Dian Hartati**
Aku adalah perempuan kupu-kupu. Setiap langkah yang tercipta selalu menghadirkan kepak sayap. Ruang-ruang di rumahku adalah sebuah dimensi yang menceritakan kisah-kisah menawan dan selalu menghadirkan gelak tawa. Senda gurau perempuan lain, ibuku yang kupanggil dengan sebutan Mama..
Di leherku sebuah tato tergambar jelas. Tato kupu-kupu dengan sayap mengepak. Tidak begitu lebar dan terdapat motif bintik-bintik berwarna hitam. Jika kamu meraba lehermu dan menemukan tonjolan tulang leher, maka di situlah gambar kupu-kupu tepat berada di leherku. Tato yang manis dan aku sangat menyukainya. Serangga pengisap madu yang terletak di leherku ini sering kali membuat rasa penasaran pada diriku sendiri untuk selalu melihatnya. Namun aku hanya dapat melihat dengan bantuan cermin atau kaca besar yang berada di kamarku. Mengintip bayangan mungil yang muncul seketika.
Aku ingat peristiwa yang melatari bagaimana kupu-kupu itu berada di leherku. Beberapa bulan yang lalu aku mendapati surat panjang di inbox e-mailku. Seorang lelaki dewasa bercerita tentang harapan yang menurutku aneh. Nama lelaki dewasa itu adalah Lepidoptera, nama yang unik bukan. Lepi - begitu aku memanggilnya - memiliki keinginan ketika dia bangun tidur, Lepi tidak ingin menemukan siapapun. Lepi ingin tidak ada seorang pun yang mengenalnya. Setiap bangun tidur Lepi mengharapkan berada di dunia lain, dunia yang berbeda dengan hari kemarin. Kamu tahu aku hanya tersenyum membaca surat itu.
Maka keesokan harinya aku membalas surat Lepi. Aku katakan padanya bahwa suata saat Lepi akan menemukan harapannya. Bangun tidur dan tak menemukan apapun. Mencoba-coba mengingat hari kemarin tapi sekuat apapun usaha Lepi dia takkan menemukan dirinya di hari kemarin. Saat Lepi terbangun dari tidur lelapnya dia akan menemukan seorang perempuan berambut pendek, bahkan sangat pendek untuk ukuran seorang perempuan. Lepi mencoba mengingat-ingat, mengira-ngira siapa perempuan yang berani menggangu tidurnya di pagi hangat. Usaha Lepi sia-sia karena dia tak dapat mengingat. Lepi hanya menemukan tato kupu-kupu di jenjang leher perempuan itu.
Begitu aku membalas surat panjang seorang lelaki dewasa bernama Lepidoptera. Kamu tahu, setelah aku mengirimkan e-mail itu tiba-tiba saja tato kupu-kupu menempel di leherku. Tentu saja aku takut karena kalimat-kalimatku di surat itu menjadi kenyataan. Aku sangat tidak nyaman dengan tato itu, ada sebuah ketakutan. Aku sangka itu adalah kutukan karena aku membalas surat seseorang dengan imaji yang berlebih. Sungguh aku khawatir dengan keadaan diriku. Di tubuhku, di leherku, di kulitku ada sepetak gambar yang tidak pernah aku sangka-sangka. Tidak pernah aku duga sebelumnya.
Beberapa kali Lepi mengirimi aku surat, tapi aku tak lagi menghiraukannya. Aku takut kalimat-kalimat yang kubangun di surat menjadi kenyataan seperti tato kupu-kupu yang kini mengepak di leherku. Aku lupakan lelaki dewasa itu. Saat ini aku sudah terbiasa dengan tato kupu-kupu yang menghias jenjang leher, terkadang aku berucap syukur mungkin ini adalah anugerah. Seorang perempuan dengan tato kupu-kupu di leher, begitu manis.
Seperti siang ini. Entah siang yang keberapa karena aku tak pernah mengingatnya. Siang hari yang terik, sepulang kuliah aku mendatangi sebuah mall di pusat kota. Sekadar membuang jenuh karena rutinitas perkuliahan yang membosankan. Mengelilingi gedung berlantai lima dan memasuki sebuah tempat yang hanya menjual pewangi ruangan. Aku memilah beberapa pewangi yang berbeda-beda aromanya. Ada wangi buah, bunga, sampai aroma kopi. Aku membeli beberapa untuk ruang-ruang yang ada di rumahku. Aku suka sesuatu yang wangi. Menyenangi segala hal yang harum. Selalu ada semangat yang terhirup dari wangi-wangian itu.
Tak lelah aku memasuki beberapa show room. Ada yang aneh. Beberapa pengunjung mall memperhatikan aku. Adakah yang salah dengan penampilanku atau keringat berlelehan di wajahku. Mungkin mereka melihat tato kupu-kupu di leherku dan itu sesuatu yang aneh bagi mereka. Tapi kurasa bukan itu. Tato bukanlah hal yang asing di kota ini. Banyak perempuan yang melukiskan tato di tempat-tempat tertentu di bagian tubuhnya. Kudengar bisik-bisik dari suara mereka. Apel. Wangi apel. Aroma apel. Aku mempercepat langkahku karena tak biasa di tatap seperti itu oleh banyak orang.
Berjalan menuruni setiap lantai dan bergegas pulang. Sepanjang koridor aku hanya mendengar bisik suara orang-orang. Apel. Wangi Apel. Aroma Apel. Aku ingat mungkin saja orang-orang itu menghirup pewangi ruangan yang meruap dari kantong belanjaanku. Ya, pasti itu alasannya mengapa mereka, orang-orang itu, membisikkan kata apel berulang-ulang. Kamu tahu, sesuatu yang membuatku heran adalah aku tidak pernah membeli pewangi ruangan beraroma apel. Akhirnya aku memeriksa apa saja yang kubeli. Aroma sedap malam untuk ruang tidur, mawar untuk ruang tamu, jeruk untuk ruang baca, aroma kopi untuk dapur, dan anggrek untuk kamar mandi. Kupastikan tak ada pewangi ruangan yang beraroma apel.
Di lantai dasar aroma keju memenuhi ruangan. Sebuah toko roti sedang mengadakan promosi besar-besaran. Kulihat seorang laki-laki memeragakan cara membuat roti dengan tahapan-tahapan yang jelas. Aku melangkah menuju pintu keluar. Orang-orang tetap memperhatikan aku dan berbisik. Apel. Wangi Apel. Aroma Apel. Apakah mereka tidak salah? Lantai ini dipenuhi aroma keju dari toko roti yang luas itu, begitu semerbak. Tapi mengapa orang-orang mengucapkan kata-kata apel. Siang yang aneh dan aku tak mau terjebak dalam pendengaran yang dikacaukan oleh mereka, orang-orang itu.
Sampai di luar mall aku langsung menyeberang. Sebuah jalan raya yang padat menghadangku secara nyata. Menunggu. Mencoba mencari kesempatan agar aku dapat leluasa berjalan sampai ke seberang sana. Berbagai kendaraan menyeruak, saling merebut posisi untuk selalu menjadi yang tercepat. Tak menghiraukan para pejalan yang akan menyeberang. Sebuah zebra cross terhampar di hadapanku. Panas matahari dan waktu telah memudarkan cat putih yang menjadi batas antara jalan raya dan garis zebra cross. Aku masih bertahan menunggu berkurangnya debit kecepatan berbagai kendaraan itu. Beberapa orang mulai bertumpuk, sama-sama hendak menyeberang. Kemana polisi lalu lintas? Biasanya mereka ada di sekitar sini untuk membantu menghalau kendaraan-kendaraan itu.
Angin berhembus. Bayang-bayang pohon bergerak searah angin yang datang. Makin banyak orang yang hendak menyeberang tapi kesempatan belum ada. Laju mobil-mobil itu begitu cepatnya. Sedikit saja salah mengambil kesempatan pastilah badai klakson memenuhi ruas jalan yang hanya cukup untuk tiga jalur mobil yang bergerak satu arah. Di sekelilingku orang-orang sudah mulai tak sabar. Beberapa orang berbisik tak karuan. Apel. Wangi Apel. Aroma Apel. Aku menoleh ke arah mereka. Lagi-lagi yang kudengar hanya apel. Wangi Apel. Aroma Apel. Aku sudah tidak tahan. Maka kulangkahkan saja kaki. Menyeberang tak memikirkan nyawa yang masih betah di raga. Aku tak habis pikir mengapa orang-orang di sekelilingku selalu mengucapkan kata-kata yang sama.
Di seberang jalan aku harus meneruskan langkah sampai perempatan. Tak jauh hanya lima menit saja aku sudah tiba di tiang lampu merah. Kulihat di seberang sana orang-orang tengah menunggu lampu berwarna merah menyala. Menunggu giliran mereka untuk menyeberang. Melihat mereka yang tengah menunggu aku jadi ingat lintasan peristiwa yang terjadi setahun lampau. Aku berada di seberang sana bersama seorang laki-laki. Menunggu giliran untuk menyeberang. Syailendra nama laki-laki yang bersamaku ketika itu. Lendra - begitu aku mengingat namanya sampai saat ini - begitu erat memegang tanganku. Berkali-kali Lendra mengingatkan aku bahwa dia takut menyeberang. Tak pernah berhasil menyeberangi jalan seorang diri. Seorang laki-laki yang berbeda dengan lelaki lainnya. Sepengetahuanku setiap laki-laki selalu ingin menjaga perempuan di sampingnya saat menyeberang. Tapi Lendra berbeda, dia begitu ingin dilindungi.
Aku selalu mengingatkan Lendra bahwa menyeberang adalah hal yang mudah. Keberanian dapat diasah dengan keterbiasaan. Setiap akhir pekan ketika menghabiskan waktu bersama, aku selalu mengajak Lendra berjalan. Menjelajahi ruas-ruas jalan untuk diseberangi. Sebuah agenda yang disepakati bersama. Sampai akhirnya Lendra dapat menyeberang sendiri. Tanpa harus ada aku atau siapapun di sampingnya. Lendra jadi tahu bagaimana bersiasat saat menyeberang jalan. Maka aku tak khawatir lagi ketika harus membiarkannya sendirian di jalan raya.
Namun berita buruk kudapati ketika Lendra sedang bertugas di luar kota saat mengadakan penelitian untuk studi kuliahnya. Di sore hari yang tenang aku mendengar kabar Lendra tertabrak mobil saat menyeberang. Betapa sedihnya mendengar kejadian tersebut. Hidup Lendra harus berakhir di jalan raya. Kamu tahu, kepergian Lendra adalah kesalahanku. Aku tak menemani saat Lendra menyeberang.
Apel. Wangi Apel. Aroma Apel. Aku tiba-tiba saja tersadar dari lamunanku. Orang-orang yang hendak menyeberang di seberang sana kini telah ada di sekelilingku. Sama-sama menunggu angkutan kota yang akan membawa kami ke arah utara. Apel. Wangi Apel. Aroma Apel. Bisik-bisik itu terasa menggangu. Aku langsung naik mobil yang tiba-tiba saja muncul di hadapanku. Aku tak melihat arah datangnya karena beberapa saat pikiranku mundur ke masa lampau, setahun yang lalu.
Turun dari mobil aku harus berjalan sepuluh menit untuk sampai di rumah. Sebuah pohon belimbing akan menyambutmu jika kamu hendak bertamu ke rumahku. Pohon yang menjadi saksi aku tumbuh sebagai anak yang ceria. Pohon yang aku tanam ketika berusia lima tahun. Ketika itu seorang nenek memberikan bibit belimbing padaku. Aku menanam dan merawatnya sampai saat ini di usiaku yang ke duapuluh tahun. Di samping pohon belimbing bermekaran wijaya kusuma. Bunga yang jika sedang mekar selalu meruapkan aroma yang khas.
Ketika kecil aku selalu mengintip mekarnya wijaya kusuma. Setahuku bunga itu selalu mekar pada tengah malam. Sekitar pukul tujuh malam aku keluar rumah, mencium dan menghirup wangi bunga yang bakal mekar malam itu. Ketika kuncupnya masih mengatup aku selalu minta sesuatu. Pernah suatu ketika aku mengucapkan keinginanku di hadapan wijaya kusuma: jadi anak pintar. Masuk rumah dan mengintip dari balik jendela menantikan bunga itu mekar. Menunggu sampai tengah malam dan akhirnya tertidur tanpa melihat mekarnnya wijaya kusuma. Keesokkan harinya ketika berangkat sekolah, bunga itu telah mekar. Menampakkan kecantikkannya sebagai bunga para raja. Bunga yang dapat membangkitkan orang yang telah meninggal. Bunga yang dikenal sebagai wijaya mala, diperbincangkan oleh beberapa orang sebagai wijaya mulia.
Memasuki ruang tamu aku mendapati aroma apel yang kuat. Aku jadi ingat bisik-bisik orang di mall tadi siang. Ternyata penciuman mereka tidak salah. Aku mencium kedua lenganku, aroma apel muncul dari sana. Membaui kedua kaki, lagi-lagi aroma apel terhirup. Tubuhku beraroma apel. Mengapa keringatku beraroma apel? Aku tak percaya, mungkin penciumanku yang salah. Aku harus segera mandi.
Masuk kamar mandi aku baru menyadari ternyata motif keramik yang menempel di dinding kamar mandi adalah kupu-kupu biru dengan sayap yang sedang mengepak. Memasuki ruang tidur ternyata lukisan yang menempel di dinding adalah sekelompok kupu-kupu yang sedang menyedot madu di antara rimbun bunga-bunga. Memasuki ruang baca setumpuk buku berkisah tentang siklus hidup kupu-kupu. Kain pelengkap ibadahku bermotifkan kupu-kupu. Botol minyak wangi milikku bergambar kupu-kupu. Kamu tahu, yang paling mengherankan adalah ketika minggu ini aku mendapat kiriman buku berjudul Kupu-kupu Bersayap Gelap*. Aku jadi bingung sejak kapan hari-hariku dipenuhi kupu-kupu.
Malam hari aku hanya ditemani sebatang lilin. Aku begitu damai dengan suasana kamar yang remang. Aroma apel memenuhi ruang tidurku. Karena terlampau lelah aku melupakan semua pertanyaan yang tak dapat kujawab. Apel. Wangi Apel. Aroma Apel.
Aku adalah perempuan kupu-kupu yang meruapkan aroma apel. Setiap langkah yang tercipta selalu menghadirkan kepak sayap. Ruang-ruang di rumahku adalah sebuah dimensi yang menceritakan kisah-kisah menawan dan selalu menghadirkan gelak tawa. Senda gurau perempuan lain, ibuku yang kupanggil dengan sebutan Mama..
Di tubuhku terdapat bercak ungu letaknya di telapak tangan. Aku tidak tahu sejak kapan warna ungu itu menempel di tangan kananku. Aku menyadarinya ketika aku telah dapat mengingat. Aku pernah bertanya pada Mama, dia hanya tersenyum dan menjawab singkat: itu warisan dari leluhurmu. Di hari lain Mama pernah mengatakan bahwa bercak ungu itu akan hilang dengan sendirinya ketika aku telah menemukan seseorang yang pantas menjadi pendamping. Maka kutunggu saja waktu di mana seseorang datang dan akan menjadi pendampingku.
Kini ruang-ruang di rumahku dipenuhi berbagai aroma. Aroma sedap malam untuk ruang tidur. Aroma mawar untuk ruang tamu. Aroma jeruk untuk ruang baca. Aroma kopi untuk dapur. Aroma anggrek untuk kamar mandi. Tetapi jika aku mendatangi ruang-ruang itu berbagai aroma menghilang begitu saja tergantikan aroma apel yang meruap dari tubuhku. Kini aku terbiasa dengan bisik-bisik yang selalu terucap dari orang-orang di dekatku. Apel. Wangi Apel. Aroma Apel.
Malam ini aku mendapati situasi yang berbeda. Aku tak dapat tidur. Untuk memejamkan mata saja terasa sulit. Berkali-kali aku membaca buku agar kantuk datang namun tak berhasil. Terasa olehku lelah yang semakin membebat. Ada apa gerangan? Malam telah larut. Aroma apel telah menjelaga di setiap sudut kamar. Aku tak mengerti dengan kondisi tubuhku saat ini. Terlintas bayang-bayang masa lalu, saat aku kehilangan seseorang, ketika aku mendapatkan sesuatu. Apakah demam memerangkap tubuhku. Kulihat bercak ungu di telapak tanganku menghilang sedikit demi sedikit. Kamu tahu, mungkin ini adalah waktuku untuk menjalani fase kehidupan selanjutnya. Bermetamorfosis.
SudutBumi, Oktober 2006
~untuk dua laki-laki yang memiliki satu kesamaan~
Keterangan:
* Kupu-kupu Bersayap Gelap adalah judul buku yang ditulis oleh Phutut EA
**)Sumber,http://sudutbumi.wordpress.com/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar