18/08/11

Epidemi Para Pencari Kematian

Asarpin
http://sastra-indonesia.com/

Segalanya ada dalam diri kita. Juga kematian. Tapi bukan mati karena meyakini pandangan yang belum teruji. Karena aku tak percaya bila tiap-tiap perjuangan membutuhkan pengorbanan dan meniscayakan kematian. Untuk apakah kita berkorban ketika tak mesti ada pengorbanan? Untuk apa kematian itu? Mengubah nilai perjuangan? Bahwa pengorbanan nyawa demi membela keadilan dan harkat martabat kemanusian? Bahwa itu sikap luhur dan mulia yang mesti diwariskan pada anak cucu para calon pejuang?

Puan, aku punya pengalaman yang menyedihkan. Dalam sebuah majelis yang sedang mempersiapkan aksi turun ke jalan, terjadi perdebatan sengit mengenai keharusan pengorbanan dalam perjuangan. Bahkan di antara kami ada yang bilang: saya siap menjadi korban pertama dalam demonstrasi nanti. Yang lain bertanya: apakah pengorbanan saya akan didengar dan punya dampak bagi perjuangan, sementara saya bukanlah tokoh publik? Teman satu lagi bilang: kalau kamu tetap paksakan untuk memasang badanmu, itu konyol. Satu lagi langsung mengusulkan agar yang sudah menyandang titel tokoh pejuang yang dicalonkan korban. Si tokoh langsung menimpal: saya khawatir aparat tak berani menyentuh saya karena pasti media akan heboh. Betul, kata yang lain menimpal.

Kisah di atas bisa terjadi dalam lembaga mana saja; lembaga agama atau lembaga yang ngurus soal hak asasi manusia. Alhasil, yang namanya pengorbanan menjadi kenyataan tak terelakkan. Dan ini kian ditegaskan dalam semboyan: setiap perjuangan membutuhkan pengorbanan. Bahkan seorang penulis pernah bilang: setiap perjuangan punya martirnya sendiri.

Saya merinding mendengar kata-kata gagah itu. Hidup harus diakhiri untuk sebuah nilai dan mutu perjuangan, seolah-olah prinsip tersebut sudah teruji kebenarannya. Fakta memang sering memperlihatkan korban dan martir dalam perjuangan, namun bukan berarti bahwa tesis nilai perjuangan dengan pengorbanan itu sudah menjadi ketetapan ilahi yang kebenarannya tak bisa diganggu gugat. Saya bisa menyela dengan tanya: bukankah alasan itu hanya sebuah dalih yang menjadi dalil? Sebuah waham menjadi paham? Suatu kekeliruan yang menjadi tak terhormat adalah kekeliruan yang memiliki satu lagi kharisma yang meninabobokkan. Membius.

Kharisma pembius jauh lebih berbahaya dari seorang pemberontak nilai yang mapan yang karenanya ia mati untuk dirinya sendiri. Lebih berguna bilamana ajaran seseorang datang dari akibat ia sendiri terbakar, tapi tidak sebagaimana pemimpin laron yang mengajak laron-laron lain untuk menutungkan dirinya. Kharismatik pembius memang tak ubahnya laron yang buta oleh cahaya yang berbahaya hingga pikiran waras dan nalurinya rabun oleh kefanatikan.

Seorang Pramoedya Ananta Toer—yang separuh hidupnya menjadi manusia bubu—justru bersikap menghargai hidup ketimbang menampilkan pribadi kharismatik, yang mengingatkan kita bahwa kebenaran belum pernah bergandengan tangan dengan mereka yang fanatik, yang hanya bisa menyalak disaat dunia seharusnya menuntut diam dengan refleksi.

Orang-orang yang menyerahkan segenap jiwa dan raganya demi mengubah realitas sosial-politik yang membelenggu rakyat tak lebih sebagai pemuja pesona dan aura dan karena itu ia menjadi musuh bagi hidup yang mesti dijalani. Mereka adalah para pemuja massa dan pasar dan siang. Pemuja yang menyihir jutaan orang untuk mengorbankan nyawa demi hal serupa tanpa ia sendiri sadari. Tanpa ia sendiri bertanggungjawab. Dan inferensitas ini telah menjadi hambatan terbesar terhadap semangat pencarian kewaspadaan.

Ketololan sejarah perang dunia pertama dan kedua justru terletak pada penampilan terhormat kepada lawan-lawan mereka dalam menganugerahkan kepada mereka ketakjuban terhadap sahid. Sikap lebih menghargai fanatik feodalistik ketimbang kewaspadaan dan kerendahan hati ialah sejenis dengan alienasi diri. Tak menghargai ikhtiar dan anugerah dari Tuhan. Memperkosa martabat sendiri, dan di atas semuanya: patologi yang berbahaya. Sebuah epileptik untuk membikin kagum massa rakyat yang besar, lebih mengedepankan nafsu ketimbang akal sehat, mencibir nalar dan intuisi untuk merayakan gerakan atau demi menjunjung karnaval siang yang kemeriahan. Inilah musuh kebenaran yang paling berbahaya ketimbang sebuah dusta karena sikap tidak ingin melihat sesuatu yang ia melihatnya, ingin tidak mensyukuri dimana seharusnya ia mensyukuri. Dengan kata lain: sebuah kias sahidiah, analogi para idealis kesiangan, silogisme militeristik yang gemar berperang.

Lalu, bagaimana dengan mereka yang sebaliknya? Mereka yang memuja malam, bertafakur dalam diam dan menjunjung puisi liris yang mencekam, gelisah, resah, yang berjalan di keremangan, sunyi senyap, sepi, di saat seharusnya mereka terjun ke dalam siang dan jalan raya, sama saja. Dengan wajah yang terbalik, orang-orang inilah yang meliriskan epidemi para pencari kematian tapi tak mati-mati seperti Nietzsche dan Chairil: dua pemuja malam yang mewariskan kharisma pembius kepada banyak orang.

Aku mencintai siang untuk mencintai malam. Jiwaku terlalu lunak dan halus untuk sekadar mencintai malam. Maka kususuri siang yang terang, jalan-jalan yang gemuruh suara demonstran. Aku terjun ke tengah pasar, ke tempat-tempat pesta dan kubiarkan diriku bergolak diterpa jeritan dan histeria massa. Aku tak pernah tahu nikmatnya malam, o, tanpamu siang yang meradang menghantam jiwaku.

Kujelajahi bentuk dan ruang hingga kedalaman, yang di mata orang-orang pemuja malam dan kebebasan tak pantas dirayakan. Aku menjalani, melintasi satu demi satu kerumunan orang-orang, karena aku tak pernah bisa merasakan kebebasan yang meluap-luap tanpa sakitnya berbenturan dengan batas, jarak dan tali peranti yang mengekang. Kehendakku yang melimpah-ruah kini tak pernah kusadari tanpa keterbatasan dan belenggumu, o ruang, o bentuk, o kedalaman.

Aku gembira karena penaku menari-nari di tengah pasar, di antara sesaknya transaksi. Fantasiku terbang melayang hingga tak lagi kusadari bahwa aku tengah dikerumuni massa yang menuntut keadilan dan pembebasan. Wahai, kalian pemuja malam dan bayang-bayang, apakah kalian tidakj merasakan keterbatasan ruang antara? Kalian hanya bernyanyi sunyi tapi tak pernah seperti nyanyi sunyi seorang bisu yang justru berkumandang nyalang di saat siang, memilih dicabik-cabik suara bising anak-anak muda.

Wahai, kalian yang memilih berjalan di hutan dan lautan, ini aku datang, sang pengelana siang membawakan yang pahit kau dapatkan, lebih gersang dari kau rasakan, lebih lebur dan hancur dari hembusan angin malam. Kalian yang hidup dalam perbatasan, dalam keresahan, kecemasan dan keterkejutan. Kalian para penyair telah lama terperangkap dalam angan-angan yang membuai menghayutkan. Tanpa kalian sendiri sadari, diri kalian hanya boneka mainan yang senantiasa dikendalikan oleh hasrat ingin seperti al-Hallaj, Nietzsche, dan Chairil, oleh para penari jagat, penari tambang, dan binatang jalang. Tataplah wajah-wajah para penari siang ini, masuklah ke dalam rengkuhan terang, kalian akan merasakan nikmat yang kudapatkan. Siang dan malam teori dan aksi inilah ironi si kembar siam. Keduanya sama sebagai kharisma pembius dan epidemi para pencari kematian.
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita