S. Jai*)
http://ahmad-sujai.blogspot.com/
EMPAT aktor—seorang diantaranya perempuan—di atas panggung memitoskan sebentuk orang-orangan yang mengenakan sarung dan raut wajah tertutup topeng warna putih. Pada leher sebatang manusia yang digantung di ujung bambu persis di tengah panggung itu juga menjuntai selendang putih bersih.
Empat aktor itu khidmad memuja yang dilanjutkan dengan menyeka kulit tubuhnya sendiri dengan air, lalu menghentakkan kaki pada tanah dan sepanjang pertunjukkan actor-aktor bermain dalam bias cahaya api dari lilin di panggung bagian depan.
Aktor terus bermain dengan keseluruhan gesture dan idiom tubuhnya. Sesekali dua kali muncul tubuh aktor lain berperawakan sangat tinggi, aneh, berkaki palsu, berkepala warna merah, berdahi super besar, berjubah. Ia lebih menyerupai makluk angkasa luar dalam film-film Alien. Begitu aneh jelas itu bukan melukiskan tubuh manusia, mungkin tubuh setan atau sejenisnya yang dimainkan oleh manusia berlaku kekanak-kanakkan.
Itulah pertunjukkan Teater Payung Hitam dari Bandung Puisi Tubuh yang Runtuh yang kurang lebih berdurasi 30 menit, di Gedung Cak Durasim, Jl. Gentengkali 85 Surabaya, Kamis malam, 25 Maret 2010 lalu. Meski demikian Rahman Sabur (53), sang sutradara sengaja menggerakkan pola bermain tidak saja pada tubuh aktor-aktornya, melainkan juga dengan pukau slide bergambar topeng. Selain topeng itu sendiri yang lantas dikenakan oleh keempat aktornya.
Sampai di sini, tampaknya akan memunculkan asumsi ketidakpercayaan sepenuhnya pada tubuh, untuk tidak segera membawa pemahaman dominasi atas tubuh—sesuatu cara berpikir aristotalian yang jelas ditolak dari pilihan estetika pertunjukkan ini. Meski demikian hadirnya banyak elemen di luar tubuh aktor justru disadari karena berangkat dari spirit bahwa bagaimanapun tubuh tidak pernah sendiri. Setidaknya alam menjadi bagian dari tubuh atau tubuh telah menyatu dengan alam. Inilah yang coba ditaklukkan ke dalam semacam gagasan atau konsep estetis Teater Payung Hitam maupun oleh sang sutradara Rahman Sabur.
Kiranya menyebut nama Rahman Sabur ini penting mengingat berkali-kali ditegaskan spirit Puisi Tubuh yang Runtuh bermula dari persoalan yang sangat personal. Dalam arti persoalan pribadi—dan mungkin juga bukan soal ilmu pengetahuan—yakni perjuangan melawan penyakit stroke ketika tubuhnya sama sekali tidak bisa digerakkan dan juga tidak bisa berbicara. Pada tingkat ini, pada pribadi sutradara menyakini apa yang dikonsepkan dramawan Suyatna Anirun, bahwa berteater adalah untuk menemukan manusia, berhadapan dengan kenyataan. Rahman Sabur boleh menambah deretan teater sebagai terapi.
Di luar itu semua lebih banyak terkandung misteri atau rahasia teater: mitos, tradisi, identitas, simbol dan sudah barang tentu ideologi atau pengetahuan. Yaitu pengetahuan dalam bahasa sosiologi fenomenologi Peter Berger dan Thomas Luckmann perihal internalisasi maupun eksternalisasi dari sutradara maupun aktor-aktor di panggung atas realitas keseharian. Terus terang pada Puisi Tubuh yang Runtuh misteri ini menjadi hal yang sangat menarik dalam dunia hermeneutic sekaligus confuse, membingungkan karena menutup diri—apabila tak merelakan diri segera kembali menggunakan pola pikir model Aristotelian.
Mempertimbangkan mitos Cerita Panji misalnya akan berhadapan pada resiko membuat teks baru dari spirit Panji secara utuh, dan bukan demi sepenggal semisal menukil ruh dari tokoh Panji ataukah ruh Candra Kirana. Ini yang tampaknya tidak dilakukan oleh Teater Payung Hitam. Mitos adalah suatu dunia, demikian pula Cerita Panji adalah dunia. Sebagaimana puisi juga suatu semesta yang memang tidak sederhana. Apalagi musti ditambah dunia wayang topeng (Cirebon, Malang, Madura) di dalamnya yang memang mengambil inspirasi dari Cerita Panji. Sesuatu dunia bukanlah sebuah dunia. Sesuatu dunia adalah dunia yang tak berbingkai.
Karena itu menikmati pertunjukkan Puisi Tubuh yang Runtuh dengan menyederhanakan semesta-semesta, teks-teks tersebut adalah suatu hal yang memiskinkan sense of aesthetic. Dunia ini sangat rumit dan fatalnya tingkat kerumitan teks pertunjukkan ini justru disokong oleh sebuah cara berpikir penyederhanaan. Berbeda tentu saja, manakala menikmati kerumitan itu oleh karena “spiritulitas” memang segalanya tak mau diam. Bahkan sepotong topeng yang keindahannya menakjubkan justru saat berdiam diri, malah dikacaukan dengan gerakan yang pada akhirnya menghancur-leburkannya.
Satu hal amat menarik diajukan dalam analisis Zoetmulder pada Manunggaling Kawula Gusti. Dikatakan bahwa sebetulnya dalam diri Panji kita berjumpa dengan gambaran mengenai Tuhan yang menampilkan diri di dalam dunia. Ia seolah-olah meninggalkan kedudukannya yang asli selaku Dzat Mutlak lalu mengembara jauh diluar negeri-Nya, terlindung oleh samarannya sehingga hanya mereka yang terpilih dapat mengenal-Nya. Jenggalane nut tan adoh, Jenggala tan katilar (Megatruh Serat Centini). Juga dari teks Asmaradana, wayang topeng dengan kisah pernikahan Panji dan Kirana, Zoetmulder mengulas ada pesan bahwa manusia bisa tersesat oleh apa yang mereka anggap kenyataan. Hyang sukmalah yang menyembunyikan diri dalam badan manusia, sehingga manusia tidak melihat Dia dan hanya terserap oleh badan yang hanya berfungsi sebagai topeng.
Dengan kata lain menangkap spirit cerita panji, ruh dari bentuk sebuah mitos jauh lebih subtansial ketimbang menguasai bentuk artistik. Bentuk suatu pencapaian artistik boleh hancur dan tak perlu ditangisi. Agar tak tergelincir pada pengalaman kebimbangan dan sebagai penganut romantisisme yang kerdil dengan berbangga pada masa silam tanpa peradaban. Sebaliknya, mengharu-biru, berdarah-darah hanya dalam mempertahankan bentuk bakal menenggelamkan diri pada sikap narsistis.
Penyederhanaan atau usaha untuk menaklukkan suatu misteri ini tampaknya proses transformasi yang agak mengganggu pada pertunjukkan Teater Payung Hitam kali ini. Hal itu tampak sebagai usaha malu-malu untuk menggeser konsep teater dari titik kulminasi yang dicapainya di bawah baying-bayang proses teater. Utamanya saat beresiko menumbukkan tubuh dengan topeng, tradisi dengan modern, mitos dengan puisi, hitam dengan putih bahkan mungkin sakral dengan profan. Masing-masing punya sejarah dan takdir yang hanya dengan kejujuran, keiklasan dan kebesaran jiwa sanggup untuk bertemu, berdialog agar memperkaya diri berkat puncak-puncak kulminasi identitas teater.
Apa yang tersebut terakhir ini ditemukan pada konsep bermain dalam pengertian yang seutuh-utuhnya, setinggi-tingginya sonder reduksi ideologi berpikir tertentu. Apalagi cara berpikir model Cartesian yang kesohor cogito ergo sum. Sebetulnya hal itu bisa ditangkap dari bangun artistik pertunjukkan, dimana di panggung tergantung berayun lima bambu vertikal yang mengesankan alami namun sakral. Aktor-aktor tersebut bermain di ruang dan dalam kesepakatan permainan mereka sendiri. Kesepakatan bermain inilah meminjam istilah Johan Huizinga, yang menjadi ajang ruang luang untuk bergerak dalam diri maupun tubuh keaktoran—dan di sisi lain penikmat teks permainan dipertemukan dengan waktu dan ruang pertunjukan teater. Permainan adalah suatu perbuatan atau kegiatan sukarela yang dilakukan dalam batas-batas ruang dan waktu tertentu yang sudah ditetapkan, menurut aturan yang telah diterima tapi mengikat sepenuhnya dengan tujuan dalam dirinya sendiri, disertai oleh perasaan tegang dan gembira, dan kesadaran ”lain daripada kehidupan sehari-hari.”
Hanya dengan demikianlah apa yang menjadi credo muasal Teater Payung Hitam dalam “dialektika antara realitas dan idealitas” mampu menempuh lintas ruang waktu. Meskipun ketiganya baik dialektika, realitas maupun idealitas produk dari suatu aliran filsafat barat namun sanggup menembus proses tranformasi menuju kulminasi identitas teater pasca-modern Indonesia atau teater pasca mitos kita. Estetika baru yang pernah dicapai Teater Payung Hitam saat mendekonstruksi teks Kaspar-nya Peter Handke seakan inhern dengan situasi dan kondisi krisis kemanusiaan, ketidakadilan, kekerasan, otoritarianisme, politik pada massanya. Pendeknya, Teater Payung Hitam yang menurut kabar bakal menggelar karya terbaru Rahman Sabur ini pada public festival di Belgrade Serbia di Patosoffiranje International Multimedia Festival di Serbia yang berlangsung 2 Juli hingga 20 Agustus 2010 nanti, bakal melestarikan suatu utopian perihal kesepakatan abadi. Yakni sepakat untuk sejenak tidak menjadi manusia modern. Sejenak untuk menjadi makluk primitif oleh karena bentuk-bentuk permainan paling suci ada pada spirit hidup makluk primitif–sudah barangtentu termasuk di dalamnya dunia binatang.[]
*) Penulis adalah pengarang dan pegiat komunitas teater keluarga, tinggal di pinggiran hutan jati Lamongan selatan.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar