Hardi Hamzah
http://www.lampungpost.com/
“Ada yang tertinggal di dalam dunia post-modernism,” ujar David Legman (2003). Artikel yang ditulisnya pada News Week edisi Maret tahun yang sama semakin mengingatkan kita tahu bahwa post-modernism yang diusung secara kultural oleh agamawan, politisi, dan cendekiawan ternyata melahirkan bangsa yang rendah. Indonesia-lah yang mungkin terakhir kali sebagai suatu bangsa dikoloni oleh bangsa-bangsa lain.
Hal tersebut sebagai preseden buruk dari ketidakberhasilan post-modernism dan korelasinya terhadap pemimpin di negeri ini. Setiap orang kemudian menjatahkan dirinya pada “jatah hidup” yang tidak jelas. Miskin kota bertambah 27%, di desa hampir 2 kali lipatnya. Sementara itu, pemimpin kita yang mendambakan post-modernism dengan tidak berbuat apa-apa kecuali menulis, menjadi staf pengajar, pelaku budaya, birokrat gagal, seniman tanggung, dan wartawan bodrek.
Alkisah, post-modernism lahir di Indonesia pada era non-violent movement (gerakan antikekerasan). Ia lahir dari mahasiswa yang disosialisasi oleh Amien Rais, Gus Dur, Nurcholis Madjid, Goenawan Mohamad, Jacoeb Utama, dan sederet nama personel birokrat lainnya. Inilah produk post-modernism yang paling mutakhir. Rahim yang melahirkannya kini berdarah-darah, bukan kanker, tidak juga tumor. Inilah bangsa yang dilahirkan oleh pengagum post-modernism yang dilatarbelakangi katub agama, budaya, pers, dan birokrasi. Pertanyaannya kemudian, apa yang bisa kita daulat untuk para tokoh itu. Sebab, setidaknya mereka telah mempunyai ikon hidup sendiri-sendiri. Perubahan yang gradual akibat post-modernism kemudian melahirkan peran-peran abstrak.
Hampir terefleksi bahwa post-modernism agama, budaya, pers, dan para pemimpin kita tergerus oleh perilaku post-modernism, yang pada gilirannya menghadapkan kita pada dikotomi sosial dan struktural. Dikotomi sosial menunjuk pada proses apa yang dilakukan oleh setiap individu terhadap dirinya sendiri, tanpa harus berpikir ada manusia di sekitarnya (baca: konsumerisme). Pada dikotomi struktural, kita melihat dua wajah eksekutif dan legislatif yang bopeng. Dan, terkadang digarap habis oleh para pelaku yudikatif. Dikotomi itu menggiring kita berbaris dalam kata-kata, seringkali kita lahir sebagai generasi lebih banyak membangun arti daripada makna.
Makna hidup hanya dilihat sebagai suatu proses sosial biasa, sehingga kita menjadi zombi-zombi, tapi rakus dalam artian finansial. Kendati, kita tidak tahu apakah itu “rakus” atau “keharusan”? Demikianlah, kita melihat sebuah jurang besar yang menganga. Meski tetap kita pahami bersama bahwa kekuatan yang utuh hanya lewat nelangsa dan sabar. Memang, nelangsa dan sabar itulah yang masih kita miliki. Ini gejala psikis normal dari kekalahan agamawan, budayawan, dan politisi kita terhadap post-modernism.
Dalam rajutan lain, kita melihat post-modernism telah “menyembelih” dan “memerawani” seluruh kisi-kisi hidup kita. Kini kita hanya tengah menunggu residu post-modernisme di tengah kultur yang tidak menentu. Meski resminya kita masih punya martabat. Kita masih punya sejarah adi luhung, kawah candradimuka (SDA), serat-serat dan kidung-kidung yang mengharuskan kita harus menjustifikasi seluruh peradaban hidup. Pada titik inilah, kebangkitan di antara dua dikotomi di atas dapat dibangun.
Saya teringat pemikir besar seperti Al Farabi, Hasan Al Banna, Ibnu Sina, sampai Cak Nur. Sesungguhnya, orientasi mereka melebihi para futurolog, jauh di atas Nostradamus. Namun kenyataannya, masyarakat yang lemah ekonominya hanya membangun optimitis lewat berani, kilah Amien Rais ketika saya mendatangi rumahnya (2003). Berani, dalam konteks dikotomi mampu menghasilkan sesuatu, manakala ia dibangun oleh kekuatan spiritualitas, dan visi.
Sementara itu, dalam masyarakat kelaparan seperti kita, kita hanya berani karena takut dan takut karena berani. Ini yang dilukiskan oleh The Satanic Verses (Ayat-Ayat Setan) karya Salman Rusdi. Keberanian kita hanya mampu karena diremas, ditekuk, dan dililit oleh ketakutan, dus demikian pula sebaliknya. Orang yang kemudian dimusuhi oleh hampir seluruh umat Islam itu mempersilakan kita untuk bicara bahwa post-modernism sebagaimana yang ditulis oleh Jasman Al Kindi (1979) dan beberapa tokoh Islam lainnya, bahwa kita adalah bangsa yang consumer dan tidak beradab. Kita adalah bangsa yang tidak mempunyai perilaku hidup lewat fakta.
Mungkin kita hanya mampu membuka data tanpa harus membacanya. Data hidup, sebagaimana dilukiskan oleh para filsuf dan teolog modern bahwa setiap orang harus memaknai sejarahnya, bahwa setiap orang harus memaknai hidudnya. Plato, misalnya, menggambarkan kehidupan di gua bagaikan bayang-bayang. Bahkan, Ibnu Sina telah melihat bahwa makna hidup adalah menghidupi orang lain. Namun, lipat dua (dikotomi sosial dan struktural) yang penulis singgung di muka memberi makna hidup sebagai sesuatu kekuatan semu.
Dalam proses sosial, dari rahim yang berdarah-darah itu lahir kultur sinis sedikit skeptis dan apatis. Secara struktural, dari rahimnya, lahir impulsifisme, degradasi moral, dan patung-patung (berhala) tak bermoral. Lalu, apa makna kita sebagai bangsa? Apa makna kita sebagai manusia? Dan, apa makna kita sebagai makhluk Tuhan? Kita sangat tahu bahwa Al Quran berkata, Injil dan beberapa kitab lainnya berucap tentang kesadaran terhadap makna hidup. Namun, kita sebagai bangsa tidak memaknainya secara realis.
Dalam konteks di atas, hemat saya, kita harus memperlakukan makna hidup sebagai suatu cagar budaya nilai dari berbagai dimensi. Kita adalah keturunan Adam dan Hawa, keturunan raja-raja mataram dan keturunan pounding father yang melawan kolonial.
Saya teringat apa yang ditulis oleh penulis Belanda Bernard Dahm, dalam buku biografi politik Bung Karno Bung Karno, a Political Biography (1997). Dahm mengingatkan kepada kita bahwa budaya adi luhung dalam kesejahteraan nusantara tak terlepas dari keberanian moral memaknai hidup. Dalam bangsa yang optimis, sebagai mana yang terjadi di Meksiko, Brasil, dan Amerika lainnya. Dari kemiskinan, Brazil menjual sepak bola. Dari disintegrasi, Nelson Mandela menjual kebersamaan. Seharusnya, kita memaknai hidup dengan keberanian di tengah keberanian itu sendiri, dus bukan di tengah ketakutan. Seperti yang digaungkan post-modernism.
Agaknya, kita harus disadari betul bahwa post-modernism dan anasir-anasirnya telah menguatkan molekul agama, budaya, dan politik. Inilah seharusnya yang kita tolak. Kita berani menghadapi impitan dengan leluasa. Sebagai bangsa, kita mampu mandiri karena SDA. Sebagai bangsa kita mampu memaknai realitas adalah fakta, dus bukan data yang pada gilirannya kita jauh dari personel yang antisosial. Dalam Abad Makro Kosmos yang kerap digemakan para penganut post-modernism bahwa hidup adalah individual, bahwa hidup adalah kompetisi, bahwa hidup adalah finansial. Ini bisa benar apabila kita tidak salah menyenyawakannya dengan politik, agama, dan budaya. Namun, ia akan menjadi nilai yang amburadul, manakala kita salah menerjemahkannya.
Dalam skala yang lebih mikro, post-modernism akan mengejawantahkan menjadi dua kutub, yang kalau salah arah membuka peluang untuk terjadinya revolusi sosial di negeri ini. Masya Allah.***
*) Pemerhati kebudayaan, tinggal di Bandar Lampung
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar