Gunawan Maryanto
http://suaramerdeka.com/
SUCIPTO tahu besok pagi dia akan kalah. “Tak ada yang mendukungku sama sekali!” Tak ada tenaga dalam suaranya. Keras tapi kopong. Dyah hanya diam menatap ayahnya yang duduk terpekur di kursi tamu. “Masmu tetap tak pulang?” Dyah menggeleng.
“Sudah kutelepon dan SMS berkali-kali.”
Sucipto beranjak dari tempat duduknya. Melangkah pergi keluar rumah. “Pintu jangan dikunci.”
Dyah mengambil ponselnya yang tergeletak di meja, memencet nomor kakaknya. Tapi tak ada jawaban. Ia coba sekali lagi. Tetap sama. Lalu ia kirim SMS: Mas Lanjar tolong pulang. Besok bapak pilihan dukuh.
“Sudahlah. Nggak usah njago dukuh, Pak?” kata Lanjar sebulan yang lalu. “Dan apakah bapak mampu? Nggak mudah jadi dukuh. Apalagi di Karang Watu.”
“Mbahmu bisa. Mestinya aku juga bisa. Aku tahu bagaimana memimpin kampung ini,” jawab Sucipto keras.
“Mimpin orang banyak itu nggak gampang. Mimpin keluarga sendiri saja dulu yang bener,” Lanjar tak kalah keras.
Lalu pergi meninggalkan bapaknya. Sejak malam itu Lanjar tak pernah datang ke rumah bapaknya lagi. Beberapa kali Dyah menemuinya di kantor maupun rumah kontrakannya. Tapi Lanjar tetap tak mau menemui bapaknya lagi.
“Buat apa coba? Apa tidak malu? Ngurusi rumah sendiri saja tidak bisa malah mau aneh-aneh nyalon dukuh segala.”
“Iya, Mas. Aku ngerti kok alasanmu. Aku juga tidak setuju bapak nyalon. Orang-orang juga pasti tak akan memilihnya. Aku dengar sendiri bagaimana mereka menertawakan rencana bapak,” kata Dyah.
“Kenapa kamu nggak bilang ke Bapak bahwa orang-orang tak akan memilihnya?”
Dyah menggeleng. “Aku tak tega, Mas.” Matanya berkaca-kaca.
“Aku sama sekali tidak membenci Bapak. Tapi aku tetap tak akan pulang. Aku tak tega melihatnya kalah. Sudah pulang sana. Kamu masuk kerja malam ini kan?”
“Tidak, Mas. Aku sudah keluar.”
“Lho, kenapa?”
“Disuruh Bapak.”
Dyah tertunduk.
“Ngawur lagi. Pasti karena desakan perempuan itu. Supaya kamu bisa njagain Santi kan?”
“Iya, Mas.”
“Kamu itu ngalah terus, Yah! Kalau dia nggak mau ngrawat Santi kenapa dia nggak nyari pembantu saja. Yang susah kan jadinya kamu. Jadi nggak punya pekerjaan. Nggak bisa nabung buat kuliah lagi.”
“Iya sih, Mas. Tapi aku kasihan Bapak dan Santi.”
“Ya sudah. Pulanglah. Nanti kemalaman. Bilang saja sama Bapak kamu tidak ketemu aku.”
Lanjar menatap kepergian adiknya. Ia menatap kesedihan yang berjalan pelan meninggalkannya. Ia sangat menghargai keputusan adiknya untuk tetap bertahan di sana —di dalam rumah yang sudah duapuluh tahun ia tinggalkan— dan masih tetap perawan pada usia yang hampir tigapuluhan.
***
SEMENJAK bapaknya kawin lagi Lanjar pergi meninggalkan rumah —entah kenapa kepergian itu seperti sudah direncanakannya sejak lama. Ia seperti tahu bahwa kelak ia harus pergi meninggalkan rumah sebelum waktunya. Mungkin dalam sebuah mimpi ia pernah mengalaminya. Mimpi yang datang di saat-saat awal bapaknya mulai menggandeng perempuan-perempuan yang tak dikenalnya ke rumah. “Kalau tidak setuju Bapak kawin lagi tidak usah tinggal di rumah ini lagi,” kata Sucipto waktu itu.
Karena itu Lanjar pun pergi. Dyah masih terlalu kecil untuk mengambil keputusan. Dan seperti yang Lanjar takutkan, perempuan itu begitu mengendalikan bapaknya, membuat rumah itu hancur lebih cepat dari yang seharusnya.
Sebenarnya Lanjar tak pernah benar-benar pergi. Tak bisa. Ia begitu mencintai keluarganya. Begitu mencintai kampungnya. Tak pelak ia pun terus mengikuti perkembangan rumahnya dari kejauhan. Kabar-kabar tentang rumah terus ia kumpulkan dari saudara-saudaranya. Dari petilan-petilan kabar itu ia mencoba menggambar rumahnya, bapaknya, ibu barunya, Dyah, ruang tamu yang berantakan, kamar mandi yang tak pernah disikat, cucian yang menumpuk di kursi teras.
“Ibumu itu memang bikin malu, Njar. Ia berantem terus dengan tetangga-tetangga.”
“Ibu-ibu di sini sudah memutuskan tidak akan membantu bapakmu kalau punya hajat. Sudah dua hajatan ibumu tidak memberi bekal kepada ibu-ibu yang membantu masak di rumah.”
“Dyah terus yang bekerja ngurus rumah. Padahal kan dia mesti kerja juga. Sementara ibumu blas tidak melakukan apa-apa.”
“Duit bapakmu habis gara-gara ia sakit terus. Katanya gara-gara pusaka peninggalan almarhumah ibumu. Sekarang semua pusaka itu dibuang oleh bapakmu.”
Kabar-kabar itu semakin meneguhkan tekad Lanjar untuk bisa hidup sendiri. Ia bekerja serabutan agar bisa tetap sekolah. Kadang ia juga mendapat bantuan dari beberapa saudara yang bersimpati kepadanya. Untuk tinggal sehari-hari ia menempati ruangan kecil di sudut sekolahnya. Berkali-kali ia harus mendapat peringatan dari kepala sekolah karena tidak boleh tidur di sekolah. Setiap habis mendapat peringatan Lanjar memang tak tidur di sana. Ia menginap di rumah salah seorang teman dekatnya. Atau kalau tidak ia tidur di angkringan dekat sekolahannya sampai pagi. Tapi kemudian ia balik lagi tidur di “kamar”-nya sampai peringatan berikutnya datang. Demikianlah sampai ia dapat lulus, masuk kuliah, bekerja dan dapat mengontrak rumah sendiri.
Lain lagi dengan Dyah. Sehabis lulus SMA ia tak boleh melanjutkan kuliah. Ibu tirinya itu memintanya untuk langsung bekerja di sebuah toko swalayan. “Anak perempuan buat apa sekolah tinggi-tinggi. Buang-buang uang saja,” begitulah alasan Warsiyah, nama perempuan itu. Lanjar tak habis pikir masih ada seseorang berpikiran macam itu di jaman semaju ini. Diam-diam Lanjar mengirim uang kepada Dyah supaya ia dapat mendaftar masuk ke perguruan tinggi. Sampai ujian dua kali Dyah masih gagal lolos. Tapi pada percobaan yang ketiga ia mendapatkan kesempatan yang diinginkannya itu. Tapi kesempatan itu pun akhirnya kandas. Ia tetap tak boleh kuliah. Lanjar sampai harus pulang untuk bicara langsung dengan ayahnya. Tapi ayahnya sepaham dengan perempuan itu, Dyah tak boleh kuliah. Lanjar meledak marah. Ia seperti tidak sedang berhadapan dengan ayah yang dulu dikenalnya, ayah yang menginginkan seluruh anaknya dapat bersekolah setinggi mungkin. Dan ketika perempuan itu mulai ikut bicara mempertahankan pendapatnya, Lanjar meraih sebuah piring di depannya dan memukul kepala perempuan itu hingga piring itu hancur berkeping-keping. Sucipto diam saja. Lelaki yang bagi Lanjar begitu kuat dan galak itu tak mampu berbuat apa-apa. Ia tak tahu harus membela siapa: anak-anaknya atau istrinya.
Persoalan semakin menajam ketika lahir anak dari perkawinan Sucipto dan Warsiyah. Santi lahir dengan kelainan: retardasi mental. Warsiyah semakin bertingkah. Ia menuduh perkutut-perkutut Sucipto yang menyebabkannya. Kandang-kandang penangkaran perkutut Sucipto pun harus dibongkar dan dibakar. Kondisi ekonomi keluarga itu makin tidak karuan. Selama ini penghasilan Sucipto sebagai sopir pribadi yang tak seberapa banyak dibantu oleh hasil penjualan perkutut-perkututnya. Parahnya lagi Warsiyah membeli beberapa ekor kambing untuk dipelihara. Untuk tambah-tambah penghasilan katanya. Kontan saja para tetangga protes karena bau kotoran kambing yang menyengat. Mereka juga menyoal Sucipto yang mendadak berubah menjadi penggembala kambing. Tapi Warsiyah tetap keras kepala. Ia melabrak siapa pun yang menyoal kambingnya. Keluarga Sucipto yang dulu begitu disegani keluarga baik-baik dan keturunan pendiri kampung sekarang menjadi keluarga yang dibenci. Tentu saja orang-orang tak berani menampakkan kebencian mereka di hadapan Sucipto. Mereka hanya berani bergunjing di belakang.
Perkumpulan ketoprak kampung yang dipimpin oleh Sucipto pun tak luput dari petaka Warsiyah. Ia memaksa Sucipto agar memasukkannya menjadi pemain utama perempuan. Padahal semua orang di kampung tahu ia sama sekali tak bisa bermain ketoprak. Dengan beragam alasan, setelah satu dua kali Warsiyah ikut bermain, orang-orang mundur teratur. Akhirnya Sucipto mengubah haluan kelompok itu menjadi kelompok campursari. Tapi itu pun tak bertahan lama. Gara-garanya sama: Warsiyah memaksakan diri menjadi penyanyi dengan suaranya yang payah.
***
WARSIYAH pulalah yang mendorong Sucipto maju dalam pemilihan kepala dukuh sebulan yang lalu. Mungkin ia ingin orang-orang memanggilnya Bu Dukuh. Lanjar yang mendengar kabar itu dari beberapa saudaranya langsung pulang untuk menyatakan ketidaksetujuannya.
“Dengan menjadi kepala dukuh aku bisa mengembalikan martabat keluarga ini yang sudah hancur gara-gara kamu minggat.”
Lanjar mencoba bersabar mendengar serangan Sucipto. Ia hanya tak ingin nama bapaknya semakin jatuh lagi.
“Simbah dulu menjadi kepala dukuh karena ia sangat dihormati di kampung ini, Pak. Dan yang terpenting, ia bisa memimpin kampung ini.” Lanjar memang tidak mengalami sendiri saat simbahnya menjadi kepala dukuh. Tapi dari orang-orang kampung, ia tahu betapa simbahnya sangat dihormati karena kepemimpinannya. Ia membangun kampung tanpa pamrih apa pun, dari kampung yang semula adalah kebun-kebun kosong menjadi sebuah perkampungan yang ramai dan disegani.
“Dan saingan Bapak saat ini juga berat. Pak Parman sangat dicintai anak-anak muda di sini. Ia banyak membantu kegiatan pemuda.”
“Parman itu pendatang. Orang-orang tua jelas akan memilihku. Mereka ingin kampung ini kembali seperti dulu.”
Lanjar tak ingin mendebat bapaknya. Tak ada gunanya. Di dalam kamar ia tahu Warsiyah tengah menguping pembicaraan mereka.
Percakapan terhenti karena Bagas masuk. Bagas adalah sepupu Sucipto yang paling dekat. Ia dan Lanjar pun begitu akrab. Ia datang membawa setumpuk fotokopian bergambar wajah Sucipto. Rupanya ia menjadi satu-satunya tim sukses Sucipto.
“Sudah, Lik. Aku bikin 100 lembar. Anggarannya ngepas. Gak bisa nyetak berwarna seperti punya Parman.”
“Gak apa-apa. Tanpa poster pun orang sudah tahu siapa aku.”
“O ya, Lik. Parman juga bikin kaus untuk klub sepak bola.”
“Nyogok anak-anak muda supaya milih dia ya? Aku nggak perlu seperti itu. Mendhing duitnya buat nanggap wayang kalau nanti aku menang.” Lanjar tahu apa yang keluar dari mulut Sucipto berbeda dari apa yang benar-benar ada di dalam hatinya. Ia merasa bapaknya gentar dan tengah berusaha menutupinya. Ia sudah tak punya apa-apa lagi. Menjadi dukuh mungkin satu-satunya yang bisa membuatnya bangga. Tapi apa bisa? Semuanya sudah jauh berubah.
***
DYAH gelisah di dalam kamarnya. Sudah hampir pagi tapi Sucipto tak juga pulang. Ia melongok kamar bapaknya. Tak ada. Hanya tampak Warsiyah dan Santi tengah meringkuk kedinginan di atas kasur. Dyah bergegas keluar. Tak ada siapa-siapa di teras. Ia berlari ke rumah Bagas. Mengetuk rumahnya dengan keras. “Mas...Mas...”
Bagas membuka pintu. “Ada apa, Yah?”
“Bapak belum pulang, Mas. Tadi pamitnya cuma keluar sebentar.”
“Tadi memang dia ke sini. Minta ditemani ke kedung. Mau kungkum di sana katanya.”
Dyah bertambah cemas. “Ayo, Mas kita susul. Aku khawatir ada apa-apa dengan Bapak.”
“Sebentar, aku ambil jaket dan senter. Kamu juga jaketan dulu sana. Nanti aku jemput di rumahmu.”
***
DENGAN motor mereka berdua melaju ke arah kedung yang terletak di pinggir kampung. Sebuah bendungan milik proyek irigasi yang dibangun 30 tahun yang lalu. Setelah Bagas memarkir motornya mereka berdua beriringan menuruni tebing. “Pak...Pak...!” Dyah tak sabar memanggil-manggil nama bapaknya. Ia begitu khawatir dengan keselamatannya. Bagas pun mengarahkan senter ke permukaan kedung. Tapi tak tampak apa pun di sana. Hanya permukaan air yang tenang. “Lik... Lik...!” Mereka pun lantas menyisir pinggiran kedung sambil memanggil-manggil Sucipto. Tak ada jawaban. Sama sekali tak ada. Mereka hanya mendengar suara mereka sendiri.
***
MAS Lanjar. Pulang. Bapak hilang! Dyah mengirim pesan ke Lanjar dengan gemetar.
Jogjakarta, 2010
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar