Arif Hidayat *
http://www.lampungpost.com/
Sastra adalah wacana yang menampilkan realitas—sekaligus realitas itu sendiri—, tapi sastra juga berada di bawah pemosisian wacana, sebagaimana yang pernah dibicarakan Pierre Bourdieu dalam membaca sastra secara sosiologis, yang dilakukan di Prancis, untuk melihat relasi sastra dan posisinya dalam arena kultural.
MENURUT Bourdieu, ada arena wacana yang membuat karya sastra diterima suatu masyarakat dan ditolak, menjadi dikenang dan dilupakan. Kita bisa melihat fenomena itu di Indonesia dengan membandingkan antara masa Orde Baru dan pascareformasi (sekarang).
Orde Baru
Dalam Orde Baru ada ketidaklangsungan ekspresi yang disusun secara ketet (terutama dengan gaya lirik) dimaksudkan sebagai upaya menyinggung secara halus sekaligus simbolis. Maka, jangan heran juga jika teks-teks sastra yang menjadi pembelajaran di sekolah adalah teks-teks yang bernuansakan nasonalisme, yang tidak mengkritik pemerintahan. Misal, sajak Aku karya Chairil Anwar, yang sajak tersebut dianggap sebagai teks yang membawa semangat kemerdekaan, yang menjadikan rasa nasionalisme dan jiwa kebangsaan akan selalu terkenang pada tahun 1945.
Sajak Tiga Karangan Bunga karya Taufiq Ismail yang mengingatkan pada Pahlawan Ampera, yang memberikan dukungan kepada Orde Baru. Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, yang di situ ada tokoh Rasus yang lebih memilih menjadi tentara daripada mencintai kampung halaman dan Srintil, padahal Srintil sangat dicintai sejak kecil. Di situ Rasus menjadi sangat dihormati dan dikagumi oleh orang Dukuh Paruk. Kita bisa melihat arena pembelajaran berdasarkan rezim kekuasaan, sehingga yang dikenal oleh masyarakat, terutama generasi muda, hanyalah teks-teks itu-itu saja. Dalam pembelajaran, sastra berada dalam pemosisian wacana oleh pemerintah.
Hanya pola pendidikan tradisional yang menekankan pembelajaran pada pengulangan masa lalu untuk hadir di masa sekarang, jadi dalam pola pendidikan yang “lebih modern” dengan melakukan identifikasi pada kesadaran praktis dari peserta didik dimaksudkan agar interkasi pembelajaran sastra (antara stimulus dan respons) tidak terhambat. Sastra sebagai bagian dari dunia sosial senantiasa terbuka bagi perubahan yang tidak hanya merekonstruksi masa lalu saja. Sastra adalah jaminan konsep yang dinarasikan secara kompleks sehingga membentuk wacana, sebab itu pembelajarannya pun harus kontekstual dalam ruang yang serba dilematis.
Padahal, “ruang pembelajaran sastra setiap waktu selalu mengalami perubahan, tergantung pada operasional pembelajaran untuk memberlangsungkan komunikasi dengan siswa” begitulah ungkap Faruk H.T. ketika mendiskusikan Kebudayaan, Manusia dan Media di Wisma Seni Taman Budaya, Solo. Maka, bukan dalam pembelajaran bukanlah mengulang-ngulang, melainkan sastra yang membentuk dialektika sebagai bagian dari komunikasi untuk memicu respons antara guru dan siswa, sehingga melahirkan inovasi-inovasi.
Pasca-Reformasi
Dalam pascareformasi, pembelajaran sastra yang seharusnya sudah disesuaikan dengan perkembangan saat ini, justru aplikasinya masih sama seperti dulu. Kurikulum pendidikan memang sudah berganti dari yang mulanya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Seharusnya model pembelajaran sekarang yang disesuaikan dengan tingkat satuan pendidikan agar lebih kontekstual—dengan berupaya untuk melakukan pengembangan diri—, ternyata implementasinya masih berjalan dengan tertatih-tatih. Makinlah miris kita dengan arena kultur pendidikan yang tolok ukurnya ditentukan secara kuantitatif, tidak mengarahkan pada intisari untuk memahami model sosiologis masyarakat di sekitarnya secara eksplisit untuk mengenali karya-karya yang ada. Maka, kebayakan komentar dari peserta didik yang muncul bahwa sastra hanya sebagai bumbu pelengkap dari pengajaran bahasa karena yang diajarkan itu-itu saja. Bahkan, di beberapa SMK, pengajaran sastra telah diganti dengan pengajaran menulis indah, yang secara esensial telah mengubah paradigma sastra.
Teks-teks sastra yang diajarkan masih tidak jauh beda dengan di masa Orde Baru. Kalaupun ada yang sedikir memasukan nama seperti Seno Gumira Aji Darma dan Agus Noor, misalnya, dianggap karyanya terlalu sulit dan kurang dipahami oleh peserta didik. Ini sebenarnya bukan teksnya yang sulit, tapi bagaimana guru melakukan bimbingan dan arahan karena dalam KTSP, guru menjadi fasilitator.
Teks-teks pascareformasi sebenarnya jauh lebih ideologis dan pluralis. Dalam perkembangan kini, mereka sebagai produktor ideologi dengan adanya wacana yang dapat diterima sebagai kebenaran. Ini menggambarkan bahwa dunia teks memapankan makna, sekaligus memunculkan makna lain atas mekanisme pemahaman pembaca melalui konstruksi bahasa sebagai pijakan untuk memaknai. Dalam hal ini, puisi menata tanda melalui tatanan kultural secara selektif dengan nilai yang merefleksikan realitas, tentunya dengan proporsi membangkitkan keharuan kepada pembaca berdasarkan citra bahasa yang dapat membangkitkan emosi seperti keharuan, keterkesanan, simpati dan ketergugahan jiwa.
Dalam teks-teks tersebut ada bahasa yang tidak netral dengan pengetahuan yang terus berkembang. Ada wacana bergerak secara sugestif dalam diri subjek-pembaca. Betapa kehalusan bahasa menciptakan keramahan, keharmonisan, dan kebersatuan—itulah yang terjadi ketika puisi masih menjadi bagian dari sepasang kekasih, juga untuk permintaan maaf melalui pesan singkat di Lebaran. Betapa keindahan bahasa yang polisemik menjadi pemersatu atas daya apresiasi dan interpretasi makna yang mengharukan bagi yang membaca.
Yang seharusnya dilakukan dalam arena kultur pendidikan adalah mengarahkan kembali sensibilitas peserta didik untuk mencipta dan mengapresiasi di tengah pengaruh media agar seluruh indra tergerak, melalui audio-visual. Perlu juga ada pertarungan intuisi dalam ruang sastra. Dalam kaitan ini, bukan berarti kita menolak pembelajaran yang telah tertera di dalam kurikulum, melainkan agar kita bisa seimbang membelajarkan sastra antara teks sastra yang menandai setiap sejarah dengan dibandingankan dengan masa kini. Dengan cara itulah, teks-teks dapat dipahami dengan baik dan tidak luntur sebagai nilai. Pemosisian sastra dalam arena kultural juga tidak didominasi oleh salah satu pihak. Di sinilah, karya sastra akan mendapatkan ruang yang lebih terbuka dan beragam dengan diciptakan memuat nilai-nilai lokal yang luhur. Dan, jangan menyalahkan siswa masa sekarang, ketika mereka tidak lagi mengenal substansi dari karya sastra mutakhir, justru hanya mengangung-agungkan yang tercatat oleh sejarah semata.
Maka dari itu, kita harus memandang sastra dalam arena kultur yang lain, dalam iringan media dan persepsi masyarakat menjalin hubungan secara komunikatif dan inovatif. Kita harus memberanikan diri untuk menciptakan inovasi-inovasi pengajaran sastra, dengan melihat pengarang-pengarang lokal sebagai cara untuk mengembangkan potensi. Inovasi pengajaran sastra harus mengacu pada ruang literer dan perkembangan sosiologis, sehingga melatih sensibilitas peserta didik. Cara ini akan memberikan “pembebasan” karena akan ada penemuan yang humanis melalui kesadaran praktis yang dimiliki oleh peserta didik dalam mencermati karya sastra.
_______________11 December 2011
Arif Hidayat, Mahasiswa Pascasarjana Kajian Budaya UNS Solo
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar