Syu’bah Asa*
http://gusdurian.net/
SUATU kali Abdurrahman Wahid marah-marah kepada seorang tokoh Islam. Masalahnya, seorang wartawan TEMPO mengadu kepadanya. Ia dimarahi tokoh itu, karena datang ke rumahnya dengan cara melompat pagar pekarangan yang terkunci setelah tidak mendapat cara lain untuk masuk. Ini terjadi pada akhir 1970-an, zaman ketika telepon belum populer, sedangkan si wartawan memang punya janji dengan si tokoh. Mendengar pengaduan itu malah Gus Dur yang tersinggung dan membela si wartawan. “Sok kenes! Kebarat-baratan!” katanya, ditujukan kepada tokoh yang tidak mendengar kemarahannya itu.
Kemarahan Gus Dur dikarenakan ia tidak terlalu menganggap serius perbuatan lompat pagar yang dilakukan dengan terpaksa itu, dibanding keperluan yang mendorongnya. Itu paling-paling, kan, kenakalan anak muda. Begitu saja kok marah. Repot-repot amat. Ini semua menurut cerita si wartawan.
Tetapi, itulah Gus Dur yang dikenal kawan-kawan di TEMPO: bersahabat, tidak formal, punya empati besar, cepat bereaksi, di samping luas perhatian dan banyak guyon. Di masa-masa itu, ketika TEMPO masih berkantor di Proyek Senen, Jakarta Pusat, sekitar akhir 1970-an sampai 1980-an, Gus Dur kerap datang untuk menulis kolomnya. Produktif sekali. Kalau tidak salah, yang satu belum dimuat, sudah datang yang lain. Andaipun terpaksa ada kolom yang harus kembali, saya kira dia juga tidak peduli. Repot-repot amat. Tapi, saya lupa mengenai itu. Yang jelas, produktivitas Gus Dur membuat Goenawan Mohamad, Pemimpin Redaksi ketika itu, menyarankan kepada saya agar mengurus satu meja khusus plus mesin ketik untuk dia.
Gus Dur orangnya segar. Datang dengan gaya seperti selalu siap untuk ngobrol, pakai sandal, tidak pernah sepatu, pakai hem lengan pendek, tidak pernah pakai peci, apalagi dasi. Selalu punya lelucon yang membuat orang tergelak-gelak. Setelah ger-geran sedikit, baru ia menuju mejanya dan mulai mengetik. Sekitar dua jam kemudian ia mendatangi Goenawan, atau saya, menyerahkan tulisannya. “Ini. Terserah Mas Syu’bah.” Atau, “Terserah Mas Goen.” Sudah itu ia tidak peduli mau diapakan kolomnya: diedit, dibolak-balik, dikurangi, terserah. Repot-repot amat. Asal masih tetap pikiran dia, tentu saja. Biasanya Goenawan menaruh lagi kolom yang diberikan Gus Dur itu di meja saya. Tapi, kalau sudah dia sentuh sedikit-sedikit, ya, saya teruskan saja ke pracetak.
Hampir tiap minggu Gus Dur menulis. Ini, kemudian, diakuinya sendiri di satu wawancara televisi, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sekeluarga. Ada saja idenya. Juga ide yang bagi orang lain sering dianggap sepele, akan ia kemukakan dalam kalimat-kalimat serius, sehingga membuatnya penting. Kolomnya tentang lelucon, misalnya, tentunya bisa dimasukkan ke situ. Karena pulang-pergi naik kendaraan umum, ia juga dapat ide tentang bus kota nomor sekian yang tiap hari Minggu mengubah trayek menjadi Kebayoran-Kwitang. Sopir bus itu tahu kebutuhan umat Habib Al-Habsyi yang tiap Ahad pagi berbondong-bondong ke pengajian. Lalu Gus Dur, dengan beberapa contoh lain, bicara dengan segar tentang “komersialisasi keberagamaan” dengan kedua pihak sama-sama setuju.
Ungkapan-ungkapan Gus Dur memang rata-rata menyegarkan. Judul seperti Menunggu Setan Lewat, misalnya, adalah asli dari dia dan bukan dari penyunting. Berpikirnya ringan tetapi amot, perbendaharaannya banyak, dan pengungkapannya prosais. Hanya saja, karena rata-rata dikerjakan dengan cepat, tanpa selalu sempat memilih ungkapan yang efektif, terkadang karangan agak boros kata, dan itu mengaburkan barik (tekstur).
Sebaliknya, karena ide, atau unit pikiran kecil-kecil, sering banyak sekali, ia juga bisa agak melompat, mengira orang sudah paham, padahal diperlukan jembatan — yang sering hanya dua-tiga kata. Betapapun, tulisan Gus Dur tidak termasuk yang ditangani, misalnya sampai ke tingkat “dikerjain”. Sekadar menjaga bagaimana agar ketajaman pikiran dan analisisnya tidak dikaburkan oleh semak belukar kata. Kalau ternyata malah sudah beres dengan sendirinya, sudah.
Itu penting. Apalagi untuk penulis produktif dengan spektrum pemikiran yang luas seperti dia. Memang, lebih luas dari siapa pun. Kalau dibandingkan dengan Nurcholish Madjid atau Amien Rais, spektrum perhatian Gus Dur masih lebih luas. Tulisan-tulisannya mulai dari masalah-masalah sosial, politik, agama, buruh, tani, dakwah, musik, sampai sepak bola—nasional maupun internasional.
Dan itu sesuai dengan keluasan ruang geraknya dan banyaknya komunitas yang dia masuki. Ia orang santri dari kalangan pesantren yang, sebagai orang intelek ilmu agama, punya lingkungan keilmuan Islam. Lalu, lingkungan ilmuwan sosial dia masuki. Ikut seminar-seminar. Dia kan punya perangkat leori sosial, belajar ilmu sosial. Juga lingkungan pergerakan keagamaan dengan aktif di NU. Jadi orang LSM. Orang gerakan demokrasi dan hak asasi. Masuk lingkungan antaragama. Sampai ke tingkat antarnegara. Tapi juga, sebelumnya, orang Taman Ismail Marzuki.
Ia bukan seniman, hanya kecenderungan humanioranya besar sekali. Bacaan novelnya, atau majalah budaya, paling tidak terbitan Timur Tengah atau terjemahan sana, dulu, waktu sekolah di Mesir, tidak bisa disamai intelektual mana pun yang bukan budayawan. Karena wawasannya pula ia dipilih menjadi salah satu ketua Dewan Kesenian Jakarta. Tentu, jabatannya di NU memperkuat kansnya sebagai ketua di DKJ. karena kita kan senang kalau, ternyata, masyarakat ini bisa dibikin tidak terkotak-kotak.
Termasuk dalam perhatiannya yang luas adalah kegemarannya pada perkembangan politik berbagai negara, lengkap dengan ideologi-ideologi. Jangan-jangan, inilah yang paling dia gemari, walaupun bukan yang paling banyak dia tulis. Sehingga, melihat kolom-kolomnya saja kita sebenarnya tidak heran kalau Gus Dur menjadi presiden. Mungkin ada benarnya, meskipun ini karena kita berpikir sekarang, sebetulnya dari kecil Gus Dur bercita-cita ingin jadi “sesuatu”, ingin jadi somebody yang berhubungan dengan kekuasaan. Tentu kita semua juga ingin jadi somebody, tapi kan tidak semua somebody punya kaitan dengan kekuasaan. Pada saya, misalnya, tidak.
Tapi, Gus Dur datang dari keluarga aktivis besar, dalam pengertian yang dekat dengan negara. Kakeknya termasuk pendiri Masjumi dan, kemudian, pendiri NU. Ayahnya menteri agama dan sangat terkenal di kalangan Islam. Dua-duanya pahlawan nasional. Yang saya tahu, keluarga besar Gus Dur umumnya berpendapat dia itu mestinya menjadi menteri agama, supaya ada yang meneruskan “warisan” ayah dan kakeknya.
Dan nanti akan kita lihat, Gus Dur sendiri, paling tidak sebagai aktivis, kalau bukan juga sebagai kolumnis, tidak bisa jauh dari kekuasaan. Ia selalu bergerak di dekat-dekat situ, meskipun oleh pemerintah waktu itu tidak dibolehkan menjadi pemain. Ini bisa dibandingkan dengan para intelektual lain mana pun yang umumnya, memang, bermental swasta. Kalaupun hidupnya berhubungan dengan pemerintah, ya paling-paling makan upah, sebagai pegawai atau dosen. Gus Dur tidak pernah makan upah.
Kolom-kolomnya sendiri, sebagian, sudah mencerminkan antusiasmenya terhadap politik dan masalah kenegaraan. Tidak hanya Gus Dur yang menulis soal luar negeri. Tetapi, rasa-rasanya, hanya dia yang datang dengan ide lebih dahulu (dan itulah yang membuatnya menjelaskan apa yang sedang terjadi, dan bukan sebaliknya) dan menulis sambil seolah-olah berkata, “Mestinya kan begini. Repot-repot amat.” Karangannya bisa menyangkut negara apa saja, Timur maupun Barat.
la bukan ilmuwan spesialis, misalnya ahli negara tertentu. Pengetahuannya yang mendetail (misalnya saja tentang Israel mutakhir) merupakan hasil dari minatnya yang besar, dan ia menulis dengan gaya seakan-akan masalahnya ringan saja. Jadi. soal seperti lelucon ia “perjuangkan” dengan kalimat-kalimat serius untuk diberi perhatian, sementara soal politik dan kenegaraan sering ia tulis dengan segar, khas seseorang yang yakin bahwa ia mampu. Ini karena pada dasarnya ia budayawan. Sekarang ini kita bisa berkata, ia budayawan (lebih dari agamawan) yang masuk ke dunia politik.
Karena itu, tidak heran ketika masuk Istana, menjadi kepala negara, ia tidak mmder atau kelihatan sebagai junior. Ia jenis tokoh yang “matang di luar”. Tidak lewat pendidikan formal, misalnya ilmu politik. Dan seperti pernah dikatakan Munawir Sjadzali kepada saya waktu beliau masih menteri agama, orang itu “tidak punya obsesi gelar”. Itu benar. Gelar K.H. pun bukan dia sendiri yang pasang. Padahal, setahu saya Gus Dur tidak pernah mengajar ngaji kitab. Kan “Gus” itu panggilan putra kiai.
Jadi, Gus Dur itu hanya membaca, mendengar, diskusi, membaca, mendengar, diskusi, sambil ketawa-ketawa. Waktu sekolah di Mesir pun, saya bilang tadi, bacaannya novel. Sekolahnya sendiri entah lulus entah tidak, nggak pentinglah. Ada yang cerita, pernah ia naik bus ke sekolah, tapi waktu bus berhenti dekat sekolah, ia tidak turun, karena sebenarnya ia mau nonton. Saya pernah mendengar cerita yang hampir seperti itu tentang Bung Karno, entah benar, entah tidak. Katanjga, waktu dibuang Belanda ke Digul, kalau Bung Hatta kan kerjaannya membaca. Kalau Bung Karno tidak. Mancing.
Tapi, Gus Dur membaca. Dan banyak. Matanya saja sampai rusak. Mungkin lebih banyak membaca daripada Bung Karno. Apalagi dibanding Pak Harto. Habibie juga membaca, saya kira. Tapi, saya yakin dengan bahan yang lebih terbatas. Dalam buku otobiografi Deliar Noer dituliskan, waktu Pak Deliar mewawancarai Kiai Wahid, ayah Gus Dur, untuk keperluan disertasinya, ia melihat anak kecil pakai kacamata asyik membaca di lantai. Mungkin, kata Deliar, itu Abdurrahman Wahid.
Tapi, Gus Dur bukan pembaca tipe anak sekolah, yang hanya membaca buku yang ditentukan guru atau yang ada dalam disiplin ilmu tertentu. Gus Dur membaca semua yang menarik dia, kalau perlu karcis bioskop dia baca. Dari situ ia dapat ide (lalu ketawa-ketawa). Ia membaca bagian yang penting-penting. Kan, zaman sekarang kita membaca buku dengan scanning atau skimming atau lewat indeks. Jadi, bisa banyak. Kecuali membaca sajak, lho, atau novel. Mana ada novel pakai indeks.
Kecerdasannya menonjol. Cepat menangkap sesuatu dan menentukan sumber masalah. la kerap berangkat dari asumsi dan akumulasi pengetahuan yang dia punya dan, memang, analisisnya pada umumnya tepat. Tentu bukan tidak pernah keliru. Ketika ia menulis tentang Filipina, TEMPO, beberapa hari kemudian tulisan yang bagus itu ditebang oleh Mahbub Junaedi di harian Kompas. Mahbub adalah kolumnis dengan dukungan sistem kliping yang baik, seperti Pater Brouwer. Waktu itu Goenawan berkala kepada saya, kira-kira, “Bagaimana, ya, caranya menasihati Gus Dur supaya lebih memperhatikan data. Orangnya sangat pintar, cuma nggak begitu peduli.” Dua hari kemudian, waktu saya singgung tulisan Mahbub itu, Gus Dur enteng saja menanggapi: “Ah. kita bicara ini, dia bicara itu.”
Saya kira-kira paham juga yang dimaksud Gus Dur dengan “bicara ini, bicara itu”. Memang ada benarnya. Hanya, kalau mau mencari kelemahan Gus Dur, kelemahan itu ada pada hal-hal kecil. Bisa termasuk data teknis, meskipun ia orang yang akrab dengan perpustakaan. Percakapan saya dengan dia itu sendiri berlangsung di perpustakaan — dan perpustakaan TEMPO, kan, cukup bagus. Gus Dur ke perpustakaan mencari ide, menimba, atau mengecek pikiran atau gagasan. Tokoh seperti dia kan suka ide-ide segar, termasuk yang bagi banyak orang terasa menyentak. Misalnya, yang terakhir, kata-katanya di perayaan Cap Go Meh bahwa sekarang inilah saat kita mengembangkan perbedaan. “Makin berbeda kita, makin jelas di mana titik-titik persatuan kita.”
Itu pikiran besar — kalimat orisinal — yang abstrak, tampaknya, tapi bisa mempengaruhi kebijaksanaan atau, jelas, akan sejalan dengan keputusan-keputusan yang akan diambil selanjutnya. Yang seperti itu dari Gus Dur banyak. Nah, para pembantunyalah, sekarang, yang harus lintang-pukang menyuplai sang presiden dengan hal-hal teknis, termasuk data, apa saja, agar “kebesaran” itu tidak tertumbuk dengan data atau dengan info yang tidak benar. Dokter langganan saya, kebetulan keturunan Cina, sehabis mendengar dua-tiga pidato Gus Dur yang pertama, bilang, “Itu orang jenial, bukan, Pak?” “Iya, Bu. Ia salah satu putra terbaik kita.”
Perjalanannya ke kursi presiden itu sangat cepat. Bikin partai, kampanye sedikit, terus jadi presiden. Begitu. Kecuali kalau jabatannya sebagai pemimpin NU, juga di Forum Demokrasi, sudah kita pandang sebagai kegiatan politik. Pendapat Dawam Rahardjo, misalnya, sejalan dengan itu. Suatu kali saya sendiri diajak Gus Dur ke Jawa Timur. Berdua kami berkeliling dari satu kiai ke kiai lain, dari satu pesantren ke pesantren lain. Juga beberapa famili yang menjadi pejabat di daerah.
Misalnya, kami menginap di satu kabupaten yang bupatinya kemenakannya. Biasanya mereka mengumpulkan sejumlah orang untuk menyambut cucu Hadratusy Syaikh (Hasyim Asy’ari, red.) itu, tapi yang datang tidak banyak. Kan Gus Dur belum terkenal. Di Lamongan, misalnya, kalau tidak salah cuma sekitar 40 orang. Dalam kesempatan seperti itu biasanya Gus Dur bicara, lalu menyuruh saya meneruskan. Sudah itu tanya-jawab. Dia yang jawab.
Saya berpikir, seakan-akan Gus Dur sedang mencari atau mengurut mata-mata rantai yang lepas-lepas, sambil bersilaturahmi. Kan dia belum begitu lama pulang dari Irak. Dia banyak bertanya tentang famili atau kenalan yang berada di sini atau di sana, jadi apa dia sekarang, bagaimana posisinya, pengaruhnya, keluarganya, dan seterusnya. Gus Dur sedang akan memakai jaringan yang sudah ada, yang bisa juga dari warisan, dengan maksud mengaktualkan kembali jaringan itu dengan dirinya sebagai pemain.
Saya mencatat, perjalanan kami berdua itu berada dalam kerangka perjalanan Gus Dur sendiri, tahap awal, untuk naik ke atas. Tidak lama kemudian dia akan masuk ke dalam jajaran kepengurusan PB Nadlatul Ulama, kalau tidak salah, mula-mula sebagai wakil katib (penulis). Kami juga mengunjungi Kiai Ahmad Siddiq (almarhum). Malahan Gus Dur meninggalkan kami berdua agak lama. Dan nanti kita akan lihat bahwa dalam soal kembalinya NU ke Khitah 1926 pada Muktamar Situbondo 1984, yang berdiri di belakangnya tak lain kedua tokoh itu: Gus Dur dan Kiai Siddiq. Dari situ Gus Dur melesat ke atas.
* Penulis adalah Redaktur majalah TEMPO (1971-1987).
________________
Tulisan diambil dari Pengantar Buku Melawan Melalui Lelucon: Kumpulan Kolom Abdurrahman Wahid di TEMPO, Tahun 2000.
Sumber: http://gusdurian.net/opini/anom/gus-dur-mencapai-cita-citanya/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar