Sunaryono Basuki Ks
http://www2.kompas.com/
KARYA seni meniru alam, begitu kira-kira kata Aristoteles. Inilah prinsip mimesis, meniru alam. Alam beserta isinya yang dihamparkan Allah adalah milik Allah semata (Surat Yunus, Ayat 55 dan 66), dan memang sangat layak menjadi sumber segala keindahan, dan menjadi satu-satunya sumber yang ditiru dalam seni. Alam yang dimaksud oleh Aristoteles tentu saja tidak terbatas pada pemandangan alam, tetapi termasuk juga manusia penghuni alam ini, perilakunya, pandangan hidupnya, wataknya, sikapnya. Ahli lain menyebutnya sebagai kehidupan.
Di dalam proses kreatif seni, seniman tergerak hatinya secara emosional dan intelektual oleh kehidupan, lantas daripadanya, didukung oleh imajinasi, membentuk suatu konsep yang diwujudkan ke dalam sosok tertentu yang menuntut suatu struktur tertentu. Struktur ini tunduk kepada sejumlah aturan berkesenian tertentu.
Karya sastra sebagai salah satu bentuk kesenian tidak bisa lepas dari proses kreatif ini. Orang Inggris menyebutkan, karya sastra sebagai refleksi masyarakatnya. Di dalam merefleksikan masyarakat itu, seorang sastrawan menerapkan suatu filter halus berdasarkan nuraninya. Dengan filter itu dia menyaring berbagai hal dalam masyarakat dan akan memberikan penilaiannya terhadap berbagai hal di dalam masyarakat yang dianggapnya melenceng dari standar kepatutan. Bisa juga sastrawan melihat keganjilan-keganjilan yang terjadi di dalam masyarakat dan menuliskannya di dalam karya sastranya. Coba kita dengar apa yang ditulis oleh penyair Taufiq Ismail yang pendidikan formalnya adalah kedokteran hewan. Dia melukiskan keadaan di Indonesia pada dua masa penting dalam peta perpolitikan negeri ini:
Takut ‘66, Takut ‘98
Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekat takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada
mahasiswa.
Di sini Taufiq yang haji tidak sekadar menunjuk ke arah kejenakaan ini, tetapi ingin pula menunjukkan, bahwa, bilamana manusia takut kepada manusia, hasilnya adalah sebuah lingkaran setan ketakutan, sebab sesungguhnya manusia hanya layak takut kepada Allah.
Di dalam melancarkan kritiknya, sastrawan bisa memilih cara yang dianggapnya tepat. Salah satu yang dipilih oleh penyair Taufiq Ismail ialah memakai sebuah bentuk puisi lama Indonesia yang sudah dikenal, yakni gurindam. Bukan Gurindam Duabelas yang dia tulis, tetapi Gurindam Satu, Gurindam Satu Setengah, Gurindam Dua, dan beberapa gurindam lain. Coba kita simak apa yang dia tulis dalam Gurindam-Gurindamnya:
Gurindam Satu
Secoret parafku memancarkan komisi seratus juta
Bertahun-tahun begitu sampai mataku buta
Gurindam Satu Setengah
Harimau mati meninggalkan belang
Pedagang mati meninggalkan hutang
Rakyat mati tinggal belulang
Gurindam Dua
Ada 100 orang teramat kaya betapa borosnya di negeri ini
Najisnya berlian berlumuran mengalir tiap hari
Ada 100 juta orang miskin luarbiasa di negeri saya
Minum mimpi, makan angan-angan, sudah sangat lama
Kritik dalam karya sastra tidak hanya ditujukan kepada karakter manusia secara umum, tetapi sering pula ditujukan kepada sejumlah penguasa yang merupakan sosok yang dianggap menyimpang dari standar kepatutan. Tokoh penguasa ini bisa merupakan tokoh yang korup, yang serakah, yang gila kekuasaan, tidak adil, sewenang-wenang, melaksanakan kronisme, penyelewengan seksual, dan sebagainya. Banyak orang tidak suka menerima kritik, bahkan tidak suka diingatkan, apalagi kalau dia menduduki posisi sebagai penguasa. Padahal, di dalam agama saya, menjadi kewajiban seorang mukmin untuk mengingatkan sesama mukmin untuk berjalan di jalan yang sudah ditunjukkan oleh Allah. Bentuk mengingatkan itu yang sering dianggap kritik dan tidak selalu menyenangkan hati pihak yang diingatkan.
Para penguasa, ketika menerima kritik, bukannya melancarkan kontra kritik atau berusaha mawas diri, namun justru mengambil tindakan yang dapat mematikan karir sastrawan yang melancarkan kritik. Untuk menghindari keadaan yang tidak menyenangkan ini, banyak sastrawan memilih sejumlah cara melancarkan kritik yang tidak akan dirasakan oleh pihak yang dikritik sebagai sebuah kritik yang diarahkan pada wataknya.
Pertama, sastrawan dapat memindahkan setting ceritanya, baik waktu maupun tempatnya. Sebuah karya sastra biasanya mengambil tempat dan waktu tertentu di dalam cerita. Sebuah kisah dapat mengambil tempat, misalnya di Timor Timur, pada masa kini, atau di Aceh, juga masa kini. Kekejaman yang terjadi di Timtim Pra-Kemerdekaan tidaklah menyenangkan bagi penguasa bilamana diceritakan sebagaimana adanya. Praktik-praktik kejam yang sudah terekam dalam kamera video dan disiarkan secara luas melalui saluran TV di luar negeri, tidak dapat begitu saja disampaikan kepada publik Indonesia. Kritik langsung, walaupun sudah dihaluskan di dalam sebuah laporan jurnalistik yang dilakukan oleh Majalah Jakarta-Jakarta membuat berang penguasa dan menyebabkan penulisnya “diistirahatkan” dari pekerjaannya. Seno Gumira Adjidarma, wartawan yang juga sastrawan yang melaporkan kejadian tersebut memilih sastra untuk melancarkan kritiknya. Dia memindahkan setting cerita ke sebuah negara di luar Indonesia, walaupun pembaca yang jeli tetap dapat melihat bahwa kisah-kisah yang ditulisnya sebenarnya terjadi di Indonesia. Sikapnya memilih sastra jelas di dalam bukunya berjudul Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (1997).
Kedua, sastrawan juga bisa memindahkan setting ceritanya ke masa lampau dengan setting tempat yang tetap, yakni Indonesia yang masih berbentuk kerajaan-kerajaan Nusantara. Pramoedya Ananta Toer melancarkan kritiknya terhadap makin berkuasanya angkatan darat dalam novel Arus Balik (1995), YB Mangunwijaya menulis Trilogi Genduk Duku, juga Roro Mendut serta Ikan-ikan Hiu, Ido, Homo yang semuanya bersetting Indonesia masa pra-kemerdekaan untuk melancarkan kritik-kritiknya.
Ketiga, sastrawan dapat memakai bentuk sastra atau seni yang sudah dikenal, misalnya Gurindam seperti yang sudah dicontohkan di atas. Wayang merupakan satu kerangka berkesenian yang sering dipinjam untuk melancarkan kritik. Emha Ainun Nadjib menulis novel Arus Bawah (1994) yang seluruh tokohnya diambil dari dunia pewayangan. Dengan memakai tokoh wayang dan kisah di dunia pewayangan, maka tersamarlah kritik yang dilancarkannya. Dalam kerangka yang sama Putu Wijaya menulis novel Perang (1990) yang mengedepankan tokoh-tokoh wayang yang merupakan representasi tokoh-tokoh Indonesia masa itu. Dalam bentuk yang sangat jenaka. N Riantiarno dengan Teater Komanya mementaskan Semar Gugat (1995) yang mengkritik pemerintahan Soeharto dengan tajam tapi kocak. Baru-baru ini, N Riantiarno masih mengkritik penguasa dengan mementaskan Republik Bagong yang akan disusul pula dengan Presiden Bagong.
Keempat, sastrawan memilih bentuk fabel, suatu bentuk kisah sastra dengan binatang sebagai tokoh-tokohnya. Sebagaimana dengan wayang, para binatang ini merupakan representasi watak manusia. Kita mengenal fabel dalam khasanah sastra berbagai budaya.
Kelima, sastrawan memakai fabel namun mencampurkannya dengan tokoh manusia, sebagaimana dalam dongeng-dongeng Sang Kancil. George Orwell mempraktikkannya dalam novel pendeknya berjudul Animal Farm yang melancarkan kritik tajam terhadap sistem pemerintahan komunis.
Keenam, sastrawan melancarkan kritik dalam kerangka cerita konvensional.
Cerita pendek atau novel dengan struktur konvensional dipakai pula untuk ajang melancarkan kritik. Mainstream novel ini mengikuti struktur plot yang sudah disepakati secara umum. Demikian banyak contoh karya sastra yang peduli masyarakatnya dengan memuat kritik-kritik sehat, baik dalam karya sastra di Indonesia maupun di luar negeri. Salah satu contoh dari Indonesia adalah novel Ladang Perminus karangan Ramadhan KH. Dalam novel ini kita pertama kali kenal dengan istilah “mark up” proyek seperti yang populer sekarang. Kisah yang mengedepankan korupsi di Pertamina cukup tajam bahkan sejak judulnya, yakni “Perusahaan Minyak Nusantara” yang kalau disingkat menjadi sangat ironis yakni Perminus. Suatu fenomena aneh bin ajaib, sebuah sumber dana yang melimpah namun menanggung rugi luar biasa besarnya.
Kritik dalam karya sastra ternyata tidak memberikan ketenteraman pada penguasa. Para penguasa biasanya melakukan sensor terhadap karya sastra, yang kemudian diikuti oleh pelarangan, bahkan penangkapan dan pemenjaraan pengarang. Apa yang diramalkan oleh George Orwell dalam novelnya berjudul 1948 (terbit tahun 1949) secara nyata terjadi di Rusia. Novel tersebut menurut Gilbert Phelps (1970) berhubungan dengan demam Perang Dingin. Diceritakan, penguasa mengawasi gerak-gerik semua warganya dengan memakai kamera yang dipasang dimana-mana. Pada kenyataannya, pemerintahan otoriter semacam ini memasang orang-orangnya untuk saling memata-matai. Hal ini pun pernah terjadi di Indonesia.
Ketakutan penguasa Rusia akan akibat dari karya sastrawannya yang dikhawatirkan dapat meracuni pikiran warganya, dan dengan demikian mungkin dapat menyulut pemberontakan, menyebabkan diambilnya tindakan keras berupa pelarangan karya, bahkan penangkapan sastrawannya dan mengirimnya ke Siberia. Indonesia pernah mengalami hal yang sama dengan sejumlah sastrawannya antara lain Pramoedya Ananta Toer, yang dianggap sebagai novelis Indonesia terbaik sampai saat ini. Gao Xingjian, penerima hadiah Nobel Sastra tahun 2000 harus meninggalkan negerinya dan bermukim di Prancis untuk membebaskan dirinya dari ketakutan penguasa Cina terhadap semangat kemanusiaannya.
Bukan hanya penguasa yang merasa takut pada karya sastra, tetapi juga para penerbit dan redaktur mengalami hal serupa, yakni takut pada penguasa. Sensor bukan hanya dilakukan oleh penguasa, tetapi sudah dilakukan lebih dahulu oleh para penerbit, dan para redaktur sastra. Pengarang Mayon Sutrisno di tahun 80an kehilangan pekerjaannya sebagai redaktur Majalah Sarinah karena “kesalahannya” menulis novelet berjudul Nyai Wonokromo yang dianggap mirip novel Bumi Manusia karya Pramoedya. Pada tahun 1997 cerpen saya berjudul Jenderal Perez tidak jadi dimuat di sebuah majalah sastra terkemuka karena isinya mengkritik penguasa. Cerpen yang sama disiarkan oleh Harian Bali Post pada tahun 2001.
Kritik dalam karya sastra sebenarnya merupakan kepedulian sastrawan akan keadaan masyarakatnya. Mereka menggambarkan keadaan sebenarnya dalam masyarakat dengan memberi fokus pada bagian-bagian tertentu dari kehidupan masyarakat yang dilihatnya tidak sesuai dengan nuraninya. Dengan pemberian fokus tersebut, diharapkan para pembacanya dapat mempertimbangkan untuk ikut memperbaiki keadaan tersebut untuk menuju kondisi kemasyarakatan yang lebih baik. Namun, bagaimanapun baiknya kritik dilancarkan, tidak selalu yang dikritik mau mendengarkan. Wajarlah kalau Prof Dr Sapardi Djoko Damono, yang juga penyair pernah mengatakan bahwa kritik dalam sastra Indonesia tidak punya gigi, bak kumbang kehilangan sengat.
* ) Novelis dan Guru Besar IKIP Negeri Singaraja.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar