03/09/11

Tapol 007: Cerita Tentang Seorang Kawan

Yos Rizal Suriaji, Kurie Suditomo, Evieta Fadjar, LN Idayanie
- Majalah Tempo, 8 Mei 2006

Mereka berbicara tentang seseorang, juga tentang sebuah masa yang jauh.
Oey Hay Djoen datang ke Tempo, Rabu lalu, dengan ditopang sepotong tongkat. U-sianya 77 tahun. Tapi suaranya masih lantang-. Ingatannya pada masa lalu masih jernih. Oey a-dalah aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat dan anggota MPR/DPR GR dari Partai Komunis Indonesia. Ia dikarantina sejak 1969 sampai 1979. Ia menempati Unit 3 Wanayasa. Oey adalah tahanan politik (tapol) berbaju nomor 001.

Wartawan Amarzan Loebis dibuang ke pulau dengan ladang-ladang sagu dan bukit-bukit kayu putih itu pada 1971. Ia menempati Unit 16 dan bernomor 056. Amarzan dipercaya sebagai administratur unit dan dikenal sebagai “Bapak Protokol” lantaran selalu- diminta menjadi pembawa acara.

Mulyono SH ditempatkan di Markas Komando (Mako)- dan dipercaya mengurusi koperasi. Sedangkan Marsudi Sumanto adalah seorang dokter yang tinggal satu barak dengan Mulyono dan bernomor baju 594.

Empat sekawan itu mempercakapkan kisah haru-biru semasa menghuni kamp perbudakan-begitu sebutan- Oey pada Pulau Buru. Juga kisah karib mereka dengan seorang pujangga -begitu Amarzan menyebut-yang baru saja wafat, 30 April lalu. Seorang pengarang- yang telah menerbitkan 50-an buku yang telah diterjemahkan ke dalam 41 bahasa-. Seorang penulis yang dalam beberapa tahun terakhir- dicalonkan sebagai penerima Nobel Sastra. Sang sastrawan itu anggota rombongan pertama tapol yang beranggotakan 500 orang yang dibagi dalam 10 barak. Ia berseberangan tempat tidur dengan Oey di Unit 3 dan bernomor baju 007: Pramoedya Ananta Toer.

Pram bergabung dengan Lekra, sebuah organisa-si ke-budayaan yang punya hubungan erat dengan PKI, pada 1959. Pram kemudian mengasuh ruangan kebudayaan Lentera di harian Bintang Timur, Jakarta, yang berhadap-hadapan dengan para penanda tangan- Manifes Kebudayaan. Ketika ditahan, rumahnya- dirampas, perpustakaannya dijarah dan dibakar, delapan bukunya yang sedang ia tulis dibakar. Gempa politik 1965 telah memelantingkan Pram ke kamp kerja paksa itu. “Sejarah hidup saya adalah sejarah perampasan,” ucap Pram.

Pengarang kelahiran Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925, itu pun bertahan di Buru dengan bekerja dan menulis. Sejak pukul 04.00 pagi hingga petang hari, tapol harus bekerja membuka hutan, menjadikannya sawah dan ladang, membangun jaringan irigasi, jalan, membudidayakan berbagai jenis hewan ternak. Hanya enam bulan pertama tapol diberi makan. Selebihnya, kata Amarzan, “Kami menghi-dupi diri sen-diri dan menghidupi serdadu yang menjaga kami.”

Pram, misalnya, aktif bertukang. “Tapi ia sok mengerti bangunan,” ucap Oey seraya tergelak. Perhitungannya sering meleset. Pernah suatu kali, tutur Oey, Pram menyia-nyiakan bahan bangunan dengan- nilai puluhan juta rupiah hanya dalam beberapa minggu.

Pram acap sok pintar. Selain bertukang, Pram menga-ku mengembangkan tanaman mangga dan menanam sendiri tembakau. “Tapi tembakaunya kerasnya minta ampun,” ucap Pram. Ia juga memelihara delapan ayam. “Saya menjual ayam dan telurnya untuk membeli kertas dan rokok,” kata Pram dalam wawancara dengan Tempo pada Me-i 1999.

Kertas-kertas berukuran kuarto itu selain didapat dari menjual telur ke Namlea, ibu kota Pulau Buru, juga diperoleh dari uluran temantemannya. Mulyono menceritakan, ia selalu menyisihkan jatah kertas dan karbon milik tentara yang ada di koperasi yang ia kelola- untuk Pram. Ini tindakan berbahaya.

Hersri Setiawan, kawan lai-n Pram, yang menghabiskan delapan setengah tahun hidupnya di Buru, menuturkan sebuah perubahan pendekatan. Sebelum Panglima Komando Pengamanan dan Ketertiban Jenderal Soemitro berkunjung pada 1973, kertas dan alat tulis menjadi barang terlarang. Munajid, seorang tapol asal Jawa Barat, misalnya, ketahuan membaca surat kabar. Ia pun disiksa sampai mati.

Soemitro membebaskan para tapol seniman untuk berkreasi. Amarzan dan Mulyono pun menyelenggarakan pentas ludruk. Pram ju-ga mendapat privilege me-nulis. Menurut Hersri, kertas yang digunakan Pram adalah kertas bungkus semen yang disumbangkan oleh teman-temannya sesama tapol.

Dari mana Pram mendapatkan mesin ketik? Sastrawan terkenal Prancis, Jean-Paul Sartre, kabarnya menyumbang mesin ketik untuk Pram. Oey mengaku masih menyimpan surat Sartre yang ditujukan kepada pemerintah saat itu dan ditembuskan kepada Pram. Sartre menuntut pembebasan Pram sembari memberi hadiah mesin ketik. Menurut Oey, mesin ketik yang dipakai Pram bukan mesin ketik dari Sartre, tapi sudah diganti mesin lain.

Dari mesin ketik inilah, kata Oey, lahir delapan karya Pram: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca, Jejak Langkah, Sang Pemula, Arok Dedes, Mangir, dan Arus Balik. Sedangkan Max Lane, penerjemah awal buku-buku Pram ke dalam bahasa Inggris, tak memasukkan Sang Pemula, tapi menambahkan Mata Pusaran yang sampai kini naskahnya belum ditemukan.

Naskah-naskah itu diketik rangkap tujuh, satu diserahkan ke penjaga, sisanya diedarkan kepada teman-temannya termasuk Oey, Mulyono, dr Marsudi, dan Amarzan. Kopian naskah diedarkan di 14 unit desa tapol di Pulau Buru.

Meski bebas menulis, Pram tak diperbolehkan mempublikasikan di luar kamp. Ia membangkang dengan cara menyelundupkan melalui seorang pengemudi kapal- yang membawa bahan makanan atau kayu antar-pu-lau di sekitar Pulau Buru. Dari situ, naskahnya diserahkan ke Gereja Katolik di Namlea untuk diselamatkan. “Jadi, naskah itu diselundupkan secara ber-gelombang, dan berbentuk lembaran-lembaran ker-tas. Sewaktu saya keluar dari Pulau Buru, semua ker-tas dirampas oleh Angkatan Darat,” Pram mengungkapkan.

Sekadar ilustrasi, cerita pembangkangan yang sama dilakukan ketika pemerintah melarang Hasta Mitra-yang didirikan oleh Joesoef Isak, Hasyim Rahman, dan Pram-menerbitkan karya-karya Pram. Joesoef menyiasati penerbitan pada hari Jumat karena pada Sabtu dan Minggu, Kejaksaan Agung libur. Jika mereka ditegur, mereka memintanya dalam perintah tertulis, sementara penjualan terus dilanjutkan. Jika pelarangan tertulis telah mereka dapatkan, Hasta Mitra pun menyelundupkan buku-buku Pram ke luar negeri. Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, misalnya, diterbitkan dulu di Belanda dan baru diterbitkan di Indonesia saat Pram berusia 70 tahun. “Karena dianggap terlalu berbahaya,” kata Joesoef,

Joesoef adalah tapol yang masuk golongan A. Golongan ini dianggap berbahaya dan direncanakan dibawa ke pengadilan karena cukup bukti. Golongan B golongan berbahaya tapi tidak cukup bukti untuk diseret ke pengadilan. Golongan B dibuang ke Buru. “Saya beruntung, belum sempat diadili sudah ada tekanan internasional kepada Soeharto agar menye-lesaikan masalah tahanan politik,” ucap Joesoef.

Menurut Oey, pada tahun-tahun awal di Buru, Pram belum menuliskan kisah-kisahnya. Ia hanya menuturkannya secara lisan kepada teman-temannya di barak I setiap sore sepulang bekerja. Pram duduk di am-ben dan dikelilingi kawan-kawannya. Mula-mula hanya teman satu barak, tapi semakin hari kisah-kisahnya didengar oleh semakin banyak tapol. Cerita yang ia tuturkan sepenuhnya mengandalkan ingatan, dan- kata Oey, “Persis seperti yang tertulis dalam buku.”

Setiap mengakhiri cerita, Pram meminta komentar dari pendengarnya. Belakangan, “dongeng” Pram dan interaksinya dengan kawan-kawannya itu dike-tahui sebagai cara untuk membangkitkan semangat hidup para tapol.

Pram menceritakan, waktu itu keadaan sedang genting karena ada 11 tahanan politik dibunuh. “Saya bercerita untuk mengendurkan ketegangan dan juga untuk menunjukkan: lihat Nyai Ontosoroh, dia perempuan, seorang diri melawan kekuasaan kolonial. Kalian lelaki, masa musibah begitu saja bisa turun morilnya. Dan ternyata berhasil.” Nyai Ontosoroh adalah tokoh dalam novel Bumi Manusia.

Setelah periode “sastra lisan”, Pram menggambar komik, sebelum akhirnya Soemitro memperbolehkannya menulis. Amarzan ingat betul Pram menyusun semacam komik tentang masuknya agama Hindu Hinayana ke Tanah Jawa, Oroh Sanagara namanya. Entah ada di mana naskah itu sekarang.

Amarzan juga ingat suatu kali ia bercerita kepada Pram bahwa kepala adat di Pulau Buru menyimpan buku dari lembaran-lembaran tembaga dan menyim-pannya dalam bumbungan bambu. Buku itu ditulis dalam bahasa yang tak dikenali para tapol. Mendengar cerita itu, secara spontan Pram berseru, “Curi saja! Itu milik nasional.” Ide gila Pram itu tentu saja tak ditanggapi.

Mulyono juga menuturkan Pram kerap mengail ide dari penduduk Buru. Ia antara lain bertemu dengan- beberapa guru sejarah yang ada di sana untuk mencocokkan pengetahuan tentang sejarah Majapahit dan Singasari. Guru-guru itulah yang memasok bahan pada Pram saat menulis Arus Balik dan Arok Dedes.

Sedangkan dalam tetralogi Buru, Pram memperoleh data jauh sebelum ia ditahan di Buru. Ketika mengajar di Universitas Res Publica (sekarang Universitas Trisakti) pada 1962-1965, ia memberi tugas kepada setiap mahasiswa untuk mempelajari koran selama satu tahun, lalu membuat naskah kerja. Dari tugas-tugas mahasiswanyalah Pram mendapat sumber-sumber historis. Ia mengingat setiap detail sebelum menuangkannya menjadi “sastra lisan”.

Kehidupan di kamp pengasingan itu digambarkan- Amarzan sebagai kehidupan yang pedih. Tapi, dengan- menulis dan bekerja, kata Marsudi, “Pram mem-beri teladan bagaimana bertahan dalam penderitaan.”

Dokter yang menangani penyakit diabetes Pram itu mencontohkan bagaimana di tanah pembuangan Pram, melalui surat-suratnya, masih memberi sema-ngat pada istri dan anak-anaknya yang ditinggalkan. Marsudi tak tahu apakah surat-surat Pram itu dikirimkan oleh penguasa teritori Buru. Tapi suatu kali ia pernah membaca sebuah surat Pram yang tergeletak di meja seorang jaksa di Buru yang ditujukan kepada Astuti Ananta Toer, anaknya. Isinya tentang ayah Astuti yang pasti akan pulang dan menceri-takan sejumlah perubahan yang akan terjadi jika ia pulang.

Selain menerima surat dari Sartre, Pram juga menerima surat dari Presiden Soeharto, yang sangat ia benci. Tapi uniknya, kata Amarzan, Pram menjawab surat Soeharto itu dalam nada yang santun.

Paradoks ini juga terjadi dalam hubungannya dengan H.B Jassin. Bagi Pram, Jassin adalah guru yang mengajarkan nilai-nilai humanisme universal. Tapi lantaran Jassin tak bereaksi ketika 1,5 juta orang digelandang sebagai tapol, Pram menjauh dari Jassin. Ia bahkan tak mau menengok Jassin ketika sakit.

Surat-menyurat Jassin-Pram, menurut Mujib Hermani dari Penerbit Lentera Dipantara, dapat dibagi menjadi beberapa periode: ketika Pram menganggap Jassin sebagai guru, periode Pram menganggap Jassin sebagai teman, dan periode Pram yang berseberangan dengan Jassin. Yang agak lucu, ada suratme-nyurat keduanya yang menyangkut bisnis. “Pram dan Jassin ternyata pernah mau berbisnis timah. Jassin membawa sampel timah ke Pram, Pram yang mencari pembelinya,” kata Mujib, yang berniat menerbitkan surat-menyurat keduanya.

Kawan lain yang tak terlupakan bagi Pram adalah Ramadhan K.H. Ajip Rosidi, dalam buku Mengenang Ramadhan KH Sebagai Sahabat, menulis Pram yang sangat individualistis menganggap pengarang Priangan Si Jelita itu sebagai sahabat. Salah satu sebabnya, ketika Pram menikah dengan Maemunah Thamrin, Pram tak punya uang di sakunya. Ketika Pram hendak membayar mahar, ia meraba-raba sakunya yang kosong. Ramadhan pun mengambil dompetnya sendiri- sambil berkata, “Ini dompetmu, Pram, tadi terjatuh- di mobil.”

Pram mengakui kejadian itu dalam surat kepada anaknya yang dimuat dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995). Tapi Pram menyebut, ia meraba-raba sa-ku yang tak ada uangnya itu karena harus memba-yar- buku nasihat pernikahan karangan Nazaruddin La-ti-ef.

Kawan lain yang kocak adalah pelukis Djoko Pekik. Ketika bertemu, Djoko menceritakan, mereka saling pamer harta. Sang pelukis yang juga pernah ditahan membanggakan ratusan ternak, mobil Peugeot 206, dan bus bergambar celeng yang diberi judul Pengkhianat Revolusi. Tak mau kalah, Pram membeberkan cerita tentang rumah bertingkat enam miliknya yang dibangun di tengah kebun di Bojong Gede, Bogor. “Ini untuk menunjukkan kemampuan saya kepada Orde Baru,” kata Pram.

“Pamer kekayaan itu adalah bagian dari guyonan kami. Wong dia itu sudah kaya sejak dulu, kok,” kata pelukis Djoko Pekik. Adu pamer itu mungkin akan bertambah seru bila Djoko mengetahui Pram telah menjual hak memfilmkan Bumi Manusia kepada sebuah rumah produksi senilai Rp 1,5 miliar.

Berbagai gambaran Pram itu menunjukkan bahwa sosok yang penuh kontroversi itu punya cerita berwarna. Ia dikecam sekaligus dipuja. Ia dikurung, tapi karyanya terbang bebas. Ia mendapat banyak peng-hargaan internasional, tapi pada saat yang sama miskin- penghargaan di negeri sendiri. Ia membenci, tapi sekaligus santun. Ia menghardik, tapi sekaligus menyapa.

Pram membenci wayang yang mengkultuskan fi-gur, tapi memuja Soekarno. Ia anti-imperialisme dan anti-kapitalisme, tapi tidak anti terhadap pinjam-an luar negeri. Ia gampang menyadari kesalahan, tapi sekaligus sulit meminta maaf. “Ia manusia biasa yang penuh kekurangan,” kata Oey.

Sebagai manusia biasa pula, Pram di saat sengit mempertahankan ide-idenya bisa tiba-tiba berubah lunak, mengajak bicara soal obat kuat, misalnya. Amarzan menceritakan, suatu kali Pram mendatanginya sembari bertanya, “Ada obat kuat model baru?” Amarzan pun menjawab sekenanya.

Oey pun menuturkan, saat pulang dari Amerika pada 1999 lalu, Pram ternyata juga membawa viagra. Beberapa hari kemudian Pram meneleponnya dan memintanya menjual kembali viagra dari Amerika itu. “Mungkin tak manjur. Maklumlah, Pram kan punya gula darah yang tinggi,” ucap Oey.

Gula darah, penyakit jantung, dan belakangan sakit ginjal menggempur tubuhnya. Sebulan sebelum meninggal, Pram pun mengeluh pada Oey. Ia me-rasa kesepian dan tak pernah lagi dikunjungi kawan-kawannya.

Namun, Pram pergi di tengah puluhan kawan yang menjenguknya. Tak seperti Minke, tokoh dalam tetralogi Buru, yang cuma diantar oleh enam pelayat ke pekuburan Karet, Pram berangkat diantar ratusan pelayat yang hiruk menyanyikan lagu-lagu mars, di Karet. Dalam Rumah Kaca, ia berucap: Semua akan bertemu dalam alam mati, tidak peduli raja tidak peduli budaknya. Betapa sederhananya mati.

Dijumput dari: http://id-id.facebook.com/notes/tentang-sastra-dan-budaya/tapol-007-cerita-tentang-seorang-kawan-majalah-tempo-8-mei-2006/198624933526173

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita