05/10/08

Ziarah Budaya Itu Bernama Mudik

Tempo, 1 Okto 2008
Nur Faizah*

Fenomena mudik adalah budaya khas setiap tahun masyarakat muslim Indonesia dalam menyambut datangnya Idul Fitri, yang populer dengan sebutan Lebaran. Secara sosiologis, mudik merupakan ajang tamasya budaya dan dalam berbagai sisi memunculkan sirkulasi tata kehidupan. Dalam pelbagai bentuknya, migrasi besar-besaran yang ditimbulkan akibat mudik selalu melahirkan dilema dan problema sosial yang silang sengkarut. Kebiasaan rehat dari kesibukan keseharian bagi orang-orang kota dengan cara menikmati suasana kampung halaman amat membantu mereka mempersegar etos kerja.

Terlepas dari segala dampak yang ditimbulkannya, KH Mustofa Bisri (2007), misalnya, menilai bahwa fenomena tamasya budaya semacam ini adalah wahana strategis untuk menata kembali tata ruang kebudayaan dalam skala yang luas. Masih banyak ruang budaya yang belum terelaborasi dan terjamah oleh tangan peradaban. Ia merupakan peluang bagi pelaku budaya dan kesenian kita agar lebih sudi memperlebar spektrum kebudayaan sebagai lahan hijau dalam menggali gagasan dan inspirasi-inspirasi baru.

Kaum urban yang datang ke kota bermaksud menggantung harapan hidup mereka ke arah yang lebih baik. Pada saat itulah, naluri dan nurani mereka terpaksa bersitatap dengan realitas sosial yang mungkin sama sekali belum pernah terbayangkan di benak mereka sebelumnya. Mereka memiliki kesempatan secara langsung membuktikan bahwa adagium "ibu kota lebih kejam daripada ibu tiri" adalah satire pahit dari kehidupan kota sesungguhnya dan bukan hanya isapan jempol.

Dengan kata lain, aktivitas mudik bukan sekadar lalu lalang perpindahan penduduk yang bergerak massal. Sebaliknya, fenomena mudik tak ubahnya ziarah lintas wilayah yang menuntut manusia (pemudik) berjumpa dengan pelbagai tipe manusia dan karakter sosial yang amat plural. Pada dimensi filosofis, mudik merupakan perlambang kesadaran manusia menjalankan hidupnya dalam satu garis linear (hablun min an-naas) untuk menuju titik pusat transendensi, berupa perlindungan Tuhan (hablun min Allah) serta restu leluhur (ridha alwalidayn).

Tepat di aras inilah, makna hakiki Lebaran sebagai silaturahmi kemanusiaan yang mampu menihilkan noda dan dosa menemukan momentum pembenarannya. Meminjam istilah Mochtar Naim (1999), fenomena kebudayaan seperti ini memiliki potensi memadukan beragam kutub, termasuk persinggungan dinamis antara masyarakat arus bawah dan arus atas. Berawal dari dialektika ini, anasir-anasir konflik dimungkinkan luruh dan menjadi harmoni yang saling mengayomi dan lintas batas.

Berkaca dari kenyataan bahwa ritus mudik adalah safari lintas budaya, kita seakan diingatkan kembali pada panorama serupa yang terjadi di dunia sastra. Fenomena transkulturalisme dalam sastra merupakan wacana lawas yang, dalam konteks ini, penting untuk direnungkan ulang, baik esensi maupun kontekstualisasinya. Sejumlah alasan dapat dikemukakan dalam kaitan ini.

Pertama, karya sastra adalah ruang semesta. Dengan ketajaman dan keliarannya, ia bisa menembus dan melintasi apa saja, termasuk di sini sekat budaya, batas bangsa, tabir agama, hingga tangga-tangga hierarki kasta. Kedua, adanya kecenderungan sementara sastrawan untuk mengabadikan tapak tilas mereka dalam karya sastra. Perjalanan mudik yang melelahkan berpotensi mengendapkan sekaligus mengabadikan kenangan yang menarik selama dalam perjalanan. Ketiga, nyaris tak bisa ditampik bahwa, dengan wataknya sebagai ruang semesta itulah, karya sastra juga telah serta-merta mengekalkan kerinduan seseorang terhadap belahan bumi leluhur yang pernah dihuni dan disinggahi sebelumnya.

Bertolak dari ketiga lanskap di atas, kita bisa menangkap kecenderungan akan tumbuhnya karya sastra sebagai "sarana tamasya" dalam khazanah kesusastraan kita. Konsep transkulturalisme yang digagas Kaplan telah dipraktekkan secara nyata oleh para sastrawan, baik lewat karya sajak maupun roman (prosa). Gejala seperti ini terasa kian kuat manakala dipandang dari sudut otentisitas dan empirisitas karya.

Serupa seorang pengelana (musafir) yang sedang menikmati perjalanan mudik, kepekaan seorang sastrawan ditantang untuk dituangkan dalam bentuk media ungkap yang estetik. Muncul kemudian pertanyaan, bisakah, misalnya, seorang sastrawan hanyut dan melancong sedemikian jauh hingga meninggalkan pijakan muasal (empiris) yang dijejaknya?

Belantika sastra mutakhir kita menunjukkan tidak sedikit para sastrawan yang mampu mengabadikan pengalamannya saat ia menjadi musafir di negeri orang, lalu merasa cemas akan hal itu saat mereka pulang (mudik). Sebutlah antara lain cerpen Mustofa W. Hasyim berjudul Mudik (1997). Cerpen itu bercerita tentang kehidupan menjelang Lebaran di perumahan kumuh di pinggiran rel kereta di Jakarta. Pengarang menggambarkan bagaimana penghuni rumah-rumah di sepanjang rel merasa gelisah setiap kali kereta melintas ke arah timur. Mereka seperti didorong-dorong demikian kuatnya untuk meninggalkan Jakarta menuju ke tempat asal yang lebih damai dan tenteram. Seakan ada yang bergerak-gerak dalam dada, dan seperti terdengar teriakan yang memberi peringatan bahwa mereka memiliki tanah asal, punya masa lampau, kerabat yang sedang menunggu.

Hal yang sama pernah pula dilakukan Umar Kayam (almarhum) lewat cerita pendeknya yang genial dan memukau berjudul Seribu Kunang-kunang di Manhattan. Latar keriuhan kota termasyhur di Amerika, di tangan Kayam menjelma menjadi ramuan cerita yang padat, kuat, dan memikat. Esai-esai reflektif seniman Emha Ainun Nadjib yang terhimpun dalam antologi Dari Pojok Sejarah: Renungan Perjalanan juga termasuk karya dalam kategori ini.

Beberapa amsal di atas kian menandaskan kesimpulan bahwa negeri seberang (baca: di luar kampung halaman) menjadi wahana yang baik dan alternatif dalam mewadahi imajinasi dan kreativitas sastrawi. Dengan demikian, sastra lintas budaya menjadi tidak melulu dipandang sebagai tulisan tentang kampung seberang dari perspektif kampung halaman, namun juga bisa sebaliknya.

Pilihan sastra lintas budaya seperti ini ditempuh sementara orang demi mencari lingkungan yang lebih sunyi, steril, dan aman sehingga memungkinkan tersaji pengalaman dan harapan secara lebih jernih, berani, dan elegan. Demikian halnya dengan tradisi mudik.

Demi semangat berbagi dan bersua dengan sanak famili, saban tahun pemudik menjalankannya dengan kelegaan hati kendati harus menempuh bentangan jarak yang jauh dan balutan keletihan. Menurut sastrawan Mochtar Lubis, melestarikan kebiasaan sosial seperti mudik ini sama halnya dengan memelihara salah satu akar budaya nenek moyang yang diwariskan sejak zaman megalit lampau.

Karena itu, mudik Lebaran tak ubahnya laku ziarah atas ruang dan waktu, kembali pada roh masa lalu demi menemukan kesadaran tentang kefitrahan manusia, betapapun kaburnya konsep "kefitrahan" itu. Mudik Lebaran di kampung halaman hadir sebagai sesuatu yang berkaitan dengan asal-usul setiap orang. Bagi orang Jawa, misalnya, prosesi mudik Lebaran adalah manifestasi dari keinginan diri untuk merenungkan dan menelusuri sangkan paraning dumadi: mengingat-ingat asal-muasal diri yang dibarengi dengan kesadaran akan nasib yang akan tiba di kemudian hari. Kampung halaman dengan demikian menyimpan berhampar makna simbolis bagi setiap orang yang hendak mencari dan menemukan kembali jejak-jejak awal sejarah dirinya.

Di kampung halaman inilah manusia bisa kembali bersahabat dengan "ruang" dan "waktu". Ruang betul-betul menjadi lokus di mana manusia urban kembali menghayati waktu dalam bentuknya yang utuh dan komplet dalam tiga dimensi: masa lalu, masa kini, dan masa datang. Manusia urban bisa kembali menapaki tetapak masa silam yang telah terlewat dan yang telah membentuk sebagian besar kediriannya. Di titimangsa itulah kemudian masa kini hadir sebagai sebuah persambungan sejarah, yang dari sana tiap orang bisa mengukur kembali segenap laku hidupnya: sudahkah cita-cita dan harapan yang dianyam sejak dulu itu tercapai?

Meski saat ini mudik cenderung dikemas sebagai "komoditas" sosial dalam kemasan modern yang semakin hari kian termodifikasi dalam banyak versi, pesan kemanusiaan ritual mudik sejatinya sebanding dan bisa ditarik sealur dengan spirit sastra lintas budaya. Keduanya telah mengingatkan kita bahwa "sejauh-jauh manusia dan sastra berkelana, toh akhirnya tetap akan pulang jua". *

*) Mahasiswa Agama dan Lintas Budaya Pascasarjana UGM, Yogyakarta

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita