26/02/11

Puisi Mahasiswa: Politik Bahasa dalam Ruang Reproduksi Kesenjangan Sosial*

Abdul Aziz Rasjid
http://sastra-indonesia.com/

Di kampus ini/ Telah dipahatkan / Kemerdekaan.
Segala déspot dan tirani/ Tidak bisa merobohkan/ Mimbar kami.

“Mimbar”, Taufiq Ismail

Dalam lirik-lirik yang menandakan keyakinan itu; mimbar bernama kampus yang saya imajikan sebagai panggung kecil —tak panjang & tak lebar— tak jarang dipahami sebagai pusat diwujudkannya independensi akal pikiran dalam bentuk aneka ragam pendapat. Walau kecil —mengingat kampus sekadar bagian dari sistem yang luas, bercabang-cabang yang kita kenal sebagai Negara— tetapi kampus di negeri ini memiliki sejarah panjang dan mengagumkan dalam melaksanakan jiwa berlawannya untuk merobohkan penguasa tunggal yang sekendak hati menyebarluaskan penyengsaraan bagi rakyat.

Pandangan itu memang wajar adanya, apalagi bila mahasiswa diletakkan dalam posisi idealnya dalam sifatnya yang edukasional. Kampus sebagai ruang pendidikan adalah salah satu fasilitas di mana putra-putri bangsa dapat melatih diri untuk mengasah lau mengemukakan suatu gagasan yang logis, menanggapi problem-problem sosial secara kritis dan mentradisikan kebiasaan untuk mempelajari sesuatu untuk kemajuan diri serta sosialnya sehingga dapat membentuk identitas berdasar dari olah pikir kognisi sendiri. Sebab pada mulanya dan idealnya kampus memang diperuntukkan agar rakyat menjadi tak mudah dibodohi.

Dari pandangan umum itu, mungkin jiwa penyair sebagai salah satu rupa mahasiswa dan puisi sebagi salah sebuah rupa suara bertolak dari nasib sendiri lalu bersatu dengan nasib semesta. Duka sendiri itu lantas dipahami sebagai suatu Weltshmerz atau duka semesta. Di dalam keadaan khusus, ketika kesuraman-kegalauan merajalela, penyair dihadapkan untuk melibatkan diri pada masalah-masalah sosialnya, cita-cita dan perjuangannya. Sebab nasib sendiri telah dirasa identik sebagai bagian dari nasib besar masyarakat. Dan puisi sebagai produk budaya tentu tak bisa lepas dari kondisi sosio-ekonomi suatu bangsa

Sebab itulah, perhatian pada masalah aku lantas beralih pada masalah kita. Dan Sajak-sajak perlawanan Taufiq Ismail mengarah pada ke-kita-an itu, pada taraf ke-kami-an, hasil endapan dari pengalaman fisik, mental dan emosional selama penyertaannya dalam demonstrasi mahasiswa di tahun 60-an.

Singkatnya, begitulah Subagio Sastrowardojo memberi kupasan dan tanggapan atas sajak-sajak Taufiq Ismail yang terhimpun dalam kumpulan Tirani (1966) dan Benteng (1996, cetakan kedua 1968) dalam esainya yang berjudul “Sadjak-sadjak Perlawanan Taufiq Ismail dan, Angkatan 66” . Walau dalam akhir esai itu, Subagio Sastrowardojo menuliskan bahwa sajak-sajak perlawanan itu belum cukup memenuhi syarat dan nilainya untuk memberikan arah baru pada perkembangan sastra Indonesia. Tapi, di sisi yang lain, Subagio percaya bahwa sajak-sajak itu setidaknya telah mencatat sejarah perjuangan anak bangsa dalam menegakkan kebenaran, keadilan, kemanusiaan dan kemerdekaan.

Dengan keyakinan yang sama, bahwa sastra tak bisa lepas dari kondisi sosio-ekonomi suatu bangsa atau lingkungannya. Dalam esai ini, saya mencoba meletakkan puisi-puisi yang terkumpul dalam Syair-syair Fajar (Mimbar, 2007) dalam realita sejarahnya. Sekaligus upaya sederhana untuk mentafsir pandangan-pandangan mereka, entah sosial-ekonomi-politik maupun budaya yang narasinya bertitik sentral pada masalah-masalah sosial atau lebih menarik lagi menemukan pandangan serta sikap mereka terhadap gejolak dunia pendidikan (kampus). Sebab saya kira, suara mereka dalam lirik, bukan sekadar pandangan spekulasi, tetapi sikap kritis sekaligus analisis dimana pendekatan yang digunakan tentulah dengan memilih fakta-fakta mana yang paling plastis untuk menggambarkan situasi kehidupan sosial, politik, ekonomi maupun kultural yang terjadi pada masa kini.

Puisi sebagai Politik Bahasa
Saya akan memulai tulisan ini dengan mulai mengupas dan memberi tanggapan pada kumpulan puisi yang berjudul Syair-Syair Fajar. Secara pribadi, kumpulan ini saya kira menarik untuk ditinjau dalam kaitannya dengan mencari pandangan umum penyair yang sekaligus mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto terhadap masalah sosial. Sebab antologi ini berlabel pula sebagai Antologi Puisi 19 Penyair Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Puisi-puisi yang terhimpun dalam buku itu kebanyakan ditulis dari tahun yang sama, 2007. Dari 39 puisi yang dihadirkan oleh 19 penyair, hanya empat puisi yang berangka tahun 2005 dan kesemuanya ditulis oleh Restu Kurniawan. Empat puisi inilah yang menjadi pintu pengantar sebelum memasuki puisi lainnya dan pada awalan ini kita disuguhkan aroma khas sajak-sajak yang bernada dasar kritik sosial yang berkelindan di antara kaum marginal kota, konflik sosial yang bersuasana muram disertai imaji kelam seperti ini:

“Parodia Anak Jalanan”: Terlalu asik kami, anak-anak jalan/ Bermain mimpi pekat asap bus kota/ Berubah pahat bagi paru-paru/ Pengap mengepul jadi gelombang di siang/ bising mengumpul di genderang telinga//…Apa akan terus kami gali kubur/ bagi tengkorak kami sendiri/ lalu bangkit hidup yang kedua,/ disulamnya lagi untuk sesuap nasi?

“Deskripsi Tragedi (part #1)”: …Sunguh tanah telah rubah/ disepuh tetes merah sendiri/ Atau tahanlah untuk jadi laut darah/ Tanah dan tradisi sebenarnya wujud kami// Merpati tak rindu pulang jika terus begini.

Dalam lirik-lirik yang saya kutip di atas, ada solidaritas juga kepekaan terhadap bahaya yang mengancam. Tentang kerasnya sebuah jaman, tentang gilanya sebuah masa. Di “Parodia Anak Jalanan” kita dapat mengkhikmati ganasnya revolusi perkotaan , utamanya tentang modifikasi proses-proses alami manusia yang digubah —produk industri— dengan dalih tujuan kemudahan namun sebenarnya berakar perdagangan yang dilegitimasi suatu kelompok. “Parodia Anak Jalanan” memainkan imajinya sekaligus ironinya diantara Bus kota sebagai area kerja dan area “luka”. Dimana luka itu, muncul lewat puisi sebagai upaya menyuarakan nasib kaum miskin kota: “Apa akan terus kami gali kubur/ bagi tengkorak kami sendiri/ lalu bangkit hidup yang kedua,/ disulamnya lagi untuk sesuap nasi?”

Sedang puisi “Deskripsi Tragedi (part #1)” yang berketerangan Kepada: Arsul Tonirio-Ambon, adalah sebuah teks yang merujuk pada dunia di luar dirinya —literal-representasional— yakni kepada peristiwa kerusuhan konflik sosial pasca Orde Baru terutama yang terjadi di Ambon yang bila kita lihat dari kacamata sejarah disebabkan konflik horizontal sebelum Malino II yang kemudian menjadi konflik vertikal yang berfokus isu pada separatisme RMS/FKM (Republik Maluku Selatan/ Front Kedaulatan Maluku), dimana konflik-konflik itu banyak menelan korban dan melahirkan kerusakan sehingga wajar bila terlahir lirik: tanah telah rubah/ disepuh tetes merah sendiri sehingga Merpati tak rindu pulang jika terus begini.

Pada penyair lainnya, lirik-lirik yang bernada dasar kritik sosial terus berkecamuk di antara keaneka ragaman wujud kaum marginal kota. Kecemasan atas kekerasan kehidupan yang merupa dalam ketimpangan status sosial tak hanya menyerang manusia sebagai korban namun juga menumbalkan alam dalam bentuk pengrusakan-pengrusakan. Kata-kata yang sendu lantas jadi makin keras dan lamat-lamat memuncak dalam keinginan untuk menuntut balas sebagai respon akar derita kolektif. Perihal ini terasa gamblang muncul dalam dua puisi dari Yosi M Giri berikut ini:

“Dongeng Kaca Baca”: …Seorang tua yang duduk/ menghitung guratan zaman/ karena ketika cadar membuka/ Ia mendengar/ tiada batas di musim/ keduanya saling bersaing/ menyerang gempa dan banjir// Dan lewat tengah malam/ anak-anak ketakutan/ merasakan gelagat ibu menggeliat/ tiada ketenangan di pangkuan/ tiada lagu meninabobokan// karena dongeng yang datang dari pagar istana/ adalah karat baja/ yang mencium darah dan luka mereka/ menghancurkan rumah-rumah/ dan denyut bayi merah/ atas nama ketertiban kota.

“Spion”: dari bening kaca spion, semesta/ bingung pada penghuninya/ …kendara-kendara seperti lepas dari sarang/ melumut padang gersang/ menyabet pejalan kaki, pemulung gontai/…zaman bergetar-getar bersorak-sorai/ di tengah–tengah kibar panji keuntungan sekedar/ selebihnya bau kotoran berserakan di tepi jalan buntu/ di gang-gang, di gelap-gelap, sampai tebing serumpun/ gunung/ pengap, penuh muslihat//…dari pentungan, dari peraturan tak beraturan/ muncul beribu-ribu kutukan dari rahim bunda/ dari bibir bayi, meraung tengah malam/ minta dibalaskan.

Derita dan kemurungan kolektif itu, sekali lagi muncul akibat dari revolusi perkotaan. Dimana yang berlaku dalam sistem kota adalah penaklukan, sebagai syarat utama terkumpulnya modal komunal. Sebab itulah haluan sosial dan politik kota dibagi-bagi dalam tatanan-tatanan pembagian kerja yang kemudian dikenal sebagai instansi atau birokrasi, di mana ada peraturan-peraturan yang diperlakukan oleh tatanan baru ini, yang terkadang peraturan itu meruncingkan kontradiksi sebab lagi-lagi sistem yang dibuat tak berpihak pada masyarakat malah melebarkan jurang kesenjangan status sosial. Tatanan-tatanan baru itu, dengan kuasanya menyuburkan kedestruktifan dan keserakahnnya dengan menjalankan segala sesuatu berdasar pada panji keuntungan dengan cara ikut serta bermain dalam arus perdagangan pasar.

Masyarakat perkotaan, yang secara psikologis oleh Lewis Mumfort dikatakan bersifat cermat, efisien namun acapkali destruktif, sadis dan di sisi lain cenderung suka membangga-banggakan monumen-monumen beserta catatan tentang prestasi mereka dalam menghancurkan, mendapat gambaran buruk identitasnya dalam imaji lumpur pada puisi Shoni Asmoro yang dipadu secara eksperimentasi dalam permainan nada-nada sinis:

“Alamat Lumpur”: Jalan Lumpur, No 1/ Rt lumpur/ Rw lumpur/ Desa lumpur/ Kecamatan Lumpur/ Kabupaten Lumpur// Sebelah rel kereta lumpur/ Tepatnya di sekitar pabrik lumpur// Kami pemenang rekor dunia lumpur/ Penghasil terbesar lumpur// Kami bangga lumpur.

Sayangnya, lirik-lirik kegalauan sosial yang ditangkap oleh penyair dalam kumpulan puisi Syair-syair Fajar, mendapat porsi yang tak begitu besar bila diletakkan sebagai bagian dari kemurungan kolektif atau nasib sendiri yang dirasa identik dengan yang di alami oleh sebagian besar masyarakat. Agaknya, setelah Restu Kurniawan, Yosi M Giri dan Shoni Asmoro, dari 16 penyair lainnya hanya puisi Arsul Tonirio yang membawa kesan kemurungan kolektif. Sedang penyair sisanya lebih memilih bergulat dengan kegalauan personal yang diakibatkan kerinduan, cinta, hakekat kedirian dan hubungan dengan Tuhan. Puisi Arsul Tonorio, serupa lantunan doa, berbicara tentang penyesalan massal juga kekecewaan terhadap negeri:

“Wajah-wajah Murung”: …Oh Tuhan…!/ Sebesar inikah dosa kami?/ Wajah –wajah murung bukanlah Titahmu/ Cukuplah kira Engkau suapi/ Hanya karena negeriku mulai akut.

Dari beberapa puisi itu, saya menanggapinya sebagai upaya politik bahasa. Di mana puisi mencoba memainkan peran untuk menghantam dan menekan para pelanggar yang menjadi dalang timbulnya kesenjangan sosial. Selain itu, juga upaya untuk melahirkan reorganisasi diskursif antar kekuatan sosial, dimana menyatu golongan yang terpecah dan terpinggirkan dalam sebuah kawasan cultural. Dan tentulah yang menjadi syarat utama adalah keyakinan semacam pledoi Max Havelaar: “Ya, aku bakal dibaca”.

Sekolah sebagai alat reproduksi kesenjangan sosial
Lewat kumpulan puisi Syair-syair Fajar yang merupakan Antologi Puisi dari 19 Penyair Universitas Muhammadiyah Purwokerto, secara singkat kita memang bertemu dengan disharmoni antara kuasa Negara dan kesenjangan sosial yang terjadi dalam tatanan masyarakat. Tetapi sayangnya, sikap kritis sekaligus analisis dalam bentuk puisi itu, tidak mepaparkan pandangan tentang fenomena dunia pendidikan (kampus ) sebagai lingkungan di mana mereka seringkali berhadapan.

Saya pribadi tak tahu, sebab apa mereka sebagai mahasiswa tak menulis puisi yang berakar dari fenomena-fenomena pendidikan. Saya hanya dapat mengajukan beberapa macam pertanyaan yang tentunya perlu dikaji ulang dalam berbagai hal, yaitu: (a) Apakah fenomena dunia pendidikan –universitas– tidak dipahami oleh penyair yang mahasiswa? (b) Apakah Penyair yang mahasiswa segan untuk menuliskan fenomena-fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan? (c) Apakah penyair yang mahasiswa gagal untuk menemukan metaforarisasi dalam upaya puitisasi fenomena-fenomena yang ada di kampus? atau (d) Apakah penyair yang mahasiswa memang tak ambil peduli dengan fenomena-fenomena yang terjadi dalam kampus?

Bila kemudian perbincangan dalam tulisan ini kita alihkan dengan keyakinan bahwa kepiawaian mereka dalam menganalisis sosial secara kritis dalam bentuk puisi bukanlah sebuah bakat bawaan yang secara tiba-tiba jatuh dari angkasa, tetapi buah dari kesempatan yang mereka peroleh dari sebuah fasilitas pendidikan. Dimana Pendidikan menjadi sebuah ruang yang menjadikan mereka terbiasa untuk menulis, mengolah pikiran sebagai bagian dari aktivitas sehari-hari.

Maka, ada hal menarik yang patut untuk dikaji kembali di situasi masa ini. Sebab secara nyata, sampai masa kini, tidak semua golongan/lapisan masyarakat punya kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan. Maka dapat ditarik asumsi sederhana, bahwa dalam sistem pendidikan pun sudah sejak dini terdapat sebuah proses seleksi sosial untuk menjadi individu yang dapat melatih diri untuk mengemukakan suatu gagasan yang logis, menanggapi problem-problem sosial secara kritis dan mentradisikan kebiasaan bernalar berdasar dari olah pikir kognisi sendiri.

Akhirnya, saya kira: Déspot dan tirani sedikit demi sedikit telah merobohkan mimbar yang bernama kampus itu, tidak dalam bentuk lugas namun samar-samar lewat seleksi dimana sekolah menjadi alat reproduksi kesenjangan sosial berdasar seleksi kelas sosial. Sebab dengan cara itu, strategi pola regenerasi kekuasaan setidaknya (dalam tahap seminimal mungkin) akan berkutat pada kalangan mereka.

Bila situasi ini terus dibiarkan, berarti kita membiarkan ketidakmerdekaan struktural melanda pada dunia pendidikan kita. Dan puisi yang ditulis oleh mahasiswa tentu serta merta berpotensi menjadi bagian dari reproduksi kesenjangan sosial yang terstruktur itu. Lantas, apakah puisi nantinya masih akan mampu memiliki permainan politik bahasanya sendiri untuk menghadapi kekuatan-kekuatan semiotik yang membentuk keseragaman identitas masyarakat. Bila tidak, maka awalan sajak “Mimbar” yang ditulis Taufiq Ismail, tak berlaku lagi untuk mengambarkan kedaan kampus hari ini:

Dari mimbar ini telah dibicarakan
Pikiran-pikiran dunia
Suara-suara kebebasan
Tanpa ketakutan

Dari mimbar ini diputar lagi
Sejarah kemanusiaan
Pengembangan tekhnologi
Tanpa ketakutan.

*) termuat dalam Buletin Sastra Littera no. 13 Th.III edisi Januari-Maret 2010, Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT)

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita