Bambang Bujono
http://majalah.tempointeraktif.com/
ADA masa ketika kita merindukan hal-hal yang sepele, pribadi sifatnya, tentang kegiatan dan apa pun yang tak jauh dari sekitar. Sehelai daun bunga yang jatuh di samping pot, langit luas di angkasa, atau sekadar aktivitas menyiram tanaman di halaman.
Itulah antara lain yang terkesan dari karya-karya seni rupa Lorong ke Masa Depan: Seni Rupa Generasi Baru Jepang. Sebuah pameran yang tak "meledak-ledak", rapi, dan dalam ruang yang-kebetulan, agaknya-pas: dinding melengkung Galeri Salihara, Jakarta Selatan, yang memberikan rasa akrab.
Keakraban itu kita rasakan ketika melihat seorang perempuan-mungkin tetangga kita-menyirami tanaman dengan air yang menyemprot dari selang plastik, di area lingkungan yang tampaknya urban. Kegiatan yang terbilang biasa, rutin, dan tak memerlukan komentar.
Fotografer Masafumi Sanai (lahir pada 1968) pun merekam kegiatan ini dengan cara biasa: seperti langsung "jepret", tanpa upaya memilih sudut pengambilan yang, misalnya, menghasilkan pemandangan yang tak sehari-hari. Seluruhnya, dalam karya ini, tersaji apa adanya: warna tanaman, tembok yang keabu-abuan, susunan obyek lain.
Lalu mengapa ini disebut karya seni rupa?
Sanai rupanya tidak "merekam" obyek dan kegiatan dengan kameranya. Fotografer yang berdomisili di Tokyo ini lebih tepat dikatakan "membekukan" obyek dan pemandangan lain, ketika denyut kehidupan hampir tak ada.
Tanaman itu "beku" seolah tak ada sepoi angin pun. Bahkan air yang menyemprot tak menggerakkan tanaman. Dan air membentuk garis agak lengkung yang keluar dari selang plastik itu pun "beku", tak mengesankan ada riak sedikit pun. Juga, tak terkesan ada ekspresi pada wajah perempuan itu.
"Pembekuan" itulah agaknya yang membuat karya Sanai "berhenti" menjadi foto fungsional yang lazim tersimpan dalam album foto keluarga.
Itu juga yang terkesan dari foto lahan luas keokeran, sepi, hanya sejumlah gawang (?) putih terserak jauh. Atau, sebuah rambu dilarang parkir yang sedikit penyok di pinggir. Juga foto pesawat "berhenti" dengan posisi mendongak. Dan sebuah close-up tumbuhan di sebuah pot. Semua "beku" tanpa gerak.
Di tengah pameran seni rupa yang kini biasanya menampilkan tema serta bentuk yang "besar", menyuguhkan berbagai "problem" manusia, pameran Generasi Baru Jepang ini berada di seberangnya.
Pameran ini menyuguhkan keseharian yang terkesan remeh-temeh tapi sublim karena ditampilkan dengan kecermatan seorang perajin yang mencintai material yang digarap dan digunakannya.
Kesebelas perupa Jepang ini kelahiran 1960-an dan 1970-an. Mereka dibesarkan, menurut dua penulis dalam katalog (Masanobu Ito dari Departemen Seni Rupa Japan Foundation dan Tetsuo Shimozu, kritikus yang mengajar di Universitas Zoke, Tokyo), ketika ilmu dan teknologi Jepang beralih dari produk yang "berat dan besar" ke produk "ringan dan mungil".
Dua peristiwa mempengaruhi mereka: pecahnya gelembung ekonomi Jepang pada 1980-an, dan usainya Perang Dingin pada akhir 1980-an. Dua peristiwa itu, tulis Ito, membuat mereka lebih "memperhatikan aspek sepele dan personal dalam hidup, dan memandang dengan kesegaran baru pada bumi tempat mereka berpijak".
Tentu saja mereka tak kembali ke masa Jepang klasik, ketika lukisan adalah pemandangan serba tenteram. Atau ke karya keramik, yang seolah menyimpan "jiwa" keramikusnya.
Bagaimanapun, mereka adalah generasi yang menyaksikan (juga tentunya mempelajari) masa ketika "seni rupa bisa apa saja" dan karena itu "seni rupa sudah mati". Diperlukan cara pandang berbeda ketika karya seni rupa bukan lagi diapresiasi, terutama, dengan cara melihat.
Yang terkesan dari pameran ini, betapapun sepele bentuk dan tema karya, cakrawala kreativitas mereka seluas perkembangan seni rupa masa kini. Setidaknya, perambahan media mereka tak terbatas.
Maka Miyuki Yokomizo, seorang pematung, dengan santai menciptakan karya instalasi: dua ruang berdampingan dengan dinding membentuk huruf "s" dengan sudut 90 derajat. Dinding itu sendiri terdiri atas rangkaian sabun berwarna-warni. Cahaya yang melewati dinding karena itu pun berwarna-warni. Judul karya ini: Silakan Hanyut.
Juga karya Katsuhiro Saiki "kontemporer" dalam bentuk. Ia mencetak foto pada aluminium, foto-foto langit nan luas, yang tiba-tiba kita temukan pesawat, sangat mungil, atau garis putih yang adalah asap pesawat. Karya foto Saiki tak digantung di dinding, tapi ditaruh di lantai.
Karya instalasi Tabaimo mirip miniatur karya arsitek. Dalam bangunan itulah ia putar karya videonya. Kita melihatnya serasa mengintip film porno. Film Tabaimo, tertera di katalog, "menjajarkan problem masa kini". Maka ada suasana di sebuah jalan kota, dan adegan di dapur.
Menurut Ito, karya Tabaimo diilhami oleh pertunjukan dalam tenda pada abad ke-19, yang vulgar tapi membangkitkan rasa penasaran dan keingintahuan masyarakat.
Juga Tetsuya Nakamura, yang menghadirkan obyek yang disebutnya patung. Tapi obyek itu dia bikin sendiri, bukan bikinan pabrik, meski diusahakan mirip produk pabrik.
"Patung" Nakamura berbentuk mirip mobil balap, merah, dengan permukaan halus licin. Kilat, demikian judul karya ini, serasa tak ingin menyajikan hal-hal besar, protes terhadap industri otomotif misalnya. Karya ini serasa hanya memberikan sugesti bahwa bentuk seperti itu bisa bergerak secepat kilat.
Dua karya instalasi ini hadir seperti juga sebuah patung, meja, almari di sekeliling kita: terasa tidak aneh, sehari-hari, dan bila diperhatikan ternyata ada "sesuatu"-nya.
Gagasan itulah-bahwa lingkungan sehari-hari kita yang lazimnya kita lewatkan begitu saja tanpa perhatian ternyata menyimpan hal-hal yang tak kita duga-menjadi napas lukisan Atsushi Fukui dan Nobuyuki Takahashi.
Sebuah sudut di anak tangga dalam suatu ruang; jalan aspal yang sering kita lalui lengkap dengan rerumputan di pinggirnya; sisi jendela; atau jendela kaca berdebu. Ada sesuatu yang kita temukan di pemandangan biasa itu dalam karya Atsushi Fukui ini.
Fukui tak melukiskan obyek dengan realistis. Ia membagankan pemandangan, menarik garis besar, dalam komposisi yang ia kehendaki, lalu mewarnainya dengan warna-warna muda dan ringan nan datar.
Sedangkan Takahashi, meringkas pemandangan, hanya menampilkan sisi-sisi penting, setelah pemandangan itu ia ubah-seperti pada Fukui tampaknya-menjadi hanya "garis besar".
Maka Sumber Air Panas Terpencil hanyalah beberapa garis yang mengesankan rumah, dan air mengalir. Pohon Jeruk Keprok di Musim Panas hanyalah garis-garis patah hitam yang mengesankan pohon dan bulatan-bulatan kuning muda dan kuning keokeran yang adalah buah jeruk.
Barangkali inilah yang dimaksudkan oleh Ito "memandang dengan kesegaran baru pada bumi tempat berpijak". Dua pelukis itu tak hendak mengkopi alam, tapi dengan santai dan bebas (segar mungkin) menyusun kembali alam pemandangan itu. Rasa akrab terhadap obyek yang diambil memungkinkan mereka berbuat "semaunya" tanpa menghilangkan sang obyek.
Kesegaran itu pula yang disuguhkan dua karya seni rupa video: oleh kelompok Maywa Denki dan Tomayasu Murata.
Kelompok Maywa Denki menyegarkan proses kreatif dengan mengubah istilah. Bila mereka bekerja, semuanya berseragam biru seperti karyawan pabrik. Mereka namakan studionya pabrik; dan mereka sebut karya seni rupa mereka sebagai produk.
Mereka memang menciptakan karya-karya terinspirasi barang pabrik: dari mainan sampai alat olahraga dan instrumen musik. Karya Maywa Denki bisa digunakan juga, tentu tak sepenuh mirip barang sebenarnya. Harpa Ikan, misalnya, yang dipamerkan di Salihara ini, bisa dibunyikan. Bahkan, menurut katalog, kelompok yang dipimpin oleh Nobumichi Tosa ini suka membuat pertunjukan musik, misalnya, dan instrumennya adalah Harpa Ikan tadi dan lain-lain.
Mereka sendiri menyebut karya mereka sebagai "mesin-mesin entah" (nonsense machines). Semacam parodi untuk produk pabrik? Mungkin; dengan catatan: ini bukan parodi yang mengejek, apalagi mengkritik. Ini "parodi" demi menemukan bentuk baru dengan fungsi baru sebuah produk, dengan semangat apa saja bisa terjadi.
Sedangkan video Murata memang sebuah animasi tiga dimensi, yang seluruhnya-dari membuat bonekanya, menyusun ceritanya, perekamannya dengan kamera video-dikerjakan sendiri. Karena itu, ia bisa "seenaknya", membelokkan atau menyusun rangkaian gambar.
Karya tiga dimensi Satoshi Hirose tampaknya juga berangkat dari produk pabrik, benda hias yang dimasukkan ke kotak kaca, terutama karya yang bertema semesta.
Maka Napoletana Mini adalah tiga rumah dan bintang-bintang dalam sebuah kotak kaca (?). Tapi tiga rumah itu menempel pada bidang atas kotak, sedangkan bintang-bintang yang sekilas hanya serupa noktah biru ditaruh di bidang dasar. Jungkir balik jadinya, seperti "napoletana" bejana untuk mengocok kopi yang memang harus dijungkirbalikkan.
Karya paling "sepele" dalam pameran ini adalah patung kayu selembar daun bunga peoni merah darah dalam ukuran sebenarnya, lengkap dengan setangkai benang sari dan serbuknya. Begitu kecilnya patung Yoshihiro Suda ini hingga memerlukan pendamping sebagai "tanda" bahwa ada patung, begitu kira-kira. Pendamping itu adalah mangkuk keramik hitam, bukan karya Suda.
Disebut-sebut dalam katalog bahwa pameran ini mewakili pandangan generasi muda Jepang kini: sebuah masa depan yang tidak pasti. Ketika karya bukan hanya multifokus, melainkan tanpa fokus. Ketika "tata bahasa" karya kontemporer tak lagi relevan dengan yang mereka lihat sehari-hari. Mereka kembali ke dalam diri sambil menyertakan lingkungan terdekat, termasuk kembali ke dunia kekriyaan Jepang masa silam.
Dan, itu tadi, mereka masuk ke dalam diri tapi dengan perbendaharaan yang begitu luas, perbendaharaan "seni rupa sudah mati" dan "seni rupa bisa apa saja".
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar