14/11/10

Sucipto

Gunawan Maryanto
http://suaramerdeka.com/

SUCIPTO tahu besok pagi dia akan kalah. “Tak ada yang mendukungku sama sekali!” Tak ada tenaga dalam suaranya. Keras tapi kopong. Dyah hanya diam menatap ayahnya yang duduk terpekur di kursi tamu. “Masmu tetap tak pulang?” Dyah menggeleng.

“Sudah kutelepon dan SMS berkali-kali.”
Sucipto beranjak dari tempat duduknya. Melangkah pergi keluar rumah. “Pintu jangan dikunci.”

Dyah mengambil ponselnya yang tergeletak di meja, memencet nomor kakaknya. Tapi tak ada jawaban. Ia coba sekali lagi. Tetap sama. Lalu ia kirim SMS: Mas Lanjar tolong pulang. Besok bapak pilihan dukuh.

“Sudahlah. Nggak usah njago dukuh, Pak?” kata Lanjar sebulan yang lalu. “Dan apakah bapak mampu? Nggak mudah jadi dukuh. Apalagi di Karang Watu.”

“Mbahmu bisa. Mestinya aku juga bisa. Aku tahu bagaimana memimpin kampung ini,” jawab Sucipto keras.

“Mimpin orang banyak itu nggak gampang. Mimpin keluarga sendiri saja dulu yang bener,” Lanjar tak kalah keras.

Lalu pergi meninggalkan bapaknya. Sejak malam itu Lanjar tak pernah datang ke rumah bapaknya lagi. Beberapa kali Dyah menemuinya di kantor maupun rumah kontrakannya. Tapi Lanjar tetap tak mau menemui bapaknya lagi.

“Buat apa coba? Apa tidak malu? Ngurusi rumah sendiri saja tidak bisa malah mau aneh-aneh nyalon dukuh segala.”

“Iya, Mas. Aku ngerti kok alasanmu. Aku juga tidak setuju bapak nyalon. Orang-orang juga pasti tak akan memilihnya. Aku dengar sendiri bagaimana mereka menertawakan rencana bapak,” kata Dyah.

“Kenapa kamu nggak bilang ke Bapak bahwa orang-orang tak akan memilihnya?”
Dyah menggeleng. “Aku tak tega, Mas.” Matanya berkaca-kaca.

“Aku sama sekali tidak membenci Bapak. Tapi aku tetap tak akan pulang. Aku tak tega melihatnya kalah. Sudah pulang sana. Kamu masuk kerja malam ini kan?”

“Tidak, Mas. Aku sudah keluar.”
“Lho, kenapa?”
“Disuruh Bapak.”
Dyah tertunduk.

“Ngawur lagi. Pasti karena desakan perempuan itu. Supaya kamu bisa njagain Santi kan?”

“Iya, Mas.”
“Kamu itu ngalah terus, Yah! Kalau dia nggak mau ngrawat Santi kenapa dia nggak nyari pembantu saja. Yang susah kan jadinya kamu. Jadi nggak punya pekerjaan. Nggak bisa nabung buat kuliah lagi.”

“Iya sih, Mas. Tapi aku kasihan Bapak dan Santi.”
“Ya sudah. Pulanglah. Nanti kemalaman. Bilang saja sama Bapak kamu tidak ketemu aku.”

Lanjar menatap kepergian adiknya. Ia menatap kesedihan yang berjalan pelan meninggalkannya. Ia sangat menghargai keputusan adiknya untuk tetap bertahan di sana —di dalam rumah yang sudah duapuluh tahun ia tinggalkan— dan masih tetap perawan pada usia yang hampir tigapuluhan.

***

SEMENJAK bapaknya kawin lagi Lanjar pergi meninggalkan rumah —entah kenapa kepergian itu seperti sudah direncanakannya sejak lama. Ia seperti tahu bahwa kelak ia harus pergi meninggalkan rumah sebelum waktunya. Mungkin dalam sebuah mimpi ia pernah mengalaminya. Mimpi yang datang di saat-saat awal bapaknya mulai menggandeng perempuan-perempuan yang tak dikenalnya ke rumah. “Kalau tidak setuju Bapak kawin lagi tidak usah tinggal di rumah ini lagi,” kata Sucipto waktu itu.

Karena itu Lanjar pun pergi. Dyah masih terlalu kecil untuk mengambil keputusan. Dan seperti yang Lanjar takutkan, perempuan itu begitu mengendalikan bapaknya, membuat rumah itu hancur lebih cepat dari yang seharusnya.

Sebenarnya Lanjar tak pernah benar-benar pergi. Tak bisa. Ia begitu mencintai keluarganya. Begitu mencintai kampungnya. Tak pelak ia pun terus mengikuti perkembangan rumahnya dari kejauhan. Kabar-kabar tentang rumah terus ia kumpulkan dari saudara-saudaranya. Dari petilan-petilan kabar itu ia mencoba menggambar rumahnya, bapaknya, ibu barunya, Dyah, ruang tamu yang berantakan, kamar mandi yang tak pernah disikat, cucian yang menumpuk di kursi teras.

“Ibumu itu memang bikin malu, Njar. Ia berantem terus dengan tetangga-tetangga.”
“Ibu-ibu di sini sudah memutuskan tidak akan membantu bapakmu kalau punya hajat. Sudah dua hajatan ibumu tidak memberi bekal kepada ibu-ibu yang membantu masak di rumah.”

“Dyah terus yang bekerja ngurus rumah. Padahal kan dia mesti kerja juga. Sementara ibumu blas tidak melakukan apa-apa.”

“Duit bapakmu habis gara-gara ia sakit terus. Katanya gara-gara pusaka peninggalan almarhumah ibumu. Sekarang semua pusaka itu dibuang oleh bapakmu.”

Kabar-kabar itu semakin meneguhkan tekad Lanjar untuk bisa hidup sendiri. Ia bekerja serabutan agar bisa tetap sekolah. Kadang ia juga mendapat bantuan dari beberapa saudara yang bersimpati kepadanya. Untuk tinggal sehari-hari ia menempati ruangan kecil di sudut sekolahnya. Berkali-kali ia harus mendapat peringatan dari kepala sekolah karena tidak boleh tidur di sekolah. Setiap habis mendapat peringatan Lanjar memang tak tidur di sana. Ia menginap di rumah salah seorang teman dekatnya. Atau kalau tidak ia tidur di angkringan dekat sekolahannya sampai pagi. Tapi kemudian ia balik lagi tidur di “kamar”-nya sampai peringatan berikutnya datang. Demikianlah sampai ia dapat lulus, masuk kuliah, bekerja dan dapat mengontrak rumah sendiri.

Lain lagi dengan Dyah. Sehabis lulus SMA ia tak boleh melanjutkan kuliah. Ibu tirinya itu memintanya untuk langsung bekerja di sebuah toko swalayan. “Anak perempuan buat apa sekolah tinggi-tinggi. Buang-buang uang saja,” begitulah alasan Warsiyah, nama perempuan itu. Lanjar tak habis pikir masih ada seseorang berpikiran macam itu di jaman semaju ini. Diam-diam Lanjar mengirim uang kepada Dyah supaya ia dapat mendaftar masuk ke perguruan tinggi. Sampai ujian dua kali Dyah masih gagal lolos. Tapi pada percobaan yang ketiga ia mendapatkan kesempatan yang diinginkannya itu. Tapi kesempatan itu pun akhirnya kandas. Ia tetap tak boleh kuliah. Lanjar sampai harus pulang untuk bicara langsung dengan ayahnya. Tapi ayahnya sepaham dengan perempuan itu, Dyah tak boleh kuliah. Lanjar meledak marah. Ia seperti tidak sedang berhadapan dengan ayah yang dulu dikenalnya, ayah yang menginginkan seluruh anaknya dapat bersekolah setinggi mungkin. Dan ketika perempuan itu mulai ikut bicara mempertahankan pendapatnya, Lanjar meraih sebuah piring di depannya dan memukul kepala perempuan itu hingga piring itu hancur berkeping-keping. Sucipto diam saja. Lelaki yang bagi Lanjar begitu kuat dan galak itu tak mampu berbuat apa-apa. Ia tak tahu harus membela siapa: anak-anaknya atau istrinya.

Persoalan semakin menajam ketika lahir anak dari perkawinan Sucipto dan Warsiyah. Santi lahir dengan kelainan: retardasi mental. Warsiyah semakin bertingkah. Ia menuduh perkutut-perkutut Sucipto yang menyebabkannya. Kandang-kandang penangkaran perkutut Sucipto pun harus dibongkar dan dibakar. Kondisi ekonomi keluarga itu makin tidak karuan. Selama ini penghasilan Sucipto sebagai sopir pribadi yang tak seberapa banyak dibantu oleh hasil penjualan perkutut-perkututnya. Parahnya lagi Warsiyah membeli beberapa ekor kambing untuk dipelihara. Untuk tambah-tambah penghasilan katanya. Kontan saja para tetangga protes karena bau kotoran kambing yang menyengat. Mereka juga menyoal Sucipto yang mendadak berubah menjadi penggembala kambing. Tapi Warsiyah tetap keras kepala. Ia melabrak siapa pun yang menyoal kambingnya. Keluarga Sucipto yang dulu begitu disegani keluarga baik-baik dan keturunan pendiri kampung sekarang menjadi keluarga yang dibenci. Tentu saja orang-orang tak berani menampakkan kebencian mereka di hadapan Sucipto. Mereka hanya berani bergunjing di belakang.

Perkumpulan ketoprak kampung yang dipimpin oleh Sucipto pun tak luput dari petaka Warsiyah. Ia memaksa Sucipto agar memasukkannya menjadi pemain utama perempuan. Padahal semua orang di kampung tahu ia sama sekali tak bisa bermain ketoprak. Dengan beragam alasan, setelah satu dua kali Warsiyah ikut bermain, orang-orang mundur teratur. Akhirnya Sucipto mengubah haluan kelompok itu menjadi kelompok campursari. Tapi itu pun tak bertahan lama. Gara-garanya sama: Warsiyah memaksakan diri menjadi penyanyi dengan suaranya yang payah.

***

WARSIYAH pulalah yang mendorong Sucipto maju dalam pemilihan kepala dukuh sebulan yang lalu. Mungkin ia ingin orang-orang memanggilnya Bu Dukuh. Lanjar yang mendengar kabar itu dari beberapa saudaranya langsung pulang untuk menyatakan ketidaksetujuannya.

“Dengan menjadi kepala dukuh aku bisa mengembalikan martabat keluarga ini yang sudah hancur gara-gara kamu minggat.”

Lanjar mencoba bersabar mendengar serangan Sucipto. Ia hanya tak ingin nama bapaknya semakin jatuh lagi.

“Simbah dulu menjadi kepala dukuh karena ia sangat dihormati di kampung ini, Pak. Dan yang terpenting, ia bisa memimpin kampung ini.” Lanjar memang tidak mengalami sendiri saat simbahnya menjadi kepala dukuh. Tapi dari orang-orang kampung, ia tahu betapa simbahnya sangat dihormati karena kepemimpinannya. Ia membangun kampung tanpa pamrih apa pun, dari kampung yang semula adalah kebun-kebun kosong menjadi sebuah perkampungan yang ramai dan disegani.

“Dan saingan Bapak saat ini juga berat. Pak Parman sangat dicintai anak-anak muda di sini. Ia banyak membantu kegiatan pemuda.”

“Parman itu pendatang. Orang-orang tua jelas akan memilihku. Mereka ingin kampung ini kembali seperti dulu.”

Lanjar tak ingin mendebat bapaknya. Tak ada gunanya. Di dalam kamar ia tahu Warsiyah tengah menguping pembicaraan mereka.

Percakapan terhenti karena Bagas masuk. Bagas adalah sepupu Sucipto yang paling dekat. Ia dan Lanjar pun begitu akrab. Ia datang membawa setumpuk fotokopian bergambar wajah Sucipto. Rupanya ia menjadi satu-satunya tim sukses Sucipto.

“Sudah, Lik. Aku bikin 100 lembar. Anggarannya ngepas. Gak bisa nyetak berwarna seperti punya Parman.”
“Gak apa-apa. Tanpa poster pun orang sudah tahu siapa aku.”
“O ya, Lik. Parman juga bikin kaus untuk klub sepak bola.”

“Nyogok anak-anak muda supaya milih dia ya? Aku nggak perlu seperti itu. Mendhing duitnya buat nanggap wayang kalau nanti aku menang.” Lanjar tahu apa yang keluar dari mulut Sucipto berbeda dari apa yang benar-benar ada di dalam hatinya. Ia merasa bapaknya gentar dan tengah berusaha menutupinya. Ia sudah tak punya apa-apa lagi. Menjadi dukuh mungkin satu-satunya yang bisa membuatnya bangga. Tapi apa bisa? Semuanya sudah jauh berubah.

***

DYAH gelisah di dalam kamarnya. Sudah hampir pagi tapi Sucipto tak juga pulang. Ia melongok kamar bapaknya. Tak ada. Hanya tampak Warsiyah dan Santi tengah meringkuk kedinginan di atas kasur. Dyah bergegas keluar. Tak ada siapa-siapa di teras. Ia berlari ke rumah Bagas. Mengetuk rumahnya dengan keras. “Mas...Mas...”

Bagas membuka pintu. “Ada apa, Yah?”
“Bapak belum pulang, Mas. Tadi pamitnya cuma keluar sebentar.”
“Tadi memang dia ke sini. Minta ditemani ke kedung. Mau kungkum di sana katanya.”
Dyah bertambah cemas. “Ayo, Mas kita susul. Aku khawatir ada apa-apa dengan Bapak.”
“Sebentar, aku ambil jaket dan senter. Kamu juga jaketan dulu sana. Nanti aku jemput di rumahmu.”

***

DENGAN motor mereka berdua melaju ke arah kedung yang terletak di pinggir kampung. Sebuah bendungan milik proyek irigasi yang dibangun 30 tahun yang lalu. Setelah Bagas memarkir motornya mereka berdua beriringan menuruni tebing. “Pak...Pak...!” Dyah tak sabar memanggil-manggil nama bapaknya. Ia begitu khawatir dengan keselamatannya. Bagas pun mengarahkan senter ke permukaan kedung. Tapi tak tampak apa pun di sana. Hanya permukaan air yang tenang. “Lik... Lik...!” Mereka pun lantas menyisir pinggiran kedung sambil memanggil-manggil Sucipto. Tak ada jawaban. Sama sekali tak ada. Mereka hanya mendengar suara mereka sendiri.

***

MAS Lanjar. Pulang. Bapak hilang! Dyah mengirim pesan ke Lanjar dengan gemetar.

Jogjakarta, 2010

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita