Han Gagas
http://www.lampungpost.com/
AKU terbangun di tengah malam oleh rasa lapar. Perut yang melilit dan keroncongan telah mengalahkan kantukku yang berat. Sebungkus mi instan mulai aku siapkan tapi tercium bau harum menusuk hidung menghentikan aktivitasku. Bau seperti bunga mawar, atau melati, tapi juga mirip harumnya kantil. Ahh, bukankah ketiga kembang itu adalah bunga ziarah. Hatiku berdesir.
Bau itu bertambah menyengat hidungku. Halaman tak ada tanaman bunga, cuma bonsai beringin dan asam yang kubawa tadi pagi dari kontrakan. Mungkinkah bau ini berasal dari kebun itu? Tubuhku bersiaga. Kuhentikan ujung jariku yang hendak menyobek bungkus mi. Segala inderaku memeka. Terdengar dericit serangga garengpung dan desis kipas angin yang berputar, selebihnya hanya kesunyian belaka.
Bukankah angin serasa mati, kalau benar dari kebun, dengan apa bau itu bisa terbawa hingga kemari? Apakah sebuah bau bisa melayang di rongga udara tanpa sedikit pun angin meniupnya. Kipas angin yang berputar tampaknya tak akan bisa menjangkau sampai kebun itu, bahkan halaman pun tidak.
Kakiku melangkah dengan pikiran yang waspada menuju jendela pintu utama. Dari sana segala yang ada di muka rumah bisa tampak lebih jelas. Langkah demi langkah kugerakkan dengan keberanian kelu untuk mengalahkan sesuatu yang menakutkan yang melintas di benakku. Dan, nyaliku ternyata tak cukup berani untuk melihat apa yang terjadi.
Aku menghidupkan televisi agar ada perasaan ditemani. Iklan produk memorak-porandakan suara-suara tadi; dericit garengpung dan kipas angin yang mendesis. Ketika aku meninggalkan kamar tadi, istriku tidur dengan bayi kami yang melingkar di perutnya. Sebenarnya tidur bayi itu gelisah tapi kipas angin yang berputar dan irama tepukan tangan di pantatnya membuatnya jatuh tertidur lagi. Sedangkan istriku, tampaknya ia juga gelisah, dan wajahnya pucat, hanya karena kelewat kelelahan membuatnya bisa jatuh tertidur. Seharian pindahan dan membereskan segala sesuatu membuat tubuhku juga pegal-pegal. Tapi bukan kelelahan itu yang menjadi persoalan. Siapa pun mestinya merasa bahagia dan berpengharapan baik ketika menempati rumah baru, tapi kami, tiada rasa yang meliputi selain waswas dan perasaan aneh.
Suara televisi yang mengusir kesunyian menebalkan nyaliku. Kakiku kembali melangkah, jengkal demi jengkal menuju kusen jendela. Dengan ujung jari kusentuh tepi korden putih ini-korden pemilik rumah lama yang terasa kasar di jariku. Aku hendak membukanya tapi hatiku kembali berdesir. Bau harum bunga kembali menusuk, lebih keras, sepertinya seluruh ruang tamu ini diisi begitu wangi oleh bau itu.
Sehabis magrib tadi aku mengunci pintu utama, lalu membuka korden itu dan melongokkan kepala untuk memastikan apakah pagar rumahku sudah terkunci atau belum. Dari sudut itu, latar belakang pagar itu dengan jelas tergambarkan. Seruas jalan desa, dan dibaliknya menghampar kebun yang luas dengan pohon-pohon yang campur aduk: mahoni, waru, jati, mangga, dan lamtoro. Sebagian menjulang terlalu tinggi hingga melampaui kabel listrik di jalan. Gelap membias, dengan bayang-bayang pohon yang meraksasa. Aku berdoa: semoga malam pertama ini terlewati tanpa sesuatu yang menakutkan.
Kini, aku khawatir akan menemukan hal berbeda di kebun itu. Ada kabar mengerikan tentangnya yang aku dengar, tapi aku mengacuhkannya saat itu karena harga rumah ini begitu cocok dengan kocek kami yang tipis. Aku pegawai rendahan yang keuangannya harus dibantu istriku dengan menjahit. Hidup di zaman sekarang harus dihadapi berdua sambil mengetatkan ikat pinggang, agar terus bisa berjalan tanpa harus berutang pada rentenir.
Kami mencari rumah yang cocok sudah terlalu lama. Tiga bulan lebih ke sana kemari dibawa makelar-makelar tanah yang menganggapku daging empuk. Juga memeriksa iklan di koran lokal. Semuanya nihil. Kelewat mahal. Mungkin kami bisa membelinya dengan menjaminkan SK pengangkatan pegawaiku tapi aku tak bisa berpikir lagi bagaimana mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan gaji yang dipotong hampir tiga perempat. Apalagi ASI istriku sudah tak keluar, susu formula demikian mahal, dan bayiku termasuk anak yang rakus pada susu itu.
Sungguh pilihan yang sulit manakala aku menemukan rumah ini yang sangat murah dan terjangkau-rumah petak dengan satu kamar, ruang tamu, dapur, dan kamar mandi-tapi lengkap dengan kabar kebun itu yang mencengangkan. Seorang makelar menerangkannya disertai Pak RT yang rumahnya agak jauh dari tempat ini.
“Banyak yang melirik rumah ini tapi setelah mendengar cerita tentang kebun itu maka para calon pembeli mengurungkan niatnya. Sebenarnya itu bukan hal yang gawat, yang penting kita percaya dan yakin sama Tuhan, bukankah begitu, Pak RT?” Makelar itu meyakinkanku tapi dengan nada yang ragu. Matanya memohon persetujuan Pak RT.
Pak RT hanya manggut-manggut saja sambil tersenyum samar.
“Sebagai makelar saya harus menceritakan ini karena orang membeli rumah tidak hanya beli bangunan dan tanah tapi juga lingkungan. Saya tak mau dibilang bohong karena menutupi sesuatu.” Wajah makelar tampak serius dengan mata bulat-bulat seperti dibuat-buat.
Pak RT manggut-manggut lagi. Aku terbawa juga, ikut manggut-manggut.
Cerita itu aku simpan sendiri. Kueram di dada. Aku tahu betul sifat istriku. Ia amat takut dengan hantu, segala cerita, bahkan pada hantu guyonan atau hantu pura-pura yang sering ditampilkan di televisi. Sungguh ia akan segera memindah gelombang atau mematikan televisi itu dengan kesal.
Aku memutuskan membeli rumah itu tanpa menceritakan kisah kebun itu pada istriku. Hidup di kontrakan sangat menderita, tak punya privasi, dan pemilik rumah selalu bertindak seperti raja. Minta dituruti, dihormati, dilayani. Sungguh menyebalkan. Lagipula kontrakan itu sudah tak bisa diperpanjang lagi. Mencari kontrakan lain juga tak mudah. Apalagi uang tabungan kami sudah terkumpul lumayan, bila tidak segera digunakan bisa tercecer-cecer lagi. Dengan alasan-alasan itu pula istriku menyetujui, manut katanya.
Esoknya kami segera pindahan, menyewa mobil pikap untuk mengangkut barang-barang. Ketika kami menurunkan barang di halaman rumah baru, seorang tetangga datang. Aku merasa bakal ada sesuatu yang tak biasa. Sial. Perempuan muda itu terlalu banyak bercerita, mencerocos tanpa henti, seperti kran yang airnya mengocor.
“Wah, ibu adalah perempuan paling berani yang saya kenal,” lanjut tetangga itu dengan ramah, namun segera menyengat instingku.
“Kenapa?” sahut istriku.
“Lho, ibu belum tahu ceritanya?”
Istriku mengerenyit. Ia menggeleng. Aku hendak segera mencegah obrolan itu tapi tangis bayi di gendonganku menghentikan langkahku. Kupanggil istriku tapi ia diam saja. Aku segera berlari ke arah mereka, tapi…
“Ibu tak tahu bahwa kebun itu dulunya adalah tempat pembuangan bayi-bayi hasil aborsi. Dan rumah ini adalah milik bidan keparat itu. Kami telah mengusirnya pergi. Setiap ada yang menempati rumah ini, bayi-bayi itu seakan hidup lagi menuju rumah ini menuntut bidan itu agar nyawanya dikembalikan.”
Tenggorokanku tercekat. Kata-katanya kelewat cepat keluar. Paras istriku berubah drastis. Menjadi pias, tanda ia amat ketakutan.
“Kenapa ibu bicara begitu!” sergahku kasar.
“Maaf, Pak.” Ia buru-buru pergi.
Tubuh istriku bergetar. Kuiringkan langkahnya menuju sofa, dan mendudukkannya. Bayi kami terus menangis, karena tangisan ini ia tak terlalu menuruti perasaan takutnya. Namun, pandangannya kini beralih ke kebun itu, dan rumah ini, wajahnya bertambah pucat. Aku segera mengambil segelas air putih, dan ia meminumnya dengan lekas.
Perasaan menyesal mengganggu pikiranku. Aku mendekati istriku yang kini dilanda kemarahan. Wajahnya yang pucat berangsur memerah.
“Ini soal besar, Mas! Tapi kau tak berterus terang padaku.” Dadanya berguncang, matanya berlelehan.
“Aku minta maaf. Tapi kau tahu, kan keadaannya. Keuangan kita, tak ada rumah yang murah di zaman sekarang dan pemilik kontrakan sudah menyuruh kita pergi. Kita punya iman.”
Istriku diam, sesenggukan.
“Semua telah aku bayar lunas dengan uang kita.”
“Kita jual lagi. Kita pindah saja!”
“Kita yakin sama Tuhan. Orang mati tak bisa mengganggu hidup kita, kalau mengganggu, Tuhan yang melindungi.” Kata-kata itu menusuk jantungku sendiri. Lebih terasa itu untukku.
Istriku duduk sesenggukan, kakinya ditekuk berpeluk pada lutut. Aku memeluknya. Ini tangisan terlamanya. Perlahan dadaku ikut terguncang. Apakah aku terlalu memaksakan diri terhadap pilihan ini?
Senja memerah menyapu halaman rumah. Kutatap kebun itu, merahnya senja juga menghampar di sekujur tubuhnya. Menerobos dahan dan daun juga rumpun ketela. Sepi tak ada orang melintas. Ruas jalan ini buntu, di ujung sana adalah tepi sebuah sungai. Gelap hampir turun, langit mulai kelam, kami terus berpelukan, menguatkan satu sama lain, bayi kami sedang pulas di dipan itu. Sepertinya karena bayi kami yang pulas itulah yang memompa nyali istriku. Malam telah memerangkap semuanya. Tak bisa tidak, malam ini harus tidur di sini. Aku meyakinkan istriku dengan doa yang khusyuk.
Malam pertama di tempat baru membuat kami tak bisa tidur seperti biasanya. Bayi kami tampak gelisah, juga istriku, tapi keterpaksaan ini kami jalani dengan sepenuh doa. Akhirnya karena kelelahan pindahan, kami bisa jatuh tertidur.
Lampu tiba-tiba mati! Gelap. Aku tergeragap. Mataku memicing. Keadaan yang semula berisik oleh suara televisi mendadak hening hanya ada suara dengkur istriku yang berkelindan dengan dericit garengpung. Untung istri dan anakku tak terbangun karena gelap ini. Ujung jariku masih memegang korden ini. Pikiranku beralih hendak mencari lampu senter tapi terdengar suara dari luar yang mengagetkanku. Jantungku berdetak kencang, kulitku memeka, merinding.
Terdengar dengan jelas suara seperti langkah kaki yang diseret. Dan, tercium bau busuk yang sangat menyengat. Seperti bau bangkai. Di manakah bau harum tadi?
Kakiku terpaku di tempat. Ujung jariku kaku memegang korden. Tak bisa digerakkan. Muncul tawa cekikikan anak-anak kecil di luar. Tanganku gemetar. Jantungku copot!
Suara langkah terseret makin dekat…
Aku hendak berdoa, tapi lidahku kelu. Tenggorokanku tercekat!
Terdengar suara menyayat-yayat, memilukan. Isak tersedu.
Aku hanya bisa membatin esok akan menziarahimu dengan bunga tiga rupa itu: mawar, melati, dan kanthil.
Solo, 5 Mei 2010
———–
Han Gagas, cerpennya dimuat sejumlah media massa nasional dan daerah. Anggota redaksi buletin Pawonsastra Solo. Buku kumpulan cerpennya Jejak Sunyi (2008).
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar