07/11/11

Antara Rumah dan Kebun

Han Gagas
http://www.lampungpost.com/

AKU terbangun di tengah malam oleh rasa lapar. Perut yang melilit dan keroncongan telah mengalahkan kantukku yang berat. Sebungkus mi instan mulai aku siapkan tapi tercium bau harum menusuk hidung menghentikan aktivitasku. Bau seperti bunga mawar, atau melati, tapi juga mirip harumnya kantil. Ahh, bukankah ketiga kembang itu adalah bunga ziarah. Hatiku berdesir.

Bau itu bertambah menyengat hidungku. Halaman tak ada tanaman bunga, cuma bonsai beringin dan asam yang kubawa tadi pagi dari kontrakan. Mungkinkah bau ini berasal dari kebun itu? Tubuhku bersiaga. Kuhentikan ujung jariku yang hendak menyobek bungkus mi. Segala inderaku memeka. Terdengar dericit serangga garengpung dan desis kipas angin yang berputar, selebihnya hanya kesunyian belaka.

Bukankah angin serasa mati, kalau benar dari kebun, dengan apa bau itu bisa terbawa hingga kemari? Apakah sebuah bau bisa melayang di rongga udara tanpa sedikit pun angin meniupnya. Kipas angin yang berputar tampaknya tak akan bisa menjangkau sampai kebun itu, bahkan halaman pun tidak.

Kakiku melangkah dengan pikiran yang waspada menuju jendela pintu utama. Dari sana segala yang ada di muka rumah bisa tampak lebih jelas. Langkah demi langkah kugerakkan dengan keberanian kelu untuk mengalahkan sesuatu yang menakutkan yang melintas di benakku. Dan, nyaliku ternyata tak cukup berani untuk melihat apa yang terjadi.

Aku menghidupkan televisi agar ada perasaan ditemani. Iklan produk memorak-porandakan suara-suara tadi; dericit garengpung dan kipas angin yang mendesis. Ketika aku meninggalkan kamar tadi, istriku tidur dengan bayi kami yang melingkar di perutnya. Sebenarnya tidur bayi itu gelisah tapi kipas angin yang berputar dan irama tepukan tangan di pantatnya membuatnya jatuh tertidur lagi. Sedangkan istriku, tampaknya ia juga gelisah, dan wajahnya pucat, hanya karena kelewat kelelahan membuatnya bisa jatuh tertidur. Seharian pindahan dan membereskan segala sesuatu membuat tubuhku juga pegal-pegal. Tapi bukan kelelahan itu yang menjadi persoalan. Siapa pun mestinya merasa bahagia dan berpengharapan baik ketika menempati rumah baru, tapi kami, tiada rasa yang meliputi selain waswas dan perasaan aneh.

Suara televisi yang mengusir kesunyian menebalkan nyaliku. Kakiku kembali melangkah, jengkal demi jengkal menuju kusen jendela. Dengan ujung jari kusentuh tepi korden putih ini-korden pemilik rumah lama yang terasa kasar di jariku. Aku hendak membukanya tapi hatiku kembali berdesir. Bau harum bunga kembali menusuk, lebih keras, sepertinya seluruh ruang tamu ini diisi begitu wangi oleh bau itu.

Sehabis magrib tadi aku mengunci pintu utama, lalu membuka korden itu dan melongokkan kepala untuk memastikan apakah pagar rumahku sudah terkunci atau belum. Dari sudut itu, latar belakang pagar itu dengan jelas tergambarkan. Seruas jalan desa, dan dibaliknya menghampar kebun yang luas dengan pohon-pohon yang campur aduk: mahoni, waru, jati, mangga, dan lamtoro. Sebagian menjulang terlalu tinggi hingga melampaui kabel listrik di jalan. Gelap membias, dengan bayang-bayang pohon yang meraksasa. Aku berdoa: semoga malam pertama ini terlewati tanpa sesuatu yang menakutkan.

Kini, aku khawatir akan menemukan hal berbeda di kebun itu. Ada kabar mengerikan tentangnya yang aku dengar, tapi aku mengacuhkannya saat itu karena harga rumah ini begitu cocok dengan kocek kami yang tipis. Aku pegawai rendahan yang keuangannya harus dibantu istriku dengan menjahit. Hidup di zaman sekarang harus dihadapi berdua sambil mengetatkan ikat pinggang, agar terus bisa berjalan tanpa harus berutang pada rentenir.

Kami mencari rumah yang cocok sudah terlalu lama. Tiga bulan lebih ke sana kemari dibawa makelar-makelar tanah yang menganggapku daging empuk. Juga memeriksa iklan di koran lokal. Semuanya nihil. Kelewat mahal. Mungkin kami bisa membelinya dengan menjaminkan SK pengangkatan pegawaiku tapi aku tak bisa berpikir lagi bagaimana mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan gaji yang dipotong hampir tiga perempat. Apalagi ASI istriku sudah tak keluar, susu formula demikian mahal, dan bayiku termasuk anak yang rakus pada susu itu.

Sungguh pilihan yang sulit manakala aku menemukan rumah ini yang sangat murah dan terjangkau-rumah petak dengan satu kamar, ruang tamu, dapur, dan kamar mandi-tapi lengkap dengan kabar kebun itu yang mencengangkan. Seorang makelar menerangkannya disertai Pak RT yang rumahnya agak jauh dari tempat ini.

“Banyak yang melirik rumah ini tapi setelah mendengar cerita tentang kebun itu maka para calon pembeli mengurungkan niatnya. Sebenarnya itu bukan hal yang gawat, yang penting kita percaya dan yakin sama Tuhan, bukankah begitu, Pak RT?” Makelar itu meyakinkanku tapi dengan nada yang ragu. Matanya memohon persetujuan Pak RT.

Pak RT hanya manggut-manggut saja sambil tersenyum samar.

“Sebagai makelar saya harus menceritakan ini karena orang membeli rumah tidak hanya beli bangunan dan tanah tapi juga lingkungan. Saya tak mau dibilang bohong karena menutupi sesuatu.” Wajah makelar tampak serius dengan mata bulat-bulat seperti dibuat-buat.

Pak RT manggut-manggut lagi. Aku terbawa juga, ikut manggut-manggut.

Cerita itu aku simpan sendiri. Kueram di dada. Aku tahu betul sifat istriku. Ia amat takut dengan hantu, segala cerita, bahkan pada hantu guyonan atau hantu pura-pura yang sering ditampilkan di televisi. Sungguh ia akan segera memindah gelombang atau mematikan televisi itu dengan kesal.

Aku memutuskan membeli rumah itu tanpa menceritakan kisah kebun itu pada istriku. Hidup di kontrakan sangat menderita, tak punya privasi, dan pemilik rumah selalu bertindak seperti raja. Minta dituruti, dihormati, dilayani. Sungguh menyebalkan. Lagipula kontrakan itu sudah tak bisa diperpanjang lagi. Mencari kontrakan lain juga tak mudah. Apalagi uang tabungan kami sudah terkumpul lumayan, bila tidak segera digunakan bisa tercecer-cecer lagi. Dengan alasan-alasan itu pula istriku menyetujui, manut katanya.

Esoknya kami segera pindahan, menyewa mobil pikap untuk mengangkut barang-barang. Ketika kami menurunkan barang di halaman rumah baru, seorang tetangga datang. Aku merasa bakal ada sesuatu yang tak biasa. Sial. Perempuan muda itu terlalu banyak bercerita, mencerocos tanpa henti, seperti kran yang airnya mengocor.

“Wah, ibu adalah perempuan paling berani yang saya kenal,” lanjut tetangga itu dengan ramah, namun segera menyengat instingku.

“Kenapa?” sahut istriku.

“Lho, ibu belum tahu ceritanya?”

Istriku mengerenyit. Ia menggeleng. Aku hendak segera mencegah obrolan itu tapi tangis bayi di gendonganku menghentikan langkahku. Kupanggil istriku tapi ia diam saja. Aku segera berlari ke arah mereka, tapi…

“Ibu tak tahu bahwa kebun itu dulunya adalah tempat pembuangan bayi-bayi hasil aborsi. Dan rumah ini adalah milik bidan keparat itu. Kami telah mengusirnya pergi. Setiap ada yang menempati rumah ini, bayi-bayi itu seakan hidup lagi menuju rumah ini menuntut bidan itu agar nyawanya dikembalikan.”

Tenggorokanku tercekat. Kata-katanya kelewat cepat keluar. Paras istriku berubah drastis. Menjadi pias, tanda ia amat ketakutan.

“Kenapa ibu bicara begitu!” sergahku kasar.

“Maaf, Pak.” Ia buru-buru pergi.

Tubuh istriku bergetar. Kuiringkan langkahnya menuju sofa, dan mendudukkannya. Bayi kami terus menangis, karena tangisan ini ia tak terlalu menuruti perasaan takutnya. Namun, pandangannya kini beralih ke kebun itu, dan rumah ini, wajahnya bertambah pucat. Aku segera mengambil segelas air putih, dan ia meminumnya dengan lekas.

Perasaan menyesal mengganggu pikiranku. Aku mendekati istriku yang kini dilanda kemarahan. Wajahnya yang pucat berangsur memerah.

“Ini soal besar, Mas! Tapi kau tak berterus terang padaku.” Dadanya berguncang, matanya berlelehan.

“Aku minta maaf. Tapi kau tahu, kan keadaannya. Keuangan kita, tak ada rumah yang murah di zaman sekarang dan pemilik kontrakan sudah menyuruh kita pergi. Kita punya iman.”

Istriku diam, sesenggukan.

“Semua telah aku bayar lunas dengan uang kita.”

“Kita jual lagi. Kita pindah saja!”

“Kita yakin sama Tuhan. Orang mati tak bisa mengganggu hidup kita, kalau mengganggu, Tuhan yang melindungi.” Kata-kata itu menusuk jantungku sendiri. Lebih terasa itu untukku.

Istriku duduk sesenggukan, kakinya ditekuk berpeluk pada lutut. Aku memeluknya. Ini tangisan terlamanya. Perlahan dadaku ikut terguncang. Apakah aku terlalu memaksakan diri terhadap pilihan ini?

Senja memerah menyapu halaman rumah. Kutatap kebun itu, merahnya senja juga menghampar di sekujur tubuhnya. Menerobos dahan dan daun juga rumpun ketela. Sepi tak ada orang melintas. Ruas jalan ini buntu, di ujung sana adalah tepi sebuah sungai. Gelap hampir turun, langit mulai kelam, kami terus berpelukan, menguatkan satu sama lain, bayi kami sedang pulas di dipan itu. Sepertinya karena bayi kami yang pulas itulah yang memompa nyali istriku. Malam telah memerangkap semuanya. Tak bisa tidak, malam ini harus tidur di sini. Aku meyakinkan istriku dengan doa yang khusyuk.

Malam pertama di tempat baru membuat kami tak bisa tidur seperti biasanya. Bayi kami tampak gelisah, juga istriku, tapi keterpaksaan ini kami jalani dengan sepenuh doa. Akhirnya karena kelelahan pindahan, kami bisa jatuh tertidur.

Lampu tiba-tiba mati! Gelap. Aku tergeragap. Mataku memicing. Keadaan yang semula berisik oleh suara televisi mendadak hening hanya ada suara dengkur istriku yang berkelindan dengan dericit garengpung. Untung istri dan anakku tak terbangun karena gelap ini. Ujung jariku masih memegang korden ini. Pikiranku beralih hendak mencari lampu senter tapi terdengar suara dari luar yang mengagetkanku. Jantungku berdetak kencang, kulitku memeka, merinding.

Terdengar dengan jelas suara seperti langkah kaki yang diseret. Dan, tercium bau busuk yang sangat menyengat. Seperti bau bangkai. Di manakah bau harum tadi?

Kakiku terpaku di tempat. Ujung jariku kaku memegang korden. Tak bisa digerakkan. Muncul tawa cekikikan anak-anak kecil di luar. Tanganku gemetar. Jantungku copot!

Suara langkah terseret makin dekat…

Aku hendak berdoa, tapi lidahku kelu. Tenggorokanku tercekat!

Terdengar suara menyayat-yayat, memilukan. Isak tersedu.

Aku hanya bisa membatin esok akan menziarahimu dengan bunga tiga rupa itu: mawar, melati, dan kanthil.

Solo, 5 Mei 2010

———–
Han Gagas, cerpennya dimuat sejumlah media massa nasional dan daerah. Anggota redaksi buletin Pawonsastra Solo. Buku kumpulan cerpennya Jejak Sunyi (2008).

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita