30/01/21

Jalan Keluar

Khansa Arifah Adila *
 
Ia mengurangi kecepatan mobil, menginjak kopling, mengalihkan gigi tiga ke gigi dua, lalu mengarahkan setir ke pekarangan rumahnya. Mesin mobil terdengar tersendat dan sedikit meraung. Ia tahu, pasti persenelingnya bermasalah lagi. Ia selalu kesulitan setiap akan memindahkan gigi. Seret, seperti ada yang menyangkut, dan mesin mengeluarkan suara bagai batuk berdahak. Seharusnya ia membawanya ke bengkel. Tetapi tidak bisa. Jatah untuk perawatan dan perbaikan mobil bukan lagi prioritas walaupun nafkahnya tergantung pada kendaraan tua yang dibelinya dua tahun lalu itu.
 
Dari dalam rumah, anak lelakinya yang berusia tiga tahun menghambur keluar dan bersorak menyambutnya. Bagi anak itu – seperti semua anak kepada ayahnya – ia adalah pahlawan super. Ia hafal suara mesin mobil ayahnya dan selalu setia menyambutnya dengan keriangan yang tak pernah berkurang sedikit pun.
 
Kali ini anak itu meniru suara mesin mobilnya yang tersendat-sendat. Petang jadi  riuh oleh paduan suara itu. Mak Enab, istri Mang Koblan tetangga depan rumah, tertawa kecil menyaksikannya.
 
Kini ia memasuki garasi di samping rumahnya dan parkir di situ. Garasi itu sederhana saja, terbuat dari tiang kayu dan atap seng tanpa dinding. Mungkin itu lebih tepat disebut kandang, kandang mobil. Di sepanjang garasi atau kandang itu, persis di bawah cucuran atapnya, ditanami  jahe merah,  kunyit, dan cabe secara berselingan. Dan di belakang keduanya ditanam singkong. Istrinyalah yang menanam.
 
Ia membuka pintu mobil dengan sentakan dan mendorongnya dengan kuat dan menutupnya dengan bantingan keras. Harus begitu sebab pintu tersebut sudah tak lagi berfungsi sempurna sejak dibelinya dulu. Istrinya muncul dari dalam rumah dan segera menggendong anaknya. Mereka masuk rumah beriringan. Ia tersenyum pada anaknya, “Nanti ya, Ayah mandi dulu.”
 
Di rumah, ia merogoh saku dan menyerahkan hasil tarikan hari itu pada istrinya.
“Berapa?” tanya perempuan itu.
“Hitunglah.”
 
Istrinya menurunkan si kecil dan mengingatkannya untuk tidak mendekati ayahnya dulu. Anak itu menurut, duduk di kursi depan televisi. Ia tidak menonton Sponge Bob tetapi memandang ayahnya dengan senyum mengembang bagai spons. Sementara ibunya sigap menghitung lembar-lembar uang. “Dari pagi hanya segini?” ia menatap suaminya. Keningnya mengerut, mulutnya merengut dan hati suaminya menciut. Lelaki itu hanya melengos sambil mengeluarkan ponsel, meletakkannya dekat televisi, kemudian bergegas ke kamar mandi, “Handuk, Dik,” pintanya dalam gumam.
 
Wabah ini seperti tetesan zat pewarna yang dilarutkan dalam segelas air putih, menyebar begitu cepat dan mengubah total keadaan semula. Ia yang biasanya membawa angkutan umum saban hari mendadak kehilangan penumpang, terutama anak-anak sekolah. Kalau dulu mendapatkan seratus ribu sehari semudah menciduk air bak dengan gayung, sekarang mendapatkan lima puluh ribu saja bagai menimba air di sumur saat musim kemarau.
 
“Bang!” panggil istrinya depan pintu. Ia membuka pintu sedikit, hanya untuk meloloskan handuk yang disodorkan. Sekilas dilihatnya wajah perempuan itu. Tumben ia tak terlalu lesu. Padahal tiga puluhan ribu yang ia berikan tadi tentu tak bisa membuat semangat menyala.
 
“Barusan Bang Munzir telepon, katanya soal kerjaan. Teleponlah balik kelak,” lapornya. Ah, pantas saja, ia menyimpan harapan. Lelaki teman SMA-nya itu bekerja di tambang timah milik swasta. Apakah ia akan ditawari bekerja di sana?
 
Usai mandi, ia segera mengambil ponsel, mencari nama Munzir dan menekannya. Setelah basa-basi sejenak soal kabar keseharian, kawannya itu menawarinya pekerjaan, bukan di lokasi tambang timah konvensional tempatnya dulu bekerja melainkan di kapal isap tambang timah milik swasta. Hal yang kini sedang ramai dibincangkan sebab selain relatif banyak, kapal-kapal itu beroperasi di laut kawasan wisata. Kini kawannya itu bekerja di sana. Ia bertugas mengawasi mesin penyortir bijih timah dan pasir.
 
“Sekarang sedang dibutuhkan pengawas mesin keruk,” kata lelaki itu.  Ia menjawab akan mempertimbangkan tawaran itu dengan serius.
“Kau sedang butuh pekerjaan baru, Zul.”
“Ya. Kubicarakan dulu dengan istriku.”
“Kurasa dia pasti setuju. Kutunggu jawaban secepatnya,” Munzir menutup pembicaraan tepat azan maghrib sayup terdengar.
***
 
Di meja makan yang hanya terhidang nasi, sambal, telur dadar, dan rebusan pucuk daun singkong – yang diambil dari halaman rumah – istrinya menatapnya dengan mata ingin tahu,  “Apa kata Bang Munzir, Bang?”
 
Ia mengambil daun singkong rebus, mencocolnya dengan sambal di tepi piringnya, dan mulai makan dengan lahap. Anak lelaki yang duduk di sebelahnya rewel minta ikan goreng. Perhatian perempuan itu teralihkan. Ia makan secepat-cepatnya.       
 
Tinggal di pesisir pantai membuat mereka terbiasa makan ikan. Ikan relatif murah dengan kesegaran yang terjamin. Sisik ikan yang hijau keperakan dengan mata jernih akan menjadi santapan yang gurih dan manis saat dimasak dan disajikan di meja makan.
 
Meskipun sesekali tetangga yang melaut memberi cuma-cuma tangkapannya, mereka harus tetap tahu diri dengan membelinya, sekalipun dengan “harga tetangga” yang jauh lebih murah. Itulah masalahnya. Sejak wabah menyerbu dan orang-orang lebih banyak berdiam di rumah, mereka jadi kesulitan mencukupi kebutuhan hidup. Jangankan ikan, sekadar bisa memastikan beras dan gas untuk memasak tetap tersedia pun sudah harus bersyukur.
 
Terlepas dari kesulitan yang mereka hadapi, para tetangga yang menggantungkan hidupnya pada laut pun akhir-akhir ini menghadapi masalah pelik. Ikan-ikan jadi payah didapat. Sejak kapal isap bermunculan, air laut jadi keruh dan dangkal, terumbu karang banyak yang mati, dan ikan-ikan menghilang. Mereka harus berlayar lebih jauh mencari ikan dan itu artinya lebih dekat dengan maut. Apalagi di musim angin kencang seperti saat ini.
 
Setelah makan malam, istrinya mendiamkan si kecil yang masih rewel. Ia memutuskan pergi ke warung dekat rumah, bermaksud membeli jajanan untuknya. Di luar angin berembus meniup daun-daun jahe merah yang ditanam berjajar sepanjang teras. Ia melangkah cepat dengan tangan mendekam di saku celana.
 
Setiba di warung, sepintas ia dengar orang-orang membicarakan soal kapal isap yang mendapat izin beroperasi di laut kawasan wisata. Seseorang mempertanyakan soal izin yang dikeluarkan pemda itu. “Ya bisa saja. Kapal-kapal itu milik “orang Jakarta” dan asing. Asal duit masuk, apapun diizinkan,” ucap Ikbal. Orang-orang daerahnya menyebut para pejabat tinggi atau pengusaha besar yang berdiam di Jakarta dan memiliki hubungan dengan para pejabat tinggi negara sebagai “orang Jakarta”.
 
Ikbal adalah anak Haji Kipli, juragan ikan. Rumahnya berkelang lima rumah dari rumahnya. Ia mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Jawa. Sudah setahun ini pemuda itu di kampung, kuliah daring. Ikbal salah satu orang yang berani memprotes kehadiran kapal-kapal isap itu secara terbuka. Cepat-cepat ia membayar belanjaan: sebungkus mie instan, dua batang sosis murah, dan enam bungkus permen, Lalu bergegas pulang.
 
Di teras, istrinya sudah menunggu. Ia duduk di bangku memangku anak lelakinya yang masih menangis. Di meja sebelah bangku sudah ada secangkir air jahe hangat. Tinggal di kawasan pantai dengan sebagian besar bekerja sebagai nelayan membuat warga – termasuk dirinya – terbiasa menghangatkan diri dengan minuman tersebut selain kopi. Hampir tiap orang memelihara tanaman jahe merah di pekarangannya.
 
Ia menyodorkan sebungkus permen pada anaknya dan menjejalkan yang lain ke saku celananya. Tangis anak itu reda. Sambil menyerahkan kantong hitam belanjaan pada istrinya, ia mengambil anaknya dari pangkuan sang ibu dan berharap perempuan itu segera masuk ke dapur dan memasak mie untuk anaknya. Tapi perempuan itu malah memanggil Aida, anak sulung mereka, untuk membawa belanjaan. “Simpan untuk lauk besok,” perintahnya.
 
“Dia masih lapar,” katanya seraya memandang anak lelakinya yang sibuk membuka bungkus permen. Istrinya mengatakan bahwa anak itu bisa tenang dengan permen yang ia belikan dan ia membantahnya. “Kalau begitu dia harus mendapat makanan yang lebih baik,” tukas perempuan itu.
 
Ia menarik napas dan mengembuskannya dengan lesu, menurunkan anaknya, dan duduk di sisi istrinya. Anak itu berlari masuk rumah. Kini mereka bak sepasang pengantin di pelaminan. Kalau dulu duduk berdampingan dengan sedikit canggung dan malu karena ditonton banyak  undangan, kali ini canggung dan bingung lantaran tuntutan hidup.
“Kapan Abang mulai kerja sama Bang Munzir?”
“Dia mengajakku ke kapal isap,” ujarnya pelan.
 
Perempuan itu cepat menoleh kepadanya lalu perlahan kembali memandang lurus ke depan. Daun-daun kelapa di halaman  rumah tetangga berkilauan ditimpa sinar bulan dan bergoyang ditiup angin. Daun-daun jahe merah di depan mereka tetap tegak dengan ujungnya yang lancip. Sebagian umbinya pastilah sudah direbus istrinya dan airnya sudah dalam cangkir yang dihidangkan untuknya. Ia meraih cangkir dan menyeruput isinya. Tenggorokannya terasa hangat.
 
“Bulan itu seperti liontin emas,” ucap istrinya.
“Kau telah menjual cincin emasmu hampir setahun lalu.”
“Itulah gunanya perhiasan emas.”
“Mungkin aku tak akan bisa menggantinya lagi.”
“Aku yakin bisa.”
Ia menggaruk belakang telinga.
 
“Aku  tak bisa terus berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, Bang.”
“Dunia memang sedang tak baik-baik saja.”
“Aku tak peduli dengan dunia. Yang kupedulikan hanyalah kita.”
“Ikan-ikan di laut juga bagian dari kita.”
“Kita bisa menggantinya dengan ayam.”
“Tapi anak kita lebih suka ikan. Kau tak bermaksud mengganti anak kita’kan?” ia mencoba melucu. Tetapi perempuan itu menatapnya dengan mata bara.
 
“Kapal-kapal itu membawa berkah juga. Aku yakin, kalau orang kecil seperti kita bisa tertolong, pasti lebih banyak lagi yang terselamatkan. Tetangga-tetangga bisa kita ajak juga kelak. Pemerintah tak mungkin sengaja menelantarkan rakyatnya.”
 
Ia memandang daun-daun jahe merah. Di antara helai-helainya yang segar hijau, wajah para tetangga yang acap memberi ikan secara cuma-cuma atau menjual dengan harga murah berlintasan serupa wajah-wajah di lembaran buku. Mang Koblan dan istrinya yang dianggap anak-anaknya sebagai kakek nenek mereka sendiri, Mak Marti tukang urut – istri Mang Sapar – yang sering mengurutnya jika pegal-pegal dan masuk angin saat narik angkot, Muis yang kerap dimintai tolong memperbaiki ini itu, Haji Kipli yang tak pernah keberatan meminjami uang,  adalah beberapa dari nelayan tetangga yang bertahun-tahun ikut mengisi lembaran hidupnya sekeluarga.
 
Mungkin mereka bisa juga bekerja di kapal-kapal itu. Tetapi tidak semuanya. Kalau pun semua bisa ditampung bekerja di sana, apakah akan selamanya? Setelah kapal isap berhenti beroperasi, bagaimana nasib mereka? Sebagaian dari mereka tak punya keahlian apapun selain menangkap ikan di laut sebagai nelayan konvensional.
 
Angin bertiup kencang, dan langit kosong tanpa bintang, dan bulan purnama yang keemasan bagai ditusuk-tusuk daun-daun pohon kelapa milik tetangga. Pandangannya kembali jatuh ke dedaunan jahe merah di depan mereka. Lama ia tercenung. Kemudian ia meraih cangkirnya, membauinya penuh nikmat sebelum menyesapnya. Ia tersenyum dan memandangi istrinya yang masih termenung melihat bulan. Ia merasakan kehangatan air jahe memenuhi tenggorokannya, menjalari dadanya, dan mengendap di sana. Ia merasa telah menemukan jalan keluar untuk masalah mereka.                                                           
Sungailiat, Bangka, 29 Jan 2021
 
*) KHANSA ARIFAH ADILA, 30 Mei 2000. Mahasiswa Sastra Inggris, FIB Unand. Bergiat di Lapak Baca Pojok Harapan, Padang dan Hutan Litersasi, Sungailiat, Bangka. Ketua Bidadang PP HMI Komisariat FIB Unand. http://sastra-indonesia.com/2021/01/jalan-keluar/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita