Tulus S *
Sebuah kenyataan bahwa pengertian kebudayaan beragam dan masing-masing belum tentu bisa diterima semua pihak sehingga setiap orang kadang bisa memberikan makna menurut selera masing masing. Namun demikian sebenarnya sangat mudah menemukan benang merah yang menghubungkan kebudayaan dalam arti luas, kebudayaan nasional dan kebudyaan Jawa. Ketiganya memiliki status dan role yang berbeda, relative tidak bertentangan tetapi justru saling memberi konstribusi dalam pembangunan karakter bangsa.
Kebudayaan dalam arti luas sebagai cultural system selain menjadi kerangka dasar kebudayaan Jawa, juga memberi pengaruh terhadap perkembangan kebudayaan Jawa. Dengan demikian kebudayaan Jawa sesunguhnya adalah bagian dari kebudayaan dalam arti luas. Kebudayaan Jawa sejatinya adalah kebudayaan etnik Jawa atau etnik lain yang menjadikan sistem nilai Jawa sebagai pedoman hidupnya. Dalam posisi ini kebudayaan Jawa jelas-jelas merupakan bagian dari kebudayaan nasional dengan peran yang saling melengkapi.
Tradisi merupakan tata cara, adat istiadat, perilaku atau kebiasan yang dilakukan di dalam masyarakat tertentu dan berlaku secara turun menurun. Sejalan dengan perkembangan jaman sebuah tradisi di dalam masyarakat bisa mengalami pergeseran atau perubahan karena adanya pola pikir manusia itu sendiri. Oleh sebab itu seharusnya tradicional culture studies (kajian budaya tradisi) harus dikembangkan lebih baik. Yaitu sebuah formasi diskursif yang merupakan sekumpulan (formasi) tentang gagasan, citra, dan praktik yang menyediakan cara-cara untuk mengungkapkan tentang pengetahuan dan tingkah laku yang terjadi dalam sebuah komunitas masyarakat. Kajian budaya tradisi adalah bidang yang dikemukakan tentang perspektif dari disiplin lain untuk meneliti hubungan-hubungan antara budaya tradisi dengan hal yang terkait misalkan religiositas, kekuasan, ajaran luhur dan lain sebagainya. Kajian budaya tradisi membahas tentang praktik-praktik serta sistem klasifikasi yang memungkinkan tertanamnya nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, kompetensi-kompetensi, rutinitas kehidupan yang terjadi pada populasi masyarakat tertentu. Dengan begitu kelestarian dan keidentitasan lokal sebuah tradisi bisa dibangun dan dikembangkan sebagai pola pertahanan kebudayaan. Sebuah contoh budaya tradisi yang muncul di kalangan petani, umumnya berhubungan dengan prosesi dan aktivitas mereka ketika bercocok tanam, dari mulai menanam sampai panen. Kondisi tanah yang berubah karena musim kemarau panjang datang, akan melahirkan perasaan-perasaan senasib dan rasa kegotongroyongan yang kuat. Demikian juga, kegundahan dan kegembiraan yang menyatu dengan lingkungan sekitar yang kemudian melahirkan berbagai budaya tradisi sebagai wujud berserah diri kepada Sang Pencipta.
Masyarakat Indonesia yang telah mengalami sebuah pergeseran tatanan tentu harus mau menengok kembali tentang konsep-konsep budaya tradisi yang telah menjadi embrio daripada budaya nasional. Wacana seperti ini tentu tidak hanya untuk dibayangkan saja ataupun dibicarakan melulu, namun peran serta dari semua pihak dalam penggalian dan pengembangan sangat diperlukan. Memang konsep kajian budaya tradisi merupakan sebuah tantangan yang harus dihadapi. Kelompok budayawan tradisi dan para pelakunya memang harus mampu mengukuhkan jati dirinya agar tidak dipolitisir oleh sebuah kekuasaan. Namun bisa menjaga eksistensi tentang sebuah nilai-nilai yang terkandung dalam budaya tradisi tersebut.
Budaya tradisi di Indonesia semakin lama kelihatannya semakin hilang dan di antaranya memang mengalami kepunahan. Hal ini bisa kita lihat adanya sebuah perubahan atau pergeseran pada populasi masyarakat budaya tradisi. Perubahan yang terjadi bisa dipengaruhi oleh kependudukan (migrasi), paham, ekonomi dan pola pikir masyarakat itu sendiri. Hilangnya sebuah budaya tradisi akan berpengaruh juga terhadap hilangnya identitas, karakter, kearifan lokal, seperangkat sistem pengetahuan tradisi juga nilai-nilai luhur budaya yang sangat berharga. Dengan fungsi dan perannya yang begitu penting, keberadaan budaya tradisi harus dikelola dengan baik dan bertanggung jawab agar tidak terjadi kepunahan. Dari aspek ketahanan budaya, salah satu yang mungkin dapat dilakukan untuk mengimbangi derasnya arus budaya asing negatif adalah membangkitkan budaya tradisi di dalamnya mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang masih dijunjung tinggi oleh masyarakat untuk dikembangkan sebagai unsur kebudayaan nasional. Di samping harus terus-menerus mengembangkan kualitas sumber daya manusia yang ada. Nilai-nilai tradisi dalam budaya Jawa yang masih dijunjung tinggi sebagai nilai kearifan lokal diharapkan dapat menjadi salah satu unsur pembangun kebudayaan nasional dan menahan derasnya arus budaya asing negatif. Beberapa nilai tersebut terutama yang berkaitan dengan sikap religios, sikap pribadi, dan sikap sosial. Ketiga sikap tersebut, jika dikembangkan secara baik akan mampu menjadi salah saatu unsur pengembang budaya nasional dan penahan pengaruh budaya asing negatif yang terus mendera budaya Indonesia.
A. Folklor dalam Masyarakat Jawa
Folklor berasal dari kata majemuk bahasa Inggris folklore yang terdiri atas kata folk dan lore. Kata folk berarti kolektif atau kebersamaan. Kata lore berarti tradisi yang diwariskan secara turun temurun. Dengan demikian definisi folklore secara keseluruhan adalah tradisi kolektif sebuah bangsa yang disebarkan dalam bentuk lisan maupun gerak isyarat sehingga berkesinambungan dari generasi ke generasi. (Dananjaya, 1984;2).
Menurut Wininkc 1961 (Purwadi; 2009;1) di dalam bukunya “ Dictionary of Anthropology “ dijelaskan bahwa folklore adalah the common orally transmitted, myths, festival, songs, superstition and of all poples, folklore has come to mean all kind of oral artistic expression. It may be found in societies. Originally folklore was the study of the curiousities. Folklor meliputi dongeng, cerita rakyat, kepahlawananan, adat-istiadat, lagu, tata cara, kesusastraan, kesenian dan busana daerah. Masing-masing merupakan milik masyarakat tradisional secara kolektif. Perkembangan folklore mengutamakan jalur lisan. Dari waktu ke waktu bersifat inovatif atau jarang mengalami perubahan.
Di daerah pedesaan folklore masih sangat terlihat jelas. Kebudayaan tradisi masih sangat dijunjung oleh masyarakat, walau ada yang mengalami pergeseran. Oleh sebab itu karena folklore adalah milik bersama maka secara bersama pula seluruh anggota masyarakat harus menjaga, melestarikan warisan tradisi yang telah ditinggalkan oleh para leluhurnya. Tidak ada sifat egoisme yang ingin memonopoli atau mengklaim bahwa warisan tersebut adalah kepemilikan individu. Dengan secara bersama merasa memiliki dan berkewajiban melestarikan maka akan timbul rasa solidaritas di antara sesama masyarakat. Rasa kebersamaan inilah yang mewujudkan kehidupan yang guyub rukun ayem tentrem. Dalam salah satu bentuk folklor adalah acara bersih desa, nyadran atau metri desa yang bertujuan untuk membersihkan secara lahir maupun batin agar ketentraman bisa tercapai. Pada acara tersebut sangat terlihat perilaku ritual mistik (mistik kejawen) dengan harapan bahwa keadaan desa tetaplah aman tidak ada gangguan apapun dan tercukupi segala kebutuhan hidup dengan baik.
Menurut Sudjiman (2009;29) folklor adalah kepercayaan, legenda dan adat istiadat suatu bangsa yang sudah diwariskan secara turun temurun dengan cara lesan atau tertulis. Folklor tersebut dapat berupa tembang, cerita, paribasan, teka-teki (bedhekan), juga dolanan anak-anak. Sedangkan menurut Moeis (1988;127) folklore dapat berwujud kepercayaan, adat-istiadat dan upacara-upacara yang ditemui di dalam masyarakat dan juga sesgala sesuatu yang dibuat manusia berkaitan dengan kehidupan spiritual, misalnya larangan agar tidak melakukan sesuatu karena dianggap bertentangan dengan norma kehidupan.
Berdasarkan penjelasan di atas, bisa dikatakan bahwa sebenarnya folklor merupakan bagian kebudayaan tetapi berbeda dengan kebudayan lainnya.
Menurut Dananjaya (1986;3) folklor mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengan kebudayaan lainya, yaitu;
1. Pada umumnya diwariskan secara lesan (diceritakan) secara turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya.
2. Bersifat tradisional artinya dikembangkan dengan perwujudan yang sama atau sudah menjadi standard (baku).
3. Mempunyai versi yang bervariatif karena cara penyebarannya dengan cara lesan, dari mulut ke mulut.
4. Bersifat anonim artinya siapa yang membuat atau menciptkannya sudah tidak diketahui lagi.
5. Bermanfaat dalam kehidupan bermasyarakat.
6. Bersifat prologis, artinya mempunyai logika yang berbeda yang kadang-kadang tidak sesuai dengan logika pada umumnya.
7. Menjadi hak milik orang banyak (kolektif).
8. Umumnya bersifat polos sehingga terkesan kasar (spontan).
Menurut Harold Brunvand, ahli folklor dari Amerika Serikat, folklore bisa dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu (1) folklor lesan (verbal folklore), (2) folklor bagian (satengah) lesan (partly verbal folklore), dan (3) folklor lain-lainnya (non-verbal folklore) (Brunvand, 1968:2-3; Danandjaja, 1986:21).
1. Folklor lesan yaitu folklor yang wujudnya memang murni lesan. Yang termasuk folklor lesan seperti kata-kata atau ungkapan tradisional, cerita rakyat (dongeng, mite, legenda).
2. Folklor sebagian (setengah) lesan yaitu folklor yang wujudnya campuran antara bagian lesan dan yang bukan lesan. Yang termasuk folklor bagian (setengah) lesan seperti kepercayaan rakyat, dolanan rakyat, tari rakyat, adat-istiadat, upacara pesta rakyat.
3. Folklor bukan lesan yaitu folklor yang wujudnya bukan lesan. Yang termasuk folklor bukan lesan misalnya berwujud rumah asli rakyat, lumbung padi, kerajinan tangan rakyat, pakaian rakyat, makanan dan minuman khas rakyat, obat-obatan tradisional, dan isyarat tradisional pertanda bahaya.
Folklor lesan, yang khusus termasuk cerita rakyat, dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu mite (myth), legenda (legend), dan dongeng (folktale) (Bascom, 1965:4).
Penjelasan singkat sebagai berikut;.
1. Mite, umumnya menceritakan terjadinya seluruh alam, dunia, wujudinya topografi, pertanda alam, dan lain-lain. Mite juga menceritakan petualangan para dewa, cerita perang, hubungan kekerabatan, cerita cinta dan lain-lain
2. Legenda, berwujud cerita rakyat –yang cirinya hampir sama dengan mite, yaitu dianggap benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap sucisuci. Legenda juga menceritakan cerita rakyat mengenai pelaku (tokoh), kejadian (peristiwa), atau tempat-tempat tertentu yang mengaitkan anatara kenyataan sejarah (fakta historis) dengan mitos (Sudjiman, 1986:47).
3. Dongeng, berwujud cerita rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi dan tidak dibatasi oleh waktu dan tempat. Dongeng merupakan cerita tentang makhluk khayali. Makhluk khayali yang menjadi pelaku dongeng biasanya diperlihatkan sebagai pelaku mempunyai kebijaksanaan atau kekuatan kangge mengatur masalah manusia kanthi yang bermacam-macam. (Sumarlam; makalah KBJ 2011)
Pengkajian folklore Jawa yang dilakukan oleh para ahli telah melahirkan beragam kesimpulan berbobot. Bentuk folklor pun beraneka rupa. (Dananjaya;1986;21). Bentuk folklor lisan misalnya logat, julukan, pangkat dan title. Dalam formula ungkapan tradisional dikenal adanya paribasan, bebasan dan saloka. Sedangkan dalam netrum lagu muncul sekar ageng, macapat dan dolanan. Dalam sajian tari-tarian terdapat tayuban, joged dan kuda lumping. (Purwadi;2009;4). Ungkapan Jawa terinci dalam banyak jenis, diantaranya berupa: wangsalan, parikan, sanepa, tembung entar, paribasan, bebasan, dan saloka. Ungkapan-ungkapan ini memiliki penanda khas untuk membedakan antara yang satu dengan yang lain. Agar dipahami bedanya, berikut akan diuraikan pengertian masing-masing ungkapan tersebut. Yang pertama adalah wangsalan, wangsalan itu adalah ungkapan yang ungkapan sejenis tebakan atau teka-teki yang jawaban atau tebakannya berupa suku kata tersamar di dalam tubuh ungkapan itu sendiri (Padmosoekotjo, 1960:6). Contohnya: pindhang lulang kacek apa aku karo kowe. Kunci jawaban dari wangsalan tersebut terletak pada kata kacek jatuh pada suku kata cek yang merupakan penggalan dari kata krecek atau nama lain dari pindhang lulang. Pada ungkapan ini pendengar dituntut mampu mencari padanan kata teka-teki dalam suku kata yang menjadi kunci jawaban.
Ungkapan berikutnya adalah parikan. Parikan adalah ungkapan yang memiliki aturan persajakan, sampiran, isi, dan jumlah baris yang dibutuhkan (Padmosoekotjo, 1960:16). Contohnya: iwak bandeng karo yuyu, priya gantheng ning ra payu. Larik satu pada ungkapan tersebut merupakan sampiran, sedangkan larik ke dua adalah isinya. Larik satu berakhir bunyi u demikian pula larik ke dua harus berakhir u.
Sanepa adalah ungkapan yang berfungsi untuk menggambarkan siatuasi atau keadaan secara berlebih atau menyangatkan dengan cara pengandaian. Contohnya: arang wulu kucing. Ungkapan ini menggambarkan keadaan hutang seseorang yang tersebar dibeberapa orang, karena banyaknya diandaikan bulu kucing saja masih renggang, sehingga hutangnya benar-benar sangat banyak dan pada banyak orang. Ungkapan berikutnya adalah tembung entar. Tembung entar adalah ungkapan yang maknanya kiasan, berbentuk perumpamaan, dan berfungsi untuk menyindir tingkah laku atau sifat seseorang. Contohnya: Ora katon dhadhane artinya penakut, atau tidak berani bertemu muka/pengecut.
Paribasan adalah ungkapan yang digunakan secara ajeg/ tidak boleh diganti, serta tidak berupa perumpamaan, fungsinya untuk menggambarkan keadaan, tingkah laku atau kehendak seseorang. Contohnya: ana catur mungkur artinya orang yang tidak mau mempedulikan gunjingan orang, atau orang yang tidak peduli dengan omongan orang yang tidak baik dan tidak bertanggung jawab. Ungkapan yang lain adalah bebasan. Bebasan merupakan ungkapan yang berisi perumpamaan, diungkapkan secara ajeg, dan berfungsi untuk mengungkapkan keadan dan tingkah laku orang yang digambarkan. Fokus perumpamaan terletak pada tingkah laku dan keadaannya. Contohnya: Sandhing kirik gudhigen artinya orang yang bergaul dengan orang jahat pasti akan ikut berperilaku tidak baik.
Saloka adalah ungkapan yang menggambarkan perilaku dan keadaan seseorang dengan perumpamaan. Adapun yang dianalogikan/diperumpamakan adalah orangnya. Contonya: kebo nusu gudel artinya orang yang berguru kepada orang yang lebih muda usianya, seperti gudel yang lebih muda dibanding kerbau. Semua ungkapan di atas mengandung kritik yang bersifat membangun, dan disampaikan secara tersamar agar tidak menimbulkan perasaan tidak senang secara orang terhadap orang yang dikritik. Ungkapan diciptakan untuk membentuk keharmonisan dan keselarasan dalam bergaul, bukan sebaliknya menciptakan kegalauan dalam bermasyarakat, karena penyampaiannya yang tidak secara blak-blakan.
Dari sejumlah ungkapan di atas ada yang dijadikan slogan-slogan hidup bermasyarakat, dan dapat dijadikan norma hidup, atau penyemangat hidup damai dan tenteram. Ungkapan-ungkapan yang dimaksud diantaranya: sing salah bakal seleh, becik ketitik ala ketara, mangasah mingising budi, tuman tumanening sepi, sepi ing pamrih rame ing gawe, ngono ya ngono ning aja ngono, aja nganggo aji mumpung serta banyak lagi slogan menarik yang masih relevan untuk diterapkan pada kehidupan masa kini dan disosialisasikan ke generasi berikutnya.
Dalam tatanan peradaban kebudayaan Jawa kita lihat adanya sebuah kultur antara masyarakat pedesaan dengan kultur yang berlaku di negara. Ada ungkapan desa mawa cara negara mawa tata. Di mana sebuah tatanan yang berlaku pada setiap negara didasari pada sebuah hukum atau aturan yang berpijak pada aturan formal. Sedangkan yang terjadi pada masyarakat pedesaan lebih menekankan pada aturan adat tradisional. Negara di Jawa dalam hal peradaban kebudayaannya lebih mengacu pada aturan keraton.
Kebudayaan kraton dipublikasikan melalaui babad atau cerita sejarah (Sartono;1986;3). Sedangkan tradisi pedesaan berupa dongeng, parikan dan tutur lisan sebagai sarana penyebarannya (Purwadi;2009;3). Dipandang dari sudut fenomenologis, baik sastra babad maupun cerita rakyat merupakan konstruk dalam alam pikiran tanpa perbedaan esensial. Pada pokoknya babad merupakan dokumentasi tertulis sedangkan cerita rakyat termasuk sarana komunikasi lisan. Dalam perkembangannya selama berabad-abad kebudayaan Jawa telah mengalami proses yang saling mempengaruhi anatara kultur budaya masyarakat desa dan budaya keraton. Folklor Jawa sesungguhnya merupakan produk dari proses sinkritisasi antara berbagai unsur. Diantaranya karena pengaruh Hinduisme, Budhisme dan Islam yang membentuk sebuah alkuturasi kebudayaan. Proses tersebut amat menguntungkan bagi pembentukan identitas lokal. (Purwadi;2009;3). Sedangkan menurut Saryono (2011;13) bahwa sumber pembentukan nilai budaya Jawa dipengaruhi oleh empat unsur, yaitu (1) Agama; Agama Asli, Hindhu, Budha, Islam, Nasrani dan Kejawen. (2) Sistem budaya ; India, Cina, Asia Barat (Islam), Barat dan Nasional. (3) mistisisme, dan Aliran Kepercayaan-Kebatinan. (4) Kebajikan dan ajaran manusia tertentu.
Niel Mulder menyatakan bahwa masyarakat Jawa mempunyai paugeran (aturan adat), yang mengacu pada ajaran budaya yang tertulis dan tak tertulis. Kehidupan di dunia, kehidupan dalam masyarakat, sudah dipetakan dan tertulis dalam macam-macam peraturan, seperti kaidah-kaidah adat etika Jawa (tata krama), yang mengatur kelakuan antar manusia, kaidah-kaidah adat, yang mengatur keselarasan dalam masyarakat, peraturan beribadat yang mengatur hubungan formal dengan Tuhan dan kaidah-kaidah moril yang menekankan sikap narima (menerima sesuai dengan aturan yang berlaku), sabar, waspada-eling (mawas diri), andap asor (rendah hati) dan prasaja (sahaja) dan yang mengatur dorongan-dorongan dan emosi-emosi pribadi (Niels Mulder 1984:13). Pendapat Mulder memberikan konotasi tentang pandangan hidup masyarakat untuk mengatur dirinya dalam satu ikatan nilai kultural, antara dirinya dengan masyarakat (antar manusia), keselarasan hubungan dengan masyarakat (termasuk alam sekitar), mengatur untuk beribadah dan taat dengan Tuhannya (sikap manembah). Keselarasan hubungan tersebut dalam falsafah jawa disebut sebagai hubungan hubungan vertikal-horisontal antara jagad besar dan jagad kecil. Falsafah Jawa menggambarkan hubungan sistem kehidupan dengan dua macam jagad, yaitu jagad besar (makrokosmos) dan jagad kecil-(mikrokosmos).
Jadi pada dasarnya folklor merupakan identitas lokal yang terdapat dalam kehidupan masyarakat tradisional. Rasa memiliki (handarbeni), mengayomi (hangayomi) sudah menjadi sebuah keharusan yang menjadikan kehidupannya guyup rukun, ayem tentrem. Folklore Jawa memang sangat banyak, hal ini perlu mendapat perhatian dari semua pihak untuk dikaji, dikembangkan dan dilestarikan.
Dalam sejarah kebudayaan justru lewat folklor diuniversalkan sehingga memperoleh tempat di kawasan yang lebih mondial. Epos Mahabarata dan Ramayana sebuah contoh yang sangat jelas. Begitu pula di masyarakat Jawa dengan adanya Babad Tanah Jawa yang merupakan bentuk legimitasi kekuasaan. Hegemoni Mataram atas daerah taklukan perlu adanya integrasi politik. Dinasti Mataram yang sedang memerintah dihubungkan dengan folklore lokal. Misalnya dengan Joko Tarub, Ki Ageng Sela, Ki Ageng Giring, Joko Tingkir, Nyai Rara Kidul dan Sunan Kalijaga. Tradisi kenegaraan dan pedesaan disini terjadi asimilasi dan simbiosis yang saling menguntungkan. Ujung-ujungnya adalah tercapainya keselarasan sosial. (Sartono;1986;5).
Kalau diteliti lebh lanjut ternyata folklor yang menjadi identitas lokal tersebut merupakan kebanggaan kolektif sekaligus wahana untuk melakukan refleksi spiritual. Pada bulan Suro, Ruwah banyak diselenggarakan upacara nyadran, bersih desa. Masyarakat berdatangan ke makam leluhur atau ke punden untuk melakukan selamatan dan mendoakan arwah para leluhur. Upacara ini berlaku dibeberapa wilayah pedesaan yang masih berlaku sampai sekarang.
Dengan begitu folklor sangat bermanfaat bagi monument tradisi lisan yang bisa menunjukakkan identitas kultur lokal. Folklor menampilkan watak dan corak kebudayaan daerah. Historisitas daerah itu dimanesvestasikan dan dengan demikian sekaligus juga karakter atau identitasnya. Historis cultural di wilayah tersebut diungkapkan, maka lewat folkor maka daerah tersebut akan tampil dengan jelas. Folklore mengekalkan pola-pola kebudayaan suatu kelompok masyarakat. Dengan dikaji dan dipelajari akan tahu motif dan arti kebudayaan mereka, sehingga pikiran, tindakan karyanya dapat dipahami pula.
Usaha pelestarian folklor terdapat dalam ungkapan tradisional Jawa, yang merupakan kristalisasi pengalaman, cerminan pikiran, pantulan perasaan masyarakat pendukungnya. Ungkapan tradisional sebagai kalimat pendek yang disarikan dari pengalaman yang panjang. Di dalamnya tertdapat kebijaksanaan kolektif dan kecerdasan sosial ( Sumarti, 1986;4).
Bersambung ke ... http://sastra-indonesia.com/2017/10/kearifan-budaya-tradisi-bagian-ii-nilai-nilai-kearifan-lokal/
dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2017/10/kearifan-budaya-tradisi-bagian-i-folklor-dalam-masyarakat-jawa/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar