17/10/10

Perjalanan Sastra di Banyuwangi

Fatah Yasin Noor*
http://www.sastra-indonesia.com/

GELIAT dan pertumbuhan sastra Banyuwangi kontemporer, sebenarnya sudah dimulai sejak tahun-tahun awal 60-an. Ini dilakukan oleh sejumlah penyair Banyuwangi yang berkarya di luar Banyuwangi, seperti Armaya yang rajin menuliskan karyanya di Majalah Siasat tahun 1960 dan dalam antologi Manifes bersama Goenawan Mohamad yang diterbitkan Tintamas-Djakarta, 1963. Begitu juga yang dilakukan oleh Chosin Djauhari yang termasuk dalam Pujangga Baru. Di Banyuwangi sendiri, sejak tahun 70-an, geliat sastra mulai tumbuh dengan suburnya, baik sastra berbahasa Indonesia maupun yang berdialek daerah Using. Periode tahun 70-an ini diawali dengan kemunculan pembacaan dan apresiasi sastra di stasiun radio, yakni di RKPD (Radio Khusus Pemerintah Daerah) Banyuwangi. Puisi-puisi yang ditulis secara personala oleh sejumlah penyair Banyuwangi kemudian di bacakan di stasiun radio tersebut yang meluangkan waktunya dalam program sastra. Periode tahun 70-an ini, saya sebut saja sebagai “Periode RKPD”. Di situlah para penyair Banyuwangi membacakan puisi-puisinya dan mengapresiasi, di antara para penyair yang merintis pertumbuhan sastra di Banyuwangi adalah; Armaya, Hasnan Singodimayan, Pomo Martadi, Yoko S. Pasandaran, Slamet Utomo, dan Cipto Abadi. Puisi-puisi mereka tersebar di pelbagai media massa nasional. Misalnya Armaya dalam Bendera Sastra Jogja, Pomo Martadi di Pelopor Jogja. Sayangnya, di antara nama-nama yang saya sebutkan tadi, tidak ada yang memiliki antologi puisi tunggal, kecuali Hasnan Singodimayan yang telah menerbitkan novelnya berjudul Kerudung Santet Gandrung (Desantara, 2003).

Dari Periode RKPD itu, lahirlah penyair-penyair baru dalam kurun waktu 10 tahunan. Di awal tahun 80-an, muncul penyair-penyair bagus yang meneruskan perjalanan kesusastraan di Banyuwangi baik lewat acara program radio maupun di media massa. Di antara nama-nama penting itu adalah; Fatah Yasin Noor, Agus Aminanto, Gimin Artekjursi, Syamsul Hadi ME., Suhaili Bachtiar. Para penyair di awal tahun 80-an ini mengumumkan karya-karyanya di sejumlah media massa lokal dan nasional, juga di radio. Program radio yang memberi ruang sastra bukan lagi hanya di RKPD, melainkan radio Mandala AM Stereo pun membuka ruang program sastra dan apresiasi. Periode ini saya sebut sebagai “Periode Mandala”. Karya-karya penyair tahun 80-an ini memiliki sebentuk ciri khas tersendiri dibandingkan karya-karya penyair Periode RKPD. Fatah Yasin Noor dan Agus Aminanto yang karyanya telah dimuat di Bali Post dengan ‘penjaga gawang’ Umbu Landu Paranggi. Sedangkan Gimin Artekjursi telah berhasil menembus redaktur Majalah Sastra Horison. Pada periode ini juga, lahirlah penyair berbakat Nirwan Dewanto. Di usia yang masih belasan tahun, Nirwan Dewanto mendapatkan banyak pujian dari penyair-penyair gaek Banyuwangi. Nirwan Dewanto lahir di Banyuwangi dan bersastra pertama kali di Banyuwangi dalam pergulatan sastra lokal di Banyuwangi.

Lalu di tahun 90-an, yakni kemunculan karya-karya sastra dari para penyair di Banyuwangi semakin mendapatkan tempat yang lapang di dua stasiun radio sekaligus, yakni di RKPD dan Mandala AM Stereo. Muncul penyair-penyair di tahun 90-an ini, yakni Irwan Sutandi, M. Karyono, Adji Darmaji, Un Hariyati, Rosdi Bahtiar Martadi, Sentot Parijatah, Abdullah Fauzi, Iwan Aziez Syswanto S., A. Ardiyan, Taufik Walhidayat,

Dwi Pranoto, Tri Irianto, M. Solichin, Samsudin Adlawi, Iqbal Baraas, Yudi Prasetyo, dll. Nama-nama penting tersebut telah menyumbangkan karya dalam sebuah pertumbuhan yang cukup berarti bagi perkembangan sastra kontemporer di Banyuwangi, meski pada akhirnya sejumlah nama kemudian menghilang karena terseleksi secara alamiah. Sejumlah antologi puisi, buletin, dan majalah sastra di Banyuwangi diterbitkan. Di awal-awal, mereka menerbitkan antologinya dengan diketik secara manual lalu digandakan berupa lembaran-lembaran kemudian dibagi-bagikan. Di sampaing itu juga, mereka cukup rajin mengirimkan karya-karya mereka ke media-media massa, misalnya Sentot Parijatah yang juga wartawan Karya Dharma, sering menampilkan puisi-puisinya di Surabaya Post di tahun 1996, Samsudin Adlawi yang wartawan Jawa Pos, juga sering menampilkan karyanya di Jawa Pos. Sejumlah buletin yang diterbitkan secara terbatas dan diasuh oleh sejumlah sastrawan Banyuwangi, antara lain; Jurnal Lontar (1971, yang dipimpin oleh Pomo Martadi), Buletin Point (1980), Buletin Imbas (1990, dipimpin oleh Tri Irianto), Buletin Menara Baiturrahman (1990, dengan Pimrednya Fatah Yasin Noor ), Buletin Jejak (yang kemudian terbit sebagai Majalah Budaya Jejak, 1990 sampai sekarang, diasuh oleh Armaya dan Pimred Fatah Yasin Noor kemudian Iwan Aziez Siswanto S.), Majalah Seblang (berbahasa daerah Using), dan Buletin Baiturrahman (2000, dengan Pimred Abdullah Fauzi, Fatah Yasin Noor, Iwan Aziez Syswanto S.), Lepasparagraph (2002, dikelola oleh Taufiq Wr. Hidayat dan Dwi Pranoto).

Sejumlah antologi tunggal diterbitkan oleh penyairnya sendiri juga oleh sejumlah lembaga sastra, di antaranya Abdullah Fauzi dengan antologi berbahasa Using Dubang (Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) 2002), dan antologinya berjudul Sayap (1990). Taufik Walhidayat menerbitkan antologi tunggal berjudul Labuh Rindu (1993), Iqbal Baraas dengan Sebuah Penawaran (Remas Jami’atul Hidayat, Genteng, 1990), Penjual Payung (Gelar Tikar, 1993), Bunga Abadi (1997), Tri Irianto dengan Waktu (1998), Adji Darmaji dengan Juru Angin (1980, puisi berdialek Using), Iwan Aziez Syswanto S., dengan Matahari Pecah Kembali (1993), Rembulan di Atas Gelombang (2005), Fatah Yasin Noor dengan Gagasan Hujan (2003), Dwi Pranoto dengan Penjaga Lokomotif (1996), Taufiq Wr. Hidayat dengan Sepasang Wajah (2002) dan Suluk Rindu (2004).

Penerbitan secara tunggal itu sangat terbatas karena diketik secara manual dan difoto kopi, hanya beberapa yang diterbitkan secara modern berupa buku dengan jumlah eksemplar yang cukup banyak. Keterbatasan itu membuat sejumlah antologi yang telah terbit hilang dari dokumentasi perpustakaan dan komunitas, bahkan penyairnya sendiri hingga kini melacak keberadaan karyanya, misalnya Abdullah Fauzi yang kehilangan antologi awalnya Sayap. Buruknya media penerbitan dan pendikumentasian karya sastra di Banyuwangi, tak dapat dipungkiri telah merenggut sejumlah karya berkualitas para penyair Banyuwangi yang menjadi tonggak sejarah awal pertumbuhan sastra kontemporer di Banyuwangi. Menyadari keterbatasan tersebut, terutama sangat terbatasnya dana, para penyair Banyuwangi menyiasatinya dengan membentuk komunitas sastra di Banyuwangi yang terkenal, yakni Komunitas Selasa (Senantiasa Lestarikan Sastra) yang melakukan pertemuan rutin tipa hari Selasa. Komunitas ini didirikan oleh sejumlah peyair tua di Banyuwangi dan dikelola oleh penyair-penyair muda. Pendiri Selasa adalah Pomo Martadi dan dikelola oleh Samsudin Adlawi, Rosdi Bahtiar Martadi, Fatah Yasin Noor, A. Ardiyan, dan Iwan Aziez Syswanto S. Komunitas sastra ini juga telah melahirkan sejumlah penyair generasi terbaru, dan secara berkala menerbitkan buletin Imbas juga menerbitkan kembali Jurnal Lontar yang pernah terbit tahun 1971. Dari komunitas Selasa lahir antologi-antologi bersama, Cadik (Komunitas Selasa dan Komunitas Penyair Bali, 1998), Menara Tujuh Belas (Pusat Studi Budaya Banyuwangi, 2002), Dzikir Muharam (Yayasan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi, 2004), Tilawah (Yayasan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi, 2005). Kemudian Yayasan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi memiliki agenda rutin menerbitkan kumpulan puisi karya tunggal para penyair Banyuwangi setiap tahun, Suluk Rindu ( Taufiq Wr. Hidayat, 2004), Dzikir Debu ( Nuchbah Baroroh, 2005), Tasbih (Abdullah Fauzi, 2006).

Perjalanan yang panjang itu, saya sadari tak dapat saya paparkan secara detil lagi, hal ini tak lain karena keterbatasan data dan sumber. Namun paling tidak, pemaparan ini memberikan sebentuk gambaran besar perjalanan kekusastraan di Banyuwangi dihitung dari dimensi pergerakannya dari tahun ke tahun. Kesusastraan di Banyuwangi banyak diramaikan dengan proses kreatif generasi tahun 80-an dengan puisi, jarang sekali tercipta cerpen dan novel. Beberapa penyair gaek juga memberikan sebentuk kritik sastra bagi generasi di bawahnya, yakni Hasnan Singodimayan, Armaya, dan Pomo Martadi. Tiga nama tersebut sangat berperan penting di dalam pembentukan seorang penyair yang matang di Banyuwangi yang karyanya kemudian menjadi konsumsi secara nasional. Dari asuhan tiga orang sastrawan itu, lahirlah Fatah Yasin Noor, Iwan Aziez Syswanto S., Nirwan Dewanto, Samsudin Adlawi, dll.

Di samping itu pula, sastra pertunjukan juga mengalami puncaknya di tahun 1980-an. Ini ditandai di kota Genteng Kabupaten Banyuwangi, sebuah daerah pedesaan yang sering melahirkan karya-karya drama/teater. Komunitas teater di Genteng itu didirikan pada 1980 yang melakukan pelatihan-pelatihan teater di sekolah-sekolah. Komunitas itu kemudian diberi nama Gelar Tikar. Komunitas teater Gelar Tikar didirikan oleh sejumlah seniman di Genteng, yakni Totok Hariyanto, Sugito, Pak Azis, Pak Sa’roni, Pak Rifa’i, dan Iqbal Baraas yang masih berusia belasan tahun. Di tahun 1990-an, Gelar Tikar berubah nama menjadi Padepokan Gelar Tikar. Komunitas ini kemudian sangat rajin melakukan kegiatan sastra secara rutin di Genteng, mulai dari pementasan, penerbitan buku puisi bersama, pembacaan puisi, dan apresiasi sastra, baik di media cetak maupun di radio-radio komunitas. Ini juga merupakan bagian terpenting dalam perjalanan sastra di Banyuwangi. Sedangkan di Banyuwangi Kota, ditandai dengan munculnya Teater Tongkat Sandi yang dikelola oleh Abdullah Fauzi dan Agus Wahyu Nuryadi yang diasuh dan didanai oleh Armaya, juga Kasat Teater yang dikelola oleh Yudi Prasetyo, Fatah Yasin Noor, A. Ardiyan dan A. Saichu Imron di tahun 1990-an. Namun demikian, perkembangan seni sastra pertunjukan di Banyuwangi Kota tidak sebagus di Genteng, melainkan di Banyuwangi kota banyak menampilkan buku-buku dan media-media sastra komunitas.

Sekilas Armaya, Hasnan Singodimayan, dan Pomo Martadi

ADAPUN perjalanan sebuah langkah, tidak hanya terpaku pada bagaimana langkah itu digerakkan. Melainkan juga kita mesti mengukur secara obyektif nuansa gerak itu sendiri dengan kritis. Maka, barangkali menjadi penting di sini untuk saya mengupas sejumlah karya sastra (baca: puisi) di Banyuwangi dari tahun ke tahun yang terkumpulkan dalam media sastra di Banyuwangi, yakni Kertas Sastra Lontar dan Majalah Budaya Jejak. Adapun Lontar dan Jejak adalah media sastra yang paling bersejarah di Banyuwangi, berhubung kedua media sastra itu menjadi tempat proses kreatif sastrawan Banyuwangi, dan dari keduanya terlahir penyair-penyair nasional dari Banyuwangi, seperti Nirwan Dewanto, Fatah Yasin Noor, Gimien Artekjursi, Adji Darmadji, dll.

Karya sastra adalah sebuah gambaran ruang dan waktu atau sebuah kondisi aktual peradaban suatu masyarakat. Gampangnya begitu.

Di tahun 70-an, puisi-puisi yang ditulis oleh para penyair Banyuwangi sudah mengalami kematangan yang baik serta memiliki dunia khasnya sendiri di antara jutaan puisi yang pernah di buat di Indonesia di tahun yang sama.

Ada beberapa nama penting yang karyanya perlu saya kupas dalam tulisan ini. Beberapa nama tersebut menjadi penting karena di awal tahun 70-an mereka telah menancapkan bentuk awal perpuisian di Banyuwangi sebagai embrio generasi berikutnya, juga mereka melakukan gerakan-gerakan yang sangat berarti di dalam menyuburkan dinamika kesusastraan di Banyuwangi. Beberapa nama penting tersebut adalah Armaya, Hasnan Singodimayan, dan Pomo Martadi. Seringkali Armaya mengeluarkan dana yang tidak sedikit dari saku pribadinya untuk membiayai penerbitan buku dan kegiatan-kegiatan sastra di Banyuwangi. Sedangkan Hasnan dan Pomo seringkali melakukan sebentuk kritik sastra dan membentuk penyair-penyair baru. Tiga nama tersebut adalah penyair dan sastrawan nasional yang karyanya patut diperhitungkan. Armaya sendiri besar di Solo dan proses kreatifnya seangkatan dengan W. S. Rendra (mereka satu kelas di SMA dan teman akrab), Hartojo Andangdjaja, Mansur Samin, dan Taufiq Ismail. Beberapa karya Armaya tergabung dalam antologi nasional bersama Goenawan Mohammad, Hartojo Andangdjaja, dll. dalam antologi 30 sajak yang diambil dari karya Armaya yang dimuat dalam Majalah Siasat. Antologi tersebut berjudul Manifes (Penerbit: Tintamas-Djakarta, 1963).

Ada yang perlu dicatat jika mengupas karya-karya penyair Banyuwangi di awal-awal tahun 1960 sampai tahun 1970-an, yakni gaya ucap banyak terpengaruh dialek Banyuwangi asli, yakni dialek Using. Kecuali puisi-puisi awal Armaya, karya Pomo Martadi dan Hasnan Singodimayan sangat kental dengan gaya pengucapan berdialek Using Banyuwangi. Armaya menulis puisi, esai, dan prosa. Begitu juga dengan Pomo Martadi, dia produktif menulis puisi dan sangat jarang menulis prosa, penulis esai yang rajin serta penulis berita yang sangat teliti. Sedangkan Hasnan Singodimayan lebih produktif menulis esai dan kritik seni juga prosa. Amat jarang sekali menemukan puisi karya Hasnan, kecuali beberapa saja dalam hitungan jari. Penulis nasional ini seringkali menjadi tempat berlabuh para akademisi untuk menimba referensi kebuayaan lokal Banyuwangi.

Puisi Armaya di tahun 1960 banyak mencatat kerinduannya terhadap Banyuwangi. Seperti halnya penggalan puisinya berikut:

Bila Aku Pulang
(buat ibu & yunda)

Bila aku pulang ke kampung untuk kesekian kalinya
selalu kutemui si Luri dan Hasnan
cerita dan ketawa]meminum musim-musim yang terus berjalan
……..
(Sumber: Manifestasi; Antologi 30 sadjak. Penerbit: Tintamas-Djakarta, 1963)

atau:

Nostalgia

Terekam rindu dan warna bianglala
sejemput sejarah
Banyuwangi yang biru
Banyuwangi tempat bicara
sempat mengharu biru
dan
semangat menggebu gebu
kesenian wajah tersendiri
gandrung, angklung, rebana
semua dalam sebuah makna
kebenaran! Milik siapa saja

Bandung, 1982
(Sumber: Buletin Bendera Sastra. No.2, April 1982. Terbit di Bandung).
juga

Kepergian

Pagisubuh di mana rumah itu telah kami tinggalkan
mentari lelap tidur di telanjang kabut
tak jauh tak beda suara bunda membentak
–he anak durhaka tinggalkan bumi berbasah darah ini
pembunuhan tanpa cinta menembus liang hatinya
……..

(Sumber: Manifestasi; Antologi 30 sadjak. Penerbit: Tintamas-Djakarta, 1963)
dan

Segenggam Permata

Aku terus berjalan
di semenanjung jalan ular
antara ranting-ranting rapuh berguguran
dalam cahaya bongkahan jurang
aku dapatkan permata di perutnya
warna warni bintang
merah menyala
sisi sisik ular keemasan
berdesir angin lautan
hutan diam
bersimpuh usapan tangan
bayangan pepohonan
terbelenggu ruang dan waktu
…….

Banyuwangi, 2002
(Sumber: Buletin Baiturrahman. No11, Oktober 2002.Penerbit: Yayasan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi).

Demikian beberapa kutipan sajak-sajak Armaya. Paling tidak, dapat kita telusuri, bahwa gaya khas Armaya tidak terlepas dari gaya sajak yang sederhana dan menggambarkan kerinduan orang rantauan akan desa. Aktualitas desa menjadi desah yang cukup erotis di dalam sajak-sajak awal Armaya.

Adapun sajak-sajak Pomo Martadi, memiliki bentuk dan pengucapan yang sederhana, dinamis, namun terkadang rumit dalam pemaknaannya. Sajak-sajak Pomo Martadi seringkali menjadi bahasan penting di dalam forum-forum sastra di Banyuwangi. Sajak-sajak Pomo juga telah banyak mendapatkan perhatian yang serius dari generasi sesudah tahun 90-an, dan tidak jarang penyair-penyair Banyuwangi sesudah Pomo mengalami keterpengaruhan dengan sublimasi sajak-sajak Pomo. Beberapa yang mungkin perlu saya kutip:

Puisi Tersisihkan

djangan tjoba engkau tak mengerti, sajang
baris puisi, tersisihkan ini
jang tertinggal sepi
dipanggang teriknja sedjuta mentari duka
djangan tjoba engkau tak mengerti, sajang
angin malam menderai menerpa djantung jang letih
teriringkan pula njanjian hati
tapi masih kau lagukan djuga
lagu kemengan dan kebebasan
djangan tjoba engkau tak mengerti, sajang
baris puisi tersisihkan ini
jang telah terkapar dipintu hatimu
ah, terbangkit aku dari semua mimpi
ini bukan satu keachiran
sebab harapan masih mau bitjara
bintang2pun mau mengerdip
dan malampun mau temaram

(Sumber: Lontar, kertas sastra dan budaya. Edisi 01, Nopember 1971).
juga

Berita Utama Koran Sore

jika benar pedang bermata dua itu terlempar
ke dasar jurang dan hanya bisa dilihat lewat
cahaya bulan, berarti benar korban pemerkosaan yang
ditemukan terkapar dan berdarah di perbatasan
kota pagi tadi adalah pemiliknya yang tak
pernah melepas penutup mata dan tak lupa

membawa neraca yang kemarin sore masih tampak
membagi-bagikan payung kepada setiap orang
yang melewati jalan desa itu
langit tiba-tiba dikerubung mendung
bendera setengah tiang tanda berkabung
siapa di antara laki-laki berjubah
bulu gagak yang kaki dan tangannya berlumur
jelaga itu patut diajukan sebagai tersangka,
atau bisa jadi ketiganya jika terbukti ikut
melakukannya orang-orang di kedai kopi tampak lega
peristiwa itu menjadi berita utama koran sore
apalagi terulas di tajuk rencana dan halaman opini
tak heran jika mereka tak habis berbisik
ketika mempelesetkan kepanjangan empat huruf
sebuah singkatan pada judul buku lama berwarna hijau

Jember-Banyuwangi, Juli 1996
(Sumber: Lepasparagraf. Edisi 2/2/05)

Sajak-sajak Pomo terasa pekat, namun dengan gaya ucap yang sederhana. Banyak sajak-sajak Pomo adalah sebuah misteri peristiwa yang digali secara pekat dari faktualitas kejadian umum. Seringkali saya bertanya apa maksud diksi-diksinya puisinya yang terdengan ‘aneh’ itu kepada Pomo, dan dia menjawabnya dengan sebuah jawaban yang juga aneh namun terkesan tidak terlalu penting berkaitan dengan sajaknya. Tapi, menanyakan hal ini kepada Pomo menjadi sesuatu yang menarik, karena kemudian akan berlanjut dengan sebuah kisah panjang dalam setiap sajak-sajaknya, yakni kisah-kisah personal yang secara umum memiliki sebentuk keterkaitan yang lain. Ada sisi absurditas yang terbangun namun tak berkental-kental dalam filsafat. Ia adalah sebuah sajak yang sempurna dan memiliki ciri khas yang unik. Dan ketika beliau sudah meninggal dunia, maka saya pun kehilangan orang yang begitu sangat teliti dan antusias membahas sastra serta dunia tulis menulis. Pomo Martadi menggoreskan sajak-sajak yang menjadi sumber inspirasi penyair-penyair Banyuwangi generasi terkini di Banyuwangi.

Lalu Hasnan Singodimayan. Sebagaimana saya sebutkan, Hasnan sangat jarang menulis puisi. Dia lebih tekun menulis esai sastra dan kesenian, prosa dan drama. Namun dapat kita lihat karya-karya prosa Hasnan, seperti novelnya Kerudung Santet Gandrung yang diterbitkan Desantara laku hampir lima ribu copy. Prosa yang ditulis Hasnan banyak menggambarkan kegamangan dan kegelisahan spiritual dari seorang pecinta dan penjaga tradisi ketika harus berhadapan dengan nilai-nilai keyakinan beragama serta kekinian masyarakat. Hasnan mencoba membenturkan nilai-nilai tradisi dengan nilai-nilai agama yang selama ini diyakini yang terkesan membatasi ruang gerak tradisi setempat. Barangkali mirip dengan yang dilakukan DR. Chaim Potok yang mencoba membenturkan nilai-nilai Yahudi dengan kekinian ilmu pengetahuan serta aktualisasi jaman.

Lontar dan Jejak

Pada tahun 1971, Banyuwangi menerbitkan kertas sastra dan budaya yang bernama Lontar. Nama tersebut diberikan oleh Pomo Martadi. Media sastra pertama di Banyuwangi ini menjadi media utama yang sangat penting dalam proses kreatif penyair-penyair Banyuwangi hingga tahun 1983. Media sastra Lontar ini diterbitkan secara stensil seukuran saku dengan ketik manual oleh Blambangan Sastra dan Teater Club. Sejumlah nama penyair awal dan yang sudah gaek menjadi dewan redaksinya, yakni: Sudh Widjaya, Arbowati HS., Djoko Sp., S. Ghandiarto, Ds. Lubdhoko, Ririn Ma., Tjipto Abadi, Pomo Martadi, Hermin Hs., Mh. Sutikno, Rumaniyati, Zdulfiqar Awwami. Beralamat di: Djl. Sritandjung-Banjuwangi. Diterbitkan sekali sebulan 14 halaman, ditjetak pada Djawatan Penerangan Kabupaten Banyuwangi.

Lontar menjadi media sastra perdana di Banyuwangi yang telah melahirkan nama-nama penyair dan penulis Banyuwangi, seperti Nirwan Dewanto, Fatah Yasin Noor, Gimien Artekjursi, dll. Media sastra ini diasuh oleh Hasnan Singodimayan dan Pomo Martadi. Pomo Martadi seringkali menulis kritis sastra dan juga puisi di Lontar, sedangkan Hasnan banyak menciptakan penyair-penyair baru dengan esai-esai saastranya di samping juga mengupas secara mendalam mengenai kebuayaan lokal Banyuwangi. Lontar terus berkembang dari tahun ke tahun, hingga pada tahun 1980, Lontar sudah digarap dengan komputer dan dengan lay out yang lebih rapi.

Media sastra Lontar ini menjadi barometer kesusastraan modern di Banyuwangi, di mana penyair-penyair baru bermunculan dan dialog-dilaog sastra serta pertunjukan digelar oleh redaksi Lontar atau BSC (Blambangan Sastra dan Teater Club). Di tahun 1983-1984, Fatah Yasin Noor tiba di Banyuwangi dari studinya di Djogja. Nirwan Dewanto mengirimkan sajak-sajak awalnya ke Lontar, dll. Dua nama baru itu karya-karyanya menjadi bahasan penting dalam tiap pertemuan. Tak kurang Hasnan dan Pomo membahas karya-karya mereka dalam tulisan maupun dalam setiap pertemuan. Generasi Lontar adalah generasi orisinil yang memcetak penyair-penyair Banyuwangi modern di tahun 1970 sampai tahun 1983. Dengan minimnya pendanaan dan di samping itu banyak pengurus BSC yang ke luar kota untuk mencari nafkah, Lontar berhenti terbit pada edisi 23 tahun 1983. Sejak itu tahun 1983, media sastra cetak di Banyuwangi tidak terbit. Kesusastraan kembali lebih marak dibacakan dan diulas secara lisan di radio-radio lokal di Banyuwangi.

Baru di tahun 1990-an, muncul kembali komunitas sastra yakni Selasa (Senantiasa Lestarikan Sastra) Banyuwangi. Banyak di antara aggota komunitas adalah penyair-penyair generasi tahun 1990, atau para pemula. Namun, keberadaan Selasa tetap tidak lepas dari tangan dingin Pomo Martadi dan Hasnan Singodimayan. Nama Selasa diberikan oleh Pomo Martadi, dan komunitas ini kemudian menerbitkan media cetak sastra, yakni menerbitkan kembali Lontar dalam bentuk majalah. Edisi pertama, setelah mati sejak 1983, Lontar pada tahun 1998. Namun sayangnya, setelah edisi perdana di tahun 1998 itu, majalah ini tidak terbit lagi.

Lalu komunitas sastra yang dikelola Armaya yang beranggotakan tiga orang saja, yakni Iwan Aziez Siswanto S., Fatah Yasin Noor, Abdullah Fauzi, menerbitkan Buletin Menara Baiturrahman. Sebuah buletin Jum’at yang diterbitkan oleh Yayasan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi itu dikelola oleh tiga orang tersebut, dan secara langsung dibiayai oleh Armaya ditambah dengan dana yayasan. Hanya bertahan kira-kira setahun, buletin ini pun mati. Namun kembali terbit Buletin Jejak, mati lagi, kemudian terbit Buletin Baiturrahman hingga mati pada tahun 2004. Buletin-buletin masjid yang hanya empat halaman itu banyak memuat karya-karya sastra penyair Banyuwangi di tengah sangat keringnya pemuatan karya-karya sastra di media cetak di Banyuwangi. Sempat beberapa bulan lamanya, Radar Banyuwangi, koran yang diterbitkan Jawa Pos Group di Banyuwangi menyediakan secuil halamannya untuk puisi, karena kebetulan Samsudin Adlawi, penyair generasi terbaru Banyuwangi menjadi pimpinan redaksi Radar Banyuwangi.

Tahun 2000-an, Armaya mendirikan PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi). PSBB kemudian banyak menerbitkan karya-karya sastra modern di Banyuwangi dan puisi-puisi berdialek Using, esai-esai budaya, buku-buku sejarah, dan pengenalan kesenian Banyuwangi. PSBB tidak dikelola secara profesional, sehingga pendanaan bersumber langsung dari saku pribadi Armaya dan beberapa donatur saja. Lalu di tahun 2002, berdirilah DKB-R (Dewan Kesenian Blambangan Reformasi) yang diketuai oleh Fatah Yasin Noor. DKB-R ini kemudian menerbitkan Majalah Budaya Jejak yang terbit secara rutin hingga akhir tahun 2006. Di dalam majalah Jejak banyak termuat karya-karya penyair Banyuwangi, cerpen, esai sastra.

Pada akhir tahun 2006, Majalah Budaya Jejak berhenti terbit. Hal ini karena tim redaksi sudah mengalami perpecahan dikarenakan kesibukan mencari nafkah keluarga. Hingga kini, Armaya merasa kehilangan anak-anak didiknya dalam dunia sastra, sehingga dengan usianya yang sudah kepala delapan, beliau kebingungan orang untuk menerbitkan secara tehnis majalah sastra dan budaya yang ada dalam kehendak hatinya.

Dan di tahun 2008 ini, di Banyuwangi samasekali tidak ada media sastra, baik cetak maupun elektronik, tidak terbit lagi majalah/media dan buku-buku sastra di Banyuwangi, tidak ada radio yang ngomong sastra di Banyuwangi. Ini merupakan sebuah kemunduran yang aktual dari tahun-tahun lalu yang begitu subur dan menggebu menggairah. Sebentuk kemundulan yang aktual mengingat para penyair atau sastrawan di Banyuwangi terbilang tidak sedikit untuk ukuran sebuah daerah kabupaten, yakni kabupaten paling ujung timur pulau Jawa, Banyuwangi. Semoga kekeringan ini segera berakhir.

Banyuwangi, 2010

Esai ini disampaikan pada acara bedah buku puisi “Rajegwesi”, karya Fatah Yasin Noor, diselenggarakan oleh Komunitas Lembah Pring pada acara Geladak Sastra # 8, minggu, 26 September 2010 di Sanggrah Akar Mojo Ds. Sajen Pacet, Mojokerto.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita