Imamuddin SA *
http://www.sastra-indonesia.com/
Sebenarnya perjalanan kehidupan dalam alam fisik ini bersifat stagnan. Mulai dulu sampai sekarang, bahkan nanti akan bersifat sama alurnya. Sama dalam tataran peristiwa problematikanya. Yang berbeda hanyalah fenomena tempat, fasilitas, pelaku orangnya, budaya, dan peradabannya. Ini terlihat sebagai suatu siklus rotasi yang pada saatnya nanti akan teruluang kembali. Seperti suatu nasib; kadang di atas, kadang di bawah. Suatu saat akan berjaya, di saat yang lain akan terjatuh juga.
Peristiwa-peristiwa masa lalu akan terulang kembali pada masa sekarang. Begitu juga dengan sekarang, pada hari esok akan terulang pula. Namun tidak sama persis. Yang sama hanyalah suasana batiniah peristiwa itu. Seperti itulah fenomena yang seolah-olah tampak dari karya Ronggowarsito. Kita kenal bahwa Ronggowarsito adalah seorang pujangga yang konon ceritanya memiliki ketajaman batin yang khusus dan tidak dimiliki oleh kebanyakan orang. Dalam karya-karyanya sering terungkap prediksi-prediksi suatu kejadian masa datang. Bahkan lebih dari itu, ia juga mengetahui ajalnya sendiri.
Sebenarnya Ronggowarsito bukanlah nama asli, melainkan suatu gelar kebangsawanan di keraton Surakarta. Gelar Rongowarsito ini diberikan kepada seorang juru tulis kerajaan. Nama asli Ronggowarsito yang kita kenal saat ini adalah Bagus Burham yang lahir tanggal 15 Maret 1802. Orang yang pertama kali menerima gelar Ronggowarsito ini adalah Yosodipuro II yang tidak lain adalah kakek Bagus Burham. Ronggowarsito II bernama Panjangswara dan dia adalah ayah dari Bagus Burham. Bagus Burham inilah yang yang kemudian menggantikan ayahnya dengan gelar Ronggowarsito III setelah perang Diponegoro usai; yaitu sekitar tahun 1830. Dan Bagus Burham inilah yang sampai dewasa ini akrab kita kenal dengan nama Ronggowarsito. Yang karya-karyanya sampai di tangan kita.
Dalam karyanya, Ronggowarsito pernah menyinggung datangnya bencana yang merupakan sebagian dari kutukan Tuhan. Berdasarkan penglihatan ruhaniahnya, hari itu suatu saat akan datang. Semua ini tidak lepas dari hukum sebab-akibat. Sebelum datangnya hari itu, pasti ada sebabnya terlebih dahulu. Sebab utama yang melatarbelakangi munculnya kutukan Tuhan tidak lain adalah dipicu oleh kelalaian manusia sendiri. Ia lalai dengan jati dirinya sehingga lalai pula dengan tugas kemanusiaannya di dunia. Misi kekhalifahan terabaikan. Mengobarkan api kerusakan dalam kesemestaan alam. Angkara murka bangkit di mana-mana. Bahaya, susah, dan derita meraja lela. Ilustrasi itu terungkap dalam Serat Kalatida yang diungkapkan dalam bentuk tembang Sinom. Serat tersebut berbunyi:
I
Mangkya darajating praja
Kawuryan wus sunyaruri
Rurah pangrehing ukara
Karana tanpa palupi
Atilar silastuti
Sujana sarjana kelu
Kalulun Kala Tida
Tidhem tandhaning dumadi
Ardayengrat dene karoban rubeda.
II
Ratune ratu utama
Patihe patih linuwih
Pra nayaka tyas raharja
Panekare becik-becik
Parandene tan dadi
Paliyasing Kala Bendu
Mandar mangkin andadra
Rubeda angreribedi
Beda-beda ardaning wong saknegara
III
Katetangi tangsisira
Sira kang paramengkawi
Kawileting tyas duhkita
Kataman ing reh wirangi
Demimg upaya sandi
Sumaruna anerawung
Mangimur manuhara
Met pamrih melik pakolih
Temah suka ing karsa tanpa wiweka.
IV
Dasar korban pawarta
Bebaratan ujar lamis
Pinudya dadya pangarsa
Wekasan malah kawuri
Yen pinikir sayekti
Mundhak apa aneng ngayun
Andhedher kaluputan
Siniraman banyu kali
Lamun tuwuh dadi kekembanging beka.
V
Ujaring Panitisastra
Awewarah asung peling
Ing jaman keneng musibat
Wong ambeg jatmika kontit
Mengkono yen niteni
Pedah apa amituhu
Pawarta lolawara
Mundhak angreranta ati
Angurbaya angiket cariteng kuna.
VI
Keni kinarya darsana
Panglimbang ala lan becik
Sayekti akeh kewala
Lelakon kang dadi tamsil
Masalahing ngaurip
Wahaninira tinemu
Temahan anarima
Mupus pepesthening takdir
Puluh-puluh anglakoni kaelokan.
VII
Amenangi jaman edan
Ewth aya ing pambudi
Melu edan ora tahan
Yen tan milu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah kersa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lawan waspada.
VIII
Semono iku bebasan
Padu-padune kepengin
Enggih mekoten man Doblang
Bener ingkang angarani
Nanging sajroning batin
Sejatine nyamut-nyamut
Wis tuwa arep apa
Muhung mahas ing asepi
Supayantuk pangaksamaning Hyang Suksma
IX
Beda lan kang wus santosa
Kinarilan ing Hyang Widhi
Satiba malanganeya
Tan susah ngupaya kasil
Saking mangunah prapti
Pangeran paring pitulung
Marga samaning titah
Rupa sabarang pakolih
Parandene maksih taberi ichtiyar.
X
Sakadare linakonan
Mung tumindah mara ati
Angger kang dadi prakara
Karana wirayat muni
Ichtiyar iku yekti
Pamilihing reh rahayu
Sinambi budidaya
Kanthi awas lawan eling
Kang kaesthi antuka parmaning suksma.
XI
Ya Allah ya Rasulullah
Kang sipat murah lan asih
Mugi-mugi aparinga
Pitulung ingkang martani
Ing alam awal akhir
Dumununging gesang ulun
Mangkya sampun awredha
Ing wekasan kadi pundi
Mula mugi wontena pitulung Tuwan.
XII
Sagede sabar santosa
Mati sajroning ngaurip
Kalis ing reh aruhara
Murka angkara sumingkir
Tarlen meleng malat asih
Sanityaseng tyas mematuh
Badharing sapudhendhana
Antuk mayar sawetawis
BoRONG angGA saWARga meSI marTAya.
Ronggowarsito dalam karyanya di atas mengisahkan bahwa martabat negara hancur berantakan. Aturan, hukum, dan undang-undangnya tidak diindahkan dan diinjak-injak. Contoh-contoh yang luhur tidak ada lagi. Orang-orang terpelajar terbawa arus dalam kepincangan zaman. Suasananya mencekam, sebab hidup penuh dengan kerepotan. Ibarat yang salah jadi benar, dan yang benar menjadi salah. Yang halal menjadi haram, dan yang haram memnjadi halal.
Pada dasarnya kepincangan-kepincangan itu tidaklah bersumber dari pemerintahan, tetapi semuanya mengalir dari jiwa-jiwa masyarakat dan manusianya. Pemimpin pemerintahan termasuk orang yang baik. Patihnya juga cerdik. Semua anak buah hatinya baik. Pemuka-pemuka masyarakat juga baik. Tetapi semuanya itu tidak membawa kebaikan. Justru malah sebaliknya. Hal itu disebabkan oleh kutukan zaman. Bahkan keusahpayahan semakin menjadi-jadi. Lantaran perbedaan persepsi, pandangan, pikiran, serta tujuan manusiannya masing-masing. Semuanya saling membenarkan diri-sendiri. Walau sudah jelas dirinya bersalah.
Saat itulah hukum menjadi barang dagangan yang tengah diobral murah. Pemerintah tak berdaya. Yang berharta jadi penguasa. Berhak menentukan jalan hidupnya. Tak peduli benar-salah dan halal-haramnya cara yang ditempuhnya. Yang penting tujuan tercapai, segalanya digilasnya.
Melihat fenomena semacam itu, Ronggowarsito menangis sedih. Ia merasa malu dan terhina. Realitas yang ada penuh dengan fitnah dan intrik. Segalanya seolah-olah tampak menghibur dan menggembirakan. Di depan seseorang bersifat manis dan memuji-muji, tetapi jika seseorang itu tidak ada, maka ia justru balik menikamnya
Berbagai macam gosip dan rumor datang tak menentu pada zaman itu. Di mana-mana selalu ada gosip, bahkan hampir diseluruh penjuru dipenuhi dengan gosip. Bukan gosip yang positif, melainkan hanya sekedar mengumbar aib. Orang-orang banyak yang berebut kedudukan. Setiap kepala ingin duduk memerintah. Oleh sebab itu, janji-janji berhamburan demi menggapai tujuan. Tapi pada akhirnya itu hanya sekedar bualan. Kata-kata yang telah diucapkan justru malah tidak diperhatikan sama sekali. Sibuk dengan perutnya sendiri. Sebenarnya, kalau benar-benar direnungkan, menjadi pemimpin itu tidak ada guna-faedahnya. Justru malah menumpuk kesalahan-kesalahan saja. Bahkan jika lupa diri, hasilnya tidak lain hanyalah kesusahpayahan yang berujung pada bencana.
Berdasarkan buku Paniti Sastra, sebenarnya sudah ada wawancang terlebih dahulu akan peristiwa ini. Saat zaman dipenuhi kesusahpayahan, kebatilan, serta musibah, orang baik akan tidak terpakai. Ia malah dikucilkan. Hendaknya hal ini menjadi catatan penting. Kata-kata yang tak bermakna dan gosip-gosip hanya akan menyiksa hati. Ini tidak patut untuk didengarkan. Lebih baik mendengar cerita masa lalu dan dongeng-dongeng. Itu dapat dijadikan teladan dan cermin diri yang baik guna membandingkan dan mempertimbangkan antara perbuatan yang baik dan buruk. Antara kebaikan dan kejahatan. Antara yang benar dan salah. Sebenarnya cukup banyak contoh dari kisah-kisah terdahulu yang mampu membuat hati penikmatnya tenang dan damai, bersikap ikhlas menerima yang berujung pada kepasrahan dan keridhaan terhadap segala takdir Tuhan.
Ronggowarsito mengisyaratkan bahwa hidup di zaman edan ini memanglah sangat repot. Susang menentukan sikap. Ingin mengikuti arus zaman, kita tidak sampai hati, tetapi jika tidak mengikuti, kita tidak akan mendapatkan apa-apa. Yang kita dapat hanyalah kelaparan. Walaupun begitu, ini sudah jadi kehendak Tuhan. Di zaman ini, seuntung apapun orang yang lupadaratan, masih lebih beruntung orang yang ingat dan waspada. Ingat kepada yang hidup dan yang mati. Ingat pada jati dirinya sendiri. Waspada terhadap kutukan tuhan yang pasti.
Ibarat pepatah. Orang yang hidup di zaman edan ini seolah-olah tampak menolak segala realitas kepincangan yang ada, namun pada dasarnya ia berminat menerima kenyataannya. Benar kata orang, dalam hati fenomena ini memang repot juga. Dari pada memikirkan arus zaman itu, Ronggowarsito lebih baik memimikirkan hal yang lain. Lebih baik ia menginstropeksi diri. Ia menyadari bahwa usianya semakin tua. Apa pula yang hendak dicari dalam dunia yang seperti ini. Lebih baik berkhalwat agar mendapat ampunan Tuhan yang sejati.
Berbeda lagi dengan mereka yang sudah kuat, yang telah menggenggam kesejatian hidup, ia pasti telah berlimpahkan rahmat tuhan. Bagaimanpun fenomena zamannya, ia selalu bernasib mujur. Tuhan selalu memberi pertolongan padanya. Ia tidak perlu bersusah payah, dengan tiba-tiba ia akan mendapatkan anugrah. Walaupun begitu, ia masih butuh ikhtiar juga.
Orang yang seperti itu, selalu menjalani realitas hidup dan kehidupan dengan bersikap sederhana dan sewajarnya. Urep sakmadyane. Ia berjalan berdasarkan tuntunan hati yang jernih. Memberikan kebahagiaan dan tak menimbulkan permasalahan. Seperti pepatah, manusia itu wajib berikhtiar dalam memilih jalan yang benar. Bersamaan dengan hal itu, ia harus senantiasa ingat dan waspada agar mendapat rahmat Tuhan yang Esa.
Setelah menginstropeksi diri, dengan segala kesadarannya, Ronggowarsito berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan berwasilah kepada Rasulnya. Dengan kasih sayang-Nya, Ronggowarsito berharap agar mendapatkan pertolongan di saat ajal telah menjelang. Baik saat di dunia maupun saat di akhirat nanti. Ia sadar betul bahwa hidupnya tinggal sebentar lagi. Khusnul khotimah ataukah su’ul khotimakah akhir perjalanannya nanti? Yang jelas, hanya Tuhan-lah yang kuasa memberi pertolongan padanya. Semoga ia dikaruniai kesabaran dan kekuatan ketika menjalani mati dalam kehidupan (mati sajroning ngaurip). Jauh dari bencana serta terhindar dari keangkaramurkaan. Dengan segenap jiwa Ronggowarsito merenungkan, menyucikan lahir, batin, dan pikiran sembari menyongsong berakhirnya kutukan zaman. Ia pasrah menanti datangnya putusan (takdir) Tuhan.
Apabila serat itu kita tarik benang merah dengan realitas sekarang, maka akan terasa relevansi yang begitu kuat. Fenomena yang digambarkan Ronggowarsito dalam zamannya seolah muncul kembali pada saat ini. Ini diperkuat dengan isyu “kiamat” pada akhir tahun 2012. Konon diceritakan bahwa kiamat itu adalah hari kehancuran alam. Tanda-tandanya adalah rusaknya moral manusia. Bumi digoncang-gancingkan dengan guncangan (problematika hidup dan kehidupan) yang sangat dahsyat. Manusia bingung dengan sendirinya. Bagaikan makan buah simalakama.
Jika kita berpandangan lebih arif terhadap isyu tersebut, kita akan menemukan titik temu antara realitas sekarang dengan ujaran Ronggowarsito dan Maya Calender. Tahun 2012 berdasarkan Maya Calender merupakan titik kulminasi dari peristiwa “kiamat”. Kiamat di sini tidak sekedar kita pahami sebagai totalitas kehancuran alam semesta, melainkan bisa jadi kehancuran yang bersifat minimum. Sebab kita kenal istilah kiamat sughroh dan kiamat kubroh. Begitu juga dengan pijakan kita tentang kehancuran alam. Alam yang bagaimanakah yang hancur! Alam fisik? Alam ruhani? Alam hati? Alam pikiran? Atau bahkan alam tubuh manusia (kematian personal)? Lantas kita juga harus berpandangan pada letak titik sentrum yang paling kuat dalam kehancuran alam tersebut?
Realitas alam ruhaniah manusia sekarang ini memang benar-benar hancur. Esensi keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam dirinya kerap tergadaikan. Manusia banyak yang lari dari Tuhan dan berganti arah-mendekat pada nafsiahnya. Hawa nahsunya yang kerap ditonjolkan. Hal itulah yang menyebabkan hancurnya alam hati dan pikiran mereka. Alam hati tak tenang, tergoncang-gancingkan, dibayang-bayangi dengan ketakutan-ketakutan akan kemelaratan di dunia sehingga ia kerap mengejar harta dan tahta. Jika telah terjadi demikian, alam pikiran akan hancur. Pikiran-pikran yang baik dan positif akan tergantikan dengan kecurangan-kecurangan dan keculasan. Sehingga dalam setiap detik, ia akan dihantui dengan pikiran dan rasa bersalah, takut terbongkar kucurangan dan keculasannya. Wal hasil, benih penyakit yang aneh-aneh pun muncul dalam diri manusia sebab terlalu besar memendam beban rasa. Dan akhirnya, tubuh dilanda sakit. Hanya mengeluh yang ia bisa. Menyesal tiada guna. Lantas meninggal dunia. Inilah kronologis “kiamat” dalam tataran kecil-kecilan.
Fenomena di atas merujuk pada personal manusia. Namun jika hal itu terjadi dalam skala yang lebih besar, kita perlu melihat titik sentrumnya. Wilayah manakah yang masyarakatnya paling dominan melakukan hal tersebut. Dari sinilah konsep penghancuran umat akan berlaku. Seperti kisah kaum Nuh AS yang dihancurkan dengan banjir besar dan kaum-kaum lain sebelum kita. Dan hanya merekalah yang mau berikhtiar mendekatkan diri pada orang-orang yang benar, pada para kekasih tuhanlah yang saat itu berlimpahkan anugrah dan keselamatan.
Kenyataan saat ini; individu, masyarakat, dan pemerintah banyak yang bertindak korup. Lahan-perlahan bencana kerap melanda. Kematian masal meraja lela, baik di darat, laut, maupun udara. Tidakkah ini merupakan sebagian kecil dari kiamat? Apakah ini kutukan Kalatida? Ataukah ini kepastian Kalender Maya? Benarkah potret “kiamat” itu akan terjadi kembali dalam realitas masyarakat kita sekarang ini? Dan memang pantas-siapkah masyarakat kita menerima kepastian seperti itu? Jawabannya hanya ada dalam diri kita masing-masing, dalam ruang waktu yang masih terasing.
=========
*) Imamuddin SA, lahir di desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim. 13 Maret 1986, nama aslinya Imam Syaiful Aziz. Aktif mengikuti diskusi di Forum Sastra Lamongan [FSL], Candrakirana Kostela, Sanggar Seni Simurg. Sempat sebagai sekretaris redaksi pada Jurnal Sastra Timur Jauh, serta Jurnal Kebudayaan The Sandour. Karya-karyanya terpublikasi di Majalah Gelanggang, Gerbang Masa, Tabloid Telunjuk, Jurnal Kebudayaan The Sandour, dll. Karyanya terantologi di Lanskap Telunjuk, Absurditas Rindu, Khianat Waktu, dan Memori Biru. Antologi tunggalnya: Esensi Bayang-Bayang (PUstaka puJAngga), Sembah Rindu Sang Kekasih (PUstaka puJAngga).
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar