14/11/10

Kembali ke Bumi Tempat Berpijak

Bambang Bujono
http://majalah.tempointeraktif.com/

ADA masa ketika kita merindukan hal-hal yang sepele, pribadi sifatnya, tentang kegiatan dan apa pun yang tak jauh dari sekitar. Sehelai daun bunga yang jatuh di samping pot, langit luas di angkasa, atau sekadar aktivitas menyiram tanaman di halaman.

Itulah antara lain yang terkesan dari karya-karya seni rupa Lorong ke Masa Depan: Seni Rupa Generasi Baru Jepang. Sebuah pameran yang tak "meledak-ledak", rapi, dan dalam ruang yang-kebetulan, agaknya-pas: dinding melengkung Galeri Salihara, Jakarta Selatan, yang memberikan rasa akrab.

Keakraban itu kita rasakan ketika melihat seorang perempuan-mungkin tetangga kita-menyirami tanaman dengan air yang menyemprot dari selang plastik, di area lingkungan yang tampaknya urban. Kegiatan yang terbilang biasa, rutin, dan tak memerlukan komentar.

Fotografer Masafumi Sanai (lahir pada 1968) pun merekam kegiatan ini dengan cara biasa: seperti langsung "jepret", tanpa upaya memilih sudut pengambilan yang, misalnya, menghasilkan pemandangan yang tak sehari-hari. Seluruhnya, dalam karya ini, tersaji apa adanya: warna tanaman, tembok yang keabu-abuan, susunan obyek lain.

Lalu mengapa ini disebut karya seni rupa?

Sanai rupanya tidak "merekam" obyek dan kegiatan dengan kameranya. Fotografer yang berdomisili di Tokyo ini lebih tepat dikatakan "membekukan" obyek dan pemandangan lain, ketika denyut kehidupan hampir tak ada.

Tanaman itu "beku" seolah tak ada sepoi angin pun. Bahkan air yang menyemprot tak menggerakkan tanaman. Dan air membentuk garis agak lengkung yang keluar dari selang plastik itu pun "beku", tak mengesankan ada riak sedikit pun. Juga, tak terkesan ada ekspresi pada wajah perempuan itu.

"Pembekuan" itulah agaknya yang membuat karya Sanai "berhenti" menjadi foto fungsional yang lazim tersimpan dalam album foto keluarga.

Itu juga yang terkesan dari foto lahan luas keokeran, sepi, hanya sejumlah gawang (?) putih terserak jauh. Atau, sebuah rambu dilarang parkir yang sedikit penyok di pinggir. Juga foto pesawat "berhenti" dengan posisi mendongak. Dan sebuah close-up tumbuhan di sebuah pot. Semua "beku" tanpa gerak.

Di tengah pameran seni rupa yang kini biasanya menampilkan tema serta bentuk yang "besar", menyuguhkan berbagai "problem" manusia, pameran Generasi Baru Jepang ini berada di seberangnya.

Pameran ini menyuguhkan keseharian yang terkesan remeh-temeh tapi sublim karena ditampilkan dengan kecermatan seorang perajin yang mencintai material yang digarap dan digunakannya.

Kesebelas perupa Jepang ini kelahiran 1960-an dan 1970-an. Mereka dibesarkan, menurut dua penulis dalam katalog (Masanobu Ito dari Departemen Seni Rupa Japan Foundation dan Tetsuo Shimozu, kritikus yang mengajar di Universitas Zoke, Tokyo), ketika ilmu dan teknologi Jepang beralih dari produk yang "berat dan besar" ke produk "ringan dan mungil".

Dua peristiwa mempengaruhi mereka: pecahnya gelembung ekonomi Jepang pada 1980-an, dan usainya Perang Dingin pada akhir 1980-an. Dua peristiwa itu, tulis Ito, membuat mereka lebih "memperhatikan aspek sepele dan personal dalam hidup, dan memandang dengan kesegaran baru pada bumi tempat mereka berpijak".

Tentu saja mereka tak kembali ke masa Jepang klasik, ketika lukisan adalah pemandangan serba tenteram. Atau ke karya keramik, yang seolah menyimpan "jiwa" keramikusnya.

Bagaimanapun, mereka adalah generasi yang menyaksikan (juga tentunya mempelajari) masa ketika "seni rupa bisa apa saja" dan karena itu "seni rupa sudah mati". Diperlukan cara pandang berbeda ketika karya seni rupa bukan lagi diapresiasi, terutama, dengan cara melihat.

Yang terkesan dari pameran ini, betapapun sepele bentuk dan tema karya, cakrawala kreativitas mereka seluas perkembangan seni rupa masa kini. Setidaknya, perambahan media mereka tak terbatas.

Maka Miyuki Yokomizo, seorang pematung, dengan santai menciptakan karya instalasi: dua ruang berdampingan dengan dinding membentuk huruf "s" dengan sudut 90 derajat. Dinding itu sendiri terdiri atas rangkaian sabun berwarna-warni. Cahaya yang melewati dinding karena itu pun berwarna-warni. Judul karya ini: Silakan Hanyut.

Juga karya Katsuhiro Saiki "kontemporer" dalam bentuk. Ia mencetak foto pada aluminium, foto-foto langit nan luas, yang tiba-tiba kita temukan pesawat, sangat mungil, atau garis putih yang adalah asap pesawat. Karya foto Saiki tak digantung di dinding, tapi ditaruh di lantai.

Karya instalasi Tabaimo mirip miniatur karya arsitek. Dalam bangunan itulah ia putar karya videonya. Kita melihatnya serasa mengintip film porno. Film Tabaimo, tertera di katalog, "menjajarkan problem masa kini". Maka ada suasana di sebuah jalan kota, dan adegan di dapur.

Menurut Ito, karya Tabaimo diilhami oleh pertunjukan dalam tenda pada abad ke-19, yang vulgar tapi membangkitkan rasa penasaran dan keingintahuan masyarakat.

Juga Tetsuya Nakamura, yang menghadirkan obyek yang disebutnya patung. Tapi obyek itu dia bikin sendiri, bukan bikinan pabrik, meski diusahakan mirip produk pabrik.

"Patung" Nakamura berbentuk mirip mobil balap, merah, dengan permukaan halus licin. Kilat, demikian judul karya ini, serasa tak ingin menyajikan hal-hal besar, protes terhadap industri otomotif misalnya. Karya ini serasa hanya memberikan sugesti bahwa bentuk seperti itu bisa bergerak secepat kilat.

Dua karya instalasi ini hadir seperti juga sebuah patung, meja, almari di sekeliling kita: terasa tidak aneh, sehari-hari, dan bila diperhatikan ternyata ada "sesuatu"-nya.

Gagasan itulah-bahwa lingkungan sehari-hari kita yang lazimnya kita lewatkan begitu saja tanpa perhatian ternyata menyimpan hal-hal yang tak kita duga-menjadi napas lukisan Atsushi Fukui dan Nobuyuki Takahashi.

Sebuah sudut di anak tangga dalam suatu ruang; jalan aspal yang sering kita lalui lengkap dengan rerumputan di pinggirnya; sisi jendela; atau jendela kaca berdebu. Ada sesuatu yang kita temukan di pemandangan biasa itu dalam karya Atsushi Fukui ini.

Fukui tak melukiskan obyek dengan realistis. Ia membagankan pemandangan, menarik garis besar, dalam komposisi yang ia kehendaki, lalu mewarnainya dengan warna-warna muda dan ringan nan datar.

Sedangkan Takahashi, meringkas pemandangan, hanya menampilkan sisi-sisi penting, setelah pemandangan itu ia ubah-seperti pada Fukui tampaknya-menjadi hanya "garis besar".

Maka Sumber Air Panas Terpencil hanyalah beberapa garis yang mengesankan rumah, dan air mengalir. Pohon Jeruk Keprok di Musim Panas hanyalah garis-garis patah hitam yang mengesankan pohon dan bulatan-bulatan kuning muda dan kuning keokeran yang adalah buah jeruk.

Barangkali inilah yang dimaksudkan oleh Ito "memandang dengan kesegaran baru pada bumi tempat berpijak". Dua pelukis itu tak hendak mengkopi alam, tapi dengan santai dan bebas (segar mungkin) menyusun kembali alam pemandangan itu. Rasa akrab terhadap obyek yang diambil memungkinkan mereka berbuat "semaunya" tanpa menghilangkan sang obyek.

Kesegaran itu pula yang disuguhkan dua karya seni rupa video: oleh kelompok Maywa Denki dan Tomayasu Murata.

Kelompok Maywa Denki menyegarkan proses kreatif dengan mengubah istilah. Bila mereka bekerja, semuanya berseragam biru seperti karyawan pabrik. Mereka namakan studionya pabrik; dan mereka sebut karya seni rupa mereka sebagai produk.

Mereka memang menciptakan karya-karya terinspirasi barang pabrik: dari mainan sampai alat olahraga dan instrumen musik. Karya Maywa Denki bisa digunakan juga, tentu tak sepenuh mirip barang sebenarnya. Harpa Ikan, misalnya, yang dipamerkan di Salihara ini, bisa dibunyikan. Bahkan, menurut katalog, kelompok yang dipimpin oleh Nobumichi Tosa ini suka membuat pertunjukan musik, misalnya, dan instrumennya adalah Harpa Ikan tadi dan lain-lain.

Mereka sendiri menyebut karya mereka sebagai "mesin-mesin entah" (nonsense machines). Semacam parodi untuk produk pabrik? Mungkin; dengan catatan: ini bukan parodi yang mengejek, apalagi mengkritik. Ini "parodi" demi menemukan bentuk baru dengan fungsi baru sebuah produk, dengan semangat apa saja bisa terjadi.

Sedangkan video Murata memang sebuah animasi tiga dimensi, yang seluruhnya-dari membuat bonekanya, menyusun ceritanya, perekamannya dengan kamera video-dikerjakan sendiri. Karena itu, ia bisa "seenaknya", membelokkan atau menyusun rangkaian gambar.

Karya tiga dimensi Satoshi Hirose tampaknya juga berangkat dari produk pabrik, benda hias yang dimasukkan ke kotak kaca, terutama karya yang bertema semesta.

Maka Napoletana Mini adalah tiga rumah dan bintang-bintang dalam sebuah kotak kaca (?). Tapi tiga rumah itu menempel pada bidang atas kotak, sedangkan bintang-bintang yang sekilas hanya serupa noktah biru ditaruh di bidang dasar. Jungkir balik jadinya, seperti "napoletana" bejana untuk mengocok kopi yang memang harus dijungkirbalikkan.

Karya paling "sepele" dalam pameran ini adalah patung kayu selembar daun bunga peoni merah darah dalam ukuran sebenarnya, lengkap dengan setangkai benang sari dan serbuknya. Begitu kecilnya patung Yoshihiro Suda ini hingga memerlukan pendamping sebagai "tanda" bahwa ada patung, begitu kira-kira. Pendamping itu adalah mangkuk keramik hitam, bukan karya Suda.

Disebut-sebut dalam katalog bahwa pameran ini mewakili pandangan generasi muda Jepang kini: sebuah masa depan yang tidak pasti. Ketika karya bukan hanya multifokus, melainkan tanpa fokus. Ketika "tata bahasa" karya kontemporer tak lagi relevan dengan yang mereka lihat sehari-hari. Mereka kembali ke dalam diri sambil menyertakan lingkungan terdekat, termasuk kembali ke dunia kekriyaan Jepang masa silam.

Dan, itu tadi, mereka masuk ke dalam diri tapi dengan perbendaharaan yang begitu luas, perbendaharaan "seni rupa sudah mati" dan "seni rupa bisa apa saja".

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita