05/08/11

Peristiwa: Afair Manikebu, 1963-1964 (VIII)

Setelah menelisiki sumber terkait, dimungkinkan tulisan ini bertitel “Afair Manikebu, 1963-1964? karya Goenawan Mohamad (dan dengan segala maaf, pemosting membuat paragraf sendiri, karena sumbernya rapat).
http://tempointeraktif.com/

VIII

DENGAN semangat seperti itu sebenarnya Manifes Kebudayaan menentang semboyan “Politik Sebagai Panglima”. Tentu saja pengertian “politik” bisa bermacam-macam – dan tampaknya dari kalangan Lekra sendiri tak cukup bisa ditarik konklusi yang satu.

Di sekitar Hari Sumpah Pemuda di tahun 1962, Pramudya Ananta Toer berceramah di Gedung GRIS Semarang. Di meja pembicara, ia didampingi para dosen sastra – dan juga seorang perwira penerangan dari Kodam VII. Dalam acara tanya jawab, seorang penanya maju: “Seni untuk politik apakah tidak merusak seni?” Jawab Pramudya: “Tidak ada sesuatu yang tidak pakai politik.” 8 )

“Politik”, dalam konteks itu, barangkali seperti yang dimaksudkan Maxim Gorki dalam pidato di tahun 1934 dan dikutip Takdir Alisjahbana di sekitar tahun 1938. Gorki menolak pendapat bahwa kesusastraan itu “berdiri di luar politik”. Katanya, sebagaimana disalin oleh Takdir dari versi Belanda:

“Sebab, karena politik itu sesungguhnya memasuki dan menguasai segala hidup, maka takut akan politik itu berarti lari dari hidup.” 29).

Latar belakang statemen semacam itu agaknya harus dilihat dari pandangan Marxisme-Leninisme, bahwa hidup terbangun dari perjuangan kelas yang manifestasinya adalah perjuangan politik dan karena seluruh hidup dikuasai oleh perjuangan kelas, maka tak seorang pun bisa mengelak dari pergulatan politik yang ada di dalamnya.

Namun, pada saat yang sama, pengertian “politik” di kalangan Lekra juga terkadang mirip dengan pengertian “sikap”, atau “pendirian”. Karena dalam pengertian Marxis-Leninis setiap person mencerminkan kelasnya, maka pendirian pribadi pada akhirnya juga pendirian suatu kelas.

Karena kelas sosial berjuang dalam pergulatan politik, maka pendirian pribadi adalah pendirian politik. Ini tercermin, misalnya, dalam sebuah pernyataan Njoto, salah seorang pemimpin PKI dan penulis cemerlang (dengan nama Iramani) yang sangat dekat di hati banyak penulis Lekra.

Dalam sebuah pidato di akhir Februari tahun 1962, tak lama setelah majalah Sastra memberikan hadiah sastra kepada B. Sularto, Njoto mencoba menunjukkan bahwa “mereka” (maksudnya Jassin dan kawan-kawan) memberikan hadiah kepada karya-karya sastra yang “penuh politik”.

Dengan demikian, tidak betul bahwa kesusastraan “mereka” itu tidak ber”politik”. “Teranglah,” ujar Njoto, “bahwa bukan kehadiran politik dalam kesenian itu yang mereka tolak.” Dengan kata lain, mereka sebenarnya sama dengan Lekra, tapi juga berbeda: bila Lekra “menuliskan politik revolusioner dalam karya-karya literer, ” kata Njoto, maka “mereka menghasilkan politik reaksioner dalam tulisan-tulisan yang samasekali tidak literer.” 30)

Tapi pengertian “politik” sebagai “pandangan” atau “sikap” itu nampaknya dalam kosa kata PKI juga berbaur dengan pengertian “politik” sebagai pengarahan – atau garis politik – dari Partai.

Pada dasarnya, “komandoisme” inilah yang ditentang oleh Manifes Kebudayaan, ketika para pendukungnya menampik semboyan “Politik Sebagai Panglima”. Sebab, “Manikebu” tidaklah sama dengan pendirian “seni untuk seni” – walaupun itulah yang dituduhkan D.N. Aidit ketika ia berpidato panjang di depan sebuah konperensi seniman dan sastrawan yang diselenggarakan PKI tiga bulan setelah Manifes Kebudayaan dilarang. 31)

Bagi para penandatangan Manifes itu – seperti yang nampak pada tulisan Arief Budiman atau Dick Hartoko yang telah dikutip di atas – seni dan kesusastraan pada kodratnya sendiri mengandung “pengabdian”, atau peran yang tak cuma untuk dirinya sendiri.

Khususnya bagi saya, semboyan “seni untuk seni” itu toh hasil dari suatu proses di dalam sejarah Eropa yang tak pernah terjadi di Indonesia – konon ketika penyair seperti Baudelaire atau Pushkin menolak kegiatan sastra mereka digunakan buat melayani yang berkuasa.

Di Indonesia, sejak kesusastraan lama sampai dengan mutakhir, penolakan yang sadar – dan secara bersama-sama – terhadap fungsi ekstra-literer kesusastraan tak pernah terjadi. Atau tak cukup kuat, bukan pula suatu “gerakan”.

Tak mengherankan sebenarnya bahwa bukan saja semboyan itu tak disebut oleh Manifes Kebudayaan, tapi juga “Manikebu’t itu menolak untuk meletakkan pertimbangan estetik sebagai asas yang paling menentukan dalam kritik kesenian.

Bab “Penjelasan” Manifes Kebudayaan bahkan mengisyaratkan – dengan agak berputar-putar, memang – bahwa memberikan prioritas kepada “estetika murni” akan merupakan “imperialisme” kaum estet, dan itu harus ditolak.

Manifes justru meneguhkan komitmen sosial yang dipancarkan kesenian. “Pekerjaan seorang seniman”, demikianlah ditulis di dalam “Penjelasan”, “senantiasa harus dilakukan di tengah-tengah dunia yang penuh dengan masalah-masalah….” Dan seniman tak dibutuhkan lagi, seandainya nanti “dunia sempurna”.

Namun satu motif dasar yang ada dalam Manifes Kebudayaan adalah ketidakpercayaan bahwa dunia pada akhirnya akan bisa seperti itu. “Kami tidak pernah berpikir tentang suatu zaman di mana tak ada masalah lagi,” kata “Manikebu”. “Kami tidak mungkin menerima setiap bentuk utopia”, karena “dunia ini bukan sorga”.

Dari sini, Manifes Kebudayaan pada hakikatnya adalah suatu usaha memberikan alternatif pemikiran, setelah ia menolak penjelasan utopianistis tentang revolusi. Dan di situlah ia sebenar-benarnya berbeda dengan pendirian Marxis-Leninis, yang bersandar pada semacam “eskatologi”: mengabdi hari ini, seraya membayangkan surga di kemudian hari.

Bentuk surga di bumi itu, bagi kaum Marxis-Leninis, adalah suatu masyarakat yang tak berkelas, suatu masyarakat yang tak ada lagi penindasan, dan tak lagi membutuhkan kekuasaan negara – pendeknya suatu masyarakat masa depan yang begitu indah sehingga untuk ke sana, segala-galanya harus bisa dikorbankan, termasuk kemungkinan manusia menikmati kebebasannya di hari sekarang.

Manifes Kebudayaan tidak memiliki “eskatologi” seperti itu. Revolusi, bagi “Manikebu”, memang bisa mengubah keadaan yang buruk dalam hidup manusia, dan pengorbanan untuk perubahan itu dapat dimaklumi. Tetapi revolusi, seperti terbukti dalam sejarah, juga ternyata bisa melahirkan suatu kelas baru, yang bisa memberangus kreatifitas manusia dan menginjak kehendak lebih lanjut untuk perbaikan.

Saya kira di balik kepala para “Manikebuis”, jelas ataupun samar, hadir telaah bekas pemimpin komunis Yugoslavia, Milovan Djilas, tentang telah timbulnya “kelas baru” di negeri-negeri sosialis – negeri yang semula justru ingin menghapuskan kelas dari masyarakatnya.

Manifes Kebudayaan memang tak menyebut Djilas atau yang lain. Naskah itu akan jadi terlampau provokatif. Sebagai gantinya, Manifes itu menyebut, mungkin semacam “peringatan” yang teramat samar, pengkhianatan kaum burjuasi setelah menang Revolusi Prancis.

Dengan menyadari pengkhianatan seperti itu, pengorbanan hari ini untuk cita-cita Revolusi harus dihindarkan untuk menjadi sesuatu yang absolut dan total. Maka kemerdekaan jiwa, kegembiraan bermain, keindahan ekspresi kesenian – hal-hal seperti itu pada akhirnya harus tetap hadir, untuk keselamatan manusia juga. Itu semua tak boleh ditembak mati biarpun atas nama “Revolusi”.

Dalam tema Manifes Kebudayaan, peran para seniman dan inteligensialah untuk menjaga agar pelbagai ekspresi kemerdekaan jiwa itu tidak ditembak mati, biarpun Revolusi menghendaki disiplin, ketaatan kepada ajaran dan kepada keputusan pimpinan.

Di situ pula sumber penolakannya kepada asas “Politik Sebagai Panglima”. Manifes Kebudayaan menganggap perjuangan politik penting (suatu “faktor positif”, katanya, “sebagai kekuatan baru yang terbentuk di tengah-tengah penindasan kekuatan lama”), tapi ia menolak anggapan bahwa hidup hanya bisa sepenuhnya diterjemahkan sebagai arena perjuangan politik.

Ia dengan demikian juga tak bisa menerima prinsip bahwa pemegang kekuasaan politik, mereka yang memimpin, boleh menentukan segala-galanya. Saya ingat bahwa sebuah buku yang saya ikut baca bersama beberapa teman di masa itu adalah esei Herbert Read, The Politics of the Unpolitical (tentu saja saya pinjam dari perpustakaan Wiratmo yang berimpit-impit itu).

Tokoh teladan dalam buku ini adalah orang seperti Gandhi dan Isa Almasih: orang-orang yang tidak hendak mengikatkan diri kepada ilusi tentang kesempurnaan dunia, tetapi toh terus berjuang untuk keadaan yang lebih adil, lebih tanpa luka.

Banyak penulis “Manikebu” mengambil dongeng tentang Sisiphus sebagaimana ditafsirkan oleh Albert Camus (Camus memang sering dikutip, semacam jadi mode, karena satu dan lain hal): manusia yang berikhtiar terus-menerus, sebuah maraton panjang tanpa garis finis yang jelas, sebuah perjalanan menuju anak tangga terakhir di kaki langit yang dicita-citakan – suatu titik yang, bila dihampiri, ternyata menjauh lagi. 32)

Dengan pandangan antiutopian yang seperti itulah, naskah Manifes Kebudayaan merumuskan sikap kesenian dan pemikiran yang selalu merasa perlu mengambil jarak dari kekuasaan. Pemikiran Marxis memang mengatakan bahwa kebudayaan yang ada pada suatu masa adalah kebudayaan dari kelas yang berkuasa – mungkin dari sini pula teoretikus Marxis seperti Gramsci berbicara tentang konsep “hegemoni”.

Pandangan itu tak sepenuhnya keliru. Tapi Manifes mencoba menunjukkan bahwa sejarah toh juga punya cerita lain: “justru karena tidak termasuk dalam kelas yang berkuasa, orang dapat membentuk kekuatan (terutama kekuatan kreatif–G.M.) baru”.

Penting agaknya diingat bahwa Manifes Kebudayaan disusun di tahun 1963. Itu adalah masa ketika di Uni Soviet, selepas Stalin, kesusastraan Rusia seakan-akan menampilkan vitalitasnya yang selama itu tersembunyi.

Novel Dr. Zhivago terbit (dan kemudian diterjemahkan Trisno Sumardjo), meskipun hal itu kemudian menyebabkan Boris Pasternak, pengarangnya, diganyang. Buku itu bagaimanapun sangat mengesankan, biarpun Pasternak oleh Njoto disebut sebagai “pengkhianat” dan oleh Pramudya dikecam sebagai melakukan “fitnah” terhadap Revolusi Bolsyewik.

Karya-karya sinematik Grigori Chukrai lahir, misalnya (dalam versi Inggris) The Balladofa Soldier, dan menyentuh hati – meskipun kemudian di RRC dihantam sebagai karya kaum “revisionis”. Semua itu memperkuat argumen bahwa kekuatan kreatif tidak mudah untuk ditekan dan ditelan oleh selera yang berkuasa. Semua itu juga menunjukkan betapa absurdnya sering akibat “komandoisme” yang ditentukan oleh Partai.

Film seperti The Ballad of a Soldier itu, umpamanya. Tokohnya seorang prajurit muda, yang dengan perang, dan kehilangan seorang gadis yang begitu damai. Kisah seperti ini sangat berbeda dari konsep “hero positif” yang berotot dan gagah berani, ataupun “manusia baru” yang perkasa yang selama itu, sejak masa Stalin, jadi salah satu formula realisme-sosialis.

Dari Cina sendiri tampak ada usaha para sastrawannya untuk menolak, atau menghindar, dari “sloganisme” dan “posterisme” yang terdapat dalam kesusastraan mereka waktu itu. Setidaknya ini saya simpulkan dari sebuah diskusi di Jakarta di tahun 1963, yang diselenggarakan Lekra dan dihadiri beberapa pengarang RRC.

Mereka ini menganggap “sloganisme”, “posterisme”, dan “formulisme” dalam kesusastraan mereka sebagai akibat para pengarangnya kurang memahami bahwa kehidupan adalah sesuatu yang kompleks. 33) Pengakuan terhadap hidup sebagai sesuatu yang kompleks berarti pengakuan bahwa “tak ada satu rumusan yang mampu melingkupi seluruh pengertian kehidupan” – hal yang sebenarnya pemah dikemukakan Jassin di awal 1963, dalam membela kebijaksanaan editorialnya yang menangkis cap “reaksioner” atas Sastra.34)

Dan pengakuan seperti itu tentu tak mudah diekspresikan di dalam karya yang memang harus mengikut formula yang bersifat partisan. Tapi rasanya justru “taat formula” itulah yang masih terasa dalam pelbagai karya Lekra di tahun 1960-an itu – sesuatu hal yang memang, akhirnya, tak menyebabkan doktrin “realisme sosiaiis” di Indonesia menjadi memikat. Namun, sebenarnya, sikap “Manikebu” pada umumnya terhadap karya-karya Lekra tidaklah serta-merta bermusuhan.

Bagi saya, setidaknya, sajak-sajak Agam Wispi dan Dodong Djiwapradja, juga Rivai Apin dan Hr. Bandaharo, tetap termasuk puisi terbaik Indonesia, hingga sekarang. Esei-esei Buyung Saleh, misalnya yang kita dapatkan dalam majalah Indonesia tahun 1950-an dan dalam majalah Siasat pada periode yang sama – ketika perbedaan pandangan politik belum lagi menyebabkan para penulis mempunyai media yang berbeda-beda, ketika perdebatan tidak disertai ancaman pengganyangan dan “pembabatan” – merupakan karya pemikiran yang berharga untuk seterusnya.

Begitu pula tulisan Klara Akustia seperti yang ditujukannya untuk mendebat Jassin, “Kita Adalah Anak Zaman Kini “, yang dimuat di “Lentera” di akhir tahun 1962, tetap layak dibaca siapa pun, walaupun tak usah setuju dengan kesimpulannya. Studi Pramudya tentang Mas Marco dan Tirto Adisurjo juga jelas besar sumbangannya buat penulisan sejarah.

Daftar ini bias ditambah dengan sketsa-sketsa segar yang cemerlang yang ditulis Iramani di Htq Minggu, “Dari Buku Catatan Seorang Publisis”. Jassin sendiri, seakan mengulangi sikapnya sejak ia menyusun Gema Tanah Air, tidak menolak karya-karya “realisme-sosialis” sebagaimana ia nyatakan di kata pengantar tahunannya untuk Sastra tahun 1963:

“Kami sama sekali tidak keberatan terhadap tendensi yang dikehendaki realisme sosialis itu, tetapi . . kami menolak karangan yang hanya baik buat keranjang sampah disuguhkan sebagai realisme-sosialis, hanya karena dalamnya pengarang menyebut-nyebut rakyat dan perjuangan. 35)

Agaknya satu petunjuk tentang kesediaan Jassin itu ialah pemuatan sajak panjang yang mengesankan karya Dodong Djiwapradja, penyair Lekra terkemuka itu, dalam Sastra beberapa nomor kemudian.36)

Bahkan jauh sebelumnya, di nomor pertamanya di tahun 1962, Jassin memuat perkenalan dengan kesusastraan masa kini (sosialis) Polandia, yang pengantarnya menyebutkan bahwa berbicara tentang kesusastraan dunia tak cukup dengan hanya melihat ke karya-karya sastra dari apa yang disebut “dunia bebas”. 37)

Dalam sikap yang sama, Manifes Kebudayaan pun menerima ajaran revolusoner resmi waktu itu tanpa maksud lain yang tersembunyi. Sitor Situmorang, dalam sebuah ceramah di awal 1965, mengatakan bahwa “Manikebu” yang sudah dilarang itu “mengoper semboyan-semboyan dan istilah-istilah revolusi, tapi didasarkan atas sikap permusuhan dan penolakan terhadap revolusi”.38)

Saya kira Sitor keliru, salah tafsir – atau memang itulah yang harus dilakukannya untuk membersihkan sisa “Manikebu” lebih lanjut. Menurut ingatan saya, penerimaan Manifes Kebudayaan terhadap “teori” revolusi yang resmi waktu itu, penerimaan Manifes terhadap pikiran-pikiran Bung Karno, lebih didasarkan atas pengakuan yang sederhana: memang ada kebenaran yang terkandung di sana.39)

Hanya Manifes Kebudayaan memberi penekanan khusus, sesuai dengan kecenderungannya yang besar untuk menghindari “pemamahbiakan”: ideologi resmi itu tidak diterimanya sebagai sesuatu yang telah tertutup atau berhenti.

Karena itulah salah satu kalimat yang sering dikutip oleh para penandatangan Manifes adalah, “Kami tidak menyembah aksara.” Dalam hubungan itulah, seperti dikatakan dalam Manifes Kebudayaan, doktrin realisme-sosialis yang seperti ditentukan oleh Stalin tidak dapat diterima.

Doktrin itu terutama didekritkan oleh A.A. Zhdanov, pembantu Stalin yang mengontrol seni dan kesusastraan, di tahun 1934 di Kongres Pertama Penulis Soviet. Garis itu tampak sekali harus dipatuhi.

Di tahun 1946, misalnya, Zhdanov mengganyang penyair seperti Akhmatowa dan Pasternak, yang dituduhnya “meracuni” jiwa pemuda Soviet dengan tulisan-tulisan yang dekaden, a-politik, dan vulgar, dan Partai pun menutup majalah Leningrad serta melarang majalah Zvesda memuat sajak-sajak Akhmatowa dan “sejenisnya”. 40)

Toh sementara itu, bagi Manifes Kebudayaan, realisme-sosialis seperti dikemukakan Gorki disambut baik. Pikiran Gorki itu dianggap “searah” dangan “garis Manifes”. Memang, dalam naskah Manifes, tidak begitu jelas apa sebenarnya dari Gorki yang disetujuinya, mengingat hubungan Gorki dengan kekuasaan Partai berubah-ubah:

tulisannya pernah diberangus Lenin, tapi toh ia kemudian bisa bekerja sama dengan pimpinan Partai. Yang agak pasti ialah bahwa bagi para penandatangan Manifes, tidak sukar untuk menerima sikap Gorki yang bersedia mengakui pelbagai macam sumbangan kesusastraan dunia sebagai sesuatu yang sejalan dengan cita-cita revolusi: baik itu cerita rakyat maupun karya Goethe dan Shelley.

Sebab, pada dasamya, inilah yang dilihat Manifes Kebudayaan: kesusastraan senantiasa dapat berharga, biarpun tidak diciptakan menurut ketentuan yang sudah dipatok oleh yang berkuasa. Justru dalam kebebasannya, kesusastraan bisa lebih jujur, dan dalam kejujuran itu, ia tidak sekadar sebuah propaganda.

Propaganda dengan mudah terjadi ketika komitmen sosial kesusastraan menyempit menjadi sekadar afiliasi politik, dan ketika afiliasi ini pun makin menyempit menjadi sekadar kesetiaan kepada “komandoisme” Partai.41)

Propaganda dengan mudah juga terjadi ketika seorang pengarang, dalam kata-kata seorang kritikus Cina di tahun 1963, “tidak mengindahkan pembaca-pembacanya serta mengabaikan kebutuhan mereka untuk menciptakan kembali sesuatu bagi diri mereka sendiri.” 42)

Dalam hubungan itulah beberapa penulis “Manikebu”, saya kira termasuk saya juga, senang mendapatkan sebuah kutipan dari kata-kata Lu Hsun, sastrawan Cina yang oleh Mao pernah disebut sebagai “seorang pemikir besar dan seorang revolusioner besar”, tapi yang di tahun 1936 pernah diserang oleh para birokrat Partai:
“Setiap kesusastraan adalah propaganda, tapi tidak setiap propaganda itu kesusastraan.”

Saya tidak tahu sejauh mana ucapan-ucapan Lu Hsun itu dibaca – dan punya gema – di kalangan sastrawan Lekra waktu itu. Kumpulan tulisannya diterbitkan di Peking di tahun 1963, dan bentuk terjemahannya masuk ke Indonesia melalui toko buku yang biasa saya kunjungi, di kantor CC PKI di Kramat Raya (sekarang kantor Ditjen Pariwisata), tempat tersedia penerbitan murah dari Moskow maupun Beijing.

Bagi saya dan mungkin beberapa “Manikebuis” lain, Lu Hsun punya daya tarik tersendiri. Novel kecilnya yang terkenal, Riwayat Kita: Ah Q, pernah diterbitkan versi Indonesianya di tahun 1956 oleh Pustaka Rakjat, penerbitan milik S. Takdir Alisjahbana. Salah satu pidatonya di tahun 1972 yang diterjemahkan dalam Sastra, Maret 1963, berkata, dengan gayanya yang khas, ia “secara pribadi” menyangkal pendapat bahwa kesusastraan berpengaruh besar dalam revolusi.

Salah satu kalimatnya yang lucu tentang kekacauan pengertian “revolusi” dan “kontrarevolusi” tak mudah dilupakan dalam seri cerita Asia-Afrika yang dialihbahasakan Trisno Sumardjo dalam Sastra sejak awal 1962.

Dengan kata lain, ada yang bagi saya terasa “manikebuis” dalam tulisan pengarang ini – dan tak mengherankan bila dari Lu Hsun saya kemudian menemukan satu kutipan lain yang lebih mengejutkan: “Pada hemat saya, kesusastraan apa pun yang dapat dipakai untuk tujuan propaganda politik tak mempunyai daya persuasif. Kesusastraan yang baik selalu menolak untuk dipesan dari luar . . . secara spontan ia memercik dari hati.”43)

Bahwa Lu Hsun, yang meninggal di tahun 1936, tetap dihormati Mao, sebenarnya mengandung harapan: jika bagi revolusi Cina pun adatempat buat orang seperti dia, bagi revolusi Indonesia pun akan ada kemungkinan “Manikebu” tidak usah dianggap sebagai sesuatu yang hanus dihancurkan.

Malah pernah sebenarnya saya diam-diam mengharap bahwa perdebatan yang timbul karena Manifes Kebudayaan itu akan berlangsung sebagai penelusuran dan pencarian ide, seperti yang terjadi di kalangan para penulis dan intelektual Indonesia di tahun 1930-an, yang kemudian disebut sebagai “Polemik Kebudayaan”. Siapa tahu akan lahir tingkat pemikiran, atau suatu “sintesa”, yang lebih tinggi. Tapi itu tentu saja hanya kenaifan libeal saya.

Sumber: http://ip52-214.cbn.net.id/id/arsip/1988/05/21/REF/mbm.19880521.REF27251.id.html
Sumber terkait: http://goenawanmohamad.com/puisi/lagu-pekerja-malam.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita