29/01/10

Kritik dalam Karya Sastra, Ketakutan Penguasa, dan Ketakutan Kepada Penguasa

Sunaryono Basuki Ks
http://www2.kompas.com/

KARYA seni meniru alam, begitu kira-kira kata Aristoteles. Inilah prinsip mimesis, meniru alam. Alam beserta isinya yang dihamparkan Allah adalah milik Allah semata (Surat Yunus, Ayat 55 dan 66), dan memang sangat layak menjadi sumber segala keindahan, dan menjadi satu-satunya sumber yang ditiru dalam seni. Alam yang dimaksud oleh Aristoteles tentu saja tidak terbatas pada pemandangan alam, tetapi termasuk juga manusia penghuni alam ini, perilakunya, pandangan hidupnya, wataknya, sikapnya. Ahli lain menyebutnya sebagai kehidupan.

Di dalam proses kreatif seni, seniman tergerak hatinya secara emosional dan intelektual oleh kehidupan, lantas daripadanya, didukung oleh imajinasi, membentuk suatu konsep yang diwujudkan ke dalam sosok tertentu yang menuntut suatu struktur tertentu. Struktur ini tunduk kepada sejumlah aturan berkesenian tertentu.

Karya sastra sebagai salah satu bentuk kesenian tidak bisa lepas dari proses kreatif ini. Orang Inggris menyebutkan, karya sastra sebagai refleksi masyarakatnya. Di dalam merefleksikan masyarakat itu, seorang sastrawan menerapkan suatu filter halus berdasarkan nuraninya. Dengan filter itu dia menyaring berbagai hal dalam masyarakat dan akan memberikan penilaiannya terhadap berbagai hal di dalam masyarakat yang dianggapnya melenceng dari standar kepatutan. Bisa juga sastrawan melihat keganjilan-keganjilan yang terjadi di dalam masyarakat dan menuliskannya di dalam karya sastranya. Coba kita dengar apa yang ditulis oleh penyair Taufiq Ismail yang pendidikan formalnya adalah kedokteran hewan. Dia melukiskan keadaan di Indonesia pada dua masa penting dalam peta perpolitikan negeri ini:

Takut ‘66, Takut ‘98

Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekat takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada
mahasiswa.

Di sini Taufiq yang haji tidak sekadar menunjuk ke arah kejenakaan ini, tetapi ingin pula menunjukkan, bahwa, bilamana manusia takut kepada manusia, hasilnya adalah sebuah lingkaran setan ketakutan, sebab sesungguhnya manusia hanya layak takut kepada Allah.

Di dalam melancarkan kritiknya, sastrawan bisa memilih cara yang dianggapnya tepat. Salah satu yang dipilih oleh penyair Taufiq Ismail ialah memakai sebuah bentuk puisi lama Indonesia yang sudah dikenal, yakni gurindam. Bukan Gurindam Duabelas yang dia tulis, tetapi Gurindam Satu, Gurindam Satu Setengah, Gurindam Dua, dan beberapa gurindam lain. Coba kita simak apa yang dia tulis dalam Gurindam-Gurindamnya:

Gurindam Satu

Secoret parafku memancarkan komisi seratus juta
Bertahun-tahun begitu sampai mataku buta

Gurindam Satu Setengah

Harimau mati meninggalkan belang
Pedagang mati meninggalkan hutang
Rakyat mati tinggal belulang

Gurindam Dua

Ada 100 orang teramat kaya betapa borosnya di negeri ini
Najisnya berlian berlumuran mengalir tiap hari
Ada 100 juta orang miskin luarbiasa di negeri saya
Minum mimpi, makan angan-angan, sudah sangat lama

Kritik dalam karya sastra tidak hanya ditujukan kepada karakter manusia secara umum, tetapi sering pula ditujukan kepada sejumlah penguasa yang merupakan sosok yang dianggap menyimpang dari standar kepatutan. Tokoh penguasa ini bisa merupakan tokoh yang korup, yang serakah, yang gila kekuasaan, tidak adil, sewenang-wenang, melaksanakan kronisme, penyelewengan seksual, dan sebagainya. Banyak orang tidak suka menerima kritik, bahkan tidak suka diingatkan, apalagi kalau dia menduduki posisi sebagai penguasa. Padahal, di dalam agama saya, menjadi kewajiban seorang mukmin untuk mengingatkan sesama mukmin untuk berjalan di jalan yang sudah ditunjukkan oleh Allah. Bentuk mengingatkan itu yang sering dianggap kritik dan tidak selalu menyenangkan hati pihak yang diingatkan.

Para penguasa, ketika menerima kritik, bukannya melancarkan kontra kritik atau berusaha mawas diri, namun justru mengambil tindakan yang dapat mematikan karir sastrawan yang melancarkan kritik. Untuk menghindari keadaan yang tidak menyenangkan ini, banyak sastrawan memilih sejumlah cara melancarkan kritik yang tidak akan dirasakan oleh pihak yang dikritik sebagai sebuah kritik yang diarahkan pada wataknya.

Pertama, sastrawan dapat memindahkan setting ceritanya, baik waktu maupun tempatnya. Sebuah karya sastra biasanya mengambil tempat dan waktu tertentu di dalam cerita. Sebuah kisah dapat mengambil tempat, misalnya di Timor Timur, pada masa kini, atau di Aceh, juga masa kini. Kekejaman yang terjadi di Timtim Pra-Kemerdekaan tidaklah menyenangkan bagi penguasa bilamana diceritakan sebagaimana adanya. Praktik-praktik kejam yang sudah terekam dalam kamera video dan disiarkan secara luas melalui saluran TV di luar negeri, tidak dapat begitu saja disampaikan kepada publik Indonesia. Kritik langsung, walaupun sudah dihaluskan di dalam sebuah laporan jurnalistik yang dilakukan oleh Majalah Jakarta-Jakarta membuat berang penguasa dan menyebabkan penulisnya “diistirahatkan” dari pekerjaannya. Seno Gumira Adjidarma, wartawan yang juga sastrawan yang melaporkan kejadian tersebut memilih sastra untuk melancarkan kritiknya. Dia memindahkan setting cerita ke sebuah negara di luar Indonesia, walaupun pembaca yang jeli tetap dapat melihat bahwa kisah-kisah yang ditulisnya sebenarnya terjadi di Indonesia. Sikapnya memilih sastra jelas di dalam bukunya berjudul Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (1997).

Kedua, sastrawan juga bisa memindahkan setting ceritanya ke masa lampau dengan setting tempat yang tetap, yakni Indonesia yang masih berbentuk kerajaan-kerajaan Nusantara. Pramoedya Ananta Toer melancarkan kritiknya terhadap makin berkuasanya angkatan darat dalam novel Arus Balik (1995), YB Mangunwijaya menulis Trilogi Genduk Duku, juga Roro Mendut serta Ikan-ikan Hiu, Ido, Homo yang semuanya bersetting Indonesia masa pra-kemerdekaan untuk melancarkan kritik-kritiknya.

Ketiga, sastrawan dapat memakai bentuk sastra atau seni yang sudah dikenal, misalnya Gurindam seperti yang sudah dicontohkan di atas. Wayang merupakan satu kerangka berkesenian yang sering dipinjam untuk melancarkan kritik. Emha Ainun Nadjib menulis novel Arus Bawah (1994) yang seluruh tokohnya diambil dari dunia pewayangan. Dengan memakai tokoh wayang dan kisah di dunia pewayangan, maka tersamarlah kritik yang dilancarkannya. Dalam kerangka yang sama Putu Wijaya menulis novel Perang (1990) yang mengedepankan tokoh-tokoh wayang yang merupakan representasi tokoh-tokoh Indonesia masa itu. Dalam bentuk yang sangat jenaka. N Riantiarno dengan Teater Komanya mementaskan Semar Gugat (1995) yang mengkritik pemerintahan Soeharto dengan tajam tapi kocak. Baru-baru ini, N Riantiarno masih mengkritik penguasa dengan mementaskan Republik Bagong yang akan disusul pula dengan Presiden Bagong.

Keempat, sastrawan memilih bentuk fabel, suatu bentuk kisah sastra dengan binatang sebagai tokoh-tokohnya. Sebagaimana dengan wayang, para binatang ini merupakan representasi watak manusia. Kita mengenal fabel dalam khasanah sastra berbagai budaya.

Kelima, sastrawan memakai fabel namun mencampurkannya dengan tokoh manusia, sebagaimana dalam dongeng-dongeng Sang Kancil. George Orwell mempraktikkannya dalam novel pendeknya berjudul Animal Farm yang melancarkan kritik tajam terhadap sistem pemerintahan komunis.

Keenam, sastrawan melancarkan kritik dalam kerangka cerita konvensional.

Cerita pendek atau novel dengan struktur konvensional dipakai pula untuk ajang melancarkan kritik. Mainstream novel ini mengikuti struktur plot yang sudah disepakati secara umum. Demikian banyak contoh karya sastra yang peduli masyarakatnya dengan memuat kritik-kritik sehat, baik dalam karya sastra di Indonesia maupun di luar negeri. Salah satu contoh dari Indonesia adalah novel Ladang Perminus karangan Ramadhan KH. Dalam novel ini kita pertama kali kenal dengan istilah “mark up” proyek seperti yang populer sekarang. Kisah yang mengedepankan korupsi di Pertamina cukup tajam bahkan sejak judulnya, yakni “Perusahaan Minyak Nusantara” yang kalau disingkat menjadi sangat ironis yakni Perminus. Suatu fenomena aneh bin ajaib, sebuah sumber dana yang melimpah namun menanggung rugi luar biasa besarnya.

Kritik dalam karya sastra ternyata tidak memberikan ketenteraman pada penguasa. Para penguasa biasanya melakukan sensor terhadap karya sastra, yang kemudian diikuti oleh pelarangan, bahkan penangkapan dan pemenjaraan pengarang. Apa yang diramalkan oleh George Orwell dalam novelnya berjudul 1948 (terbit tahun 1949) secara nyata terjadi di Rusia. Novel tersebut menurut Gilbert Phelps (1970) berhubungan dengan demam Perang Dingin. Diceritakan, penguasa mengawasi gerak-gerik semua warganya dengan memakai kamera yang dipasang dimana-mana. Pada kenyataannya, pemerintahan otoriter semacam ini memasang orang-orangnya untuk saling memata-matai. Hal ini pun pernah terjadi di Indonesia.

Ketakutan penguasa Rusia akan akibat dari karya sastrawannya yang dikhawatirkan dapat meracuni pikiran warganya, dan dengan demikian mungkin dapat menyulut pemberontakan, menyebabkan diambilnya tindakan keras berupa pelarangan karya, bahkan penangkapan sastrawannya dan mengirimnya ke Siberia. Indonesia pernah mengalami hal yang sama dengan sejumlah sastrawannya antara lain Pramoedya Ananta Toer, yang dianggap sebagai novelis Indonesia terbaik sampai saat ini. Gao Xingjian, penerima hadiah Nobel Sastra tahun 2000 harus meninggalkan negerinya dan bermukim di Prancis untuk membebaskan dirinya dari ketakutan penguasa Cina terhadap semangat kemanusiaannya.

Bukan hanya penguasa yang merasa takut pada karya sastra, tetapi juga para penerbit dan redaktur mengalami hal serupa, yakni takut pada penguasa. Sensor bukan hanya dilakukan oleh penguasa, tetapi sudah dilakukan lebih dahulu oleh para penerbit, dan para redaktur sastra. Pengarang Mayon Sutrisno di tahun 80an kehilangan pekerjaannya sebagai redaktur Majalah Sarinah karena “kesalahannya” menulis novelet berjudul Nyai Wonokromo yang dianggap mirip novel Bumi Manusia karya Pramoedya. Pada tahun 1997 cerpen saya berjudul Jenderal Perez tidak jadi dimuat di sebuah majalah sastra terkemuka karena isinya mengkritik penguasa. Cerpen yang sama disiarkan oleh Harian Bali Post pada tahun 2001.

Kritik dalam karya sastra sebenarnya merupakan kepedulian sastrawan akan keadaan masyarakatnya. Mereka menggambarkan keadaan sebenarnya dalam masyarakat dengan memberi fokus pada bagian-bagian tertentu dari kehidupan masyarakat yang dilihatnya tidak sesuai dengan nuraninya. Dengan pemberian fokus tersebut, diharapkan para pembacanya dapat mempertimbangkan untuk ikut memperbaiki keadaan tersebut untuk menuju kondisi kemasyarakatan yang lebih baik. Namun, bagaimanapun baiknya kritik dilancarkan, tidak selalu yang dikritik mau mendengarkan. Wajarlah kalau Prof Dr Sapardi Djoko Damono, yang juga penyair pernah mengatakan bahwa kritik dalam sastra Indonesia tidak punya gigi, bak kumbang kehilangan sengat.

* ) Novelis dan Guru Besar IKIP Negeri Singaraja.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita