Guntur Alam
Koran Tempo, 16 Okt 2011
TAK banyak yang tahu. Ah, mungkin tepatnya, tak ada yang tahu, kalau selain Mary Wollstonecraft Godwin dan kekasihnya, penyair Percy Bysshe Shelley, yang menjadi tamu Lord Byron di musim panas 1816, ada seorang tamu lagi yang menginap di kastilnya malam itu. Kastil megah di tepi Danau Geneva.
Andai, andai saja aku tidak pernah bertemu dengan tamu ketiga Lord Byron itu, mungkin kisah mencekam yang diceritakan tamu ketiga itu akan lenyap selamanya. Ah, kau tahu? Tentu, tentu kau tahu. Di malam musim panas yang tiba-tiba bercuaca buruk itu, Lord Byron mengajak Mary dan Percy untuk berlomba menulis kisah mencekam. Hujan badai yang disertai petir, guntur, dan kilat di luar kastil membuat mereka jenuh karena tak bisa melakukan apa pun di halaman kastil. Telah banyak cerita yang mereka uraikan di depan perapian hingga Lord Byron merasa tak ada lagi cerita menarik. Maka, tercetuslah idenya itu. Berlomba menulis cerita mencekam.
Tentu kau pun tahu, kalau Mary-lah yang memenangkan taruhan dalam menulis kisah itu. Walau sejujurnya, aku pun berani bertaruh, seandainya kisah mencekam tamu ketiga itu diceritakan di depan Lord Byron, Mary, dan Percy, mungkin sekali ia yang jadi pemenangnya. Atau, bila tamu ketiga itu menerbitkan ceritanya dalam bentuk novel (seperti yang dilakukan Mary) dua tahun setelah ia menemukan ide lewat mimpi buruknya di kastil itu, maka bisa jadi pula novelnya akan menjadi termasyhur seperti novel Mary Frankenstein.
Jadi, kisah mencekam apa yang tamu ketiga itu ceritakan?
Seperti halnya Mary yang terjaga dari mimpi buruk di malam berbadai itu, demikian juga tamu ketiga. Namun jika Mary ketika terjaga langsung bergegas meraih kertas dan pena menuliskan mimpi buruknya itu untuk jadi cerita mencekam, tidak demikian halnya dengan tamu ketiga.
Mimpi itu seperti nyata. Tamu ketiga melihat lorong kastil Lord Byron yang ia kenal, berkelok dan senyap, lalu sebuah ruangan pengap. Ia masih merasakan tangannya mendorong pintu itu dan sebuah pemandangan mengerikan terhampar di depan matanya. Ia terkesiap. Terpekik. Dan terengah-engah di atas ranjang. Kilat menggores tajam di jendela kastil, angin yang bersiut ganas mengobrak-abrik gorden seperti liukan tari seorang perempuan di klub-klub liar, dan petir berdentum. Tamu ketiga itu mengelap dahinya.
Lama ia terdiam di atas ranjangnya. Mengatur debar jantung yang kacau-balau. Matanya masih nyalang terarah ke satu titik tembok kastil. Di benaknya, berseliweran tanya: Apa ini cuma mimpi? Atau nyata? Haruskah aku memastikannya? Aku tahu ruangan itu. Aku kenal lorong itu. Dan aku kenal wajah di dalam ruangan itu.
Dan beragam tanya lain tindih-menindih seketika itu juga.
Pada akhirnya, tamu ketiga itu turun dari ranjangnya. Ia mengambil mantel yang tersangkut di dekat pintu, mengenakan alas kaki, dan pelan-pelan membuka pintu kamarnya. Lorong kastil temaram. Tak ada satu pun yang terjaga di malam berbadai itu. Tidak Lord Byron, Mary, Percy, atau pun para budak kulit hitam yang mengurus kastil ini. Mungkin semua terlelap dalam baluran mimpi masing-masing. Mungkin mereka terlelap usai bercinta dengan kekasih masing-masing menjelang tidur tadi.
Ia berjalan pelan di sepanjang lorong kastil. Tujuannya sudah jelas, lorong temaram yang ada di ruang bawah tanah. Tamu ketiga pernah ke lorong itu, ketika di musim dingin bertahun lalu, kali pertama ia menginap di kastil ini. Malam yang diselimuti salju tebal, sedang tuan rumah belum pulang dari pelesirannya. Ia disuguhi anggur terbaik yang dimiliki Lord Byron. Rasa anggur terbaik itulah yang membuatnya mengenal lorong temaram itu. Dan seorang budak kulit hitam yang mengantarnya. Awalnya budak itu tak hendak meluluskan permintaannya, melihat tempat penyimpanan anggur terbaik Lord Byron. Namun, budak itu sadar, kalau orang di depannya adalah tamu kehormatan tuannya. Dan ia tidak ingin mendapat masalah dari tuannya.
Sedikit gemetar, tamu ketiga itu mendorong pintu ruang penyimpanan anggur itu. Gelap menyambutnya. Ia tidak bisa melihat apa pun di dalam sana. Beberapa menit kemudian, barulah ia bisa melihat bayangan tong-tong kayu berisi anggur yang tersimpan. Berjejer. Mata tamu ketiga melihat sekeliling, tak ada sosok yang ia lihat.
Ah, ini pasti hanyalah mimpi buruk, desau hatinya. Ia sedikit menyesali, mengapa ia terlalu bodoh mengikuti mimpi buruknya. Tamu ketiga berniat berbalik dan menutup kembali ruang itu. Tiba-tiba….
“Menara kastil, Tuan. Menara kastil. Rahasia terbesar Lord Byron….”
Seketika lutut tamu ketiga terasa lemas, hanya beberapa senti di depannya, sesosok mengerikan berdiri. Sepasang matanya pecah, bibirnya robek, wajahnya berlumur darah. Ia menyeringai, mengerang, dan terlihat menggapai-gapai ke arah tamu ketiga. Mulut berlumuran darah itu terus meracau. Napas tamu ketiga tersengal. Saat tangan hitam itu hampir menjangkaunya, ia tersadar, dan terburu membanting pintu itu.
Setengah berlari, tamu ketiga menuju kamarnya. Ia menghempaskan tubuh di atas ranjang dan menutup seluruh badannya. Wajah mengerikan itu masih bergentayangan dalam benaknya.
SEPERTI Mary dan Percy yang menginap beberapa malam di kastil Lord Byron, demikian juga tamu ketiga. Bukan lantaran ia berniat mengikuti taruhan yang diadakan Lord Byron kepada Mary dan Percy, walau sekarang ia sudah punya cerita mencekam tentang roh budak Lord Byron yang dihukum cambuk hingga mati itu. Bukan. Bukan itu alasan tamu ketiga.
Entah, mendadak saja tamu ketiga begitu penasaran dengan hantu budak itu. Terlebih, sejak mimpinya yang mengerikan itu. Sejak saat itu, setiap malam, ia selalu bermimpi buruk. Bermimpi melihat hantu budak itu mengerang-ngerang, menjerit, melolong, dan meratapi nasibnya yang malang. Lalu, di ujung mimpi itu. Hantu budak itu selalu mengatakan hal yang sama: Saya mengetahui rahasia terbesar Lord Byron di menara kastil.
Rahasia apa yang diketahuinya sehingga Lord Byron menjatuhkan hukum cambuk sampai mati kepada budaknya itu. Lalu, mengapa kabar lain yang beredar? Kabar yang tamu ketiga ketahui adalah: Lord Byron menghukum mati budaknya lantaran berniat tak senonoh hendak menyetubuhi adiknya, Augusta Leigh. Ah, kepala tamu ketika berdenyut-denyut. Sekali waktu, terbersit niatnya untuk menanyakan hal itu secara langsung kepada Lord Byron. Perihal mimpi buruknya itu. Tapi, tamu ketiga mengurungkan niatnya. Tentu Lord Byron akan mengisahkan cerita yang sama, seperti yang telah beredar.
Semakin tamu ketiga memikirkan mimpi buruknya yang begitu nyata itu, semakin besar hasratnya mengetahui rahasia terbesar Lord Byron di menara kastil itu. Tapi, ia seolah tak berani menguaknya. Bukan pula lantaran ia merasa takut akan Lord Byron. Ada sebab lain, ia tidak ingin mengusik Lord Byron. Dan mati-matian tamu ketiga menikam rasa penasaran yang tumbuh kembang di dadanya.
Pada akhirnya, tamu ketiga menyerah juga. Rasa penasaran itu begitu kuat bercokol di dadanya. Terlebih dengan mimpi buruk yang semakin malam semakin nyata ia rasakan. Ia ingin menguak rahasia besar Lord Byron itu. Ia tak kuasa menahan rasa penasarannya lagi. Tapi, tamu ketiga hendak menemukan versi lain. Bukan versi yang telah diceritakan Lord Byron.
Mulanya, tamu ketiga berusaha mengorek keterangan dari budak-budak yang mengurus kastil ini. Sayangnya, tak ada yang berani membuka mulut lebih lebar. Semua terburu-buru pergi dan menghindar bila tamu ketiga menanyakan tentang budak yang dijatuhi hukuman mati itu. Dan ia berpikir untuk menyerah saja. Mengakhiri mimpi buruk itu dan tidak memperdulikannya. Hingga, di malam yang kembali berbadai itu, tamu ketiga bermimpi yang sama.
“Sekarang, Tuan. Di menara kastil. Ada rahasia besar Lord Byron.”
Tamu ketiga tercekat. Ia ngeri melihat wajah hancur itu kembali berbicara kepadanya. Keringat membasahi pelipisnya. Guntur di luar berdentam, bersahutan dengan petir. Lalu, angin bersiut keras. Hujan telah turun demikian lebat. Suara pepohonan di sekitar kastil yang dicabik-cabik badai seperti jeritan roh dari alam gaib. Mimpi menakutkan itu benar-benar telah mengganggunya.
Sejatinya, tamu ketiga tak ingin memperdulikan mimpi buruk itu lagi. Ia berniat kembali melanjutkan tidurnya, menarik selimut, dan menghabiskan malam berbadai ini dengan meringkuk di atas ranjang. Namun, matanya yang terbuka lebar melihat sesuatu di menara kastil Lord Byron. Jendela kamarnya memang menghadap ke menara kastil itu. Menara itu terlihat terang. Tak seperti malam biasanya yang gelap. Seketika, kata-kata hantu budak itu teringang di telinga tamu ketiga: Rahasia besar Lord Byron.
Tamu ketiga turun dari ranjangnya, menjangkau mantel, dan mengenakan alas kaki. Dengan degup yang tak biasa di dadanya, ia berjalan sedikit tergesa ke menara itu. Lalu, berubah pelan ketika hampir mendekatinya. Di antara salakan guntur dan petir, serta siutan angin dan tempias hujan, tamu ketiga mendengar suara orang. Jantungnya semakin berdebar. Ia menajamkan telinga. Suara-suara di menara kastil itu tak seperti percakapan biasa. Ada suara-suara yang membuat wajahnya memerah dan sesuatu bergerak di balik celana. Dan ia nyaris terpekik begitu melihat yang terjadi di sana: Lord Byron tengah bergumul dengan adiknya, Augusta Leigh!
SEPERTI yang tamu ketiga ceritakan padaku, malam itu juga ia mengambil seluruh barangnya dari dalam kamar, lalu membangunkan budaknya yang terlelap di bersama budak-budak Lord Byron lainnya, dan menerobos hujan badai. Rahasia terbesar itu terlalu menakutkan baginya ketimbang hantu budak yang saban malam hadir di mimpinya.
Mungkin, bila tamu ketiga menuliskan cerita mencekam yang awalnya ia dapatkan juga dari mimpi serupa Mary, bisa jadi ia yang memenangkan taruhan itu. Atau bisa jadi pula, novelnya akan melegenda seperti novel Mary. Sayangnya, tamu ketiga merasa mimpi itu terlalu buruk untuk diceritakan. Dan mungkin, bila aku tidak bertemu dengan tamu ketiga di sebuah bar yang masih buka saat hujan badai malam itu di mana kami minum bersama sampai mabuk dan ia menceritakan kisah mencekamnya itu, maka tak akan ada yang tahu, kalau selain Mary dan Percy, ada tamu ketiga yang diundang Lord Byron untuk menginap di kastilnya tepi Danau Geneva pada musim panas 1816.
C59, 6 Oktober 2011
Guntur Alam lahir di Tanah Abang, Muara Enim, 20 November 1986. Alumnus Teknik Sipil Universitas Islam ’45, Bekasi, ini kini menetap di Bekasi, Jawa Barat.
Dijumput dari: http://rumahsastraindonesia.wordpress.com/2011/10/16/tamu-ketiga-lord-byron/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar