Sungging Raga
http://suaramerdeka.com/
DI matanya tersimpan ribuan kenangan yang ganjil tentang kota itu. Kota yang sekujur bangunan dan tanahnya —serta jurang semestanya— kini telah berselimut debu, tak tersisa bahkan reruntuhan secuil nisan pun, semuanya mendadak abu-abu seragam, seperti bangunan sejarah yang menganga, dengan masih menyisakan beberapa helai napas penduduknya.
Orang-orang datang ke kota itu hanya untuk berwisata, bukan tentang keindahan, melainkan tentang rasa kehilangan. Lelaki itu, masih dengan matanya, menatap kotanya sendiri dengan perasaan yang menggebu, ia seperti berdiri di tapal batas, di sebuah medan yang memisahkan masa depan dengan masa lalu, ia tak lagi bisa bergerak, sekujur tubuhnya kaku, seperti kepedihan yang menahannya selama bertahun-tahun di tempatnya berdiri. Sekarang ia hanya bisa memandang, tanpa bisa dipandang oleh orang-orang yang berlalu-lalang —ia telah terbungkus debu yang amat berjarak bagi setiap penglihatan.
Mengunjungi kota itu seperti mengunjungi detik-detik kematian. Aroma debu terasa sampai ke hidung, aroma penderitaan terasa sampai ke ubun-ubun. Aroma kematian seperti cuaca kemarau yang tersedak. Dan hujan tak pernah datang, kecuali dalam puisi anak-anak yang sekolahnya telah sempurna terendam.
Bagaimana pun, ingatan akan tetap berjalan, bersama tumpukan kisah yang berkelindan, menebas masa lalu yang tumbuh sewaktu-waktu. Ingatan itu mengucur setiap saat dalam pikirannya. Lelaki itu akan selalu punya cara, entah bagaimana, untuk tetap menganggap kota ini masih berbentuk seperti sedia kala.
“Dulu, rumahku di sana itu, yang pagarnya bambu, di dekat sebuah pos ronda yang dibangun bergotong-royong sebelum tahun baru. Di halaman rumah, aku punya kebun anggur, biar kecil, tetapi istriku rajin merawatnya, menggunting ranting yang nakal, menyapu daun-daun kering, ranting-ranting anggur itu terjulur sampai menyentuh genteng, rumahku jadi sejuk, para tetangga senang berkunjung, hanya untuk duduk-duduk, memetik anggur yang dekat, dan bersandar sambil berbincang tentang apa saja. Ada juga bunga matahari yang tertanam di pot-pot, berbaris di teras rumah, bersebelahan dengan bunga mawar, melati, dan tanaman bonsai.
Aku, meskipun bekerja sebagai buruh pabrik, tetapi hidupku sempurna, gaji bulanan memang kecil, itu pun sudah dengan korupsi kecil-kecilan setiap kali ada proyek bulanan. Aku bahagia di kota ini, terutama desa tempatku tinggal, begitu asri, bahkan secara khusus, desaku pernah jadi juara lomba kebersihan lingkungan, aku pun pernah ditunjuk jadi seksi kebersihan.
Tetapi tentu tak semuanya bersih, di kota ini, industri tumbuh seperti jamur musim penghujan. Sepanjang siang, aku akan memakai masker, helm, dan seragam, beradu dengan cerobong yang menganga, mengeluarkan gas dan menumpahkan limbah: plastik dan cairan kental berbau busuk. Saluran-saluran terkadang saling bersilang di tempat yang tak semestinya. Tetapi inilah hidup kami. Dan kami menikmatinya, dan kami mengamininya.”
Dalam setiap ucapannya yang entah kepada siapa, lelaki itu seperti hendak melakukan ziarah masa lalu, entahlah, apa yang diucapkannya seperti tidak pernah ada, seperti tidak mungkin ada di tempat yang penuh debu pejal seperti sekarang ini.
Debu itu, awalnya adalah air keruh di perut bumi, berupa titik yang tak terpikirkan, lalu sebuah industri merasa terdesak, lalu kepanikan melanda sebuah dusun, dinding retak, lalu tanah ikut merendah, bumi seperti sedang melakukan metabolisme tingkat tinggi. Selanjutnya semua menyebar, dari dusun ke dusun, bertambah luas area, desa, kecamatan, hingga bertahun-tahun kemudian, seluruh kota retak, pecah, semacam ledakan kimiawi yang menantang sebuah peradaban. Kemudian debu datang sebagai hadiah perpisahan, bersama dengan lubang menganga yang mengeluarkan asap menantang. Dan bumi, bagi mereka, seperti tak mau lagi berjabat tangan.
***
SESAAT terdengar derak-derak gerbong dan suara peluit kereta. Tak jauh. Mata lelaki itu selalu bisa menangkap bagaimana kereta menyibak kesuraman waktu, menyalakan lampu lokomotif yang temaram menelan udara kelabu. Kereta merangkak pelan, rel pernah terisap cairan keruh, yang setelah mengering hanya menitipkan debu. Kereta apakah yang melaju seperti cacing itu? Mutiara Timur? Sri Tanjung? Logawa? Warna gerbongnya begitu samar. Para penumpang dalam kereta pun hanya memandang, entah memandang apa. Sekali lagi, sebab ini bukan wisata, melainkan sebagai terapi hati yang bisa didatangi setiap hari.
“Lihat Nak, itu pasti tinggi dan dalam sekali.”
“Hebat ya, Bu. orang-orang bisa membuat gunung.”
“Itu bukan gunung, Nak. Tapi pulau, kita sedang melihat janin sebuah pulau.”
“Itu asap apa, Bu?”
“Anggap saja itu gunung berapi.”
“Gunung berapi?”
“Ya. Kamu harus tahu, pulau selalu punya gunung berapi.”
Rel kereta bergetar pelan, tak jauh di seberang rel, orang-orang pekerja sibuk menutupi jalan raya yang pecah, di mana-mana pecah, berlubang, dan memancar cairan kental, basah. Itu jalan raya terakhir yang masih bisa terlihat, mereka hendak menyelamatkannya. Orang-orang menutup pecahan itu dengan tanah, lalu merembes lagi. Orang-orang menimbunnya lagi, dengan karung beras, dengan batu-batu, lalu menambalnya dengan aspal panas. Namun tak lama, di bagian lain tak jauh dari situ, sebuah lubang muncul lagi, jalan retak lagi, orang-orang bekerja lagi. Jalan raya itu menjadi penuh tambalan yang memilukan, tanpa pola yang manis, abstrak, dan mencemaskan.
Dari kejauhan, lelaki itu bisa melihat mobil-mobil seperti terayun di lautan. Debu menjebak kaca mereka seperti malam menyergap kelam. Jurang mengancam. Kemudian ia kembali sibuk dengan monolog batinnya.
“Tentu saja, sepanjang hidup ini, sepanjang udara yang kuhirup di bawah kebun anggur, aku tak pernah terpikir untuk tidur di pasar, bertumpuk seperti bangkai binatang yang tak laku dijual. Tak pernah terpikir bahwa rumahku hanya setumpuk debu, sisa cairan yang mengendap bisu. Tetapi bukankah hidup penuh disharmoni?
“Memang seperti sihir saja, tak butuh waktu lama, tiba-tiba kota ini menjadi debu, rumahku menjadi debu, dinding retak seperti roti kering, bau menyengat tercium sampai ke tempat tidur kami. Air keruh, sumur seperti jurang neraka menganga, kami tak bertanya, tiba-tiba kami hanyalah sampul sebuah berita.
“Ya. Tiba-tiba dunia berubah, dunia menjadi sempit, sebatas pasar yang hampir runtuh, kami ditumpuk di sana, istriku begitu cepatnya menjadi tua, wajahnya keriput, dahinya mengkerut, anak-anakku muntaber, sekolahnya hanya di angan-angan. Buku-buku menjadi bungkus kacang yang dijual setengah kilo. Aku tidur bersama bau bacin selokan, selokan yang penuh limbah, yang ketika diperas akan mengucurkan uang, dan uang itu mengalir entah ke laut mana.
Kami, para lelaki yang masih memiliki tanggung jawab, hanya menghabiskan malam dengan main kartu, domino, tetapi kami tidak berjudi, apa yang harus dipakai untuk judi? Sampah-sampah? Bukankah kami yang justru telah menjadi korban perjudian? Kami juga main catur, kami gerakkan pion, dan setiap kali aku memindahkan sesuatu dalam petak segiempat itu, entah kuda, menteri, atau ratu, aku merasa memindahkan sebuah dunia, memindahkan sekumpulan nasib yang meraung-raung tak bisa kemana-mana. Tetapi itu hanya papan catur, yang ketika dini hari menyergap, maka akan dirapikan dan ditumpuk di atas kardus-kardus mie. Kami melihat mie seperti padi, menjadi makanan pokok, tetapi mie tak bisa ditanam, tak bisa dipanen, entahlah, plastik itu menjadi sangat berharga bagi kami. Setelah lelah bermain, kami pun kembali ke tempat masing-masing, melihat anak dan istri kami tak ubahnya calon ikan asin.
“Dunia kemudian hanya menawarkan sayuran yang tumpah. Malam hari dingin udara menusuk, siang hari panas merasuk, seharian bau badan membusuk. Tiba-tiba istriku bilang tidak kuat lagi. ia ingin pergi ke rumah orangtuanya. Tak jauh memang, hanya berselang beberapa kota. Anak-anak juga seperti lidi, kurus kering bukan karena dimakan usia atau penyakit, melainkan dimakan oleh manusia yang tak kasat mata. Ya, kami semua telah menjadi mangsa manusia. Dan yang tersisa hanya debu, yang membuat kami merasa hanya bertelanjang dada tanpa bisa tersedu.
“Anak-anakku dibawa istriku pergi, ke kota yang tak begitu kukenal. Sebenarnya ia sudah memaksaku ikut, tetapi, apakah mudah seseorang pindah dari kota yang lama ditinggalinya? Kota yang bertahun-tahun menabung kenangan di kepalanya? Aku memilih untuk tinggal, mengumpulkan kembali secercah harapan. Bahkan dalam debu pun aku berpikir tentang sisa keindahan, kota ini memang telah rata, sama dengan gurun Sahara, tetapi kenangan tak akan hilang, meski perjuangan hanya berhenti di tangan undang-undang, tetapi toh kami masih bisa merasakan gerimis turun di ubun-ubun kami, seperti hendak mencairkan pikiran yang membatu. Seperti ingin menghibur bahwa hidup tak selamanya peluru.
“Kami masih punya doa, kami punya mulut yang tak sepenuhnya terkatup, sudah habis rintihan, tetapi segalanya seperti ziarah, ketika Hari Raya tiba, seakan-akan sirna debu itu, seakan-akan kami menjelma kembali, dan orang-orang pun merasa takjub. Kemudian kami akan kembali, berdiri, berpencar, di batas-batas tempat kami pernah hidup sebagai manusia.”
***
SETIAP saat, suara lelaki itu terus menggema dan bertiup bersama debu, debu yang dinikmati sebagai bencana, sebagai sisa jelajah manusia. Lelaki itu sendiri masih berdiri di pintu batas kota, seperti pangeran yang tiba di panggung sandiwara, seperti pengelana yang merenungi sisa kepergiannya: Halaman rumahnya masih ia hapal, ia ingat betul berapa langkah untuk tiba di depan pagar, membuka pintu bambu yang artistik, lalu menerima sambutan hangat dari anak-anaknya yang masih kecil dan lucu. Tetapi kini tubuhnya pun hanya debu, berapa tahun ia tak berganti pakaian? Haruskah ia masih berpikir tentang penampilan? Di bibirnya yang pecah itu seperti memancar sisa-sisa doa.
“Ibu, Ibu, orang itu siapa?”
“Yang mana?”
“Itu, yang berdiri, yang bajunya abu-abu.”
“Abu-abu? Mana, sih?”
“Lho, Ibu tidak lihat? Itu, jelas kok, berdiri mengadap ke sana.”
“Ah, kamu ada-ada saja. Di sini sudah tidak ada orang tinggal, semuanya pergi...”
Orang-orang —siapa pun dan dari mana pun asalnya— memang tak pernah bertanya keberadaan sisa penduduk kota itu, semua jejak kisah dan jerit rintih meresap alami, mengendap dan hilang ke dalam debu. Seperti berita dalam koran bekas. Padahal mereka semua juga manusia, yang paham tentang hakikat kehilangan. Tetapi bukankah segenap cerita tentang manusia di tempat ini telah usai? Ya. Sama seperti benda-benda lain di kota ini, rasa kemanusiaan pun telah lama hilang, menjadi debu.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
14/11/10
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar