01/10/10

Kekalahan Kita terhadap ‘Post-Modernism’

Hardi Hamzah
http://www.lampungpost.com/

“Ada yang tertinggal di dalam dunia post-modernism,” ujar David Legman (2003). Artikel yang ditulisnya pada News Week edisi Maret tahun yang sama semakin mengingatkan kita tahu bahwa post-modernism yang diusung secara kultural oleh agamawan, politisi, dan cendekiawan ternyata melahirkan bangsa yang rendah. Indonesia-lah yang mungkin terakhir kali sebagai suatu bangsa dikoloni oleh bangsa-bangsa lain.

Hal tersebut sebagai preseden buruk dari ketidakberhasilan post-modernism dan korelasinya terhadap pemimpin di negeri ini. Setiap orang kemudian menjatahkan dirinya pada “jatah hidup” yang tidak jelas. Miskin kota bertambah 27%, di desa hampir 2 kali lipatnya. Sementara itu, pemimpin kita yang mendambakan post-modernism dengan tidak berbuat apa-apa kecuali menulis, menjadi staf pengajar, pelaku budaya, birokrat gagal, seniman tanggung, dan wartawan bodrek.

Alkisah, post-modernism lahir di Indonesia pada era non-violent movement (gerakan antikekerasan). Ia lahir dari mahasiswa yang disosialisasi oleh Amien Rais, Gus Dur, Nurcholis Madjid, Goenawan Mohamad, Jacoeb Utama, dan sederet nama personel birokrat lainnya. Inilah produk post-modernism yang paling mutakhir. Rahim yang melahirkannya kini berdarah-darah, bukan kanker, tidak juga tumor. Inilah bangsa yang dilahirkan oleh pengagum post-modernism yang dilatarbelakangi katub agama, budaya, pers, dan birokrasi. Pertanyaannya kemudian, apa yang bisa kita daulat untuk para tokoh itu. Sebab, setidaknya mereka telah mempunyai ikon hidup sendiri-sendiri. Perubahan yang gradual akibat post-modernism kemudian melahirkan peran-peran abstrak.

Hampir terefleksi bahwa post-modernism agama, budaya, pers, dan para pemimpin kita tergerus oleh perilaku post-modernism, yang pada gilirannya menghadapkan kita pada dikotomi sosial dan struktural. Dikotomi sosial menunjuk pada proses apa yang dilakukan oleh setiap individu terhadap dirinya sendiri, tanpa harus berpikir ada manusia di sekitarnya (baca: konsumerisme). Pada dikotomi struktural, kita melihat dua wajah eksekutif dan legislatif yang bopeng. Dan, terkadang digarap habis oleh para pelaku yudikatif. Dikotomi itu menggiring kita berbaris dalam kata-kata, seringkali kita lahir sebagai generasi lebih banyak membangun arti daripada makna.

Makna hidup hanya dilihat sebagai suatu proses sosial biasa, sehingga kita menjadi zombi-zombi, tapi rakus dalam artian finansial. Kendati, kita tidak tahu apakah itu “rakus” atau “keharusan”? Demikianlah, kita melihat sebuah jurang besar yang menganga. Meski tetap kita pahami bersama bahwa kekuatan yang utuh hanya lewat nelangsa dan sabar. Memang, nelangsa dan sabar itulah yang masih kita miliki. Ini gejala psikis normal dari kekalahan agamawan, budayawan, dan politisi kita terhadap post-modernism.

Dalam rajutan lain, kita melihat post-modernism telah “menyembelih” dan “memerawani” seluruh kisi-kisi hidup kita. Kini kita hanya tengah menunggu residu post-modernisme di tengah kultur yang tidak menentu. Meski resminya kita masih punya martabat. Kita masih punya sejarah adi luhung, kawah candradimuka (SDA), serat-serat dan kidung-kidung yang mengharuskan kita harus menjustifikasi seluruh peradaban hidup. Pada titik inilah, kebangkitan di antara dua dikotomi di atas dapat dibangun.

Saya teringat pemikir besar seperti Al Farabi, Hasan Al Banna, Ibnu Sina, sampai Cak Nur. Sesungguhnya, orientasi mereka melebihi para futurolog, jauh di atas Nostradamus. Namun kenyataannya, masyarakat yang lemah ekonominya hanya membangun optimitis lewat berani, kilah Amien Rais ketika saya mendatangi rumahnya (2003). Berani, dalam konteks dikotomi mampu menghasilkan sesuatu, manakala ia dibangun oleh kekuatan spiritualitas, dan visi.

Sementara itu, dalam masyarakat kelaparan seperti kita, kita hanya berani karena takut dan takut karena berani. Ini yang dilukiskan oleh The Satanic Verses (Ayat-Ayat Setan) karya Salman Rusdi. Keberanian kita hanya mampu karena diremas, ditekuk, dan dililit oleh ketakutan, dus demikian pula sebaliknya. Orang yang kemudian dimusuhi oleh hampir seluruh umat Islam itu mempersilakan kita untuk bicara bahwa post-modernism sebagaimana yang ditulis oleh Jasman Al Kindi (1979) dan beberapa tokoh Islam lainnya, bahwa kita adalah bangsa yang consumer dan tidak beradab. Kita adalah bangsa yang tidak mempunyai perilaku hidup lewat fakta.

Mungkin kita hanya mampu membuka data tanpa harus membacanya. Data hidup, sebagaimana dilukiskan oleh para filsuf dan teolog modern bahwa setiap orang harus memaknai sejarahnya, bahwa setiap orang harus memaknai hidudnya. Plato, misalnya, menggambarkan kehidupan di gua bagaikan bayang-bayang. Bahkan, Ibnu Sina telah melihat bahwa makna hidup adalah menghidupi orang lain. Namun, lipat dua (dikotomi sosial dan struktural) yang penulis singgung di muka memberi makna hidup sebagai sesuatu kekuatan semu.

Dalam proses sosial, dari rahim yang berdarah-darah itu lahir kultur sinis sedikit skeptis dan apatis. Secara struktural, dari rahimnya, lahir impulsifisme, degradasi moral, dan patung-patung (berhala) tak bermoral. Lalu, apa makna kita sebagai bangsa? Apa makna kita sebagai manusia? Dan, apa makna kita sebagai makhluk Tuhan? Kita sangat tahu bahwa Al Quran berkata, Injil dan beberapa kitab lainnya berucap tentang kesadaran terhadap makna hidup. Namun, kita sebagai bangsa tidak memaknainya secara realis.

Dalam konteks di atas, hemat saya, kita harus memperlakukan makna hidup sebagai suatu cagar budaya nilai dari berbagai dimensi. Kita adalah keturunan Adam dan Hawa, keturunan raja-raja mataram dan keturunan pounding father yang melawan kolonial.

Saya teringat apa yang ditulis oleh penulis Belanda Bernard Dahm, dalam buku biografi politik Bung Karno Bung Karno, a Political Biography (1997). Dahm mengingatkan kepada kita bahwa budaya adi luhung dalam kesejahteraan nusantara tak terlepas dari keberanian moral memaknai hidup. Dalam bangsa yang optimis, sebagai mana yang terjadi di Meksiko, Brasil, dan Amerika lainnya. Dari kemiskinan, Brazil menjual sepak bola. Dari disintegrasi, Nelson Mandela menjual kebersamaan. Seharusnya, kita memaknai hidup dengan keberanian di tengah keberanian itu sendiri, dus bukan di tengah ketakutan. Seperti yang digaungkan post-modernism.

Agaknya, kita harus disadari betul bahwa post-modernism dan anasir-anasirnya telah menguatkan molekul agama, budaya, dan politik. Inilah seharusnya yang kita tolak. Kita berani menghadapi impitan dengan leluasa. Sebagai bangsa, kita mampu mandiri karena SDA. Sebagai bangsa kita mampu memaknai realitas adalah fakta, dus bukan data yang pada gilirannya kita jauh dari personel yang antisosial. Dalam Abad Makro Kosmos yang kerap digemakan para penganut post-modernism bahwa hidup adalah individual, bahwa hidup adalah kompetisi, bahwa hidup adalah finansial. Ini bisa benar apabila kita tidak salah menyenyawakannya dengan politik, agama, dan budaya. Namun, ia akan menjadi nilai yang amburadul, manakala kita salah menerjemahkannya.

Dalam skala yang lebih mikro, post-modernism akan mengejawantahkan menjadi dua kutub, yang kalau salah arah membuka peluang untuk terjadinya revolusi sosial di negeri ini. Masya Allah.***

*) Pemerhati kebudayaan, tinggal di Bandar Lampung

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita