18/08/11

Octavio Paz dan Sajak “Tetangga Jauh”

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=501


Setiap penyair mempunyai pamor tersendiri, memancarkan kharisma masing-masing, menebarkan daya pikat sekuat pencariannya menyetubuhi hidup dalam kehidupan. Mereka berjenis-jenis burung mengisi hutan belantara, memadu kicauan, kadang berbentur saing, demi telinga yang menyusuri tapakan sunyi, menuju dataran tinggi kesaksian.

Dalam belantara kata bersimpan sejarah bersama kandungannya pelbagai pengetahuan, mengikuti putaran bumi mengelilingi matahari, memusari milenium cahaya, mendekami relungan kelam kemanusiaan. Renungan hari-hari peperangan, di antara berkabar pendapat, membagi-bagi bebijian perolehan, rasa buah-buahan, pula saling hadiahi berita ke tanah-tanah yang dipijaknya.

Ia yang hadir di penghujung abad dengan sayap-sayap berkilauan atas mempurnakan pendapatan abad silam-semilam akan cukup lama dikenang, jikalau aku masih ragu menyebutnya abadi. Atau yang mampu menjebol tanggul kebuntuan untuk paras cantik kebijakan dunia sealunan sejati rasa; keadilan demi kemakmuran bersama.

Paz, pemilik background antropologi, dengan leluasa menyinahui gejala-gejala terkandung dalam gerak peredaran bumi. Bacaannya yang menawan pada sejarah panjang perpuisian, dan menemui belahan-belahannya di berbagai negeri lain, cukuplah bisa meringkas sebagai pengetahaun tersendiri bagi jiwanya.

Ku kira gaya Paz membaca pelbagai keilmuan puitik seimbang, berusaha seobyektif mungkin demi tiada pemberontakan di kemudian hari. Ia penggal kebijakan kuasa, lewat memadukan harmoni berserakan sedari puing-puing kepurbaan direkatkan kemenjadian atas keadaan diri. Menempati pribadinya di sudut lapang serupa teaterawan telah akrab batasan panggung, serta jangkauan cahaya sejarah yang diyakininya.

Bersegenap pengetahuan diimani mampu menjelma kata-katanya menyihir. Atau diri memiliki keyakinan lebih itu, menujum yang diandaikan para penerusnya sudi mendengar setiap lekuk-liku ocehannya. Melalui esai-esainya ia tebarkan faham seolah pewaris abad 20 serta abad-abad sebelumnya, dan yang memberi pencerahan selanjutnya.

Tidak diragukan, yang langsung menelan tutur katanya tanpa curiga, sebab tersedot nilai-nilai kebenaran logika yang diusungnya, merasa jadi bagian sejarah kata-katanya. Tertarik bagaikan jarum terikat kuat pada lempengan magnet, imbasnya banyak corak perpuisian semodel pencarian di atas perolehan kepenyairannya.

Mereka terpedaya mengamini, mengusahakan diri sampai tetahap ditentukannya, seperti perkawinan silang burung-burung hampir sejenis menghasilkan bentuk percontohan, jenis Paz. Di sini tak menafikan beburung saling belajar, demi mempurnakan fitroh diembannya. Namun kukira seorang penyair bukan sejenis burung pentet, yang lihai memainkan suara-suara burung lain hingga lupa kodrat suara aslinya.

Kemarin diriku menziarahi percandian peninggalan kerajaan Majapahit, sambil jiwa ini teruapi bencah tanah tua nenek moyang, debu-debunya purbawi mengabarkan jalinan riwayat terus terdengar, bagi bathin senantiasa merawat kepekaan. Aku telusuri kembali siapakah Paz? Penyair yang meninggal di tahun 1998, di mana waktu tersebut aku sedang getol-getolnya membabat alas jiwa, perbanyak memuntahkan kalimah semasa di Jogjakarta.

Octavio Paz pernah berujar: “begitu banyak teori, dan tak satu pun yang benar-benar meyakinkan.”

Dan diriku yang dipenuhi keyakinan atas tapak langkah kaki seiring takdir diberikan, terpukau dengan karya-karya nun purna penggarapannya, meski dari seorang tak banyak kubaca guratannya. Adalah sepotong wajah, selembar puisi pun dapat dijelajahi masa-masa silam sang penyampai atas segala daya tercenung. Lalu perasaan sampai kala merasai kesaksiannya luar biasa bereaksi dalam tubuh seorang diri.

Kali ini aku petik buah puisinya yang bertitel:

TETANGGA JAUH

Semalam pohon abu
Nyaris bicara-
Tapi tak.

Dan entah di tahun berapa, aku mengguratkan jawaban puisi tersebut dengan pahatan penaku, bertinta warna merah sebagaimana di bawah ini:

JAWABAN NUREL

Sapaanmu meragukanku
diri
memendam rindu
dendam, cemburu.

Untuk puisi Paz di atas, aku dapatkan di buku berjudul OKTAVIO PAZ, Puisi dan Esai Terpilih, Penerjemah Arif B. Prasetyo, Cetakan Pertama, Mei 2002, Bentang Budaya Yogyakarta. Dan di bawah ini, aku kan mencoba meneruskan melalui sesirat karyanya tersebut, ke dalam bentukan penafsiran.

Tetangga Jauh:

Suara lain yang tak terdengar telinga jasad, tapi terngiang sekabar berita yang disampaikan angin perkiraan, musim cuaca rindu, kawasan terdekat akrab, namun masih punya sekat. Bukan jarak, tetapi serasa masa peralihan, wilayah penerjemah, di situ Paz berkehendak mensucikan tradisi puitika, seperti yang ia utarakan:

“Kita bukannya tengah mengalami akhir puisi seperti kata sebagian orang, tetapi akhir dari tradisi puitik yang dimulai Zaman Romantik agung: tradisi yang memuncak bersama para penyair Simbolis dan memasuki wilayah senjakala yang menakjubkan dengan datangnya kaum seniman garda-depan abad kita. Seni yang lain kini menyembul di ufuk fajar.”

Yang menujum punya pengharapan, akan berjubel penerima, yang menjual doa-doa semakin banyak mengamini, lantas puncaknya, jiwa dihisap digiring menuju jurang lamunan. Cita-cita melenakan tapak pencarian lama, yang disampaikan menjelma buah simalakama bagi melayarkan sampan pelita hatinya. Para pencari di belakangnya terpesona kilauan agung kalimah, silau gelap mata melangkah, terbentur lupa.

Tidakkah penyadaran berimbas kelupaan lainnya? Yang diterima sekarang, belum tentu berguna sama di kemudian. Seperti bisikan tetangga jauh, ataupun dokter mendiagnosa pasien, adanya kumandang berbeda dari obat-obatan; sugesti mencanangkan kesembuhan.

Pada gilirannya, penyampai ditinggalkan kehendak masing-masing pribadi, yang tidak puas mendedah bangsanya dari ahli bedah yang kurang dikenalnya. Maka awan perkiraan tiada lagi dijadikan tolak ukur dalam membaca pegunungan tinggi diliputi kabut. Namun atas seluruh daya mereka insaf menyimak sejarah pertikaian bangsanya, sebagai suara lain (para pencari setelahnya) sedari yang lain (suara Paz), dan tak berlaku sama meski adanya seirama.

Olehnya, pokok bukan pokok, sebab jiwa terbelah sejumlah tirai kabut yang melingkupi bathin tiap pencari. Sang nabi meneruskan jejak para nabi sebelumnya, kumandang itu menyempurnakan kehadiran lama, menancapkan tonggak lain di sisinya.

Atau gema suara universal selalu berkembang, lebih jauh dari keberadaan awal. Lewat menolak sisi-sisi melenakan, tak harus menunggu fajar, senjakala pun hadirkan gemintang. Makin tenang lagi hakiki berkumandang, di bencah bathin pelosok lain yang tidak terdengar.

Semalam pohon abu

: Sejarah dimumikan, mitos diucapkan ulang dari mulut ingin tersimak kekal, atas alam kekekalan yang diandaikan. Yang dilahirkan dinaya puitik, keringat berasal bacaan lama, bertapa meyakini siratan cahaya kesaksian dalam gua. Lalu keluar merasa telah dicernakan kediriannya, membawa yang dianggap mampu mensucikan sesamanya.

Ia genggam biji-bijian misalkan buliran jagung, ditebarkan di lahan-lahan diperkirakannya subur, sebagai penyimpan ide. Ia membelah kesilauan kabut, mengendap mengikuti laluan lawas, sambil membuat tapakan lain bagi kehadirannya; warna berbeda demi dianggap pencerah jaman sesudahnya.

Tidakkah kita curiga? Penanam jagung juga menyebarkan hama. Bersamaan tangannya memberi hasrat meneruskan salamnya? Jika kita tak mau mencium punggung jemarinya, meski yang digagas seolah berasal perkawinan silang, dari darah negeri kita pijak, nuanse puitik terhirup sehari-hari.

Yang pernah membelai membelah tubuh, bukan kepemilikan meski sedenyutan rasa, seperti ia merasai sendiri, kita pun menikmati. Kesendirian bulan sewarna muasal datangnya daya tarik, tapi yang mendengar suara sebelumnya, pula berdaya goda.

Laksana orang berjalan di atas bumi, dibutuhkan oleh orang-orang di bawahnya. Atau kematian memerlukan denyutan hidup sebagai saksi balasan, dan kesaksian tak harus mengamini.

Nyaris bicara-

: Paz yang mempercayai hadirnya sejenis wahyu turunnya puisi, seperti sabdo pandito ratu dalam istilah Jawa. Ia (:puisi) bukanlah kehendak untuk mengatakan sesuatu, melainkan sesuatu yang terucap, dan tak dapat ditarik kembali (Octavio Paz Lozano, lahir di Mexico 31 Maret 1914, meninggal tertanggal 19 April 1998).

Ada sisi kesamaan, antara penyair dengan seorang raja; medan pengalaman, kekuasaan benda, tanda, dan kesunyian paling dingin melebihi rasa hilangnya nyawa, kala kata-katanya tak mampu menggerakkan persendian jiwa. Lebih buruk dari memperistri budak paling hitam; hilangnya wibawa, sebab yang terucap tak terlaksana.

Paz melewati jalan berbisik. Menyusuri gelombang udara, kabar bayu pada daun-daun terjatuh, terus sembunyi menjadi misteri tiada terfahami, kecuali senada capaiannya terasa dangkal. Yang digemakan rahasia intinya hati, membuyar tak jadi kerahasiaan puitis. Seperti batu ditelanjangi alur waktu, ditarik ucapannya: “Nyaris bicara-“

Ada dinaya lain, hantu sesal serupa gadis telanjang di sebuah lukisan realis, senantiasa dijejali ruang-waktu menyungkup; gugusan takdir di ujung belati, sebentangan rambut dengan bayangnya memendar. Demikian wewarna lamat menyusuri jalur rahasia, benang melintang di depan mata, matahari selalu memancar, dan kedipan menyimpan suatu kecewa.

Penyesalan itu rahasia terungkap dari keangkuhan bicara melalui kata-kata. Makna hidupnya meminta jatah; adanya diingat, lebih banyak dilupa. Hanya bersuara lain yang sama darinya dapat berbangkit. Sayang kembali semula, begitulah kepada titik was-was dalam tanda hidup ke masa depannya.

Tapi tak

: Akhir yang meragukan. Betapa daya luar biasa, tinggal sejengkal saja, keraguan datang tiba-tiba menghakimi. Seayunan pedang melesat, tetapi sebelum menimpahi sasaran, ada secercah cahaya membuat hawatir. Aturan tidak terlihat; di mana perasaan memasok tenaga, hati menggerakkan kelenjar berkekuatan ke sebuah keinginan.

Jikalau dilukiskan, di ujung jalan tempatnya tega; kausalitas ngigirisi, sebab akibat yang mengandung gemas sekaligus cemas. Kesuntukan kesumat namun juga lenyap oleh angin lewat, ingatan yang terhapus.

Telempap lain, tumbuh igauan-igauan sejarah semakin merangsek di malam-malam dengan lampu terbatas, terus perbanyak jumlah di tempat remang, di sudut ruang, di tengah-tengah belukar yang tidak keluar.

Apa yang ditakutnya? Cemas dirinya lenyap di bawah terang benderang? Bayang-bayang gesit menyelinap, bukan kerja sugesti, atau demikian?

31 Agustus 2010

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita