Maman S. Mahayana**)
http://mahayana-mahadewa.com/
00. Sastra adalah dunia yang serba mungkin; apapun bisa jadi mungkin (probability), termasuk di dalamnya, yang mustahil pun bisa saja menjadi mungkin. Jadi, dalam keser-bamungkinan atau kemustahilan itu, berbagai peristiwa yang mungkin dan yang mustahil, bisa saja terjadi sekali-sekali, gonta-ganti atau serempak secara tumpang-tindih. Oleh karena itu, salah satu kekhasan karya sastra (fiksi) yang sering dimanfaatkan untuk mem-bedakannya dengan karya nonfiksi adalah adanya kebolehjadian (plausibility) itu. Itulah sastra! Ia bisa menampilkan dunia yang realistik dan masuk akal secara meyakinkan. Na-mun, ia juga dapat menampilkan hal yang sebaliknya. Di sana, mungkin ada dunia jung-kir-balik, irasional, dan amburadul. Semua boleh saja terjadi, dan itu sah! Tidak ada rumus yang pasti yang berlaku universal. Selalu saja ada yang khas, unik, dan nyeleneh. Selalu ada saja kekhasan individual, meskipun ciri atau sifat-sifatnya, mungkin berlaku universal yang terkait dengan konteksnya yang meruang dan mewaktu.
Sumber keserbamungkinan dan kebolehjadian itu, tentu saja jatuh pada permainan imajinasi. Penjelajahannya yang tidak dapat terikat apapun, membuka peluang baginya untuk menerobos ruang dan waktu. Ia bisa saja secara leluasa mengacak-acak masa lalu, masa kini atau masa datang. Ia juga bisa saja menclak-menclok dan bertengger di tempat dan ruang mana pun. Berbagai peristiwa yang mestinya hadir dalam rangkaian waktu yang teratur, sangat mungkin mendadak jadi semrawut dan jumpalitan. Itulah sastra! Sebuah dunia yang sangat ditentukan oleh kehendak imajinasi. Akibatnya, jangat kaget, jika akal sehat dan logika formal, jadi ikut berantakan dan mubazir.
Jika kemudian penjelajahan imajinatif itu terkesan terbata-bata, jumpalitan, atau ngalor-ngidul dan semrawut, persoalannya terletak pada sarana ekspresinya yang sangat terbatas dan tidak dapat mewakili secara sempurna kegelisahan pikiran dan perasaan se-seorang. Bahasa sebagai sarana ekspresi, ternyata tidak mampu mengungkapkan keliaran imajinasi. Inilah yang terjadi dalam dua antologi cerpen karya Joni Ariadinata: Kali Mati (Yayasan Bentang Budaya, 1999) dan Kastil Angin Menderu (Indonesia Tera, 2000), meskipun persoalan tersebut dalam antologi yang disebut terakhir tidak hadir secara sig-nifikan. Mari kita periksa!
01. Antologi Kali Mati memuat 15 cerpen dan semuanya mengungkapkan gambaran, betapa keliaran imajinasi yang coba diekspresikan lewat bahasa, nyaris membuat kita ikut jumpalitan. Memang ada logika formal yang hendak diselusupkan latar cerita dan ung-kapan para tokoh yang digambarkannya, tetapi kemudian logika formal itu menjadi mu-bazir, lantaran imajinasi memang tidak tunduk pada logika. Akibatnya, tata bahasa, urut-an sintaksis, kosa kata baku, juga benar-benar dibuat berantakan!
Inilah antologi cerpen yang paling kurang ajar dalam memperlakukan bahasa. Tidak cuma itu, majas atau gaya bahasa yang selama ini kita kenal dalam buku-buku pe-lajaran, ikut dibuat kocar-kacir dan ngawur. Tetapi justru dengan cara itu pula, Joni se-sungguhnya hendak memotret problem sosial kita yang memang serba ngawur dan am-buradul. Sebuah potret acakadul yang banyak kita jumpai dalam kehidupan para gelan-dangan, orang-orang gendeng, sableng, dan gemblung. Itulah tema yang mendominasi antologi cerpen ini.
Secara tematis, Joni bukanlah orang pertama yang mengangkat kehidupan dunia kere. Muhammad Ali dalam Gerhana mengangkat kere perkotaan dalam berhadapan de-ngan keserakahan orang-orang kaya. Jika tidak, Ali membalurinya dengan akhir yang tra-gis. Ahmad Tohari dalam Senyum Karyamin mengangkat wong cilik pedesaan. Meskipun keduanya memperlihatkan cara bertutur yang berbeda, keberpihakan pada wong cilik tampak jelas melatari sikap kepengarangan keduanya.
Dalam konteks itu, sikap kepengarangan Joni tidak wujud dalam bentuk berpihak, melainkan dalam amuk terhadap nasib yang terus dikungkungi kesengsaraan abadi, keke-rean, dan tragikal yang lengket menempel gelandangan dan dunia hitam kaum marjinal yang ternistakan. Lalu bahasa macam apa yang diperlukan untuk mengungkapkan dunia yang seperti itu? Pentingkah logika untuk menjelaskannya? Di sinilah bahasa manusia tak mampu mewadahi lompatan-lompatan pikiran; logika gagal merumuskan realitas. Akibat-nya, dapat dipahami jika yang muncul kemudian adalah pembebasan sintaksis dan pembe-lotan atas kosa kata baku, karena memang kehidupan gelandangan tidak mengenal tata bahasa. Tetapi justru dengan cara itu, Joni berhasil memanfaatkannya dalam bentuk baha-sa visual, serangkaian kesemrawutan berbahasa dan onomatope.
Kata-kata atau ungkapan seperti: gerompyang kuali, gerbang besi gemeronjang, gelepok sampah, keciprak lumpur comberan, nempiling, prak! ebrekewek mantra dukun, bledek: jedak! jedak! atau suara “ah..rrrhkg” adalah beberapa contoh bagaimana Joni secara kreatif begitu leluasa memanfaatan onomatope. Perhatikan juga beberapa kesemra-wutan kalimat atau bahasa yang digunakan Joni: “…kardus atap plastik: 1 x 2 meter cocok buat ‘kerja’ satu pasang, yang kadang-kadang kaki lelaki mencolot keluar, tentu. Jika sedang dinas. Dinding kardus bergoyang-goyang kemerosak, bunyi napas….” (Rumah Bidadari, hlm. 20). Atau perhatikan juga kalimat-kalimat aneh berikut ini: “…Tobat. Berita menerabas seperti bledek: jedak! jedak! … lutut-lutut gemeletar; ketar-ketir. … Otak-otak meledak pohon batu tanah debu ranting sampah tumpah tembok batok mengutuk ambruk; menunjuk; teriak; pekak: …” (Anjing, hlm. 135).
***
Pilihan tema dan gaya yang diambil Joni, memang memberi peluang baginya un-tuk mengumbar imajinasinya secara liar dan bebas. Juga membuka kemungkinan kebe-basan berkreasinya dapat dimanfaatkan secara maksimal. Dengan cara itu pula sesung-guhnya, ia dapat sekaligus membangun potret hitam dunia gelandangannya tanpa beban, yang dalam beberapa cerpennya, kadang kala justru mengesankan ekspresi kreatifnya menyerupai puisi. Perhatikan kutipan berikut:
Panas menggigit jendela. Bunga matahari krowak ditendang angin, seperti li-sus. Seekor cecurut ruangan meninggalkan bau. Dentang pagar dan suara pengemis masih mengumpat. Ada layangan jatuh. Jam sebelas, anak-anak ribut melempar jambu di halaman. Gedebuk batu-bata. Sial. (Sampah Tuhan, hlm. 60).
“Lima belas ribu. Ayam kampung. Sengaja kusimpan buat malam-malam. Hoh-hoh-hoh, kau berani Sarju?” Mata palsu lentik mengerjap. Sarju menenggak. Rambut memerah keriting Madonna. Lipstik, ya Tuhan, melenting pirus batu akik: “Kau bera-ni?” Kerocok ember “pencuci itu” di kamar sebentar saja; kosrak lap; Lala keluar; se-nyum munafik dan empat kuli pletay-pletoy; hahah-heheh; babi-babi jontor berebut menggayut Sandra; masuk kamar menambal sepersekian senti daki di seprei nyaris me-leleh semacam nanah buat sekarat putar-putar menuntaskan mata yang mencolot-colot melotot. (Nekrofagus, hlm. 79).
***
Perlu diingat bahwa ekspresi apapun yang tertuang dalam teks, perlu dicurigai punya makna. Siasat untuk mengecoh pembaca mesti ditempatkan dalam kerangka inter-pretasi. Oleh karena itu pula, setiap tanda apapun, mesti punya kontribusi bagi bangunan teks itu sendiri. Ia mesti menjadi bagian integral dalam keterkaitannya dengan unsur lain dalam sebuah wacana. Tanpa adanya sinyal yang memperlihatkan keterkaitan itu, mung-kin patutlah kita menyebutnya sekadar main-main. Inilah yang terjadi pada cerpen “Dardanela” (hlm. 105–114).
Sembilan alinea pertama cerpen itu, ditulis dalam ejaan van Ophuijsen. Tetapi aneh, logatnya sama dengan bahasa Indonesia sekarang. Memang tidak ada hubungannya dengan soal logika. Meski begitu, sastra juga tidak terlepas dari persoalan wawasan. Jadi, jika ia hendak menggambarkan masa lalu (sebelum Indonesia merdeka), ia mestinya juga memantulkan potret zamannya. Jika tidak demikian, apa maknanya ejaan van Ophuijsen digunakan di sana, apabila ia tidak mendukung dan tak berkaitan dengan makna yang hendak disampaikan wacana bersangkutan, kecuali untuk sekadar “main-main” jika tidak mau dikatakan bertingkah?
Persoalannya sangat berbeda dengan pilihan tema dan gaya yang digunakannya. Dalam perjalanan cerpen Indonesia, tema dan gaya dalam antologi ini, sungguh khas, meskipun sebelum itu, dengan gaya dan ragam yang agak berbeda, Arifin C. Noer, per-nah pula menggarapnya. Oleh karena itu, kehadiran antologi ini bolehlah dikatakan meru-pakan sumbangan penting dalam memperkaya khazanah cerpen Indonesia.
Gaya bahasa (style) memang sering kali berurusan dengan tema, atau sebaliknya, tema terpaksa mesti disaranai oleh style. Tidak sedikit karya sastra yang jatuh pada ku-bangan, hanya lantaran tidak memperhatikan persoalan “remeh-temeh” seperti itu. Bahwa Joni telah memilih tema dunia “gila” niscaya itu merupakan pilihan yang tidak main-main. Kita pun tentu saja amat menghargai pilihannya. Namun, persoalannya lain jika lalu ia membelot pada tema yang menjadi pilihannya itu. Maka, musibah pun terjadilah.
Cerpen “Sampah Tuhan” (hlm. 66–78) yang mengangkat sepak terjang dan per-debatan estetik seorang pelukis dengan Profesor Babir, misalnya, justru terkesan nyinyir dan sok tahu, manakala persoalannya menyentuh dunia yang sesungguhnya asing bagi pengarangnya sendiri. Betul ada eksploitasi wong kere di sana. Namun, penderitaannya justru tidak begitu menonjol, lantaran persoalannya lebih banyak menyorot pada sepak terjang pelukis dan profesor tadi. Boleh jadi, gregetnya akan sangat lain, jika kehidupan tokoh Siti Sapi yang diplintir dan digali secara maksimal, sebagaimana yang dilakukan-nya dalam cerpen-cerpen lainnya.
Kasus yang sama juga terjadi pada cerpen “Jelatang Bundar” (hlm. 88–97). Lompatan-lompatan pikiran para tokohnya yang modar-mandir dari masa kini ke masa lalu yang pada awalnya cukup meyakinkan –lantaran kesemrawutannya, seolah-olah jadi mubazir manakala ada latar kehidupan mewah menimpalinya. Akibatnya, penataan peristiwa yang dialami para tokohnya, jadi terasa hambar. Kedua kasus inilah yang juga terjadi pada diri Ahmad Tohari dalam Bekisar Merah, ketika tokoh Lasi harus memasuki kehidupan yang serba mewah.
Satu cerpen lagi, ”Indonesia” hadir dengan beberapa hingar dan tentu saja itu agak mengganggu. Tokoh Karti yang gemblung dengan latar kehidupan jalanan, pada awalnya cukup memukau. Tetapi ujaran-ujarannya yang tidak berantakan dan ngawur, malah jadi menimbulkan pertanyaan. Adakah wong gemblung menyadari dirinya gem-blung, sehingga ujarannya harus digemblung-gemblungkan? Dalam konteks ini, Joni agaknya perlu menyimak Naguib Mahfouz, Lu Xun (Catatan Harian Seorang Gila), Iwan Simatupang (Lebih Hitam dari Hitam) atau Ahmad Tohari (Wangon Jatilawang).
***
Terlepas dari persoalan-persoalan itu, secara keseluruhan antologi Kali Mati sungguh memberi banyak janji. Ia hadir dengan kekhasannya tentang gembel dan orang-orang tergusur di perkotaan. Sebuah potret gelap orang-orang marjinal jadi terasa lebih gelap. Tema ini menjadi begitu menojol lantaran gaya bahasa dan kosa kata yang digunakannya terkesan begitu semrawut, sebagaimana kesemrawutan kehidupan mereka yang serba amburadul. Dan ini didukung oleh kemarahan dan kesumatnya pada nasib busuk orang-orang marjinal yang terus-menerus dililit kubangan “comberan”. Maka sempurnalah penderitaan mereka.
02. Dengan gaya bahasa yang tidak jauh berbeda, antologi Kastil Angin Menderu menampilkan 17 cerpen. Meski antologi ini diterbitkan dalam tahun yang berbeda (Kali Mati, 1999 dan Kastil Angin Menderu, 2000), berdasarkan kolofon yang terdapat dalam kedua antologi itu, dapat kita simpulkan bahwa kedua antologi cerpen itu ditulis Joni dalam kurun waktu yang sama: 1994–1998. Oleh karena itu, jika kolofon itu dapat kita jadikan sebagai pegangan untuk mencermati perkembangan kepengarangannya, maka Kastil Angin Menderu bukan merupakan karya yang dihasilkan pasca-Kali Mati. Kedua antologi ini sezaman, yaitu ditulis antara tahun 1994–1998.
Jika Kali Mati terbit lebih awal, maka praanggapan yang dapat kita kemukakan adalah bahwa Kali Mati sangat mungkin merupakan cerpen-cerpen pilihan; sisanya ke-mudian dikumpulkan kembali dan lahirlah Kastil Angin Menderu. Praanggapan ini tentu saja dengan sejumlah pertimbangan.
Pertama, secara kualitatif cerpen-cerpen dalam Kali Mati terasa lebih kompak de-ngan pusat perhatian manusia gelandangan. Dengan tokoh-tokoh yang sebagian besar juga berasal dari masyarakat golongan itu, maka keberpihakan pengarang terhadap to-koh-tokohnya dapat lebih fokus, meski mereka ditampilkan dengan segala kenistaannya. Keberpihakan pengarang terhadap wong cilik dalam Kastil Angin Menderu, justru terasa ngegelambyar, kurang fokus lantaran tampilnya tokoh-tokoh dengan profesi yang lebih beragam, seperti sopir, atlet, prajurit atau pejabat korup.
Kedua, dalam Kastil Angin Menderu, tampilnya tokoh-tokoh dengan berbagai profesi ini juga, pada gilirannya membawa konsekuensi pada tema cerita yang juga beragam. Malah, empat cerpen di antaranya (Hikayat Lembing Mujur, Jing, Montase, dan Delapan Terdakwa) lebih dekat pada tema-tema mistik. Dalam Kali Mati, nafas mistik ini justru sama sekali tidak kelihatan.
Ketiga, meskipun secara tematis Kastil Angin Menderu, lebih beragam, usaha pengarang untuk lebih menghitamkan kehidupan kaum marjinal, masih memperlihatkan pembelaannya kepada kaum papa itu, meski dalam potret yang lebih gelap. Dengan demi-kian, pengarang masih konsisten memihak golongan kere, sebagaimana yang tampak dalam antologi Kali Mati.
Keempat, tampilnya berbagai tokoh dengan profesi yang beragam itu juga dalam Kastil Angin Menderu, memaksa pengarang –dalam beberapa cerpen– memasuki dunia yang sesungguhnya kurang begitu dipahaminya benar, karena barangkali juga itu sesuatu yang sebenarnya memang asing. Beberapa peristiwa dalam sejumlah cerpen dalam Kastil Angin Menderu, seperti Serial Komik, Delapan Terdakwa, Keluarga Mudrika, atau Republik Antonio, terkesan sebagai lompatan-lompatan pikiran yang tak jelas ke arah mana sesungguhnya lompatan pikiran itu hendak menclok. Kasus yang juga terjadi dalam Sampah Tuhan dalam antologi Kali Mati.
Kelima, meski ada sejumlah perbedaan itu, baik Kali Mati, maupun Kastil Angin Menderu, masih memperlihatkan potensi pengarangnya dalam hal gaya bahasa (style). Justru dalam hal itulah, Joni sudah punya kekhasannya sendiri yang berbeda dengan cerpenis seangkatannya. Ia telah memiliki kekuatan yang katakanlah menjadi trademark-nya sendiri. Lalu apa yang menjadi kekuatannya itu?
***
Ciri yang menonjol dari dua antologi karya Joni Ariadinata ini adalah ‘hancurnya’ tatabahasa baku bahasa Indonesia! Tata kalimat dan urutan sintaksis, benar-benar dibuat berantakan. Demikian juga, kosa kata yang baku, dalam beberapa hal, seolah-olah dibuat mubazir. Akibatnya, selain rangkaian kalimat dalam setiap deskripsi latar, terkesan patah-patah, terbata-bata, dan acak-acakan, juga majas ia gunakan sekenanya. Tetapi justru dengan begitu, imajinasi Joni tampak begitu liar, serudukan, dan terkesan menyimpan kesumat yang luar biasa pada kehidupan kaum comberan. Dalam hal ini, Joni agaknya sengaja tak mengindahkan tata krama, justru untuk mengangkat potret dunia kaum marjinal yang lebih gelap dari gelap. Sememangnya, sastra tidak berurusan dengan sopan santun, etika atau tata krama, tetapi berurusan dengan estetika. Jadi, persoalan yang dihadapi dalam dunia sastra macam yang diangkat Joni adalah sejauh mana semua unsur, termasuk di dalamnya rangkaian kalimat yang patah-patah itu, mendukung nilai estetik.
Meskipun demikian, potret yang diangkat Joni bukanlah dalam bentuk yang semacam dengan realisme yang bertumpu pada detail. Potret yang dibangun Joni adalah sebuah kolase yang di dalamnya, pembaca boleh melengkapinya sendiri. Dengan begitu, kekacauan kalimat itu, justru untuk memperlihatkan, betapa realitas yang sesungguhnya berada dalam lempengan-lempengan peristiwa yang dalam satu saat tertentu, sangat mungkin ia sama sekali tidak berhubungan satu dengan yang lainnya.
Dalam satu peristiwa, di saat dan waktu tertentu, sangat mungkin pula kita berada di dalamnya atau di luar itu yang memiliki realitasnya sendiri. Realitas jadinya laksana tempelan-tempelan peristiwa, dan ketika ia dirumuskan dalam ekspresi bahasa, ia jadi onggokan-onggokan kata; rangkaian kalimat yang seolah-olah patah-patah. Perhatikan beberapa kutipan di bawah ini:
Sopir Oding, pengemudi Genio metalik bagus, sepertinya memang bego dan dungu. Jelas bukan jagoan apalagi pahlawan. Umum. Akhir-akhir fikiran jadi melotot buntu: betul-betul yakin. Tobat dan sungguh. Tatapan mereka itu: kaki-kaki meleng-gang, warung pinggir jalan, pemakan soto lahap cukup melongok bengong, kios kelon-tong melompong, asing; tak ada otak berhak bergerak. Apalagi membantu… Lalu lintas kembali jadi macet. Klakson-klakson menjerit bising. Kepul asap, suara knalpot. Kota-kota keparat, sopir mini bus memaki berat: “Brengsek! Ngapain lu? Minggir!”
Sial. Kepalang tanggung tubuh korban akhirnya diseret, dipaksa. Sopir Oding tak tega. Masuk mobil kaki ditekuk, bluk! Rapat pintu dibanting. Lega. (Gergajul, hlm. 13–14)
Perhatikan juga kutipan berikut ini:
“Ya!” keras semakin pasti. Mengangguk-angguk. Kemudian tepuk tangan. Ge-muruh. Berjingkrak. Beres. Langit lapang terang awan biru laut putih paha perawan kota; Gusti Markus di rumah nyekakar berniat zina dengan sepuluh pelacur bermain homo. Suntuk semalam lagi dan lagi. Glk! Glk! Glk! (Serial Komik, hlm. 50)
Kelupasan daging, bernanah. Busuk dan mengerang. Betapa sesak. Barda me-nyimpan amarah mata lewat kaca ruang operasi, –Marni, kenapa, mungkinkah bisa ja-di begitu? Bibir cantik istrinya mengeriut. Dinding-dinding menyempit hempasan jatuh kekosongan dada mengumpat, mengutuk, dan meledak: “Kenapa? Kenapa?” menge-luh. Langit pucat. … (Kastil Angin Menderu, hlm. 89).
Pengacauan pola-pola kalimat seperti itulah yang agaknya menjadi kekhasan Joni. Lalu apa maknanya bagi pembaca jika pembaca dibuat bingung? Di sinilah Joni tidak sekadar hendak menyiasati pembaca, tetapi juga mengajaknya ikut terlibat memainkan imajinasinya. Dalam konteks ini, teks jadi tidak sekadar alat untuk memotret penggalan-penggalan realitas dalam dunia yang hendak digambarkan tokoh-tokohnya, melainkan juga sebagai salah satu sarana untuk mengganggu pembaca agar ia juga memainkan imajinasinya. Pembaca diajak terlibat dalam pertemuan imajinasi yang tersurat dalam teks dan imajinasi pembaca yang entah sedang berada di mana ketika ia berhadapan dengan teks bersangkuan. Teks yang patah-patah itu, justru menjadi lahan yang mesti diisi sendiri sesuai dengan permainan imajinasi pembacanya.
Dalam konteks perjalanan khazanah sastra Indonesia, apa yang dilakukan Joni sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Budi Darma –khasnya dalam Rafilus– dan Putu Wijaya –dalam Telegram dan Pol– telah memperlihatkan kepiawaiannya dalam peman-faatan pola sebagaimana yang kini digunakan Joni. Tentu saja masing-masingnya dengan kekhasannya sendiri. Jadi, jika karya Joni ini dianggap amburadul, persoalannya terletak pada bagaimana kita menempatkan karya-karya sejenis itu pada kotaknya sendiri. Oleh karena itu, ketika kita mencoba memahami karya Joni lewat logika formal, mencoba mencari rangkaian kalimat lewat aturan tata bahasa, menilainya lewat ejaan dan kosa kata yang baku, dan mengkaitkannya dengan sopan santun dan etika, kedua antologi karya Joni ini akan benar-benar teraniaya, tersiksa, dan tercampakkan!
Yang akan kita jumpai adalah pencampuradukan antara bahasa tulis dan bahasa lisan yang coba mengangkat realitas sosial kaum marjinal. Cara berpikir mereka memang kadang kala mengungkapkan apa yang terlihat yang lalu diwujudkan secara spontan. Itu-lah sebabnya, ekspresinya lewat bahasa sering kali terbata-bata, semrawut, dan tumpang tindih. Tambahan pula, derasnya lompatan-lompatan pikiran yang tak terikat oleh ruang dan waktu, menggiringnya pada dunia yang jungkir-balik. Akibatnya, ketertiban urutan peristiwa dan logika formal, tidak berlaku di sana.
Demikian juga, dalam kehidupan kaum marjinal yang sebenarnya, mereka sangat mungkin tidak mengenal aturan tata bahasa dan kosa kata baku. Mereka sekadar dapat berkomunikasi satu dengan lainnya, tanpa harus dibebani oleh aturan sintaksis atau apa pun, sebab itu hanya ada di dalam laci anak-anak sekolahan. Termasuk di dalamnya per-soalan yang menyangkut tata krama, sopan-santun, dan etika. Dan demi kepentingan estetika, kebolehjadian dan keserbamungkinan, dibolehkan dan sah-sah saja. Demi esteti-ka pula, kedua antologi karya Joni Ariadinata pun, berhak pula memanfaatkan keboleh-jadian dan keserbamungkinan. Jadi, apapun yang ada di dalam kedua antologi itupun, sah-sah saja adanya.
***
03. Mencermati kesungguhan Joni dalam menggarap tema-tema kehidupan kaum marjinal dan usahanya untuk membelot dari konvensi, justru telah menempatkan kedua karya itu sebagai trademark-nya. Dan Joni telah berhasil mengumumkan trademark-nya sendiri. Jika tema dan gaya ini konsisten digarap terus secara serius, niscaya dari tangan-nya, kita tinggal menunggu lahirnya karya yang lebih cerdas yang mengungkap kemiskin-an gembel Indonesia yang tidak ada duanya. Kali Mati dan Kastil Angin Menderu, sung-guh telah memperlihatkan kecerdasannya sebagai sebuah monumen!
Sebaliknya, jika Joni mencoba melebarkan tema pada dunia yang sesungguhnya tidak digaulinya dan asing, maka ia akan terjerumus pada kenyinyiran yang hasilnya cen-derung artifisial atau bahkan mentah, sebagaimana, misalnya, yang terjadi pada salah satu cerpennya yang berjudul Republik Antonio. Oleh karena itu, tidak dapat lain, Joni mesti setia pada pengalamannya sendiri, pada kegelisahannya dalam mengangkat dunia kaum marjinal yang memang diakrabinya.
Bersamaan dengan itu, jangan pula dilupakan, bahwa kecerdasan seorang sastra-wan sangat bergantung pula pada wawasan. Tanpa pengetahuan, tanpa sentuhan intelek-tualitas, dan jika sekadar mengandalkan bakal alam, maka ia tinggal menunggu hari kema-tiannya saja. Dalam sejarah sastra di negara manapun, tidak ada seorang pun sastrawan besar yang hanya mengandalkan bakat alam. Soalnya sederhana saja. Yang membesarkan seorang sastrawan tidak lain adalah wawasan pengetahuannya dalam menggali dan me-maknai berbagai masalah manusia dan kemanusiaan. Nah, kiranya begitu!
msm/27/7/2000
* Makalah Diskusi “Pembahasan Cerpen-Cerpen Joni Ariadinata” Jakarta, Taman Ismail Marzuki, 28 Juli 2000, Pukul 14.00.
**) Maman S. Mahayana, M.Hum., Staf Pengajar FSUI, Depok.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar