14/11/10

Kota Ingatan

Sungging Raga
http://suaramerdeka.com/

DI matanya tersimpan ribuan kenangan yang ganjil tentang kota itu. Kota yang sekujur bangunan dan tanahnya —serta jurang semestanya— kini telah berselimut debu, tak tersisa bahkan reruntuhan secuil nisan pun, semuanya mendadak abu-abu seragam, seperti bangunan sejarah yang menganga, dengan masih menyisakan beberapa helai napas penduduknya.

Orang-orang datang ke kota itu hanya untuk berwisata, bukan tentang keindahan, melainkan tentang rasa kehilangan. Lelaki itu, masih dengan matanya, menatap kotanya sendiri dengan perasaan yang menggebu, ia seperti berdiri di tapal batas, di sebuah medan yang memisahkan masa depan dengan masa lalu, ia tak lagi bisa bergerak, sekujur tubuhnya kaku, seperti kepedihan yang menahannya selama bertahun-tahun di tempatnya berdiri. Sekarang ia hanya bisa memandang, tanpa bisa dipandang oleh orang-orang yang berlalu-lalang —ia telah terbungkus debu yang amat berjarak bagi setiap penglihatan.

Mengunjungi kota itu seperti mengunjungi detik-detik kematian. Aroma debu terasa sampai ke hidung, aroma penderitaan terasa sampai ke ubun-ubun. Aroma kematian seperti cuaca kemarau yang tersedak. Dan hujan tak pernah datang, kecuali dalam puisi anak-anak yang sekolahnya telah sempurna terendam.

Bagaimana pun, ingatan akan tetap berjalan, bersama tumpukan kisah yang berkelindan, menebas masa lalu yang tumbuh sewaktu-waktu. Ingatan itu mengucur setiap saat dalam pikirannya. Lelaki itu akan selalu punya cara, entah bagaimana, untuk tetap menganggap kota ini masih berbentuk seperti sedia kala.

“Dulu, rumahku di sana itu, yang pagarnya bambu, di dekat sebuah pos ronda yang dibangun bergotong-royong sebelum tahun baru. Di halaman rumah, aku punya kebun anggur, biar kecil, tetapi istriku rajin merawatnya, menggunting ranting yang nakal, menyapu daun-daun kering, ranting-ranting anggur itu terjulur sampai menyentuh genteng, rumahku jadi sejuk, para tetangga senang berkunjung, hanya untuk duduk-duduk, memetik anggur yang dekat, dan bersandar sambil berbincang tentang apa saja. Ada juga bunga matahari yang tertanam di pot-pot, berbaris di teras rumah, bersebelahan dengan bunga mawar, melati, dan tanaman bonsai.

Aku, meskipun bekerja sebagai buruh pabrik, tetapi hidupku sempurna, gaji bulanan memang kecil, itu pun sudah dengan korupsi kecil-kecilan setiap kali ada proyek bulanan. Aku bahagia di kota ini, terutama desa tempatku tinggal, begitu asri, bahkan secara khusus, desaku pernah jadi juara lomba kebersihan lingkungan, aku pun pernah ditunjuk jadi seksi kebersihan.

Tetapi tentu tak semuanya bersih, di kota ini, industri tumbuh seperti jamur musim penghujan. Sepanjang siang, aku akan memakai masker, helm, dan seragam, beradu dengan cerobong yang menganga, mengeluarkan gas dan menumpahkan limbah: plastik dan cairan kental berbau busuk. Saluran-saluran terkadang saling bersilang di tempat yang tak semestinya. Tetapi inilah hidup kami. Dan kami menikmatinya, dan kami mengamininya.”

Dalam setiap ucapannya yang entah kepada siapa, lelaki itu seperti hendak melakukan ziarah masa lalu, entahlah, apa yang diucapkannya seperti tidak pernah ada, seperti tidak mungkin ada di tempat yang penuh debu pejal seperti sekarang ini.

Debu itu, awalnya adalah air keruh di perut bumi, berupa titik yang tak terpikirkan, lalu sebuah industri merasa terdesak, lalu kepanikan melanda sebuah dusun, dinding retak, lalu tanah ikut merendah, bumi seperti sedang melakukan metabolisme tingkat tinggi. Selanjutnya semua menyebar, dari dusun ke dusun, bertambah luas area, desa, kecamatan, hingga bertahun-tahun kemudian, seluruh kota retak, pecah, semacam ledakan kimiawi yang menantang sebuah peradaban. Kemudian debu datang sebagai hadiah perpisahan, bersama dengan lubang menganga yang mengeluarkan asap menantang. Dan bumi, bagi mereka, seperti tak mau lagi berjabat tangan.

***

SESAAT terdengar derak-derak gerbong dan suara peluit kereta. Tak jauh. Mata lelaki itu selalu bisa menangkap bagaimana kereta menyibak kesuraman waktu, menyalakan lampu lokomotif yang temaram menelan udara kelabu. Kereta merangkak pelan, rel pernah terisap cairan keruh, yang setelah mengering hanya menitipkan debu. Kereta apakah yang melaju seperti cacing itu? Mutiara Timur? Sri Tanjung? Logawa? Warna gerbongnya begitu samar. Para penumpang dalam kereta pun hanya memandang, entah memandang apa. Sekali lagi, sebab ini bukan wisata, melainkan sebagai terapi hati yang bisa didatangi setiap hari.

“Lihat Nak, itu pasti tinggi dan dalam sekali.”
“Hebat ya, Bu. orang-orang bisa membuat gunung.”
“Itu bukan gunung, Nak. Tapi pulau, kita sedang melihat janin sebuah pulau.”
“Itu asap apa, Bu?”
“Anggap saja itu gunung berapi.”
“Gunung berapi?”
“Ya. Kamu harus tahu, pulau selalu punya gunung berapi.”

Rel kereta bergetar pelan, tak jauh di seberang rel, orang-orang pekerja sibuk menutupi jalan raya yang pecah, di mana-mana pecah, berlubang, dan memancar cairan kental, basah. Itu jalan raya terakhir yang masih bisa terlihat, mereka hendak menyelamatkannya. Orang-orang menutup pecahan itu dengan tanah, lalu merembes lagi. Orang-orang menimbunnya lagi, dengan karung beras, dengan batu-batu, lalu menambalnya dengan aspal panas. Namun tak lama, di bagian lain tak jauh dari situ, sebuah lubang muncul lagi, jalan retak lagi, orang-orang bekerja lagi. Jalan raya itu menjadi penuh tambalan yang memilukan, tanpa pola yang manis, abstrak, dan mencemaskan.

Dari kejauhan, lelaki itu bisa melihat mobil-mobil seperti terayun di lautan. Debu menjebak kaca mereka seperti malam menyergap kelam. Jurang mengancam. Kemudian ia kembali sibuk dengan monolog batinnya.

“Tentu saja, sepanjang hidup ini, sepanjang udara yang kuhirup di bawah kebun anggur, aku tak pernah terpikir untuk tidur di pasar, bertumpuk seperti bangkai binatang yang tak laku dijual. Tak pernah terpikir bahwa rumahku hanya setumpuk debu, sisa cairan yang mengendap bisu. Tetapi bukankah hidup penuh disharmoni?
“Memang seperti sihir saja, tak butuh waktu lama, tiba-tiba kota ini menjadi debu, rumahku menjadi debu, dinding retak seperti roti kering, bau menyengat tercium sampai ke tempat tidur kami. Air keruh, sumur seperti jurang neraka menganga, kami tak bertanya, tiba-tiba kami hanyalah sampul sebuah berita.

“Ya. Tiba-tiba dunia berubah, dunia menjadi sempit, sebatas pasar yang hampir runtuh, kami ditumpuk di sana, istriku begitu cepatnya menjadi tua, wajahnya keriput, dahinya mengkerut, anak-anakku muntaber, sekolahnya hanya di angan-angan. Buku-buku menjadi bungkus kacang yang dijual setengah kilo. Aku tidur bersama bau bacin selokan, selokan yang penuh limbah, yang ketika diperas akan mengucurkan uang, dan uang itu mengalir entah ke laut mana.

Kami, para lelaki yang masih memiliki tanggung jawab, hanya menghabiskan malam dengan main kartu, domino, tetapi kami tidak berjudi, apa yang harus dipakai untuk judi? Sampah-sampah? Bukankah kami yang justru telah menjadi korban perjudian? Kami juga main catur, kami gerakkan pion, dan setiap kali aku memindahkan sesuatu dalam petak segiempat itu, entah kuda, menteri, atau ratu, aku merasa memindahkan sebuah dunia, memindahkan sekumpulan nasib yang meraung-raung tak bisa kemana-mana. Tetapi itu hanya papan catur, yang ketika dini hari menyergap, maka akan dirapikan dan ditumpuk di atas kardus-kardus mie. Kami melihat mie seperti padi, menjadi makanan pokok, tetapi mie tak bisa ditanam, tak bisa dipanen, entahlah, plastik itu menjadi sangat berharga bagi kami. Setelah lelah bermain, kami pun kembali ke tempat masing-masing, melihat anak dan istri kami tak ubahnya calon ikan asin.

“Dunia kemudian hanya menawarkan sayuran yang tumpah. Malam hari dingin udara menusuk, siang hari panas merasuk, seharian bau badan membusuk. Tiba-tiba istriku bilang tidak kuat lagi. ia ingin pergi ke rumah orangtuanya. Tak jauh memang, hanya berselang beberapa kota. Anak-anak juga seperti lidi, kurus kering bukan karena dimakan usia atau penyakit, melainkan dimakan oleh manusia yang tak kasat mata. Ya, kami semua telah menjadi mangsa manusia. Dan yang tersisa hanya debu, yang membuat kami merasa hanya bertelanjang dada tanpa bisa tersedu.

“Anak-anakku dibawa istriku pergi, ke kota yang tak begitu kukenal. Sebenarnya ia sudah memaksaku ikut, tetapi, apakah mudah seseorang pindah dari kota yang lama ditinggalinya? Kota yang bertahun-tahun menabung kenangan di kepalanya? Aku memilih untuk tinggal, mengumpulkan kembali secercah harapan. Bahkan dalam debu pun aku berpikir tentang sisa keindahan, kota ini memang telah rata, sama dengan gurun Sahara, tetapi kenangan tak akan hilang, meski perjuangan hanya berhenti di tangan undang-undang, tetapi toh kami masih bisa merasakan gerimis turun di ubun-ubun kami, seperti hendak mencairkan pikiran yang membatu. Seperti ingin menghibur bahwa hidup tak selamanya peluru.

“Kami masih punya doa, kami punya mulut yang tak sepenuhnya terkatup, sudah habis rintihan, tetapi segalanya seperti ziarah, ketika Hari Raya tiba, seakan-akan sirna debu itu, seakan-akan kami menjelma kembali, dan orang-orang pun merasa takjub. Kemudian kami akan kembali, berdiri, berpencar, di batas-batas tempat kami pernah hidup sebagai manusia.”

***

SETIAP saat, suara lelaki itu terus menggema dan bertiup bersama debu, debu yang dinikmati sebagai bencana, sebagai sisa jelajah manusia. Lelaki itu sendiri masih berdiri di pintu batas kota, seperti pangeran yang tiba di panggung sandiwara, seperti pengelana yang merenungi sisa kepergiannya: Halaman rumahnya masih ia hapal, ia ingat betul berapa langkah untuk tiba di depan pagar, membuka pintu bambu yang artistik, lalu menerima sambutan hangat dari anak-anaknya yang masih kecil dan lucu. Tetapi kini tubuhnya pun hanya debu, berapa tahun ia tak berganti pakaian? Haruskah ia masih berpikir tentang penampilan? Di bibirnya yang pecah itu seperti memancar sisa-sisa doa.

“Ibu, Ibu, orang itu siapa?”
“Yang mana?”
“Itu, yang berdiri, yang bajunya abu-abu.”
“Abu-abu? Mana, sih?”
“Lho, Ibu tidak lihat? Itu, jelas kok, berdiri mengadap ke sana.”
“Ah, kamu ada-ada saja. Di sini sudah tidak ada orang tinggal, semuanya pergi...”

Orang-orang —siapa pun dan dari mana pun asalnya— memang tak pernah bertanya keberadaan sisa penduduk kota itu, semua jejak kisah dan jerit rintih meresap alami, mengendap dan hilang ke dalam debu. Seperti berita dalam koran bekas. Padahal mereka semua juga manusia, yang paham tentang hakikat kehilangan. Tetapi bukankah segenap cerita tentang manusia di tempat ini telah usai? Ya. Sama seperti benda-benda lain di kota ini, rasa kemanusiaan pun telah lama hilang, menjadi debu.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita