[Khususon Jombang, Wabil khusus Fahrudin Nasrulloh]
Nurel Javissyarqi*
Jurnal Jombangana, Nov 2010
Sebelum jauh menelusuri judul di atas, diriku teringat awalkali melangkahkan kaki ke tanah Jombang, tahun 1993. Dari rumah di Lamongan, aku persiapkan niat menimba keilmuan mengeruk ketololan demi semakin menginsyafi kebodohan. Terbayang di kepalaku sosok-sosok insan ampuh pada daerah kan kudiami, para pejuang serta penyebar ajaran Islam; KH. Hasyim Asy’ari, KH. A. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Sansuri, dan tokoh-tokoh masih hidup dikala itu; Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, serta tidak terkecuali budayawan Emha Ainun Nadjib, yang sampai kini menyetiai lelakunya mengayomi rakyat jelata, masyarakat pedalaman.
Setiap langkah kubaca tanda kan terjadi, kusapa dedaunan terlintas di pinggir jalan; jalur ini kelak laluan sering kulewati. Pun menyimak gemawan sambil merasai apakah pribadiku tergolong dirahmati menggapai cita. Demikian memasuki kota lain, diuntit bayang-bayang masa silam; penjajahan di Bumi Pertiwi juga nasib apakah yang bakal menimpa bangsa ini. Aku lebih suka menyuntuki alam raya, ialah lelembaran catatan yang tiada membohongi. Tentu melewati lelatihan, mengidentifikasi kemungkinan atas periodisasi, sedari sanalah perkiraan tepat searah.
Aku terkagum kualitas anak-anak bangsa yang dilahirkan di bencah tandus berpasir, dataran Jombang serupa Ponorogo yang gersang atau Cirebon bagian selatan. Terus kepalaku menggeliat, mengira-ira jikalau di jaman dulu, ada sebuah gunung besar meletus, lantas tinggal sisa-sisa abunya. Pun tak kurang teringat kabar kudengar semasa sekolah dasar, semisal wilayah berbasis agamis, biasanya berdampingan kaum begundal.
Kontradiksi itu menerbitkan pemahaman, kawasan makmur pemikiran, tentu ada tirakat lahir sejenis kemiskinan, yang ditancapkan unen-unen orang utama; ilmu kan mendekati yang berpayah-payah. Juga benturan hawa religiusitas tak berhembus kuat, jikalau tiada tekanan sedari kebalikannya. Lalu terngiang keramaian pasar, tempat segala keteledoran, yang di sebelahnya, syiar Keilahian ramai berkumandang.
Jombang kota santri, begitu orang-orang menyebutnya. Ini tak bisa dipungkiri, ada puluhan, bahkan ratusan pesantren jika ditelisik dari kecil-kecil sampai yang tersohor namanya. Adanya sekte-sekte atau mazhab ajaran Islam tersebar di sana, semua memakmurkan nalar iman, mengembangkan khasanah spiritual, mensejahterahkan umat demi nada-nada kebersatuan. Para penimbanya tak sekadar tetangga kota; Malang, Sidoarjo, Surabaya, Lamongan, Bojonegoro, Tuban, bahkan luar jauh; Kebumen, Jogjakarta, Jepara, Cirebon, Jakarta, Banten &ll, disamping tidak sedikit dari luar kepulauan; Aceh, Padang, Samarinda, Makassar, tak terkeculai dari Irian &st.
Fenomena itu menghantuiku yang kuandaikan kota Mesir, akan ruhaniah pengetahuannya, mencurigai kerahasiaan di dalamnya menyembulkan aroma kesturi. Membaca alam sambil memadukan orang-orangnya, menguap embun fikirku memendarkan teka-teki silang-sengkarut mengurai benang kusut. Pelahan-lahan kuamati amis sungainya, bau menyengat pabrik tebu, nuanse kota nanggung, warga etnis Cina dipastikan penggerak perekonomiannya, ini merata pada pulau Jawa, selain di Kota Gede, Jogjakarta.
Selama tiga tahun kupelajari kota tersebut demi membaca pantulan wewajah serupa, seperti daerah-daerah di pelosok Tanah Air berlabel Kauman, diambil dari kalimah; kumpulan kaum beriman. Di Jombang aku kerap jalan kaki ke dusun-dusun terpencil, memandang perkebunan tembakau, rumput pepadian kurang subur, kuburan Cina yang mewah, suara klenteng bergaung, bioskop, kadang lelah naik becak jika di kota. Orang tuaku sempat membelikanku sepeda, sehingga leluasa menyinahui pernik mistisnya. Keluar-masuk santren, salam sungkem ke setiap kuanggap ampuh, sampai kuyakini tak keliru pilihanku ke Jombang, sebelum ke Jogja menjejaki pengalaman.
Entah terpaksa atau kebetulan, di pesantren aku tak dapati ruang ekspresikan jiwa di bingkai lukisan, yang sebelumnya terbiasa kalau ada perasaan menggejalai badan, langsung mengguratkan cat minyak di kanvas. Maka bersusah payah, kupindahkan gejolak diri dalam tulisan di lelembaran kertas dengan pena. Bacaanku minim karena sering keluyuran, jelas tidak mendukung polaku menggumuli kata, olehnya tulisan awalku potretan semata, belum menghisap perihal membetot jiwa.
Jalan ini dimungkinkan sebab pangasuh pesantren yang aku diami seorang penulis, penyusun kitab, penerjemah bahasa arab, dimana sehari-harinya tiada waktu istirah; membaca, menulis. Selama tiga tahun aku amati, seakan satu jam paling banter dua jam istirah dalam sehari. Hal tersebut membuatku cemburu, sebagai anak muda tentu tertantang melampaui. Dan kucoba membaca tak henti-henti berhari-hari sampai merasakan keadaan mabuk, hingga sang kiai menyindirku; belajar ya belajar, tapi jangan sampai mabuk.
Kesastrawanan Emha Ainun Najib kian santer bergema, kabar penyair sedari Menturo, Jombang, yang tinggal di Jogjakarta itu menghisap seluruh perhatian, apalagi bagi yang tinggal di kota kelahirannya. Yang mana diriku awal menancapkan niat menggeluti sastra. Buku Emha kubaca, nadhoman pelajaran bersyair mulai menghantui, demi aku loloskan dalam khasana Indonesia, serta semua pendukung kemauanku berbelok, tepatnya menyembuhkan sedari minat lukis yang tidak tersalurkan.
Alam pesantren meraup keilmuan Islami berbalutan lokalitas menjelmakan diri se-istilah Islam Jawa. Apakah sejarah, filsafat, ilmu hitung, perbintangan, mantek &ll, sangatlah mewarnai denyutan Jombang. Tidak ketinggalan susastra sebagai sarana berbahasa dalam penyebaran ajarannya pada kitab-kitab kuning atau klasik, menjadi lagu merdu menyusupnya faham-faham diingini sang pengarangnya.
Olehnya tak dapat disangkal, pesantren salah satu gudang susatra tersembunyi, hanya yang ingin mengangkat ke alam lebih umum, khususnya dalam bahasa Indonesia, tentu tidak terbantahkan. Tak diragukan, karya sastra bercorak Islam di bumi Nusantara, tegak bergoyang rindang sepohonan tinggi tegap melambaikan dedaun hijaunya, sebagai perlambang kemakmuran atas pupuk memberkah para pendahulunya.
Di asrama Al-Aziziyah, diriku adik kelas Moammar Emka, penulis buku “Jakarta Undercover” yang tulisannya kukira kurang berfaedah, jika ditengok sisi keberangkatan dirinya meski sempat meledak, kecuali sekadar informasi bagi insan metropolis yang haus hiburan malam. Padahal dikala itu, Emka sangat tekun belajar berpidato kayak Soekarno di depan cermin, ah menjijikkan sampai terjadi baku-hantam karenanya. Sebelah kamar kami, tepatnya dihuni siswa MAN PK, ada murid bernama Fahrudin Nasrulloh yang sama-sama nantinya melanjutkan sekolah di Jogjakarta seangkatan-ku, tapi aku tak mengenalnya. Hanya selepas kuliah, namanya baru berkibar. Demikian benturan watak bersegenap intrik dalam keseharian, membetulkan nasib masing-masing atas alasan sendiri-sendiri.
Asrama itu diasuh KH. A. Aziz Masyhuri, salah satu karyanya “99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara: Riwayat, Perjuangan dan Doa,” Penerbit Kutub, Yogyakarta, 2006. Mungkin atas pantulan keseharian beliau yang kuceritakan di atas, kami bersaing dengan keyakinan serta resiko berlainan. Entah keakrabanku dengan Fahrudin saat kapan, yang teringat sewaktu di Jogja, aku membaca puisi di sanggar Eska, dan kulihat sekelebat bayangnya. Penulis Haris del Hakim asal Lamongan di sana pula, diriku tak mengetahui, ia berkisah di kala keakraban kami berlangsung di kampung halaman, yang bercerita kegembelanku masa itu; lontang-lantung di setiap kampus, tidur di plafon sanggar, mandi di sembarang perguruan tinggi, yang jelas aku menikmatinya.
Agar tak mbelakrak, kembali ke judul semula, tepatnya Fahrudin pulang kampung, pun diriku, dan kami kerap bertemu di Mojokerto. Kegelisahan FN sampai menganggap kota Jombang seperti kuburan, karena dengungan sastrawi berbahasa Indonesia, bukan nadhoman pesantren, sangat minim. Sementara para tokoh kelahiran Jombang banyak berada di luar daerah, entah Jogja, Jakarta pun lainnya. Ia mengutuki nasib tersebut hingga mendekati titik putus-asa, untung teman-temannya masih ada di Jogja, FN bolak-balik menimba kegairahan bersastra demi bumi kelahirannya dan ditanggapi baik Jabbar Abdullah, lantas terbentuk Komunitas Lembah Pring; salah satu wadah yang kini tampak istikomah menampung, menaburkan harum sastrawi Indonesia, sedari tlatah Jombang, banyu santren dinaungi angin bertuah.
Sebenarnya aku kurang nyaman menulis ini, tiada tantangan sekadar mengenang ulang kejadian, namun siapa tahu ada guna di hari kemudian. Selama di Jogja, aku tak menemukan jejak FN, ya dapat dibilang masih untung diriku, pernah direkam surat kabar setempat atas ulasan penulis KRT. Suryanto Sastroatmodjo (almarhum), penyair Hamdy Salad membahas berdirinya KSTI (Komunitas Sastrawan Tugu Indonesia) yang kugerakkan bersama Y. Wibowo, Akhmad Muhaimin Azzet &ll, sedang penyair Edeng Samsul Maarif asal Cirebon, mengudar terbitnya buku keduaku (yang pertama stensilan bertitel “Sarang Ruh”) kedua berlabel “Balada-balada Takdir Terlalu Dini.”
Pun aku tak mengetahui persis proses kreatif novelis A. Syauqi Sumbawi di kota pelajar itu, baru aku mengenalnya disaat pertemuan sastra di tanah kelahiran kami, Lamongan. Dari jejak kuketahui, FN bukan yang pertama mengobarkan susastra di Jombang, setidaknya alumnus Pesantren Tebuireng, sastrawan Zainal Arifin Thoha (almarhum) sempat mengajakku mengisi acara di Pesantren Tambak Beras, juga kampus Unipdu, lingkungan santren Darul Ulum, Rejoso, Jombang 2004-an. Dan Gus Zainal menemukan bibit unggul sedari santren Tambak Beras, cerpenis Azizah Hefni, yang kini bersuamikan penyair Ahmad Muchlish Amrin.
Sedangkan pecahnya kegelisahan FN dengan terbentuknya Komunitas Lembah Pring baru kemarin tahun 2007-an, ada semacam sistem waktu datangnya betapa lamban, tetapi sangat kuat aromanya di setiap tikungan tajam. Ah, jadi teringat diriku bersama FN mengisi acara di UIN Malang; menyusuri jalan-jalan tanjakan penuh guncangan mawas disaat-saat embrio komunitasnya mematangkan tekad, aku hanya mengamatinya sejarak penciuman.
Kalau membahas sastra lokal sangatlah semarak, gayeng istilah Jogjanya, namun ada hal kurang kusukai, tatkala muncul bayang-bayang senioritas, pengaku-akuan yang kurang penting, terpenting wujud capaiannya; gugusan karya. Di Lamongan sendiri dapat dicatat yang berkarya kian menggeliat, novelis A. Syauqi Sumbawi, Rodli TL, A. Rodli Murtadho, penyair Imamuddin SA &ll. Mereka tergabung dalam Forum Sastra Lamongan, yang kini tak jelas nasibnya, sebagian ke luar kota meneruskan sekolah, ada yang menikah dapat luar daerah, hanya beberapa kali bertemu sapa di dunia maya.
Khususon Jombang, setelah bergulirnya agenda Geladak Sastra pada Komunitas Lembah Pring, dapat dicatat nama-nama selain Fahrudin Nasrulloh, adanya Jabbar Abdullah, Dian Sukarno, Sabrank Suparno, Agus Sulton, Siti Sa’adah, &ll. Kini izinkan diriku membatek ruhaniah geliatnya sebagai penutupnya;
Tak sia-sia bolak-baliknya Networker Kebudayaan Halim HD, sastrawan Fahmi Faqih ke Jombang sekitarnya, mengompori cerpenis Fahrudin Nasrulloh, demi membakar diri dalam api tungku pekuburannya. Kebertemuan tidak rutin tapi dijubeli debat sengit, mematangkan denyut kesusastraan di daerah, menjelma tonggak-tonggak, semoga mampu membentengi pusaran memusat menjadi lebur, tertinggal mensaktikan karya masing-masing. Sebab tiada guna meniupi nama-nama melambung, tapi nyata karyanya kacangan, tak berani dipertanggungjawabkan depan umum, mimbar pengadilan, tidak sekadar tepuk tangan panjang, yang mencipta ketawa terpingkal-pingkal di kesunyian kamar.
FN disokong bacaannya sejak di Denanyar, didukung perpustakaan pribadinya, kukira cukup untuk sementara waktu, sebab rasa haus berbaca tak kan tuntas sebelum memasuki liang lahat. Gejolak pencarian keilmuannya menghipnotis, menularkan minat baca tulis, bagi yang sudah, kian meningkatkan obor kreativitas di tiap ubun-ubun kawan-kawannya menyaksikan tingkah pakolahnya urakan, namun juntrung dalam penulisan. Aku tersenyum saja, kala ia sms padaku mengenai menumbuhkan gairah menerus, saat itu aku curiga semangatnya melemah atau diriku sangking percaya perhatian padanya.
FN yang kini dipandang, kerap diundang acara pertemuan-pertemuan sastra di JaTim, maupun luar daerah, aku kira tak perlu lagi bakar-bakaran semangat, jika masih namanya kebacut. Darinyalah, belantikan sastra Jombang untuk bumi Nusantara mendapati tempat, mulai kerap diperbincangkan, ia telah kubur mitosnya sendiri, yakni Jombang pekuburan.
Sebagai esais tak diragukan lagi, dan sosok peneliti cukup handal mengangkat pernik-pertikaian tradisi, sedari dunia pesantren hingga kesenian ludruk. Beberapa bukunya telah terbit, “Syekh Branjang Abang” Pustaka Pesantren, 2007, “Geger Kiai” Pustaka Pesantren, 2009 &ll. Hampir semuanya berdaya kontemplatif luar biasa, perasan ruang-waktu, jejalan peristiwa diselusupkan tak sekadar dalam, tapi menyusup seakaran pepohon menghisap sumber mata air kedalaman hikmah. Dapat dipastikan hasil-hasil kerjanya memberi sumbangsih penelitian kebudayaan, para penulis mendatang untuk mentafakkuri, jika Bumi Pertiwi masih mendambai nilai-nilai adi luhung.
Penulis muda yang menempa hari-harinya berbaca, senantiasa menggenggam sikap kukuh. Jika sifat ini dipelihara, Tuhan Maha Kuasa pasti mendukung langkahnya. Tidakkah bentuk-bentuk istikomah melebihi seribu karomah, para malaikat tertunduk malu kepadanya, pula orang-orang edan memiliki gelombang netral, dapat dipastikan tersetut dinayanya. Manusia-manusia unggul mampu berbicara yang mengisari sekeliling dirinya, berkah ilmu menancapkan tiang pancang, suatu hari nanti turunannya peroleh limpahannya, sedang keikhlasan menggetarkan tiap-tiap persendian jiwa.
Ia kerap berucap kata; “jangan banyak bacot” &ls, sebagai cermin betapa hari-harinya kenyang dijejali gelisah, demi terus menulis, menuntaskan tekad memakmurkan daerah. Mengenai komunitasnya aku masih melihat, sebab banyak sekali nggelimpang atas hal-hal sepele, tetapi jiwa matang tempaan hidup, realitas nalar dipukuli kepahitan, kan selalu mengobarkan juang, apalagi bangsa Indonesia baru “50% Merdeka,” menjumput istilah dari penyair Heri Latief. Dan ruhani kepatriotikan tanah pedalaman Jombang, masih mewangi, ini tak lebih darah para pahlawan tetap segar mendenyuti nadi anak-anaknya, yang taat memegang bara keadilan.
Jombang, 22 November 2010
*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, Indonesia.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar