26/09/10

Sebias Cerah di Kampung Warna

Agus B. Harianto
http://www.sastra-indonesia.com/

Kampung Warna telah terukir dalam black list kepolisian setempat. Setiap intel seringkali mendapati Kartu Tanda Penduduk yang terselip dalam saku celana tahanannya menunjuk alamat kampung itu. Hingga guyonan tersendiri merebak di gedung pemerintah tersebut. Yang lebih menggembirakan lagi, mereka dapat langsung mengarahkan pencarian kala tindak kriminal terjadi di sekitar Surabaya Selatan. Sebagian besar dari penghuni penginapan mereka adalah warga kampung itu.

Berbalik fakta dalam Kampung Warna. Walaupun, kesedihan melanda janda-janda sementara, kesombongan semu tertelan waktu singkat, mengalun syahdu di sela-sela percakapan. Sudah menjadi rahasia umum, sebagian besar penduduk Kampung Warna merupakan residivis kambuhan. Hampir setiap warga merasakan kesenangan tersendiri dengan julukan yang terberi. Akibat yang timbul, kampung itu ditakuti warga kampung lain. Mereka tak pernah perduli dengan anggapan orang lain, tetap melangkah pada keteguhan sikap moral yang terbilang miring.

Letak kampung yang berdekatan dengan salah satu lokalisasi ternama di Surabaya itu, mungkin menjadi faktor utama pembentukan karakter penduduknya. Wanita-wanita hanya sebagai pelampiasan; pemuas birahi saat tidak mendapatkan sasaran empuk. Walau kata cinta menggelayuti nurani-nurani penduduk perempuan.

Tak kalah hebatnya, sebagian kaum hawa kampung tersebut, menafikan seks atas nama cinta pada keluarga. Mereka menjadi sangat liar mencari mangsa di malam hari, di mana saja. Bertebaran layaknya kunang-kunang memberikan sinar di rawa-rawa mistis lelaki hidung belang.

Warna hitam kehidupan terpasung sempurna di kampung itu. Sebagian penduduknya menjalankan ritual hidup yang menyimpang; mengejar gemerlap duniawi dengan segala cara. Di siang hari, rutinitas mereka mengacu pada kegiatan normal pekerja-pekerja kasar. Menyembunyikan kedok. Tanjung Perak ataupun tempat bekerja lain yang masih menerima pekerja yang hanya bermodalkan tenaga kasar, menjadi pelabuhan.

Kebanggaan lain Kampung Lawas, kampung tempat mereka tinggal aman dari maling kelas teri yang usil. Hingga tak jarang dijumpai motor-motor terparkir di halaman rumah tak berpagar pada malam hari, ataupun, barang berharga kainnya. Kalaupun toh ada yang hilang, hanya ulah iseng anak-anak yang keesokan hari telah kembali. Sehingga di kalangan warga sekitar, kampung tersebut menjadi teladan di bidang keamanan.

Tata ruang kampung yang diusulkan Cak Min—orang yang disegani oleh kawan maupun lawan terlebih dalam Kampung Warna. Walau tidak berkenan, predikat Tetua tersandang pada namanya—kepada kepala desa dan warga, kala rembug desa diadakan di balai desa, telah dilaksanakan penataannya beberapa tahu lalu. Menjadikan kampung Warna semakin tak terjangkau oleh kawanan pencuri manapun. Setiap perempatan jalan tembusan yang tak teratur, didirikan bangunan yang berfungsi sebagai pos ataupun sekedar tempat cangkruk pemuda-pemuda desa.

Setiap hari, tanpa memperdulikan waktu, tempat-tempat itu selalu terisi. Meski jauh dari tujuan semula. Ada yang sekedar menghabiskan waktu jenuh dengan bercanda bersama warga yang lain, ataupun sebagai pelabuhan tempat berjudi serta berpesta bersama kawan lain. Bagaimanapun juga, sesemrawut apapun itu, niatan awal tetap tercapai; pencurian-penjarahan tak pernah merambah kampung itu lagi.

Said adalah salah satu preman kambuhan yang memiliki selera humor tinggi, berpendapat dalam hatinya sendiri. Mengulas pekerjaannya dan menghubungkannya dengan usulan Cak Min. Kemudian, dia menjadikannya tebakan sesama saudara sependeritaan. Ketika menghabiskan siang kata bosan dalam gardu-pos yang dibangun. Dia dan beberapa warga yang kebetulan sedang libur ataupun menunggu giliran shift kerja, bercengkerama tanpa ada jurang pemisah di antara dua kalangan masyarakat yang sungguh berlawanan.

“Pekerja apa yang takut pada pekerjaannya sendiri?” tanya Said siang itu.

“Kamu, ada-ada saja, Id. Ya, tidak ada.”

“Ada!”

“Lantas, apa?”

“Ya, pekerjaan kita itu.” Di sambut dengan gelengan dan bibir menganga tanda tak mengerti. “Masih belum mengerti?”

Tak ada yang menjawab. Masing-masing melihat satu sama lain, karena kebebalan nalar mengejawantah artian. Maklum, mereka bukan pemikir, laksana orang-orang di papan atas yang mampu membodohi mereka dengan bermacam dalih. Said membiarkan keadaan itu berselang cukup lama, memancing rasa penasaran dan emosi jiwa meluap-luap.

“Kalian memang dungu, pantas saja kerjaannya maling.” Dengan semangat berucap, bagaikan penyair sedang melantunkan puisi perjuangan.

“Bangsat kau, Id! Apa jawabannya?”

“Pencuri, Tolol!” Sembari berlalu, meninggalkan mereka dalam kejengkelan.

“Diamput!” Disambut tawa ceria yang lain.
***

Bagaimanapun juga, preman juga makhluk sosial. Dalam kampung itu terdapat norma-norma sosial yang tertanam indah dalam benak masing-masing warga. Salah satunya adalah wajib saling menghargai. Meski tak luput dari kata-kata kotor dan cacian yang di luar kampung merupakan kata-kata dan kalimat tabu yang membakar telinga. Kelakar itulah yang justru menjadi salam pengantar dan intermesso perbincangan, tak perduli bocah hingga kakek-kakek, bahkan kaum wanita.

Seperti halnya pagi itu. Beberapa bocah tengah asyik berlarian, mengejar layang-layang putus, dengan latahnya, memaki pemuda seberang desa yang menghalangi. Tak seorang pun berani membalas sapaan akrab yang terjadi karena terpaksa, hanya karena pengucap sapa berasal dari Kampung Warna. Dengan keluguannya, mereka lantas mengambil layang-layang itu di pohon mangga di balik pagar teras perumahan tersebut.

“Hei, lagi ngapain kalian?” tegur dari pemilik pekarangan.

“Diamput, Lek! Aku cuma mengambil layang-layang.”

“Kalian arek mana, hah.”

“Kampung Warna. Memangnya kenapa! Nggak boleh?”

“Ya sudah. Ambillah dan lekas pergi.” Setengah memelas dan terkesan enggan menambah masalah dengan memarahi mereka, pemilik rumah membiarkan tiga bocah lugu tersebut mengacak-acak pekarangan rumahnya.

Pengalaman lalu; seorang pemilik rumah di lain desa, yang seharusnya tidak bersalah menjadi bulan-bulanan beberapa warga Kampung Warna, lantaran mengomeli seorang anak kecil dari Kampung Warna yang mengambil kelerengnya di pekarangan sebuah rumah mewah, dengan tuduhan-tuduhan keji yang dilontarkan oleh pemilik rumah tersebut.

“Iya, Lek. Terima kasih.” Mereka pun pergi sambil berlari meninggalkan pemilik pekarangan dalam kedunguan sikap.

Tiga Begundal Merah yang baru pulang dari mendapatkan sasaran empuk—konon, mereka adalah sahabat Said dari Yogyakarta. Melarikan diri setelah menganiaya anak pejabat teras kota budaya itu. Mereka bertiga bermigrasi kemari—menyaksikan ulah bocah-bocah tersebut, berdecak kagum akan keberanian. Mengingatkan mereka pada saat-saat bahagia masa kecil.
***

Setelah puas bercengkerama di gardu RT. 5 itu, Said membenamkan diri dengan secangkir kopi di warung depan Gedung Serbaguna, yang dulunya adalah telaga tempatnya memancing. Mendengarkan dangdut dari tape recorder yang disetel keras. Kepulan asap Djisamsu memenuhi ruang sempit warung tersebut. Beberapa warga yang nimbrung dalam permainan catur di depan warung, berangsur pulang. Hawa gerah menghunjam kulit.

Entah kenapa dengan matahari. Sudah tujuh hari ini, ia begitu senangnya di bayangi mendung putih. Sinarnya tiada lagi akrab menyapa manusia, khususnya di bumi Kampung Warna. Sebentar menampakkan muka di awal pagi, setelah itu, menghilang di balik kerimbunan pekat.

“Hey, Id. Sendirian, yang lain kemana?” tanya salah seorang Begundal Merah.

“Ngapain ngurus mereka. Mau kemana saja, ya terserah.”

“Kenapa denganmu? Biasanya kau begitu periang.”

“Entahlah, beberapa hari ini perasaanku tak enak. Seringkali merasa was-was. Walau sudah kualihkan pada minuman ataupun canda kelakar bersama yang lain, tetap saja perasaan itu menghantui.”

“Kau punya kasus?” tanya personil Begundal Merah yang lain, sambil menerima kopi pesanan mereka dari penjaga warung.

“Kalian ‘kan tahu, aku sudah lama libur.”

“Terus, kenapa?”

“Sudahlah! Kalian dari mana?”

“Biasa ….”

“O ..”

“Sebentar ya Id!” mereka bertiga pun menyusup ke ruangan kecil di sebelah kanan warung. Sebuah ruangan sempit yang biasanya digunakan sebagai tempat tidur penjaganya.

Langkah gontai ketiga Begundal Merah, semenjak kedatangan mereka, merupakan isyarat tersendiri bagi Said; bergebok-gebok uang terselip di saku-saku mereka. Dan ini mengartikan, salah seorang korban telah terkapar dalam keterpurukan setelah perampokan.

Mereka beradu pandang dalam kepuasan, membagikan uang dalam ruang tertutup warung pinggir jalan. Menyisihkan Said pada lembah-lembah keprihatinan. Dengan beberapa lembar uang puluhan, mereka mengisyaratkan pemilik warung untuk mengamati setiap yang datang.

Suasana warung yang sepi, meleluasakaan mereka bergurau tentang perbuatan mereka semalam, jauh di tepian sudut kota tetangga. Dari kisah pembobolan, penawanan, pengurasan harta, hingga pelarian diri yang sempurna; tanpa diketahui warga yang lain. Setelah membayar, tanpa jengah akan cuaca gerah sedikit gerimis, mereka beranjak.

“Kita ke pos RT 8 saja. Kita main di sana sampai puas.” Ajak Begundal Merah, menyeret teman-temannya dan Said untuk berjudi melawan entah siapa. Dalam benak mereka, pastilah ada arena yang sedang digelar disana.

Benar dugaan mereka. Di tempat itu, telah berkumpul beberapa maniak judi sekaligus peminum berat. Mereka asyik menikmati suasana yang mereka ciptakan sendiri. Said dan tiga Begundal Merah nimbrung, setelah salah seorang Begundal Merah memberikan beberapa lembar uang lima puluhan kepada salah seorang peminum di luar gardu.

Melihat kedatangan Said dan Begundal Merah, para maniak itu pun semakin girang. Kelakar-kelakar jalanan mengalun renyah. Mereka tidak perduli pada adzan dhuhur yang di kumandangkan pak Syaifuddin dari masjid beberapa blok dari tempat mereka bermain. Tetap fokus pada kartu-kartu celaka.

Kyai Darussalam yang melintas menuju masjid—jalan gardu itu sebagai satu-satunya jalan baginya menuju masjid—hanya menggelengkan kepala dengan meninggalkan sapaan hangat seorang kyai. Tak pernah ada sungkan ataupun malu pada lantunan abadi pemanggil jiwa, mereka tetap bersitegang dalam benak masing-masing ingin memenangkan sejumlah uang.

Kyai itu seakan sungkan menegur, teringat akan pertemuannya dengan Cak Min beberapa bulan lalu. Ketika dia memiliki niatan membersihkan kampung dari kemaksiatan, dia pun mendatangi Cak Min guna meminta bantuannya. Namun, yang dia dapatkan tidaklah sesuai dengan keinginan. Tuhan tidak selalu mengabulkan permohonan hamba-hamba-Nya. Hidup tak selalu berjalan mulus sesuai rencana manusia-manusianya.
***

“Permisi, Cak Min. Aku rasa sudah saatnya kita semua kembali ke jalan-Nya.” Kyai Darussalam mengawali perbincangan, setelah berbasa-basi sebentar saat bertamu ke rumah Cak Min, di suatu malam beberapa bulan yang lalu.

“Maksud Pak Kyai?”

“Mungkin sebaiknya Cak Min sebagai orang yang disegani, mengingatkan mereka untuk kembali menyembah-Nya, mengikuti kami meramaikan masjid.”

“Maafkan kami, Pak Kyai. Kami hanya orang-orang yang berkecimpung di lembah hitam.”

“Maka dari itulah, kalian sudah saatnya bertaubat. Tak ada yang abadi di dunia ini, Cak Min.”

“Memang benar. Tetapi, kami merasa merugi jika kami hanya berniat meramaikan masjid. Sedangkan hati kami hanya dan hanya untuk-Nya.”

“Setidaknya, sesekali kalian mengisi ruang-ruang kosong rumah suci tersebut.”

“Maaf, Pak Kyai. Ibadah kami bukan hanya untuk masjid. Kami belum bisa mengikuti program anda. Hati kami sibuk dengan introspeksi diri”

“Kenapa?”

“Secara hakikinya, ketika kita menyembah pada-Nya dan setiap saat hal itu dituntut dari kita. Maka, Dia bukanlah angan-angan ataupun lafadz yang selalu menggelayut dalam benak kita. Sedangkan, ilmu itu menyebutkan, kita selau digerakkan oleh-Nya. Hati kami sibuk dengan kerinduan pada-Nya. Mampukah kami mempraktekkan itu dalam hati?”

“Oleh sebab itu, bukan hanya ilmu tapi juga praktek.” Kelit kyai Darussalam. Setelah lama terpekur, membenamkan diri dalam perenungan dalam.

“Justru itu, kami kian nelangsa dengan menilik sejarah,” lanjut Cak Min, ”tak seorangpun dari hamba mampu bertemu Tuhan sebelum dia mati, kecuali Beliau. Maka kami pun memohon syafaat, melalui sholawat yang kami kumandangkan dari sanubari paling dalam, sekiranya Beliau sudi memohonkan ampunan dengan garis-garis kerasulan beliau. Sudahkah seperti itu? Itulah yang mejadi tanda tanya besar dalam kehidupan kami. Sadarkah kita? Terlebih dengan Dajjal yang menggoda manusia dari berbagai arah, termasuk menggunakan ibadah seorang mukmin sebagai jalan menyesatkannya?”

Kyai Darussalam terperanjat dengan ucapan Cak Min yang terakhir. Dentang jam dinding menggema dalam ruang-ruang kosong. Tak seorang pun mengucap kata. Hanya sanubari-sanubari kecut oleh ketidakberdayaan melawan bisikan halus musuh abadi manusia. Walau, berbagai macam jihad telah dikobarkan. Namun, nafsu-nafsu semakin menjadi. Dia hampir tidak mempercayai pendengarannya, terlebih santrinya.

“Lantas, perbuatan kalian?” Kyai Darussalam memecah kesunyian.

“Mereka sudah tahu dan mengerti hakekat hidup. Maka, biarkan saja mereka menempuh jalan yang mereka pilih. Mungkin, suatu saat nanti masjid kita akan mereka penuhi dengan berjamaah.”

“Baiklah, Cak Min. Terimakasih untuk semuanya, aku pamit.”

“Maaf, Kyai Darussalam. Saya tidak bisa membantu anda”

Setelah mengucap salam, Kyai Darussalam beranjak pergi. Berpasang-pasang mata menaruh kecurigaan pada kehadiran Kyai Darussalam di pusat hitam Kampung Warna. Tetapi, mereka menitipkannya pada lalu-lalang kendaraan lewat dan klotekan pedang-pedagang kaki lima yang kebetulan melintas. Seorang santri yang selalu setia mengiring Kyai Darussalam, selaksa berdendam benak terpancar dari tajamnya sorot mata. Tertunduk lesu mendapati senyuman Kyai Darussalam mengembang penuh arti. Tak seorang pun tahu yang terjadi di dalam sentral kehitaman hidup kampung itu. Hanya dinding-dinding beku menjadi saksi, serta telinga Said yang mencuri dengar pada pembenahan.

Said bersorak penuh riang, bagaikan berlaksa pada tontonan orkes di lapangan kampung tiap bulan Agustus. Dia melihat dua manusia yang selama ini selalu memicingkan mata dari kursinya di teras loteng bangunana megah kehidupan pada kebiasaan kawan sahabatnya itu mendapatkan hantaman telak. Dengan senyum kepuasan yang menganga lebar, dia lantas berlalu menuju gardu-gardu setia tempatnya mangkal.
***

Jalanan lengang siang hari tidak mempengaruhi keramaian yang terjadi. Jalinan kesepakatan seorang warga Kampung Warna dengan berbagai pihak, sungguh rapi meniadakan peraturan yang berlaku. Dengan catatan, seluruh preman yang ada tidak mengacaukan kawasan sekitar. Sehingga tak pernah ada penggerebekan di dalam kampung. Hanya berita-berita tentang salah seorang warga tertangkap di luar kampung dan wilayah kerja polsek setempat.

Said tak mendapatkan tempat. Dengan berat hati, dia pun bergabung dengan peminum-peminum setia dalam kerumunan itu dan sesekali menambah taruhan pada temannya. Kepayahan kalbu, kelelahan raga dan miringnya jiwa-jiwa penat, menjadikan Said bersegera oleng. Sambil sesekali melebarkan mata, dia mengakrabi saudara-saudara senasibnya.

Dari utara, siang itu, angin musim kemarau serasa menidurkan penduduk Kampung Warna dalam pelukan bidadari-bidadari binaannya. Menina-bobokkan mereka dalam mimpi panjang harapan tak bertepi. Sesekali, seringai kemenangan dari seseorang menyembul tiba-tiba dari ketegangan, disambut cacian kesal yang lain.

Mendadak, telinga Said dan yang lain dikejutkan pengeras suara yang berbunyi lama dari biasanya, sebagai tanda sebuah pengumuman penting. Tak seorang pun bersuara demi mengetahui berita. Betapa terkejut mereka setelah sang suara menyebut nama salah seorang yang disegani di kampung ini. ‘Cak Min telah meninggal.’ Secepat kilat, mereka membuyarkan diri, meninggalkan sampah berserakan tak terurusi. Dengan mengantongi puing-puing kemenangan, sekaligus aroma alkohol menyeruak, mereka segera berjalan ke timur, tempat jasad Cak Min disemayamkan, rumah semi permanen yang selama ini menjadi pusat perhatian segenap warga akan kegiatannya yang tidak umum.

Sudah menjadi adat Kampung Warna, setiap ada yang meninggal dunia, warga berduyun-duyun melayat. Warga laki-laki akan menghentikan perkerjaanya setelah mendengar kabar tersebut. Selama perjalanan pulang dapat ditempuh sebelum mayat dikubur, mereka pasti menyempatkan diri, meminta ijin atasan dan meninggalkan pekerjaannya. Kecuali, yang berada jauh di luar area, mereka tidak wajib datang.

Said melihat Kyai Darussalam duduk di kursi panjang bersama para santrinya. Ramai pelayat, membentuk kelompok masing-masing, tak menghalanginya masuk dan melihat jasad Cak Min. Tubuh tak bergerak yang telah dimandikan itu, pernah menolongnya keluar dari masalah rumit yang pernah menimpanya. Dia tertegun pada wajah tegar dan garang, telah pernah melanglangbuana dalam dunia hitam. Kini terbujur lunglai tak bernafas. ‘Semua pasti mati,’ gumamnya.

Dalam lamunannya akan jasa-jasa si mayat, Said dikejutkan Kyai Darussalam yang tiba-tiba menyeruak di sela-sela dirinya dan teman-temannya. Dia pun cukup tahu diri dan memilih duduk di belakang bersama yang lain, hingga cukup bisa melihat, Kyai itu menggelengkan kepala setelah memeriksa keadaan jasad. Dengan segala kemampuannya, Said memanjatkan doa dalam hati.

Tiba-tiba keadaan menjadi gaduh oleh ulah para santri yang saling bergumam dan bertanya-tanya pada Kyai mereka. Hingga ia mengalir mulus dari mulut-mulut yang tak bisa diam akan fenomena keganjilan. Tidak selayaknya orang-orang hitam yang meninggalkan jasadnya; kaku tak bergeming, bahkan menggerakkan tangan-tangannya untuk bersedekap pun susah. Ataupun kaki-kaki menekuk yang sulit diluruskan kembali. Namun, kini yang terpampang di hadapan Kyai Darussalam mewakili ketidakwajaran. Mayat itu lemas-lungai bagaikan pingsan. Ketidakpercayaan benaknya menjadikan dia memeriksa ulang tubuh tak bernyawa tersebut. Tetap tak ada nafas ataupun tanda-tanda kehidupan terpancar.

“Seorang alim, belum tentu mendapatkan keistimewaan ini. Lantas, siapakah orang ini di hadapan-Mu, ya Allah? Ampunilah segala dosaku.” Gumam Kyai Darussalam yang cukup bisa didengar khalayak dalam ruang itu dengan diteruskan para santrinya, memperlakukan jenazah lebih istimewa.

Said bungkam. Dia telah mengetahui sebab-akibatnya. Dia tidak terpengaruh dengan ulah mereka yang menurutnya kelewat batas. Dia bergegas mengajak beberapa saudara menuju tempat pemakaman. Meninggalkan fenomena-fenomena yang baginya adalah kewajaran dari lelaku hati seseorang. Membiarkan Kyai Darussalam dan warga yang lain dalam penasaran. Menyambung doa-doa permohonan ampun.

Surabaya, 1998

NB; Cerita ini berdasarkan kisah nyata yang terjadi di Kampung Banjarsugihan, Surabaya, di sekitar tahun 1996-an. Yang dikisahkan ulang oleh seorang sahabat warga kampung tersebut kepada penulis pada bulan Maret 1998.

*) Cerpenis lahir di Lamongan. Sudah menerjemahkan beberapa antologi puisi, esai, cerpen, dan terjemahan novel dalam proses penyelesaian. Kini sedang menimba ilmu di ICAS Jakarta. Nomor telpon 085731347267

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita