Yos Rizal Suriaji, Kurie Suditomo, Evieta Fadjar, LN Idayanie
- Majalah Tempo, 8 Mei 2006
Mereka berbicara tentang seseorang, juga tentang sebuah masa yang jauh.
Oey Hay Djoen datang ke Tempo, Rabu lalu, dengan ditopang sepotong tongkat. U-sianya 77 tahun. Tapi suaranya masih lantang-. Ingatannya pada masa lalu masih jernih. Oey a-dalah aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat dan anggota MPR/DPR GR dari Partai Komunis Indonesia. Ia dikarantina sejak 1969 sampai 1979. Ia menempati Unit 3 Wanayasa. Oey adalah tahanan politik (tapol) berbaju nomor 001.
Wartawan Amarzan Loebis dibuang ke pulau dengan ladang-ladang sagu dan bukit-bukit kayu putih itu pada 1971. Ia menempati Unit 16 dan bernomor 056. Amarzan dipercaya sebagai administratur unit dan dikenal sebagai “Bapak Protokol” lantaran selalu- diminta menjadi pembawa acara.
Mulyono SH ditempatkan di Markas Komando (Mako)- dan dipercaya mengurusi koperasi. Sedangkan Marsudi Sumanto adalah seorang dokter yang tinggal satu barak dengan Mulyono dan bernomor baju 594.
Empat sekawan itu mempercakapkan kisah haru-biru semasa menghuni kamp perbudakan-begitu sebutan- Oey pada Pulau Buru. Juga kisah karib mereka dengan seorang pujangga -begitu Amarzan menyebut-yang baru saja wafat, 30 April lalu. Seorang pengarang- yang telah menerbitkan 50-an buku yang telah diterjemahkan ke dalam 41 bahasa-. Seorang penulis yang dalam beberapa tahun terakhir- dicalonkan sebagai penerima Nobel Sastra. Sang sastrawan itu anggota rombongan pertama tapol yang beranggotakan 500 orang yang dibagi dalam 10 barak. Ia berseberangan tempat tidur dengan Oey di Unit 3 dan bernomor baju 007: Pramoedya Ananta Toer.
Pram bergabung dengan Lekra, sebuah organisa-si ke-budayaan yang punya hubungan erat dengan PKI, pada 1959. Pram kemudian mengasuh ruangan kebudayaan Lentera di harian Bintang Timur, Jakarta, yang berhadap-hadapan dengan para penanda tangan- Manifes Kebudayaan. Ketika ditahan, rumahnya- dirampas, perpustakaannya dijarah dan dibakar, delapan bukunya yang sedang ia tulis dibakar. Gempa politik 1965 telah memelantingkan Pram ke kamp kerja paksa itu. “Sejarah hidup saya adalah sejarah perampasan,” ucap Pram.
Pengarang kelahiran Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925, itu pun bertahan di Buru dengan bekerja dan menulis. Sejak pukul 04.00 pagi hingga petang hari, tapol harus bekerja membuka hutan, menjadikannya sawah dan ladang, membangun jaringan irigasi, jalan, membudidayakan berbagai jenis hewan ternak. Hanya enam bulan pertama tapol diberi makan. Selebihnya, kata Amarzan, “Kami menghi-dupi diri sen-diri dan menghidupi serdadu yang menjaga kami.”
Pram, misalnya, aktif bertukang. “Tapi ia sok mengerti bangunan,” ucap Oey seraya tergelak. Perhitungannya sering meleset. Pernah suatu kali, tutur Oey, Pram menyia-nyiakan bahan bangunan dengan- nilai puluhan juta rupiah hanya dalam beberapa minggu.
Pram acap sok pintar. Selain bertukang, Pram menga-ku mengembangkan tanaman mangga dan menanam sendiri tembakau. “Tapi tembakaunya kerasnya minta ampun,” ucap Pram. Ia juga memelihara delapan ayam. “Saya menjual ayam dan telurnya untuk membeli kertas dan rokok,” kata Pram dalam wawancara dengan Tempo pada Me-i 1999.
Kertas-kertas berukuran kuarto itu selain didapat dari menjual telur ke Namlea, ibu kota Pulau Buru, juga diperoleh dari uluran temantemannya. Mulyono menceritakan, ia selalu menyisihkan jatah kertas dan karbon milik tentara yang ada di koperasi yang ia kelola- untuk Pram. Ini tindakan berbahaya.
Hersri Setiawan, kawan lai-n Pram, yang menghabiskan delapan setengah tahun hidupnya di Buru, menuturkan sebuah perubahan pendekatan. Sebelum Panglima Komando Pengamanan dan Ketertiban Jenderal Soemitro berkunjung pada 1973, kertas dan alat tulis menjadi barang terlarang. Munajid, seorang tapol asal Jawa Barat, misalnya, ketahuan membaca surat kabar. Ia pun disiksa sampai mati.
Soemitro membebaskan para tapol seniman untuk berkreasi. Amarzan dan Mulyono pun menyelenggarakan pentas ludruk. Pram ju-ga mendapat privilege me-nulis. Menurut Hersri, kertas yang digunakan Pram adalah kertas bungkus semen yang disumbangkan oleh teman-temannya sesama tapol.
Dari mana Pram mendapatkan mesin ketik? Sastrawan terkenal Prancis, Jean-Paul Sartre, kabarnya menyumbang mesin ketik untuk Pram. Oey mengaku masih menyimpan surat Sartre yang ditujukan kepada pemerintah saat itu dan ditembuskan kepada Pram. Sartre menuntut pembebasan Pram sembari memberi hadiah mesin ketik. Menurut Oey, mesin ketik yang dipakai Pram bukan mesin ketik dari Sartre, tapi sudah diganti mesin lain.
Dari mesin ketik inilah, kata Oey, lahir delapan karya Pram: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca, Jejak Langkah, Sang Pemula, Arok Dedes, Mangir, dan Arus Balik. Sedangkan Max Lane, penerjemah awal buku-buku Pram ke dalam bahasa Inggris, tak memasukkan Sang Pemula, tapi menambahkan Mata Pusaran yang sampai kini naskahnya belum ditemukan.
Naskah-naskah itu diketik rangkap tujuh, satu diserahkan ke penjaga, sisanya diedarkan kepada teman-temannya termasuk Oey, Mulyono, dr Marsudi, dan Amarzan. Kopian naskah diedarkan di 14 unit desa tapol di Pulau Buru.
Meski bebas menulis, Pram tak diperbolehkan mempublikasikan di luar kamp. Ia membangkang dengan cara menyelundupkan melalui seorang pengemudi kapal- yang membawa bahan makanan atau kayu antar-pu-lau di sekitar Pulau Buru. Dari situ, naskahnya diserahkan ke Gereja Katolik di Namlea untuk diselamatkan. “Jadi, naskah itu diselundupkan secara ber-gelombang, dan berbentuk lembaran-lembaran ker-tas. Sewaktu saya keluar dari Pulau Buru, semua ker-tas dirampas oleh Angkatan Darat,” Pram mengungkapkan.
Sekadar ilustrasi, cerita pembangkangan yang sama dilakukan ketika pemerintah melarang Hasta Mitra-yang didirikan oleh Joesoef Isak, Hasyim Rahman, dan Pram-menerbitkan karya-karya Pram. Joesoef menyiasati penerbitan pada hari Jumat karena pada Sabtu dan Minggu, Kejaksaan Agung libur. Jika mereka ditegur, mereka memintanya dalam perintah tertulis, sementara penjualan terus dilanjutkan. Jika pelarangan tertulis telah mereka dapatkan, Hasta Mitra pun menyelundupkan buku-buku Pram ke luar negeri. Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, misalnya, diterbitkan dulu di Belanda dan baru diterbitkan di Indonesia saat Pram berusia 70 tahun. “Karena dianggap terlalu berbahaya,” kata Joesoef,
Joesoef adalah tapol yang masuk golongan A. Golongan ini dianggap berbahaya dan direncanakan dibawa ke pengadilan karena cukup bukti. Golongan B golongan berbahaya tapi tidak cukup bukti untuk diseret ke pengadilan. Golongan B dibuang ke Buru. “Saya beruntung, belum sempat diadili sudah ada tekanan internasional kepada Soeharto agar menye-lesaikan masalah tahanan politik,” ucap Joesoef.
Menurut Oey, pada tahun-tahun awal di Buru, Pram belum menuliskan kisah-kisahnya. Ia hanya menuturkannya secara lisan kepada teman-temannya di barak I setiap sore sepulang bekerja. Pram duduk di am-ben dan dikelilingi kawan-kawannya. Mula-mula hanya teman satu barak, tapi semakin hari kisah-kisahnya didengar oleh semakin banyak tapol. Cerita yang ia tuturkan sepenuhnya mengandalkan ingatan, dan- kata Oey, “Persis seperti yang tertulis dalam buku.”
Setiap mengakhiri cerita, Pram meminta komentar dari pendengarnya. Belakangan, “dongeng” Pram dan interaksinya dengan kawan-kawannya itu dike-tahui sebagai cara untuk membangkitkan semangat hidup para tapol.
Pram menceritakan, waktu itu keadaan sedang genting karena ada 11 tahanan politik dibunuh. “Saya bercerita untuk mengendurkan ketegangan dan juga untuk menunjukkan: lihat Nyai Ontosoroh, dia perempuan, seorang diri melawan kekuasaan kolonial. Kalian lelaki, masa musibah begitu saja bisa turun morilnya. Dan ternyata berhasil.” Nyai Ontosoroh adalah tokoh dalam novel Bumi Manusia.
Setelah periode “sastra lisan”, Pram menggambar komik, sebelum akhirnya Soemitro memperbolehkannya menulis. Amarzan ingat betul Pram menyusun semacam komik tentang masuknya agama Hindu Hinayana ke Tanah Jawa, Oroh Sanagara namanya. Entah ada di mana naskah itu sekarang.
Amarzan juga ingat suatu kali ia bercerita kepada Pram bahwa kepala adat di Pulau Buru menyimpan buku dari lembaran-lembaran tembaga dan menyim-pannya dalam bumbungan bambu. Buku itu ditulis dalam bahasa yang tak dikenali para tapol. Mendengar cerita itu, secara spontan Pram berseru, “Curi saja! Itu milik nasional.” Ide gila Pram itu tentu saja tak ditanggapi.
Mulyono juga menuturkan Pram kerap mengail ide dari penduduk Buru. Ia antara lain bertemu dengan- beberapa guru sejarah yang ada di sana untuk mencocokkan pengetahuan tentang sejarah Majapahit dan Singasari. Guru-guru itulah yang memasok bahan pada Pram saat menulis Arus Balik dan Arok Dedes.
Sedangkan dalam tetralogi Buru, Pram memperoleh data jauh sebelum ia ditahan di Buru. Ketika mengajar di Universitas Res Publica (sekarang Universitas Trisakti) pada 1962-1965, ia memberi tugas kepada setiap mahasiswa untuk mempelajari koran selama satu tahun, lalu membuat naskah kerja. Dari tugas-tugas mahasiswanyalah Pram mendapat sumber-sumber historis. Ia mengingat setiap detail sebelum menuangkannya menjadi “sastra lisan”.
Kehidupan di kamp pengasingan itu digambarkan- Amarzan sebagai kehidupan yang pedih. Tapi, dengan- menulis dan bekerja, kata Marsudi, “Pram mem-beri teladan bagaimana bertahan dalam penderitaan.”
Dokter yang menangani penyakit diabetes Pram itu mencontohkan bagaimana di tanah pembuangan Pram, melalui surat-suratnya, masih memberi sema-ngat pada istri dan anak-anaknya yang ditinggalkan. Marsudi tak tahu apakah surat-surat Pram itu dikirimkan oleh penguasa teritori Buru. Tapi suatu kali ia pernah membaca sebuah surat Pram yang tergeletak di meja seorang jaksa di Buru yang ditujukan kepada Astuti Ananta Toer, anaknya. Isinya tentang ayah Astuti yang pasti akan pulang dan menceri-takan sejumlah perubahan yang akan terjadi jika ia pulang.
Selain menerima surat dari Sartre, Pram juga menerima surat dari Presiden Soeharto, yang sangat ia benci. Tapi uniknya, kata Amarzan, Pram menjawab surat Soeharto itu dalam nada yang santun.
Paradoks ini juga terjadi dalam hubungannya dengan H.B Jassin. Bagi Pram, Jassin adalah guru yang mengajarkan nilai-nilai humanisme universal. Tapi lantaran Jassin tak bereaksi ketika 1,5 juta orang digelandang sebagai tapol, Pram menjauh dari Jassin. Ia bahkan tak mau menengok Jassin ketika sakit.
Surat-menyurat Jassin-Pram, menurut Mujib Hermani dari Penerbit Lentera Dipantara, dapat dibagi menjadi beberapa periode: ketika Pram menganggap Jassin sebagai guru, periode Pram menganggap Jassin sebagai teman, dan periode Pram yang berseberangan dengan Jassin. Yang agak lucu, ada suratme-nyurat keduanya yang menyangkut bisnis. “Pram dan Jassin ternyata pernah mau berbisnis timah. Jassin membawa sampel timah ke Pram, Pram yang mencari pembelinya,” kata Mujib, yang berniat menerbitkan surat-menyurat keduanya.
Kawan lain yang tak terlupakan bagi Pram adalah Ramadhan K.H. Ajip Rosidi, dalam buku Mengenang Ramadhan KH Sebagai Sahabat, menulis Pram yang sangat individualistis menganggap pengarang Priangan Si Jelita itu sebagai sahabat. Salah satu sebabnya, ketika Pram menikah dengan Maemunah Thamrin, Pram tak punya uang di sakunya. Ketika Pram hendak membayar mahar, ia meraba-raba sakunya yang kosong. Ramadhan pun mengambil dompetnya sendiri- sambil berkata, “Ini dompetmu, Pram, tadi terjatuh- di mobil.”
Pram mengakui kejadian itu dalam surat kepada anaknya yang dimuat dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995). Tapi Pram menyebut, ia meraba-raba sa-ku yang tak ada uangnya itu karena harus memba-yar- buku nasihat pernikahan karangan Nazaruddin La-ti-ef.
Kawan lain yang kocak adalah pelukis Djoko Pekik. Ketika bertemu, Djoko menceritakan, mereka saling pamer harta. Sang pelukis yang juga pernah ditahan membanggakan ratusan ternak, mobil Peugeot 206, dan bus bergambar celeng yang diberi judul Pengkhianat Revolusi. Tak mau kalah, Pram membeberkan cerita tentang rumah bertingkat enam miliknya yang dibangun di tengah kebun di Bojong Gede, Bogor. “Ini untuk menunjukkan kemampuan saya kepada Orde Baru,” kata Pram.
“Pamer kekayaan itu adalah bagian dari guyonan kami. Wong dia itu sudah kaya sejak dulu, kok,” kata pelukis Djoko Pekik. Adu pamer itu mungkin akan bertambah seru bila Djoko mengetahui Pram telah menjual hak memfilmkan Bumi Manusia kepada sebuah rumah produksi senilai Rp 1,5 miliar.
Berbagai gambaran Pram itu menunjukkan bahwa sosok yang penuh kontroversi itu punya cerita berwarna. Ia dikecam sekaligus dipuja. Ia dikurung, tapi karyanya terbang bebas. Ia mendapat banyak peng-hargaan internasional, tapi pada saat yang sama miskin- penghargaan di negeri sendiri. Ia membenci, tapi sekaligus santun. Ia menghardik, tapi sekaligus menyapa.
Pram membenci wayang yang mengkultuskan fi-gur, tapi memuja Soekarno. Ia anti-imperialisme dan anti-kapitalisme, tapi tidak anti terhadap pinjam-an luar negeri. Ia gampang menyadari kesalahan, tapi sekaligus sulit meminta maaf. “Ia manusia biasa yang penuh kekurangan,” kata Oey.
Sebagai manusia biasa pula, Pram di saat sengit mempertahankan ide-idenya bisa tiba-tiba berubah lunak, mengajak bicara soal obat kuat, misalnya. Amarzan menceritakan, suatu kali Pram mendatanginya sembari bertanya, “Ada obat kuat model baru?” Amarzan pun menjawab sekenanya.
Oey pun menuturkan, saat pulang dari Amerika pada 1999 lalu, Pram ternyata juga membawa viagra. Beberapa hari kemudian Pram meneleponnya dan memintanya menjual kembali viagra dari Amerika itu. “Mungkin tak manjur. Maklumlah, Pram kan punya gula darah yang tinggi,” ucap Oey.
Gula darah, penyakit jantung, dan belakangan sakit ginjal menggempur tubuhnya. Sebulan sebelum meninggal, Pram pun mengeluh pada Oey. Ia me-rasa kesepian dan tak pernah lagi dikunjungi kawan-kawannya.
Namun, Pram pergi di tengah puluhan kawan yang menjenguknya. Tak seperti Minke, tokoh dalam tetralogi Buru, yang cuma diantar oleh enam pelayat ke pekuburan Karet, Pram berangkat diantar ratusan pelayat yang hiruk menyanyikan lagu-lagu mars, di Karet. Dalam Rumah Kaca, ia berucap: Semua akan bertemu dalam alam mati, tidak peduli raja tidak peduli budaknya. Betapa sederhananya mati.
Dijumput dari: http://id-id.facebook.com/notes/tentang-sastra-dan-budaya/tapol-007-cerita-tentang-seorang-kawan-majalah-tempo-8-mei-2006/198624933526173
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar