(Bukan berarti kita tidak perlu mampir ke Barat atau Timur)
Haris del Hakim
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
Corak budaya satu warna yang bertaraf nasional yang mengiringi kekuasaan Orde Baru ternyata mempunyai imbas yang signifikan terhadap tradisi dan budaya yang bercorak kedaerahan. Kisah-kisah, kearifan, ataupun dongeng asal-usul suatu daerah menjadi tertepiskan oleh jargon-jargon yang mendukung pembangunan nasional, sebagaimana dicanangkan oleh masa pemerintahan Presiden Soeharto. Contoh paling gampang adalah pudarnya kekuatan baureksa sebagai penguasa di suatu daerah.
Kondisi tersebut mengakibatkan generasi yang lahir setelah itu “kehilangan” akar tradisi. Duapuluh tahun setelah berdirinya Orde Baru muncul fenomena generasi muda yang tidak memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal, sehingga sering terdengar istilah “malin kundang si anak hilang yang durhaka terhadap ibunda kampung halaman”. Gelombang reformasi yang turut menghembuskan otonomi daerah seakan menyentak kesadaran akan hilangnya nilai-nilai kedaerahan tersebut, tidak terkecuali di daerah Lamongan.
Kisah-kisah, warisan budaya, dan kearifan lokal, sebagai kekayaan dan sumber kebanggaan bagi generasi muda akan kedaerahannya menjadi niscaya untuk digali kembali. Kisah Panji Laras dan Panji Liris, misalnya, merupakan salah satu kekayaan daerah Lamongan yang perlahan mulai dilupakan atau tidak dipahami secara baik oleh generasi muda. Kisah yang melahirkan tradisi pinangan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki menyamarkan motif-motif dan tanpa disadari termasuk salah satu faktor pendukung patriarki secara kasar, tanpa pemahaman yang matang terhadap akar persoalan. Padahal, kisah tersebut merupakan tafsir masyarakat terhadap apa saja yang membuat kaum laki-laki lebih tinggi dari kaum perempuan.
***
Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta budhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata “budhi”, berarti budi atau akal. Artinya, kebudayaan dapat diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”. Sementara dalam bahasa asing dikenal dengan istilah culture yang artinya adalah kebudayaan. Kata tersebut berasal dari bahasa Latin “colere” yang berarti mengolah atau mengerjakan, lebih tepatnya mengolah tanah atau bertani dan dapat diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam (Soekanto, 1982: 166).
Terlepas dari definisi yang teoretis seperti di atas, kebudayaan adalah predikat-predikat atau “baju-baju” yang dipakai oleh masyarakat untuk mengungkapkan keberadaannya. Karena masyarakat cenderung majemuk dan beragam, maka tidak aneh apabila dalam suatu masyarakat timbul berbagai macam ekspresi budaya. Kebudayaan seorang anak sekolah tentu berbeda dengan mahasiswa, petani, pedagang, atau ibu rumah tangga. Lebih gampangnya begini, mengapa seringkali timbul persoalan antara adik-kakak-orang tua-dll, secara ringkas karena mereka berbeda secara budaya. Seorang anak sekolah senang dengan band, tampil di panggung-panggung, mimpi menjadi artis, tampil menarik dan menjadi bahan perhatian banyak orang, sementara kakaknya mungkin tidak lagi mempunyai perhatian di bidang seperti itu. Atau kalaupun masih perhatian tidak sebergejolak seorang remaja. Akibatnya, timbul konflik hanya karena masing-masing mempunyai bobot perhatian berbeda dalam satu bidang—saya tidak mengatakan sebagai tidak peduli, sebab semua orang pasti mempunyai rasa perhatian terhadap segala macam persoalan hanya berapa persen dia peduli dengan hal itu.
Cara berekspresi inilah yang kemudian menimbulkan pengkotak-kotakan tentang budaya Timur-Barat-Utara-Selatan tanpa ada garis batasan wilayah yang jelas. Sampai saat ini kita seringkali mendengar kekuatiran beberapa kalangan tentang budaya Barat dan masih mengagungkan budaya Timur. Di dalam benak kita sangat jelas terbentuk pandangan bahwa budaya Barat adalah budaya yang rusak atau meng-gebyah uyah semua yang berbau Barat adalah rusak, sedangkan budaya Timur adalah budaya yang adiluhung. Bahkan, ada beberapa kalangan yang mengharamkan semua hal yang bersifat Barat. Pikiran yang sederhana seperti itu membuat kita gagap menjawab persoalan apakah kemajuan teknologi bukan termasuk hasil kebudayaan orang-orang “Barat”? Di sisi lain kita juga gagap ketika ditanya apakah budaya Timur yang adiluhung itu? Jawaban yang muncul secara spontan serampangan adalah, “Pokoke Bukan Barat!”. Jawaban seperti itu belum tentu timbul dari pemahaman yang betul mengenai “Barat” itu seperti apa sehingga dapat menjlentrehkan “Bukan Barat”.**
Gugatan-gugatan seperti itu meminta kita mempertimbangkan penilaian-penilaian kita terhadap wilayah asal budaya yang terlanjur kita konsumsi. Sejarah kebudayaan dan peradaban Barat saat ini ternyata hasil dari sumbangsih peradaban Asia—kalau boleh disebut Islam adalah bagian dari Asia—yang diperoleh dari Yunani dan Rpmawi. Karena itu, menyikapi pengkotakan budaya Timur-Barat-Utara-Selatan tidak pelu ngotot-ngotot sebab bisa diselesaikan di warung kopi—di warung kopi kita menemukan teknologi hasil produksi kemajuan peradaban Barat, seperti HP, dan kita juga menemukan cangkul pak tani yang sedang istirahat setelah lelah bekerja di sawah.
Persoalan yang lebih penting sebenarnya adalah merenungkan dan berpikir apa yang ada di balik budaya Barat dan Timur atau Utara dan Selatan, sehingga kita dapat memberikan penilaian secara arif. Pada saat kita membeli HP, misalnya, kita tentu tidak menanyakan ini produk Barat atau Timur? Apalagi pertanyaan lain yang sangat penting, seperti: Apakah untungnya kita mempunyai HP dan apa kerugiannya? Berat mana antara untung dan ruginya? Dan pertanyaan paling mendasar adalah, apakah saya benar-benar membutuhkan alat komunikasi yang bernama HP atau sekadar karena teman-teman saya mempunyai HP, maka saya juga harus mempunya HP?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu baru lontaran-lontaran iseng yang memunculkan pembahasan lebih mendalam. Di antaranya, apakah kepentingan orang-orang menciptakan HP dan menjual sinyal yang memanfaatkan udara? Bukankah udara diciptakan untuk digunakan oleh seluruh makhluk secara umum dan tidak hanya untuk gelombang radio, sinyal hp, radar, dll. Benarkah kepentingan pembuatan teknologi murni untuk kepentingan manusia secara menyeluruh, tetapi mengapa hanya orang-orang yang berduit mempunyai alat-alat teknologi yang maju?
Saya mempunyai teman yang tidak mau disebut ketinggalan zaman, sebut saja namanya Polan. Polan berpendapat bahwa ukuran tidak ketinggalan zaman adalah apa saja yang dilakukan oleh teman-temannya, tentu saja termasuk saya. Kalau temannya membeli sepatu merk Adidas, maka dua hari kemudian dia pasti sudah memilikinya. Begitu pula dengan barang-barang lainnya. Kemudian, kami bersepakat untuk memiliki barang-barang yang berbeda merk dan jenisnya antara satu sama lain dan satu bulan kemudian kami ganti dengan merk dan jenis lain. Secara ekonomi Polan memang kaya dan dituruti segala kemauannya. Sehingga, apa yang kami miliki juga dimiliki oleh orang lain.
Pada suatu hari kami mengajak Polan ke tempat pariwisata. Polan sama sekali belum pernah ke tempat itu. Saat kami sedang asik-asiknya ngobrol, Polan kebelet untuk buang air kecil. Salah seorang teman kami mengatakan bahwa kencing di tempat ini berbeda dengan kencing di tempat lain dan harus sesuai dengan syarat-syaratnya. Kami semua pun berpendapat seperti itu. Polan minta kami untuk mengantarkannya dan memberi contoh, tetapi tak seorang pun yang mau karena tidak ada yang akan kencing dan kami memberikan jalan keluar agar dia menonton orang lain sebelum kencing. Polan sangat senang dan langsung berangkat. Sepuluh menit kemudian kami melihat Polan yang datang dengan lebam di pipi karena dipukul seorang preman.
Memang, sangat sulit untuk membedakan antara terbuka—di kalangan remaja dikenal dengan istilah “Gaul”, “Ngetrend”, “Gak Telmi”, “Pop”, dll—dengan tidak mempunyai identitas. Kalimat yang paling harus diperhatikan adalah bahwa manusia “menciptakan” kebudayaan dan kebudayaan “mempengaruhi” manusia. Seorang rocker dapat menciptakan kebudayaan rocker karena “rocker juga manusia” dan bukankah kita juga adalah manusia yang dapat menciptakan kebudayaan meskipun kita belum tentu rocker? So what gitu loh?
Ya, kita tidak bisa membiarkan sifat terbuka melindas identitas kita. Pertanyaannya kemudian, apa sih identitas kita?
Munculnya sebuah kebudayaan dari suatu kawasan tentu tidak lepas dari kepentingan-kepentingan masyarakat itu. Apakah kepentingan di balik kebudayaan masyarakat Eropa yang berpakaian terbuka? Apakah hal itu dipengaruhi oleh kondisi alam dan cuaca, stok kain yang terbatas, para pendahulu mereka yang suka telanjang, atau sebab-sebab lain? Apakah hal itu sama dengan kondisi kita sehingga harus memilih untuk berpakaian minim juga?
Pertanyaan-pertanyaan di atas akan mengajak kita berpikir tentang kondisi alam, faktor ekonomi, sejarah, dan kepentingan-kepentingan lain. Pengetahuan tentang semua itu setidaknya membuat seseorang tidak gagap memahami dan membaca suatu fenomena budaya, begitu pula ketika membaca karakter orang dari kawasan tertentu.
Sebagai penutup, kita masih sering mendengar bahwa nenek moyang kita dulu orang-orang sakti, tetapi mengapa penjajahan kolonial Belanda dapat bertahan sampai 350 tahun ditambah 3,5 tahun penjajahan Jepang? Siapakah sebenarnya yang menyebut nenek moyang kita sakti? Mengapa mereka menyebut nenek moyang kita sakti? Apakah kepentingan mereka menyebut nenek moyang kita sakti?
Begitulah, kita masih harus banyak bertanya kemudian mencari jawabannya, sebab banyak hal yang masih belum kita ketahui. Dan, Jurnal Kebudayaan “The Sandour” merupakan salah satu ikhtiar dari orang-orang Lamongan untuk mencari identitas budayanya, sebagai manusia yang tinggal di Lamongan secara khusus dan Indonesia secara umum, di tengah berbagai macam warna dan bentuk kebudayaan yang sedang berkelebat saat ini. Bacalah tulisan Raudal Ranjung Banua yang tidak menganggap sepenuhnya salah aksi teroris yang terlanjur disematkan untuk orang-orang Lamongan, bacalah tulisan Nurel Javissyarqi yang mengungkapkan bahwa filsuf dan sastrawan dunia dari India terpukau oleh negeri kita, bacalah tulisan Joko Sandur yang berbagi pengalamannya tentang tradisi Lamongan, bacalah cerpen AS Sumbawi yang namanya tidak asing di surat-surat kabar, dan masih banyak lagi penulis-penulis berkaliber nasional.
Ternyata, kita mempunyai budaya sendiri….
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar