Imamuddin SA
Tak ada salahnya jika hari ini aku menghampiri adikku. Aku yang kebetulan baru pulang dari pasar menemui sahabat karibku. Ah tidak, aku lupa. Ia bukan sekedar sahabat karib. Tetapi saudara abadi. Saudara yang akan bersatu di kehdupan esok hari.
Ini sudah jadi kebiasaanku. Setiap pasar Pahing dan Wage, aku kerap menemuinya. Itu jika aku tidak ada aktifitas lain di rumah. Biasalah, ada saja yang aku omongkan dengannya di pasar. Dari masalah pribadi. Dagangan. Pergolakan hidup. Agama. Dan bahkan ketauhidan. Yang paling senang adalah ketika aku memperhatikan karakter pembeli yang cukup variatif. Aku bisa mempelajari psikologi seseorang dari caranya membeli dan menawar barang dagangan.
Aku yang masih awam akan hal itu, mencoba menimba darinya. Meskipun aku sudah lulusan S1, tapi aku masih membutuhkan pengetahuan lain yang belum pernah aku dapatkan di bangku perkuliahan. Dan belajarku hanya pada seorang lulusan SMA. Atau bahkan tidak jarang aku belajar pada orang yang tidak pernah sekolah. Toh pada dasarnya tidak hanya kampus atau sekolah saja tempat menimba pengetahuan. Pasar pun bisa jadi. Atau lokalisasi juga bisa. Tinggal aku, bisa tidak memanfaatkannya dengan sebaik mungkin? Aku juga yakin, orang pandai itu tidak hanya dosen. Tidak hanya guru di sekolah. Orang pandai itu relatif. Tentunya disesuaikan dengan bidangnya masing-masing.
Dalam hati kecilku, aku tidak ingin menimba pengetahuan dari orang pandai. Sebab aku takut dipinteri mereka. Aku sudah bosan. Aku telah nekek dipinteri orang. Meski aku waktu kuliah kerap menimba pengetahuan dari dosen-dosenku yang pandai. Tapi tidak usa dibahas, kenapa aku kok tetap kuliah? Aku ingin menimba ilmu dari orang yang mengerti saja. Biar aku tak dipinteri orang lagi. Dan aku telah menemukan orangnya. Sahabat karibku. Eat…maaf lupa. Saudara abadiku. Ia terlalu sempurna di mata hatiku. Ia tak pernah membohongiku. Apalagi minteri aku. Tentu tidak. Yang aku herankan adalah kata-katanya. Semua yang diujarkanya benar. Tak pernah meleset dari kejujuran realitas.
Saat itu matahari berada tepat di atas ubun-ubunku. Bayangan tubuhku pun tidak terlukis olehnya. Aku berhentikan motor bututku di depan sebuah sekolah yang cukup besar di daerahku. Di bawah rindang pohon yang sesekali dihempas angin yang cukup kencang. Aku silakan kaki kiriku di jok motorku. Dan yang satunya aku tambatkan di tanah. Kuambil hand phoneku dari saku celana. Kubuka. Ku cari nama adikku. Pun kukirimkan pesan untuknya.
“Apa pean mau pulang sekolah bareng aku? Pean dimana? Aku tunggu di sebelah barat kantor. Di tepi jalan raya.”
Dasar sial. Aku sudah cukup lama menunggu adikku tapi belum juga ada kabar darinya. Aku perhatikan hand phoneku berkali-kali tetap juga tidak ada pesan masuk untukku darinya. Aku sempat mengeluh. Dan ingin meninggalnya pulang. Tapi beberapa saat kemudian, tubuhnya mengisi kehampaan kedua mataku. Ia perlahan mendekatiku.
Aku sedikit heran dan aneh saat melihat raut mukanya. Tidak seperti biasanya yang selalu menunjukkan keceriaan. Ia kecut dan berlukiskan kesedihan. Dari jarak yang cukup dekat ia mengeluh padaku.
“Cak, hand phonku disita guruku!” berat terbata tuturnya.
“Kok bisa begitu? Memangnya kamu pakai hand phone di kelas?” tanyaku dengan pelan. Aku tak mau menambahi kesedihanya saat itu.
“Tadi aku pas buka pesan dari pean. Dan ingin membalasnya. Cak, bagaimana nih?” rengeknya manja.
“Kamu temui saja guru yang merampas hand phonemu sekarang juga. Coba kamu sedikit mengiba kepadanya. Barangkali akan lain ceritanya.”
“Aku tidak berani Cak, Takut!”
“Memangnya apa yang mesti kamu takutkan? Lekas masuk kantor. Dan temui dia!” desakku tegas.
Memang hal itu segaja aku lakukan kepada adikku. Karena aku punya tujuan lain di balik semua itu. Aku ingin adikku berani menghadapi siapa pun demi pemecahan masalah. Harapanku adikku agar bisa membebaskan jiwanya dari segala tekanan ketakutan dalam diri pribadinya. Paling tidak dia bisa menuangkan aspirasinya. Adapun hasilnya belakangan. Entah berhasil mengambil hand phone atau tidak? Yang penting keberanian harus tumbuh di dalam dirinya.
Dan itu benar. Atas desakku, ia memberanikan diri menghadap guru itu. Meskipun dengan perasaan gontai. Laksana nyiur melambai. Sejenak kuperhatikan langkah kaki adikku. Aku pun merasa iba padanya. Aku merasa semua ini juga tidak lepas dari kesalahanku. Mengapa aku menghubunginya saat itu? Kenapa tidak aku tunggu saja ia sampai keluar dari lokasi sekolah? Ah semuanya tidak perlu ada penyesalan. Sesuatu yang telah terjadi biarlah terjadi. Biar jadi kenangan yang patut dipelajari. Berorientasi saja kedepan. Semoga adikku mengantongi keberhasilan.
Dari kaca jendela yang putih bening, kuterawang adikku dari luar. Ia terlihat gugup menyampaikan maksudnya kepada guru itu. Sesekali ia mendongakkan wajahnya ke arahku yang berada di motor. Sungguh tak kuasa aku melihatnya. Entah, di dalam kantor itu dia ngomong apa saja. Aku tidak terdengar. Yang jelas adikku terlihat begitu mengiba. Dan guru itu bersikap masa bodoh.
Adikku keluar dari kantor itu membawa hasil yang hampa. Ia tidak dapat mengambil hand phonenya kembali. Wajahnya terlihat semakin muram. Purnamanya tak lagi mempesona. Ia semakin bingung di buatnya.
“Bagaimana, dapat hand phonenya?”
“Tidak Cak! Tetap tidak boleh. Aku bingung.” lirih keluhnya.
“Tadi dirampasnya di mana?”
“Di jalanan. Tepatnya di depan kelas. Waktu itu buyaran sekolah. Dan tema-temanku sudah pulang semua. Tinggal beberapa orang saja. Aku berjalan dengan tiga orang temanku yang lain dan mencoba mebalas pean. Tapi tiba-tiba……? Aku takut dimarahi bapak dan ibu di rumah! Bagaimana Cak?”
“Ya sudah. Aku coba memintanya kembali. Barangkali bisa. Tapi tidak janji. Sekarang kamu tunggu saja di sini.”
Hatiku tak kuasa melihat adikku yang terus mengiba kepadaku. Aku pun menurunkan kakiku. Dan beranjak dari motorku. Namun aku juga tahu jika itu sulit buatku. Aku harus berusaha demi adikku. Hasilnya terserah. Nihil atau………! Yang penting berusaha dulu.
Aku masuk ke kantor. Menemui guru itu. Aku mengutarakan tujuanku menghadap padanya. Aku mengulas kembali perkataan adikku beberapa waktu yang lalu yang sempat terujar kepadanya.
“Pak, maaf. Saya sejenak mengganggu istirahat siang Bapak kali ini.”
“Ya, tidak apa-apa.” jawabnya ketus seolah telah tahu maksud kedatanganku. Mungkin saja ia telah tahu keberadaanku sebelumnya.
“Saya ingin konsultasi masalah hand phone adik saya yang bapak sita beberapa saat yang lalu.”
“Benar, hand phonenya memang saya sita. Memangnya kenapa?” sekali lagi ketus jawabnya.
“Saya mohon dengan amat sangat kepada bapak, agar bapak berkenan memberikanya kembali.” ibaku padanya.
“Tidak bisa Mas. hand phone yang sudah disita tidak bisa di kembalikan. Ini sudah jadi kesepakatan dalam rapat wali murid.”
“Memangnya kesepakatanya bagaimana?” tanyaku mendesak.
“Setiap siswa tidak diperkenankan membawa hand phone ke sekolah. Sebab mampu mengganggu konsentrasi belajarnya. Dan ini sudah kami sosialisasikan kepada siswa juga” jawab tegasnya.
“Maaf Pak, saya kurang paham jika ada kesepakatan semacam itu. Tapi saya mohon belas kasih Bapak untuk kali ini saja, Bapak berkenan memberikan hand phone itu.” ujarku semakin merendahkan diri.
“Tidak bisa. Ini sudah paten dalam keputusan rapat.”
“Saya mohon Pak. Saya bertanggung jawab atas semuanya. Saya jamin adik saya tidak akan membawa hand phone ke sekolah lagi. Jika adik saya melanggar untuk yang kedua kalinya, semuanya terserah Bapak. Lagi pula adik saya masih baru di sekolah ini. Saya mohon kali ini beri kesempatan.”
“Tetap tidak bisa!” bentaknya keras.
“Tolong beri keringanan untuk adik saya yang masih baru di sini.”
“Masih baru saja sudah berani melanggar peraturan. Apalagi kelak!” sekali lagi ia membentak dengan keras. Penuh emosi.
“Justru masih baru itu Pak, dia belum paham akan adanya peraturan semacam itu. Saya berharap ada sedikit toleransi dan belas kasih dari Bapak.”
“Tidak bisa! Sekali kesepakatan tetap kesepakatan. Semuanya harus dijalankan dengan seksama. Tidak ada toleransi. Setiap hand phone yang telah disita akan dihancurkan. Titik!”
Aku yang dulu juga alumni sekolah itu, telah sedikit banyak paham karakter guru tersebut. Ia memang keras kepala. Kadang juga egois. Dan suka memaksakan kehendak pribadinya. Ia tidak bisa menempatkan porsi yang pas dengan situasi dan kondisi siswanya. Ia seolah berpandangan bahwa konsepnyalah yang paling benar. Dan paling berhasil jika diterapkan kepada semua siswa.
Pernah suatu ketika ia menyumpah teman sekelasku. Menyumpah agar temanku itu setiap harinya wajib belajar tidak kurang dari empat jam. Sementara ia sendiri tidak tahu, bagaimana kondisi keluarga temanku. Sungguh memprihatinkan. Semua kebutuhan keluarga harus ia sendiri yang menanggungnya. Begitu juga biaya sekolah adik-adiknya. Sehabis sekolah ia bekerja bangunan paruh waktu. Dan kalau malam ia juga sempatkan diri untuk ikut bekerja di penggiligan padi. Bagaimana bisa belajar……?
Anehnya, meski sudah dijelaskan kondisi temanku saat itu, guru tersebut tetap saja memaksakan kehendaknya. Wajib belajar empat jam. Padahal tidak didoktrin semacam itu pun temanku setiap hariya sudah meluangkan diri untuk belajar. Walau hanya sebentar. Namun hari itu memang naas baginya sehingga ia disumpah sedemikian rupa. Kesalahanya hanya sederhana, ia ngantuk waktu jam pelajaran. karena semalam suntuk ia bekerja di penggilingan padi. Dan pas ditanya masalah belajar, ia jawab; “Semalam saya tidak belajar Pak!”.
Itulah sedikit kesalahan temanku. Tiap pelajaran guru itu, temanku ditanya terus masalah sumpah belajar empat jam. Temanku memang polos. Ia tidak bisa mendustai diri sendiri. Apalagi orang lain. Untuk menghindari hukuman atas pertanyaan itu, ia membuat tulisan dalam buku pelajaranya; ”Aku sudah belajar empat jam”. Pas ditanya; “Apa kau kemarin sudah belajar empat jam penuh”? Ia selalu membaca tulisan dalam bukunya itu. Dan menjawab; “Sungguh Pak, aku sudah belajar empat jam. Ini benar”.
Sungguh ia sangat cerdik. Maksudnya “ini benar” adalah benar menurut tulisan yang ada di bukunya. “Aku sudah belajar empat jam”. Bukan benar secara realiats. Ia belajar empat jam dalam keseharianya. Ia memang tidak bohong. Yang salah gurunya. Ia salah tangkap dan salah paham akan maksudnya. Ia pun lolos dari hukuman yang lebih berat dari guru itu. Guru yang sejak kecil selalu dalam kecukupan dan kemewahan. Tak pernah merasakan kesusahan. Waktu itu aku juga sempat mengumpat dalam batinku. Andai saja Tuhan suatu saat menjadikanya susah dan hidup dalam kekurangan, mungkin ia baru sadar akan realitas kehidupan ini.
Kembali pada persoalan hand phone adikku. Guru itu omonganya sombong benar. Baginya hand phone seolah-ilah tak berharga. Mentang-mentang kaya, ia main hancurkan saja. Melihat gaya bicaranya yang semakin congkak, hatiku tergigit. Darahku mendidih. Detak jantungku mengeras. Dan mataku memerah. Aku larut dalam emosiku. Aku terpancing dengan nada bicara yang sedikit keras.
“Jika keputusan Bapak demikian, tidak apalah. Saya tidak akan menuntut banyak dari bapak. Tapi perlu Bapak ketahui bahwa adik saya tidak mengaktifkan hand phone dalam ruang kelas. Toh itu dilakukanya ketika jam sekolah sudah usai. Dan semua siswa sudah pada pulang. Jadi, seharusnya dia sudah terlepas dari aturan tersebut. Saya juga lulusan sekolah ini pak. Dulu sewaktu sekolah saya sempat dibilang oleh salah seorang guru bahwa saya adalah orang bodoh dan katrok. Sebab saya pada waktu itu diperintahkan mengaktifkan hand phone di kelas, saya tidak bisa. Katanya saya tolol. Dalam era global mengoperasionalkan hand phone saja tidak bisa. Tapi nyatanya sekarang bagaimana. Hand phone sudah menjamur dan menjadi salah satu kebutuhan pokok hidup manusia, malah dikekang pemakainya. Ini sungguh perbuatan munafik. Ini perbuatan orang tolol.”
“Tapi ini beda mas. ini sudah permasalahan lain.” selanya membela.
“Saya tahu pak tujuannya. Sekolahan ini tidak ingin siswanya membudidayakan pornografi dalam hand phonenya bukan? Lihat Pak, hand phone adik saya. Mana bisa mengakses gambar-gambar porno. Harga hand phonenya saja tidak lebih dari dua ratus ribu perak Pak. Coba pikir! Dan lain kali kalau menentukan sanksi itu seharusnya disesuaikan dengan permasalahanya Pak. Tidak main pukul rata seperti ini.”
“Bukan itu masalahnya Mas. Tapi ini demi lancarnya proses pembelajaran di kelas.” jelasnya lirih.
“Apalagi hal itu Pak. Itu sungguh imposibel. Bisakah bapak menjamin, dengan tidak berhand phone siswa menjadi pandai? Tidak mungkin bukan? Sebab semuanya itu bertumpu pada pola pikirnya. Serta bagaimana cara pengolahanya dalam realitas kehidupanya. Kapasitas otak manusia itu tidak sama Pak. Di dalamnya tertanam bakat-bakat yang berbeda-beda dalam setiap individu. Tugas guru adalah mengantarkan anak didiknya menggapai cita yang sesuai dengan bakatnya. Guru adalah sugestor. Adik saya juga tidak mengaktifkan hand phonenya saat proses belajar mengajar. Bapak tadi kan menyitanya saat ia dalam perjalanan pulang, bukan? Jadi apanya yang harus dikekang dalam pribadi adik saya? Apanya Pak? Toh membuat aturan itu seharusnya tidak serta merta langsung difonis dihancurkan seperti itu Pak. Tentunya harus melalui tahap peringatan terlebih dahulu.” desakku bertubi-tubi.
“Apapun alasanya, Mas tidak bisa mengambil kembali hand phone adik Mas. Hand phone harus dihancurkan. Ini sudah aturan. Dan saya konsekuen dengan aturan yang telah disepakati. Ini tidak bisa dimanipulasi.”
“Tidak bisa dimanipulasi kata Bapak?”
“Ya, benar!”
“Dulu Pak, ketika saya dan teman-teman yang lain, Bapak perintahkan mengerjakan tugas pribadi Bapak di ruang ini. Tepatnya di meja itu. Bapak malah menyediakan kami sebungkus rokok. Padahal Bapak tahu bukan, larangan merokok telah tergantung di papan atas dalam aturan sekolah untuk siswa. Bapak juga sempat bilang kalau rokok itu Bapak sediakan biar menggarap tugasnya lebih bersemangat. Ini aneh dan munafik bukan? Ini hanya manipulasi belaka bukan? Ini aturan yang mana Pak?”
“Tapi……” sedikit menyela.
“Aturan mana yang harus dipegang Pak? Jika dibandingkan dengan kesalahan adik saya, ini tidak sebanding dengan apa yang Bapak terapkan kepada saya dan teman-teman waktu itu. Justru Bapak yang seharusnya dikenakan sanksi yang lebih berat.”
“Kau………!”
“Saya sudah memohon belas kasih Bapak. Dan mengiba dengan begitu rendah diri. Tapi bentakan yang justru Bapak berikan. Ingat Pak, Tuhan saja pasti memberi cinta kasih-Nya kepada hamba-Nya yang telah memohon dengan penuh hikmat. Dan rendah diri. Tetapi mengapa tidak dengan Bapak? Kecongkakan diri yang Bapak berikan.”
“Apa maksudmu? Kau mengataiku congkak? Jangan bandingkan masalah ini dengan Tuhan. Ini urusan kemanusiaan. Ini urusan siswa dengan pihak sekolah.” tanyanya kaget.
“Tuhan memerintahkan agar manusia senantiasa memberi cinta kasih, kemurahan, dan pintu maaf kepada sesamanya. Tuhan yang maha segala-galanya saja tidak pernah menunjukkan kecongkakannya. Mengapa manusia yang hanya sedikit dikaruniai cahayanya saja sudah berani menunjukkan kecongkakannya? Dan mengapa hal ini juga tidak boleh disangkut-pautkan dengan Tuhan, Pak? Jangan-jangan dalam diri Bapak sudah tidak ada lagi nama Tuhan! Dengan sejenak mengatakan hal itu, Bapak telah melupakan perintah agama. Dan bahkan nama Tuhan.”
“Coba kau ulangi sekali lagi kata-katamu.”
“Tentunya sebagai guru agama, Bapak juga tahu bahwa Tuhan mempunyai sifat Welas Asih. Pemurah. Pemaaf. Pengasih. Dan Penyayang. Semua sifat itu ternyata tidak ada dalam diri Bapak. Berarti eksistensi Tuhan tidak hadir dalam diri Bapak. Benar bukan? Dengan menanggalkan sifat-sifat itu, sama halnya Bapak dengan meninggalkan Tuhan. Bapak telah lalai dengan Tuhan. Tuhan tidak hadir dalam diri Bapak. Dan Bapak pasti juga tahu jabatan apa yang disandang bagi orang yang semacam itu……”
“Kau berarti mengataiku kafir? Atheis? Kau yang kafir.” bentaknya penuh dengan emosi.
“Tidak Pak. Aku tidak mengatai Bapak demikian. Ini sebatas wacana. Tidak berhak seseorang mengafirkan sesamanya. Bapak pikirkan saja. Instropeksi diri lebih utama. Renungkan dengan baik Pak! Menudinglah pada diri sendiri jangan kepada orang lain. Pasti ketemu jawabannya. Dan bukannya saya mendurhakai Bapak sebagai guru saya. Apalagi menggurui. Saya hanya meluruskan permasalahan Pak.”
“Aku setiap hari sholat. Atheis itu orang yang tidak sholat! Karena tidak sholat berarti dia tidak ingat dan tidak pernah menghadapkan diri kepada Tuhan. Jadi ya……”
“Bapak salah besar kalau begitu. Toh nyatanya Bapak juga belum melaksanakan sholat dengan hakekat sholat yang sebenarnya. Ritual sholat yang Bapak lakukan hanya sebatas kulitnya saja. Mana eksistensi sholat Bapak yang bisa mencegah perbuatan keji dan munkar? Mana kerendahan hati yang merupakan buah dari pelaksanaan sholat? Sholat itu menghadapkan diri dengan sepenuh hati kepada Tuhan, Pak. Bukan sekedar jungkir balik gerakan tanpa makna. Dengan melakukan itu, Bapak samahalnya dengan menipu Tuhan. Bapak hanya sekedar pura-pura ingat Tuhan. Dan pura-pura menghadap Tuhan. Ini bisa jadi manipulasi manusianya sendiri dengan jalan pembodohan terhadap diri sendiri dan juga Tuhan. Tapi ingat Pak, Tuhan tidak dapat dibodohi.” potongku dengan tegas.
“………” ia diam terpaku.
“Maaf Pak, jika Bapak benar-benar telah menghadapkan diri kepada Tuhan, kemana letak posisi penghadapan diri Bapak yang sebenarnya kepada-Nya?” sedikit tanyaku.
“Ke kiblat!” jawabnya tegas dan pasti.
“Di mana kiblat Bapak?” tanyaku memburu.
“Di………” ia tidak meneruskan jawabanya. Diam memikirkannya.
“Meski tidak Bapak ungkapkan, saya tahu jawaban Bapak. Itu hanya simbol kesatuan dan kebersamaan lahiriah manusia. Tuhan tidak ada di tempat itu. Begitu juga dengan gerakan sholat Pak. Itu juga hanya sebatas simbol untuk kerukunan dan kebersamaan antar manusia. Simbol itu aktualisasinya lewat penerapan perilaku sehari-hari dalam lingkungan bermasyarakat. Sebenarnya simbol lewat gerakan dan bentuk fisik itu penerapannya pada ruhaniah manusia. Itu hanya sebatas pengingat laku batin. Selaraskan antara yang lahir dan yang batin.”
“Simbol katamu! Lantas bagaimana pemaknahannya?”
“Bapak renungkan saja tiap gerakan itu. Saya tidak banyak waktu untuk mengungkapnya. Lagipula Bapak guru saya. Tentunya Bapak lebih pintar dari saya. Apalagi agama adalah bidang Bapak yang selama ini telah tertekuni. Maaf Pak, saya pamit. Terima kasih atas penjelasan dan sambutan Bapak. ” jelasku mengakhiri pembicaraan.
Amarah lahan-perlahan aku redam. Aku berpaling dari guru itu. berjalan menuju pintu. Lantas beranjak menghampiri adikku yang telah lama menunggu di motorku. Sungguh, tidak ada ramah-tamah yang mengenakkan kepadaku. Saat menemui guru itu tadi, aku tidak dipersilahkan duduk di kursi. Aku berdiri sampai pembicaraan usai. Padahal semua tempat duduk di ruang guru itu kosong. Ah, itu bagiku tidak masalah.
Adikku memandangi langkahku yang semakin mendekatinya. Hatinya penuh dengan tanya. Jantungnya bergemuruh menyesakkan jiwanya. Sayu sapanya hinggap di telingaku.
“Bagaimana Cak, dapat hand phonenya?”
“Tidak bisa diambil!”
“Lantas bagaimana Cak? Aku pasti dimarahi bapak di rumah. Cak……?” ujarnya terbata. Hampir meneteskan air mata.
“Ya, kita pulang saja. Paling-paling dimarahi hanya beberapa menit saja. Paling lama ya sehirian lah.”
“Cak……!” ungkapnya penuh ketakutan.
Kunaiki motor bututku. Sambil meghimbau adikku agar segera naik. Dan menabahkan hati. Menegarkan jiwa untuk menghadapi amarah bapak di rumah. Naik lah ia. Aku pun memacu motorku. Aku beranjak pulang.
Kehawatiran adikku ternyata benar terjadi. Sesampainya di rumah, aku ditanya orang tuaku masalah perangai adikku yang sedikit aneh. Dan menunjukkan kesedihan yang begitu kuat. Aku yang tidak bisa membohongi diri sendiri, pun menceritakan kejadian yang sebenarnya menimpa adikku. Awalnya orang tuaku mengira, adikku mengalami kecelakaan. Mereka hawatir betul kepadanya. Tapi setelah aku jelaskan semuanya, kehawatira itu seketika berubah menjadi amarah yang luar biasa. Mereka menumpukkan semua kesalahan kepada adikku. Maklum, orang tuaku marah karena hand phone yang disita itu bukan milik pribadi adikku. Hand phone itu milik pamanku yang beberapa hari lalu dipinjam adikku. Sebab baru beberapa hari ini, adikku bisa mengoperasionalkan hand phone. Wajar kalau orang tuaku sedikit emosi. Dan naik darah.
Adikku matanya nanar. Dan lari ke kamarnya. Melinangkan air mata. Menghujankan kesedihanya.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
28/10/08
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar