah terbukti mampu melahirkan karya-karya dengan capaian estetika yang sip.

Harumnya nama Teater Satu di kancah nasional selama ini hampir tidak ada peran yang berarti dari pemerintah daerah. Anggaran kegiatan Teater Satu dan Kober memang tidak sepenuhnya mandiri, mereka masih menggantungkan dana dari luar. Namun keberadaan dana bagi dua komunitas teater di Lampung itu bukan persoalan pokok dan mendasar. Saya kira akan tetap lahir karya-karya hebat Iswadi dan Ari Pahala sekalipun sudah tidak ada lagi bantuan dari pihak luar.

Demikian pula Isbedy, Arman A.Z., Inggit, Lupita, Oyos, Dahta, dll., mereka sudah terbukti hebat walaupun masih sering melarat. Memang, dalam event atau acara yang tingkatnya nasional atau internasional, para sastrawan kita kadang masih harus buat proposal kepada pemerintah, walaupun akomodasi dan transportasi sudah disiapkan panitia.

Memang, dengan tidak adanya anggaran dari pemerintah, para seniman dan sastrawan kita menjadi pintar bikin proposal. Kepintaran dalam membuat proposal ini nyaris mengalahkan kepintaran para aktivis LSM. Mereka juga pandai membangun jaringan di kantor-kantor pemerintah atau swasta, yang sewaktu-waktu akan mereka “manfaatkan” untuk kepentingan mendapatkan dana. Kelebihan terakhir, adalah: kalau ada momentum pemilihan kepala daerah para sastrawan dan seniman kita menjadi tim sukses, tapi ketika jago mereka menang, hanya pahit yang mereka terima.

Uang benar-benar membutakan banyak orang. Uang juga senjata paling ampuh untuk menggerogoti idealisme para pengarang dan wartawan. Sukses tampaknya cuma bagian yang memperkokoh konspirasi dan harmoni musik dukacita. Para pengarang Lampung senantiasa menjadi biang keladi nasib dan sejarahnya sendiri.

Lagi-lagi saya teringat Pram, terutama satu kalimatnya dalam novel Bukan Pasar Malam: “Hidup di alam demokrasi membuat kita tak perlu menyembah dan menundukkan kepala pada presiden atau menteri atau paduka-paduka lainnya. Sungguh–ini pun suatu kemenangan demokrasi. Dan kita boleh berbuat sekehendak hati kita, tapi kalau kita tak punya uang, kita akan lumpuh tak bisa bergerak. Di negara demokrasi, engkau boleh membeli barang yang engkau sukai. Tapi kalau engkau tak punya uang, engkau hanya boleh menonton barang yang engkau ingini itu. Ini juga semacam kemenangan demokrasi.”

Adakah Pram sedang bicara tentang filsafat uang? Pram bisa jadi berhutang pada ajaran Marx dan Simmel tentang filsafat uang. Dalam salah satu tulisannya, The Capacity of Present-day Jews and Christians to Become Free (1843), yang pernah dikutip St. Sunardi dalam pengantar buku A.B. Widyanta tentang sosiologi kebudayaan George Simmel, kita menemukan gagasan Marx tentang uang. Uang, kata Marx, adalah “Tuhan pencemburu bangsa Israel” (The jealous god of Israel). Tak ada Tuhan lain pun yang boleh ada di hadapan Dewa Uang.

Bisa jadi “uang menurunkan derajat semua Tuhan–dan mengubah mereka menjadi komoditas”, seperti kata Marx yang sekuler. Uang terbukti menjadi nilai dari segala sesuatu yang bersifat umum, dan tidak membutuhkan nilai-nilai lainnya. Oleh karena itu, uang telah merampas nilai kesejatian pribadi, juga merampas nilai sesungguhnya dari seluruh dunia; baik dunia manusia maupun dunia alam. Uang adalah esensi terasing dari kerja dan hidup manusia, dan esensi ini menguasai dirinya saat dia memujanya.

Di sini kita tahu mengapa Georg Simmel (1858–1918) terseret bayang-bayang Marx. Salah satu tesis Simmel terkenal–sekaligus menghubungkan dirinya dengan Marx–adalah tentang segalanya adalah uang. Kalau ini juga yang sedang mengancam para seniman Lampung, maka pilihan kita sekarang tinggal, “Serulah,” kata Asrul Sani: Serulah, supaya jangan ada yang sempat merindukan anggaran dengan mengorbankan ideal-ideal kesenian! Kemudian katakan: “Ia yang hendak mencipta, menciptalah atas bumi ini. Ia yang akan tewas, tewaslah karena kehidupan.”

*) Asarpin, pembaca sastra

POLITIK DALAM NOVEL

HARIMAU! HARIMAU! novel Mochtar Lubis
Penerbit: PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta 1977
Cetakan: Kedua
Gambar Jilid: Popo Iskandar
Tebal : 215 halaman
Peresensi : Abdul Hadi W.M.
http://majalah.tempointeraktif.com/

NOVEL ini termasuk paling banyak dibicarakan di sekitar tahun penerbitan pertamanya (1975) dan mendapatkan pujian, selain beberapa keberatan. Bahkan Yayasan Buku Utama memberikan hadiah pada pengarangnya setelah Harimau! Harimau! terpilih sebagai buku terbaik 1975.

Salah satu keberatan misalnya dikemukakan oleh Jacob Sumardjo. Dikatakannya Mochtar Lubis telah membawa masalah dan tema orang kota, dalam hal ini politik, ke dalam novel yang menggunakan setting rimba raya atau pelosok. Sehingga, katanya, kesan bahwa sastra berkiblat ke kota semata-mata semakin jelas.

Sayang, Jakob Sumardjo lupa akan sifat simbolik yang dipancarkan oleh novel ini. Dunia sastra tidak harus identik dengan dunia nyata. Meskipun sebuah novel mengambil setting dan pelaku orang pelosok tak ada salahnya si pengarang menghidupkan novelnya dengan masalah orang kota.

Novel Mochtar Lubis ini memang novel politik. Sumbernya ditimba dari pengalaman dan kejadian politik terakhir di Indonesia. Namun demikian ia tidak jatuh pada propaganda. Masalah politik digarap dan ditelaah secara halus oleh Mochtar Lubis. Dikembangkan dengan imajinasi dan fantasinya menjadi dunia sastra. Sehingga menimbulkan berbagai tafsir tentang kecenderungan-kecenderungan manusia sebagai mahluk politik dan reaksi serta response-nya dalam situasi yang terjepit.

Mochtar Lubis mengisahkan bagaimana manusia itu berusaha survive di tengah-tengah bahaya tirani, kezaliman dan kesewenang-wenangan. Selain tema anti-kesewenang-wenangan, beberapa tema lain yang berkaitan dengan tingkah laku kekuasaan dan politik di Indonesia yang mendasari novel ini juga ada tahyul atau klenik, pengkultusan individu.

Mochtar Lubis percaya pada kekuatan manusia dan ia bertanggungjawab atas perbuatannya. Manusia harus berjuang untuk memenuhi tuntutannya, kalau perlu dengan kekerasan dan tidak tinggal diam terhadap kezaliman yang merajalela di sekitarnya.

Tulis Mochtar “Setiap orang wajib melawan kezaliman di mana pun juga kezaliman itu berada. Salahlah bagi orang memencilkan diri, dan pura-pura menutup mata terhadap kezaliman yang menimpa diri orang lain. . . besar kecil kezaliman, atau ada dan tak adanya kezaliman tidak boleh diukur dengan jauhnya terjadi dari diri seseorang.” (hal. 214).

Harimau! Harimau! menceritakan tujuh pencari damar. Mereka berbeda dalam umur, sifat dan watak. Berbeda pengalaman, kecakapan dan latar belakang pembentukan pribadinya. Juga berbeda dalam ambisi dan cita-cita hidupnya. Tapi oleh nasib dan profesi yang sama akhirnya mereka bertemu dan membentuk suatu keluarga bersama di tengah rimba raya.

Persamaan kepentingan jelas menjadi motif mula-mula bagi utuhnya persatuan dan persahabatan mereka. Tapi dalam situasi terjepit, ketika sepulang mencari damar mereka dihadapkan pada bahaya harimau lapar, hal-hal yang semula tak tampak kini tampaklah.

Pengarang menampilkan tokoh Wak Katok sebagai manusia yang sewenang-wenang, ingin berkuasa sendiri dan semua usaha dilihat hanya dari kacamata kepentingannya sendiri. Begitulah ketika tiga orang kawannya telah mampus diterkam harimau, dia dilanda ketakutan dan hanya menginginkan dirinya selamat, dengan harapan: orang kampung nanti menyebut dia pahlawan, satu-satunya orang yang sakti.

Lebih-lebih karena dia mempunyai dan memegang senapan di antara rombongan tujuh itu, meskipun yang berhasil ditembak bukan harimau lapar yang membahayakan, tapi Pak Haji kawan seperjuangannya sendiri yang jujur dan tak punya pretensi apa-apa di antara mereka bertujuh.

Di bagian akhir dari novel yang mencekam itu, Mochtar Lubis menampilkan Buyung dan Sanip, yang termuda di antara mereka, sebagai tokoh pejuang yang murni dan berhasil merebut senapan dari tangan Wak Katok serta membunuh harimau yang mau menerkam mereka untuk kesekian kalinya.

Di bagian akhir novel inilah ketegangan dan konflik memuncak dan bersamaan dengan itu masalah politik yang hendak ditampilkan Mochtar semakin terasa menonjol. Tentang Wak Katok, profil politikus yang hanya ingin mengambil keuntungan dari hasil perjuangan orang lain / kawan-kawannya dan kalau perlu melemparkan kawan seperjuangannya yang dianggap berbahaya bagi kepentingan kekuasaannya.

Mochtar Lubis menulis “Dahulu ketika berontak dia selalu berlindung di belakang kawankaannya. Dan jika keadaan telah mereka kuasai, maka dialah yang mulai membunuh, merampok atau memperkosa.” (hal 152).

Pelukisan Mochtar Lubis mengenai setting, kejadian, perwatakan tokoh dan pembatinannya memukau, meskipun dia belum lepas dari gaya penulisan jurnalistiknya, yang lebih bersifat terus terang, sehingga bahasa masih kelihatan kasar.

Seperti novel Mochtar yang lain, novel ini belum lepas dari sifat yang terlalu mengajar, terutama di bagian akhir. Suatu bagian yang dimaksudkan sebagai bagian yang berisi uneg-uneg dan kritik Mochtar terhadap pola kekuasaan di negerinya selama ini, serta harapan dan cita-cita kemanusiaannya melawan praktek politik yang kotor.

Harimau! Harimau! jelas merupakan novel Mochtar Lubis yang terbaik, di samping Jalan Tak Ada Ujung. Masalah yang dikemukakan begitu aktuil dan menarik. Dibandingkan dengan Senja di Jakarta dan Maut dan Cinta-nya, meskipun sama-sama novel politik, Harimau! Harimau! mempunyai banyak kelebihan.

Bukan dalam plot, tema, penokohan dan perwatakan, tapi dalam pendalaman dan penyajian masalah dan gaya berceriteranya.

Di sana Mochtar tidak terlalu banyak mengajar pembacanya dengan menjejalkan buah pikiran dalam dialog tokoh-tokohnya, tapi lebih-lebih melukiskan persoalan dengan perbuatan tokoh dalam kerangka suatu situasi.

25 Maret 1978

Pesantren, yang unik yang benar

Abdurahman Wahid
http://majalah.tempointeraktif.com/
TRADISI PESANTREN
Penulis: Zamakhsyari Dhofier,
Diterbitkan: LP3ES, Jakarta, 1982,
192 halaman, indeks, tabel-tabel dan ilustrasi.

BUKU ini ditulis dalam bahasa Indonesia, dari disertasi yang diajukan penulisnya kepada Australian National University. Sebagai hasil penelitian lebih sepuluh bulan di dua pesantren di Jawa, ia mencoba memperlihatkan ‘wajah sebenarnya’ pesantren tradisional — lebih tepat lagi yang masih mampu mempertahankan sisa-sisa tradisionalismenya — di hadapan perubahan yang dibawakan proses modernisasi.

Bertolak dari titik berangkat seperti itu buku ini dimulai dengan penggambaran latar-belakang historis pesantren, terutama dalam pembentukan ‘tradisi keilmuan agama’ di dalamnya. Dalam bagian pendahuluan itu dibetulkan kesalahan konsepsi dalam meneropong ‘kaum tradisionalis’ selama ini. Berbagai pendapat yang sekarang masih banyak diterima dan diikuti, dalam bagian ini disanggah. Benar atau tidaknya sanggahan-sanggahan itu akan ditentukan kemudian dalam dialog yang tidak pernah berkeputusan di dunia ilmu.

Setelah itu penulis mulai membedah pesantren, dengan menggambarkan fungsi unsur-unsur utamanya dalam sistem ‘kehidupan pesantren’: pondok, masjid, pengajaran kitab kuno, santri, kiai. Fungsi kelima unsur utama itu, yang saling mendukung dan membentuk kebulatan antara mereka sendiri, ditunjukkan secara terperinci.

Walaupun tidak tuntas (exhaustive), deskripsi kelima unsur utama itu dalam fungsi masing-masing dan fungsi bersamanya memberikan gambaran akan kekayaan kultural yang terkandung dalam cara hidup yang diikuti pesantren tradisional. Setelah itu, dalam bab III dikemukakan kajian mendalam atas salah satu wajah menarik kehidupan pesantren, yang memberikannya kekuatan besar untuk bertahan hingga saat ini: hubungan intelektual dan hubungan kekerabatan sesama kiai.

Bagian itu, selain mencatat pola-pola besar kedua jenis hubungan itu, yang ke duanya juga bertali satu sama lain, meninjau pula sebuah kasus tersendiri sebagai penampilan salah satu keunikannya peranan K.H.M. Hasjim Asj’ari dari Tebuireng, Jombang, sebagai ‘godfather’nya para kiai pesantren di Jawa abad ini.

Cukup menangkap keunikan tersebut, walaupun judul sub-bagiannya terasa agak bombastis: peranan Hadratus-Syekh dalam perkembangan Islam di Jawa. Bab IV memuat gambaran deskriptif tentang pola kehidupan di dua buah pesantren. Satu sebagai ‘wakil’ pesantren besar, yaitu Pesantren Tebuireng di Jombang. Yang lain pesantren ‘kecil’ Tegalsari di Jawa Tengah, yang dijadikanprototip jenis itu. Walaupun deskriptif, tidak urung bab ini memuat gambaran lumayan juga tentang proses perubahan yang sudah mulai (?) memasuki dunia pesantren tradisional saat ini.

Menarik sekali adalah gambaran tentang cara Kiai Syamsuri Tebuireng menjawab serangan orang luar (yang justru alumni pesantren tersebut) atas kebijaksanaan Tebuireng membuka fakultas untuk santri wanita. Dua bab setelahnya melihat beberapa fenomena menarik dalam perkembangan kehidupan kaum muslimin tradisional saat ini di Jawa. Yaitu yang terjadi dalam hubungan kiai dan tarekat, serta dalam pengertian yang mereka miliki tentang paham ahlussunnah wa jama’ah (sering disebut ‘aliran sunni’, untuk membedakannya dari ‘aliran syi’i).

Disebut ‘pengertian mereka’, karena apa-yang muncul memang pengertian yang khusus berlaku di lingkungan mereka, yang akhirnya mewarnai tradisionalisme mereka. Bab terakhir meninjau masalah-masalah utama yang dihadapi para kiai, dan dengan sendirinya pesantren yang mereka pimpin, dalam kehidupan bangsa Indonesia saat ini. Yang menarik dalam bahasan ini adalah implikasi kenyataan, bahwa kiai tidak mau membuang kerangka besar tradisi keilmuan yang mereka anut selama ini, walaupun banyak sekali perubahan fundamental mereka lakukan atas aspek-aspek tradisi keilmuan itu sendiri (hal. 175).

Baik kemungkinan peningkatan keadaan pesantren maupun masalah dan tantangan yang timbul dari keadaan di atas, dikupas secara singkat. Walaupun tidak berpretensi telah ‘menghabiskan’ masalah yang perlu dibahas tentang hubungan pesantren dan masa kini serta masa depan, tinjauan sepintas itu terasa sudah memadai sebagai uraian perkenalan.

Kekayaan buku ini terletak dalam pcnggambarannya yang serba apa adanya tentang tradisi pesantren. Termasuk ilustrasi cara orang pesantren membaca teks Arab kuno dengan ‘model terjemahan’ mereka sendiri yang masih menggunakan metode kuno ‘utawi-iki’, yang di masa lampau sering diserang sebagai kebekuan dan kekolotan.

Ternyata, sebagaimana disimpulkan Zam Dhofier, cara itu memiliki dimensi yang mendalam. Tradisi pesantren, yang belum tentu diterima sebagai tradisi pesantren oleh sebagian pesantren modern, muncul dalam kebulatan dan keutuhannya. Memang ada pengulas yang menyerang pendekatan itu sebagai upaya menghidupkan fosil yang sudah hampir mati, dan bahwa tokoh-tokoh muda pesantren justru membawa penampilan tidak tradisional — bahkan meninggalkan pesantren.

Namun pengetahuan akan tradisi yang sudah mapan (betapa sekaratnya sekalipun tradisi itu sendiri dihadapan ‘kekinian’) secara mendalam, akan memberikan persambungan historis yang memungkinkan kita menatap masa depan dengan pengetahuan pasti. Demikian pula yang dilakukan Zam Dhofier, yang begitu digilakan oleh pesantren. Tidak ada yang salah dalam hal itu, karena pesantren toh tidak akan pernah hidup dalam keadaan hampa-perkembangan-historis.

Juga tidak akan pernah mengalami pertumbuhan yang serba meloncat-loncat, tanpa persambungan yang jelas. Tidak, jika tradisi itu sendiri dimengerti dengan baik. Kalau jawabannya ya, berarti hari-hari hidup pesantren akan berakhir dalam waktu tidak lama.

28 Agustus 1982

Dokumentasi Ingatan Peristiwa Priok

Rojil Nugroho Bayu Aji
http://oase.kompas.com/

Kekerasan yang dilakukan oleh perangkat negara pada saat rezim berkuasa seringkali sulit untuk diungkap. Jangankan masuk dalam ranah hukum, membicarakan peristiwa itu seakan menjadi tabu dan bahkan membahayakan bagi diri seseorang yang membicarakannya. Imbas dari pembicaraan itu bisa saja berujung penangkapan oleh aparat keamanan dan diinterogasi secara psikis, dimasukkan penjara, atau bahkan mendapatkan stigma buruk dari masyarakat.

Bagaikan orang yang jatuh kemudian tertimpa tangga, mungkin ungkapan ini dapat mewakili bagaimana nasib korban peristiwa kekerasan Tanjung Priok yang terjadi pada 12 September 1984. Peristiwa Tanjung Priok yang terjadi ketika orde baru berkuasa, sengaja diwacanakan secara samar-samar dan simpang siur. Ketika Peristiwa ini terjadi, hampir tidak ada pertanyaan atas peristiwa tersebut bagi ormas ataupun LSM. Beritanya pun tidak banyak keluar di media massa karena begitu kuatnya kontrol negara terhadap arus informasi.

Namun demikian, ingatan tentang peristiwa Tanjung Priok tidak begitu saja lenyap. Bagi korban kekerasan atas peristiwa tersebut, ingatan tentang masa lalu itu mengendap dalam bentuk trauma. Kemudian, trauma itu bisa juga menghantui korban. Sedangkan bagi para pelaku, peristiwa Tanjung Priok bisa menjadi ingatan yang ingin segera dilenyapkan. Kalaupun tetap teringat, maka hal itu diingat dengan bentuk pembenaran atas terjadinya peristiwa Tanjung Priok tersebut.

Seiring reformasi dan tumbangnya rejim orde baru di tahun 1998, ingatan tentang peristiwa Tanjung Priok kembali mengemuka. Para korban lantas mengingat kembali dan melakukan perjuangan agar para pelaku dapat diadili karena peristiwa ini dianggap sebagai kejahatan HAM. Hal inilah yang ingin diungkapkan oleh Wahyudi Akmaliah Muhammad dalam bukunya yang berjudul Menggadaikan Ingatan, Politisasi Islah dalam Kasus Priok ini. Wahyudi Akmaliah, paling tidak juga mencoba menjelaskan bagaimana duduk persoalan peristiwa Tanjung Priok sampai munculnya islah.

Bagi korban peristiwa Tanjung Priok, ingatan atas kekerasan bisa menjadi obsesif. Apabila hal ini dibiarkan, maka bisa menjadi dendam karena ingatan bukan sekadar jejak dalam diri korban. Hal ini merupakan goresan yang secara mekanis terus melekat dan dikenali. Imbasnya, seseorang tidak akan bisa bicara masa depan apabila masa lalunya tidak tuntas dan tidak jelas. Dengan teori Maurice Halbwach, penulis mengantarkan pembaca kepada pembentukan identitas kedirian yang ditentukan oleh relasi antara individu dan yang lainnya. Relasi inilah yang menopang kelengkapan ingatan, namun bukan berarti ingatan individu dengan individu lainnya ketika dijumlahkan akan menjadi narasi besar sebagai ingatan kolektif.

Kemudian terkait masalah struktur dirkusif dalam buku ini, penulis menggunakan teori Foucault di mana pandangan terhadap objek itu dibentuk dalam batas-batas yang telah ditentukan. Sejumlah praktik diskursif menyebabkan persepsi terhadap objek yang dibentuk, dibatasi, dan dikontrol menjadi sesuatu yang benar sehingga realitas yang dihadirkan merupakan wacana yang sesuai dengan kehendak orang atau institusi yang membentuknya dengan pembentukan wacana tertentu. (hlm. 16-19)

Selanjutnya, Wahyudi Akmaliah juga menunjukkan bagaimana narasi masa lalu peristiwa Tanjung Priok dibentuk. Kontestasi wacana peristiwa Tanjung Priok ketika orde baru dimenangkan oleh rejim negara yang berkuasa. Selama berkuasa, wacana dominan yang dibangun oleh orde baru kepada publik bahwa peristiwa Tanjung Priok bukan hanya konflik antara militer dengan masyarakat muslim, melainkan sebuah upaya untuk mengganggu stabilitas negara atas nama islam. Para pelaku yang terlibat dalam peristiwa itu dituduh melakukan huru-hara.

Sedangkan para tokohnya seperti Amir Biki dianggap melakukan tindakan subversif. Penangkapan juga dilakukan kepada keluarga korban yang menanyakan hilangnya sanak saudara mereka ketika peristiwa itu terjadi. Sejalan dengan penangkapan itu, media massa dikendalikan oleh negara melalui pemberitaan yang bersumber dari Panglima ABRI/Pangkobkamtib Jenderal TNI L.B. Moerdani. Implikasi pemberitaan tunggal itu menjadi sebuah stigmatisasi bahwa seseorang yang terlibat dalam peristiwa Tanjung Priok dan terutama korban dan keluarga korban adalah PKI, Gerakan Pengacau Keamanan, islam radikal. Salah satu stigma itu adalah dengan didaftarnya nama-nama mereka yang terlibat di pelbagai instansi sebagai orang yang dianggap menentang negara.

Tidak lupa buku ini menjelaskan tentang artikulasi ingatan korban setelah era reformasi. Suara-suara korban yang selama ini terbungkam menurut Wahyudi Akmaliah tidak begitu saja senyap. Para korban, meskipun tidak bisa bersuara justru membangun dan mengokohkan ingatan mereka melalui beberapa cara di antaranya adalah melalui ritus tahlilan, memoar dan dokumentasi berupa tulisan tentang peristiwa Tanjung Priok.

Setelah memelihara ingatan, para korban juga melakukan aktualisasi dalam bentuk meminta pertanggung jawaban untuk penuntasan kasus kekerasan HAM atas peristiwa Tanjung Priok. Lewat Yayasan 12 September 1984, Sontak (solidaritas nasional untuk korban priok), Kompak (komite mahasiswa pemuda anti kekerasan), serta dibantu oleh pegiat kemanusiaan untuk membawa kasus ini ke pengadilan. Ketika pemerintahan Abdurrahman Wahid, kasus ini diangkat ke pengadilan HAM Ad Hoc yang mana di era Habibie terbentur dengan pembentukan tim pancari fakta oleh Fraksi Golkar dan Fraksi ABRI. Sejumlah nama terseret ke pangadilan di antaranya adalah L.B. Moerdani, Try Soetrisno (mantan Pangdam Jaya), Rudolf Butar Butar (mantan Dandim Jakut), Alif Pandoyo (mantan asisten operasi Kodim Jakarta).

Namun, menurut Wahyudi Akmaliah, sangat disayangkan karena sebelum kasus itu disidangkan telah muncul wacana islah yang ditawarkan oleh pelaku sebagai jalan damai yang mengakibatkan retaknya solidaritas korban dalam penuntasan kasus ini di pengadilan. Tanggal 1 Maret 2001 di masjid Sunda Kelapa Jakut, perjanjian damai lewat islah antara pelaku ditandangani sebagian besar korban peristiwa Tanjung Priok yang diwakili oleh tim tujuh.

Lebih jauh, menurut Wahyudi Akmaliah, islah ini merupakan salah satu bentuk siasat para korban yang pro islah agar mendapatkan kompensasi dengan memanfaatkan identitas sebagai korban. Korban pun memerlukan biaya hidup sehari-hari sehingga kelompok yang pro islah menerima kompensasi dari Try Soetrisno dan Rudolf Butar Butar. Sedangkan pandangan dari kelompok yang kontra dengan islah memberikan argumentasi yang berbeda. Bagi korban dan keluarga yang kontra islah, penolakan itu bukan berarti tidak setuju dengan konsep islah dalam islam.

Namun, konteks islah yang ditawarkan tidak sesuai dengan konsep islam itu sendiri yakni tidak ada pengungkapan kebenaran atas kesalahan yang dilakukan pelaku, pengungkapan kebenaran tersebut juga harus disampaikan oleh satu lembaga yang ditentukan negara. Jadi, kejujuran pelaku menjadi syarat dasar dilakukannya islah. Kebutuhan materi memang diperlukan dalam hidup, akan tetapi bukan berarti harus menggadaikan harga diri.

Dengan demikian menurut Wahyudi Akmaliah, ingatan tentang peristiwa masa lalu dalam kasus peristiwa Tanjung Priok ini bukanlah sesuatu yang tunggal dan sekadar rekaman jejak masa lalu, melainkan memiliki interpretasi rekonstruksi yang menanamkan beragam narasi, sejumlah asumsi, pembentukan wacana, dan juga konteks sosial mengenai ingatan itu sendiri. Sesama korban peristiwa Tanjung Priok yang sama-sama pernah didehumanisasi oleh orde baru, namun cara penyikapan terhadap hal itu memiliki perbedaan. Bagi korban yang kontra islah, keadilan harus diperjuangkan sebagai upaya memulihkan rasa sakit selama bertahun-tahun. Keadilan merupakan jalan untuk berdamai dengan masa lalu. (hlm. 131-164)

Alih alih untuk berdamai dengan masa lalu, islah dengan kompensasi uang mulai 2 juta sampai 300 juta yang diterapkan dalam peristiwa Tanjung Priok justru memproteksi para pelaku dan merupakan bentuk pengaburan dalam penuntasannya di ranah hukum dan peradilan. Islah tersebut mengakibatkan adanya keterangan yang berbeda antara Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan kesaksian di pengadilan. Dalam BAP, korban yang pro islah masih terlihat memberatkan pelaku. Namun, ketika di persidangan justru mengamankan posisi pelaku.

Hal ini berimplikasi pada putusan pengadilan HAM Ad Hoc. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum untuk menghukum para pelaku yang bertanggung jawab atas peristiwa itu akhirnya tidak kuat karena kesaksian di pengadilan tidak ada yang memberatkan pelaku sehingga hakim menyatakan terdakwa (pelaku) tidak bersalah. Kalaupun ada yang terbukti, dalam tingkat kasasi para pelaku bisa dibebaskan. Inilah impunitas yang diberikan sendiri oleh korban yang pro dengan islah.
Akhirnnya, buku yang ditulis oleh Wahyudi Akmaliah ini merupakan salah satu bentuk untuk mengabadikan dokumentasi ingatan pada peristiwa Tanjung Priok. Buku ini merupakan bentuk sebuah situs dan suatu cara untuk memelihara ingatan masa lalu dan bahkan pelepasan beban masa lalu dengan cara mengangkatnya ke publik. Dan buku ini dihadirkan oleh Wahyudi Akmaliah sebagai dokumentasi untuk memelihara ingatan tentang seluk beluk peristiwa Tanjung Priok yang mengorbankan ratusan manusia tak bersalah sampai penggadaiannya dengan cara islah yang bersifat politis dan pragmatis untuk mendapatkan kompensasi berupa materi.

Judul Buku : Menggadaikan Ingatan, Politisasi Islah dalam Kasus Priok
Penulis : Wahyudi Akmaliah Muhammad
Penerbit : Syarikat
Cetakan : 2009
Tebal : xxxii + 202 halaman, 14 x 21 cm

R.N. Bayu Aji, Penulis buku, Mahasiswa Pasca Sarjana Program Sejarah UGM. Peneliti HISTra (History Institute for Society Transformation).

Membaca Yang Belum Ter-eja

Judul : 111 Konspirasi Yang Menghebohkan Dunia
Penulis : Jamie King
Penerbit : Raih Asa Sukses (Penebar Swadaya Grup)
Tahun : I, 2010
Tebal : 336 halaman
Harga : Rp49.000,-
Peresensi : M Abdullah Badri
http://www.koran-jakarta.com/

Buku ini membuat saya merekonstruksi keyakinan, minimal meragukan kepercayaan atas beberapa tragedi yang pernah menyedot perhatian dunia. Sederet peristiwa yang pernah menggemparkan dunia diulas Jamie King dalam buku ini. Dia menyebut, tatanan dunia sekarang ini penuh rekayasa konspirasi untuk menjadikan pihak-pihak tertentu bisa dikendalikan secara politis; demi reputasi, eksploitasi ekonomi, hegemoni budaya dan politik.

Namun, se-logis apapun penjelasan dan se-rasional apapun argumentasi yang dihantarkan, konspirasi tetaplah misteri. Ia tidak bisa dibuktikan secara nyata serta tidak diakui kredibilitasnya kecuali hanya sebatas yakin dan percaya. Anda tidak wajib mengamini apa yang tertulis dalam buku 111 Konspirasi Menghebohkan Dunia ini.

Misalnya, misteri kematian Lady Diana. Banyak orang percaya kalau pewaris takhta kerajaan Inggris itu tidak meninggal karena kecelakaan. Kematiannya dikaitkan dengan hubungan cinta Putri Diana dengan pria keturunan Arab, Dodi Al-Fayed, yang beragama Islam. Tidak mungkin kerajaan Inggris diwariskan kepada keturunan Arab. Maka, dia harus disingkirkan. Tenggelamnya kapal Titanic juga dipertanyakan.

Bila masyarakat luas mengatakan kapal tercanggih pada zamannya itu tenggelam akibat terbentur gunung es di dasar laut, Jamie King menunjukkan bahwa kapal tersebut sebetulnya tertembak terpedo kapal selam milisi Jerman. Menabrak gunung es hanya alasan untuk menutupi dosa militer itu. Soal tsunami Aceh juga tak luput dari 111 konspirasi yang dibahas.

Sumber resmi mengatakan bencana yang menelan 200 ribu jiwa itu murni kejadian alam. Tapi, penulis buku ini memaparkan tragedi tsunami itu direkayasa. Amerika disinyalir meledakkan bom nuklir di dasar laut Aceh untuk meluluhlantakkan serambi Mekah agar kelak dapat menguasai kekayaan sumber daya alamnya. Seorang pria yang kini tak diketahui rimbanya, pernah menemukan adanya bahan uranium pascabencana.

Bukti lain yang menguatkan argumentasi penulis adalah segera diterjunkannya 2000 tentara Amerika ke Aceh untuk merehabilitasi kehidupan pascabencana. Apa para serdadu sebesar itu mukim di Aceh tanpa misi? Peristiwa pendaratan manusia di bulan juga konspiratif. Kalau memang benar kejadian itu fakta, mengapa kini tidak ada lagi manusia yang “melancong” wisata ke sana. Diduga juga, Michael Jackson hingga kini masih hidup.

Kematiannya direkayasa agar Jacko bebas dari lilitan utang dan beban pajak yang mencapai miliaran dolar AS. Beberapa orang melihat Jacko segar bugar pada hari kematiannya. Kita pun tidak pernah melihat tayangan mayat di media kalau memang tubuh Jacko telah jadi mayat. Percaya atau tidak, itu pilihan Anda. Buku ini hanya membaca yang belum ter-eja.

*) Pengelola Rumah Digital IAIN Walisongo Semarang

Puisi Mahasiswa: Politik Bahasa dalam Ruang Reproduksi Kesenjangan Sosial*

Abdul Aziz Rasjid
http://sastra-indonesia.com/

Di kampus ini/ Telah dipahatkan / Kemerdekaan.
Segala déspot dan tirani/ Tidak bisa merobohkan/ Mimbar kami.

“Mimbar”, Taufiq Ismail

Dalam lirik-lirik yang menandakan keyakinan itu; mimbar bernama kampus yang saya imajikan sebagai panggung kecil —tak panjang & tak lebar— tak jarang dipahami sebagai pusat diwujudkannya independensi akal pikiran dalam bentuk aneka ragam pendapat. Walau kecil —mengingat kampus sekadar bagian dari sistem yang luas, bercabang-cabang yang kita kenal sebagai Negara— tetapi kampus di negeri ini memiliki sejarah panjang dan mengagumkan dalam melaksanakan jiwa berlawannya untuk merobohkan penguasa tunggal yang sekendak hati menyebarluaskan penyengsaraan bagi rakyat.

Pandangan itu memang wajar adanya, apalagi bila mahasiswa diletakkan dalam posisi idealnya dalam sifatnya yang edukasional. Kampus sebagai ruang pendidikan adalah salah satu fasilitas di mana putra-putri bangsa dapat melatih diri untuk mengasah lau mengemukakan suatu gagasan yang logis, menanggapi problem-problem sosial secara kritis dan mentradisikan kebiasaan untuk mempelajari sesuatu untuk kemajuan diri serta sosialnya sehingga dapat membentuk identitas berdasar dari olah pikir kognisi sendiri. Sebab pada mulanya dan idealnya kampus memang diperuntukkan agar rakyat menjadi tak mudah dibodohi.

Dari pandangan umum itu, mungkin jiwa penyair sebagai salah satu rupa mahasiswa dan puisi sebagi salah sebuah rupa suara bertolak dari nasib sendiri lalu bersatu dengan nasib semesta. Duka sendiri itu lantas dipahami sebagai suatu Weltshmerz atau duka semesta. Di dalam keadaan khusus, ketika kesuraman-kegalauan merajalela, penyair dihadapkan untuk melibatkan diri pada masalah-masalah sosialnya, cita-cita dan perjuangannya. Sebab nasib sendiri telah dirasa identik sebagai bagian dari nasib besar masyarakat. Dan puisi sebagai produk budaya tentu tak bisa lepas dari kondisi sosio-ekonomi suatu bangsa

Sebab itulah, perhatian pada masalah aku lantas beralih pada masalah kita. Dan Sajak-sajak perlawanan Taufiq Ismail mengarah pada ke-kita-an itu, pada taraf ke-kami-an, hasil endapan dari pengalaman fisik, mental dan emosional selama penyertaannya dalam demonstrasi mahasiswa di tahun 60-an.

Singkatnya, begitulah Subagio Sastrowardojo memberi kupasan dan tanggapan atas sajak-sajak Taufiq Ismail yang terhimpun dalam kumpulan Tirani (1966) dan Benteng (1996, cetakan kedua 1968) dalam esainya yang berjudul “Sadjak-sadjak Perlawanan Taufiq Ismail dan, Angkatan 66” . Walau dalam akhir esai itu, Subagio Sastrowardojo menuliskan bahwa sajak-sajak perlawanan itu belum cukup memenuhi syarat dan nilainya untuk memberikan arah baru pada perkembangan sastra Indonesia. Tapi, di sisi yang lain, Subagio percaya bahwa sajak-sajak itu setidaknya telah mencatat sejarah perjuangan anak bangsa dalam menegakkan kebenaran, keadilan, kemanusiaan dan kemerdekaan.

Dengan keyakinan yang sama, bahwa sastra tak bisa lepas dari kondisi sosio-ekonomi suatu bangsa atau lingkungannya. Dalam esai ini, saya mencoba meletakkan puisi-puisi yang terkumpul dalam Syair-syair Fajar (Mimbar, 2007) dalam realita sejarahnya. Sekaligus upaya sederhana untuk mentafsir pandangan-pandangan mereka, entah sosial-ekonomi-politik maupun budaya yang narasinya bertitik sentral pada masalah-masalah sosial atau lebih menarik lagi menemukan pandangan serta sikap mereka terhadap gejolak dunia pendidikan (kampus). Sebab saya kira, suara mereka dalam lirik, bukan sekadar pandangan spekulasi, tetapi sikap kritis sekaligus analisis dimana pendekatan yang digunakan tentulah dengan memilih fakta-fakta mana yang paling plastis untuk menggambarkan situasi kehidupan sosial, politik, ekonomi maupun kultural yang terjadi pada masa kini.

Puisi sebagai Politik Bahasa
Saya akan memulai tulisan ini dengan mulai mengupas dan memberi tanggapan pada kumpulan puisi yang berjudul Syair-Syair Fajar. Secara pribadi, kumpulan ini saya kira menarik untuk ditinjau dalam kaitannya dengan mencari pandangan umum penyair yang sekaligus mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto terhadap masalah sosial. Sebab antologi ini berlabel pula sebagai Antologi Puisi 19 Penyair Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Puisi-puisi yang terhimpun dalam buku itu kebanyakan ditulis dari tahun yang sama, 2007. Dari 39 puisi yang dihadirkan oleh 19 penyair, hanya empat puisi yang berangka tahun 2005 dan kesemuanya ditulis oleh Restu Kurniawan. Empat puisi inilah yang menjadi pintu pengantar sebelum memasuki puisi lainnya dan pada awalan ini kita disuguhkan aroma khas sajak-sajak yang bernada dasar kritik sosial yang berkelindan di antara kaum marginal kota, konflik sosial yang bersuasana muram disertai imaji kelam seperti ini:

“Parodia Anak Jalanan”: Terlalu asik kami, anak-anak jalan/ Bermain mimpi pekat asap bus kota/ Berubah pahat bagi paru-paru/ Pengap mengepul jadi gelombang di siang/ bising mengumpul di genderang telinga//…Apa akan terus kami gali kubur/ bagi tengkorak kami sendiri/ lalu bangkit hidup yang kedua,/ disulamnya lagi untuk sesuap nasi?

“Deskripsi Tragedi (part #1)”: …Sunguh tanah telah rubah/ disepuh tetes merah sendiri/ Atau tahanlah untuk jadi laut darah/ Tanah dan tradisi sebenarnya wujud kami// Merpati tak rindu pulang jika terus begini.

Dalam lirik-lirik yang saya kutip di atas, ada solidaritas juga kepekaan terhadap bahaya yang mengancam. Tentang kerasnya sebuah jaman, tentang gilanya sebuah masa. Di “Parodia Anak Jalanan” kita dapat mengkhikmati ganasnya revolusi perkotaan , utamanya tentang modifikasi proses-proses alami manusia yang digubah —produk industri— dengan dalih tujuan kemudahan namun sebenarnya berakar perdagangan yang dilegitimasi suatu kelompok. “Parodia Anak Jalanan” memainkan imajinya sekaligus ironinya diantara Bus kota sebagai area kerja dan area “luka”. Dimana luka itu, muncul lewat puisi sebagai upaya menyuarakan nasib kaum miskin kota: “Apa akan terus kami gali kubur/ bagi tengkorak kami sendiri/ lalu bangkit hidup yang kedua,/ disulamnya lagi untuk sesuap nasi?”

Sedang puisi “Deskripsi Tragedi (part #1)” yang berketerangan Kepada: Arsul Tonirio-Ambon, adalah sebuah teks yang merujuk pada dunia di luar dirinya —literal-representasional— yakni kepada peristiwa kerusuhan konflik sosial pasca Orde Baru terutama yang terjadi di Ambon yang bila kita lihat dari kacamata sejarah disebabkan konflik horizontal sebelum Malino II yang kemudian menjadi konflik vertikal yang berfokus isu pada separatisme RMS/FKM (Republik Maluku Selatan/ Front Kedaulatan Maluku), dimana konflik-konflik itu banyak menelan korban dan melahirkan kerusakan sehingga wajar bila terlahir lirik: tanah telah rubah/ disepuh tetes merah sendiri sehingga Merpati tak rindu pulang jika terus begini.

Pada penyair lainnya, lirik-lirik yang bernada dasar kritik sosial terus berkecamuk di antara keaneka ragaman wujud kaum marginal kota. Kecemasan atas kekerasan kehidupan yang merupa dalam ketimpangan status sosial tak hanya menyerang manusia sebagai korban namun juga menumbalkan alam dalam bentuk pengrusakan-pengrusakan. Kata-kata yang sendu lantas jadi makin keras dan lamat-lamat memuncak dalam keinginan untuk menuntut balas sebagai respon akar derita kolektif. Perihal ini terasa gamblang muncul dalam dua puisi dari Yosi M Giri berikut ini:

“Dongeng Kaca Baca”: …Seorang tua yang duduk/ menghitung guratan zaman/ karena ketika cadar membuka/ Ia mendengar/ tiada batas di musim/ keduanya saling bersaing/ menyerang gempa dan banjir// Dan lewat tengah malam/ anak-anak ketakutan/ merasakan gelagat ibu menggeliat/ tiada ketenangan di pangkuan/ tiada lagu meninabobokan// karena dongeng yang datang dari pagar istana/ adalah karat baja/ yang mencium darah dan luka mereka/ menghancurkan rumah-rumah/ dan denyut bayi merah/ atas nama ketertiban kota.

“Spion”: dari bening kaca spion, semesta/ bingung pada penghuninya/ …kendara-kendara seperti lepas dari sarang/ melumut padang gersang/ menyabet pejalan kaki, pemulung gontai/…zaman bergetar-getar bersorak-sorai/ di tengah–tengah kibar panji keuntungan sekedar/ selebihnya bau kotoran berserakan di tepi jalan buntu/ di gang-gang, di gelap-gelap, sampai tebing serumpun/ gunung/ pengap, penuh muslihat//…dari pentungan, dari peraturan tak beraturan/ muncul beribu-ribu kutukan dari rahim bunda/ dari bibir bayi, meraung tengah malam/ minta dibalaskan.

Derita dan kemurungan kolektif itu, sekali lagi muncul akibat dari revolusi perkotaan. Dimana yang berlaku dalam sistem kota adalah penaklukan, sebagai syarat utama terkumpulnya modal komunal. Sebab itulah haluan sosial dan politik kota dibagi-bagi dalam tatanan-tatanan pembagian kerja yang kemudian dikenal sebagai instansi atau birokrasi, di mana ada peraturan-peraturan yang diperlakukan oleh tatanan baru ini, yang terkadang peraturan itu meruncingkan kontradiksi sebab lagi-lagi sistem yang dibuat tak berpihak pada masyarakat malah melebarkan jurang kesenjangan status sosial. Tatanan-tatanan baru itu, dengan kuasanya menyuburkan kedestruktifan dan keserakahnnya dengan menjalankan segala sesuatu berdasar pada panji keuntungan dengan cara ikut serta bermain dalam arus perdagangan pasar.

Masyarakat perkotaan, yang secara psikologis oleh Lewis Mumfort dikatakan bersifat cermat, efisien namun acapkali destruktif, sadis dan di sisi lain cenderung suka membangga-banggakan monumen-monumen beserta catatan tentang prestasi mereka dalam menghancurkan, mendapat gambaran buruk identitasnya dalam imaji lumpur pada puisi Shoni Asmoro yang dipadu secara eksperimentasi dalam permainan nada-nada sinis:

“Alamat Lumpur”: Jalan Lumpur, No 1/ Rt lumpur/ Rw lumpur/ Desa lumpur/ Kecamatan Lumpur/ Kabupaten Lumpur// Sebelah rel kereta lumpur/ Tepatnya di sekitar pabrik lumpur// Kami pemenang rekor dunia lumpur/ Penghasil terbesar lumpur// Kami bangga lumpur.

Sayangnya, lirik-lirik kegalauan sosial yang ditangkap oleh penyair dalam kumpulan puisi Syair-syair Fajar, mendapat porsi yang tak begitu besar bila diletakkan sebagai bagian dari kemurungan kolektif atau nasib sendiri yang dirasa identik dengan yang di alami oleh sebagian besar masyarakat. Agaknya, setelah Restu Kurniawan, Yosi M Giri dan Shoni Asmoro, dari 16 penyair lainnya hanya puisi Arsul Tonirio yang membawa kesan kemurungan kolektif. Sedang penyair sisanya lebih memilih bergulat dengan kegalauan personal yang diakibatkan kerinduan, cinta, hakekat kedirian dan hubungan dengan Tuhan. Puisi Arsul Tonorio, serupa lantunan doa, berbicara tentang penyesalan massal juga kekecewaan terhadap negeri:

“Wajah-wajah Murung”: …Oh Tuhan…!/ Sebesar inikah dosa kami?/ Wajah –wajah murung bukanlah Titahmu/ Cukuplah kira Engkau suapi/ Hanya karena negeriku mulai akut.

Dari beberapa puisi itu, saya menanggapinya sebagai upaya politik bahasa. Di mana puisi mencoba memainkan peran untuk menghantam dan menekan para pelanggar yang menjadi dalang timbulnya kesenjangan sosial. Selain itu, juga upaya untuk melahirkan reorganisasi diskursif antar kekuatan sosial, dimana menyatu golongan yang terpecah dan terpinggirkan dalam sebuah kawasan cultural. Dan tentulah yang menjadi syarat utama adalah keyakinan semacam pledoi Max Havelaar: “Ya, aku bakal dibaca”.

Sekolah sebagai alat reproduksi kesenjangan sosial
Lewat kumpulan puisi Syair-syair Fajar yang merupakan Antologi Puisi dari 19 Penyair Universitas Muhammadiyah Purwokerto, secara singkat kita memang bertemu dengan disharmoni antara kuasa Negara dan kesenjangan sosial yang terjadi dalam tatanan masyarakat. Tetapi sayangnya, sikap kritis sekaligus analisis dalam bentuk puisi itu, tidak mepaparkan pandangan tentang fenomena dunia pendidikan (kampus ) sebagai lingkungan di mana mereka seringkali berhadapan.

Saya pribadi tak tahu, sebab apa mereka sebagai mahasiswa tak menulis puisi yang berakar dari fenomena-fenomena pendidikan. Saya hanya dapat mengajukan beberapa macam pertanyaan yang tentunya perlu dikaji ulang dalam berbagai hal, yaitu: (a) Apakah fenomena dunia pendidikan –universitas– tidak dipahami oleh penyair yang mahasiswa? (b) Apakah Penyair yang mahasiswa segan untuk menuliskan fenomena-fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan? (c) Apakah penyair yang mahasiswa gagal untuk menemukan metaforarisasi dalam upaya puitisasi fenomena-fenomena yang ada di kampus? atau (d) Apakah penyair yang mahasiswa memang tak ambil peduli dengan fenomena-fenomena yang terjadi dalam kampus?

Bila kemudian perbincangan dalam tulisan ini kita alihkan dengan keyakinan bahwa kepiawaian mereka dalam menganalisis sosial secara kritis dalam bentuk puisi bukanlah sebuah bakat bawaan yang secara tiba-tiba jatuh dari angkasa, tetapi buah dari kesempatan yang mereka peroleh dari sebuah fasilitas pendidikan. Dimana Pendidikan menjadi sebuah ruang yang menjadikan mereka terbiasa untuk menulis, mengolah pikiran sebagai bagian dari aktivitas sehari-hari.

Maka, ada hal menarik yang patut untuk dikaji kembali di situasi masa ini. Sebab secara nyata, sampai masa kini, tidak semua golongan/lapisan masyarakat punya kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan. Maka dapat ditarik asumsi sederhana, bahwa dalam sistem pendidikan pun sudah sejak dini terdapat sebuah proses seleksi sosial untuk menjadi individu yang dapat melatih diri untuk mengemukakan suatu gagasan yang logis, menanggapi problem-problem sosial secara kritis dan mentradisikan kebiasaan bernalar berdasar dari olah pikir kognisi sendiri.

Akhirnya, saya kira: Déspot dan tirani sedikit demi sedikit telah merobohkan mimbar yang bernama kampus itu, tidak dalam bentuk lugas namun samar-samar lewat seleksi dimana sekolah menjadi alat reproduksi kesenjangan sosial berdasar seleksi kelas sosial. Sebab dengan cara itu, strategi pola regenerasi kekuasaan setidaknya (dalam tahap seminimal mungkin) akan berkutat pada kalangan mereka.

Bila situasi ini terus dibiarkan, berarti kita membiarkan ketidakmerdekaan struktural melanda pada dunia pendidikan kita. Dan puisi yang ditulis oleh mahasiswa tentu serta merta berpotensi menjadi bagian dari reproduksi kesenjangan sosial yang terstruktur itu. Lantas, apakah puisi nantinya masih akan mampu memiliki permainan politik bahasanya sendiri untuk menghadapi kekuatan-kekuatan semiotik yang membentuk keseragaman identitas masyarakat. Bila tidak, maka awalan sajak “Mimbar” yang ditulis Taufiq Ismail, tak berlaku lagi untuk mengambarkan kedaan kampus hari ini:

Dari mimbar ini telah dibicarakan
Pikiran-pikiran dunia
Suara-suara kebebasan
Tanpa ketakutan

Dari mimbar ini diputar lagi
Sejarah kemanusiaan
Pengembangan tekhnologi
Tanpa ketakutan.

*) termuat dalam Buletin Sastra Littera no. 13 Th.III edisi Januari-Maret 2010, Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT)

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita