Ignas Kleden
http://majalah.tempointeraktif.com/
Pramoedya ist ein Begriff—Pramoedya bukan sekadar nama, tetapi sebuah pengertian, bahkan sebuah konsepsi. Kata-kata itu diucapkan oleh seorang ibu yang amat simpatik, Prof. Irene Hilgers-Hesse, Ketua Jurusan Melayu di Universitas Koeln, ketika mengundang seorang mahasiswa filsafat di Muenchen tahun 1980, yang kebetulan saya sendiri, untuk membicarakan buku Bumi Manusia yang baru saja terbit.
Pramoedya memang telah membuat namanya menjadi sebuah pengertian jauh sebelum diasingkan selama 14 tahun. Namun rupanya belantara pengasingan itulah yang memberinya pengertian tentang sejarah Indonesia dan bahkan tentang manusia dalam sejarah. Membaca empat jilid roman sejarah Pulau Buru—Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca—adalah menelusuri riwayat hidup Minke, anak seorang bupati Jawa, yang menolak meneruskan jabatan bapaknya, bersekolah Belanda di HBS, kuliah kedokteran di STOVIA, dan menjadi orang pergerakan yang menciptakan reputasinya sebagai wartawan-pengarang yang sanggup menulis dengan pisau belati.
Akan tetapi membaca riwayat Minke adalah berhadapan dengan sebuah thick description tentang keadaan Hindia Belanda di Pulau Jawa pada saat pergantian abad, sementara dengan mengikuti lukisan serba rinci tentang struktur sosial dan kebudayaan kolonial pada masa itu, kita belajar tentang kesanggupan dan ketidaksanggupan manusia dalam berhadapan dengan sejarahnya.
Para ahli filsafat sejarah masih berdebat apakah sebetulnya sejarahlah yang membentuk manusia (sebagaimana diajarkan oleh Hegel dan Marx, misalnya), ataukah sebetulnya manusia sendirilah yang membentuk sejarahnya (sebagaimana dibela secara militan oleh Karl Popper).
Adalah unik bahwa Pramoedya sendiri telah melibatkan diri dalam teka-teki filsafat itu dengan caranya sendiri. Dalam pandangannya, sejarah adalah gelombang dahsyat yang siap menggulung siapa saja, tetapi manusia bukanlah sepotong gabus yang setelah terombang-ambing dapat diempas ke daratan dan menjadi sampah di pantai.
Tokoh-tokoh Pramoedya memang kalah dilanda sejarahnya, tapi sekaligus juga sanggup mengalahkan kekalahannya sendiri dengan mengatasi baik ketakutan maupun kesombongan untuk tidak menang. “Kita kalah, Ma, bisikku.” “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”. Itulah kalimat penutup buku Bumi Manusia yang dengan keindahan yang getir menunjukkan persaingan abadi antara determinisme sejarah dan pilihan moral yang bebas.
Di tangan Pramoedya, sejarah selalu merupakan kisah tentang unggulnya kekuatan-kekuatan anonim dalam suatu zaman, yang penuh daya-dera yang menggilas, tetapi gagal menghentikan seseorang untuk mengatakan “tidak!” Weltanschuung pengarang ini mirip kombinasi antara keberanian dan kerendahan hati sekaligus: sejarah akan mendesakkan diri ke mana saja, tetapi manusia tetap tak terkalahkan.
Apakah karena itu perjuangan dan heroisme dalam roman-roman ini selalu berkibar di tangan perempuan? Apakah simpati pengarang kepada perempuan diakibatkan oleh nasib mereka yang sering terkungkung di bawah kekerasan patriarki sebagai sebuah kekuatan sejarah, dan karena itu perempuanlah yang menjadi kawan seperjuangan pengarang menghadapi kekerasan politik? Ataukah oleh hormat kepada tokoh-tokoh perempuan yang besar peranannya dalam biografi pengarang?
Apa pun sebabnya, Pramoedya telah menampilkan sebarisan srikandi, sebagai pendekar yang bertarung dengan kekuatan sejarah. Sanikem dijual oleh ayahnya kepada seorang administratur pabrik gula di Tulangan, Sidoarjo, Jawa Timur, Herman Mellema. Dia menerima dirinya sebagai seorang nyai dengan nama Nyai Ontosoroh karena tak kuasa melawan kehendak ayahnya yang ingin naik pangkat. Tapi ia tak mau menjadi nyai yang dungu. Dengan bimbingan tuannya, dia belajar membaca dan menulis, belajar bicara bahasa Belanda, dan membaca beberapa bahasa Barat, mahir menyusun pembukuan dan mengelola perusahaan susu dan perlahan-lahan mengumpulkan modal sendiri.
Sayang, kedudukannya sebagai nyai tidak dilindungi hukum mana pun, dan karena itu tidak mempunyai hak hukum apa pun. Setelah tuannya meninggal, seluruh hartanya, bahkan anak perempuannya, Annelies, harus diserahkan ke ahli waris Herman Mellema, berdasarkan keputusan pengadilan di Amsterdam. Demikian pun Bunda, ibu Minke. Dengan cara yang elegan Bunda memainkan peran agen-ganda antara Minke dan ayahnya, seorang bupati di kota B, yang gandrung jabatan dan silau oleh kekuasaan. Diperingatkannya Minke agar tahu memberi sembah kepada ayahnya, sementara di pihak lain dia dapat menerima bahwa anaknya menjadi bupati dan ingin jadi manusia merdeka selama dia tetap menjadi “kedasih yang bersambut”.
Perempuan lain adalah Ang San Mei, seorang gadis Tionghoa. Dia belajar pada sebuah sekolah menengah Katolik di Sanghai, ikut pergerakan kaum muda di Cina untuk untuk menggulingkan Kaisarina Ye Si, dan mengalami persekusi oleh kaum tua yang ingin mempertahankan politik tradisional. Mei meninggalkan Cina dan pergi ke selatan. Di Batavia dia bekerja (dan menyamar) sebagai guru bahasa Inggris. Minke menikah untuk kali kedua dengan Mei dalam suatu perkawinan yang aneh. Hidup bersama selama lima tahun, kesempatan berkumpul sangat jarang, karena tiap malam Mei—dengan izin suaminya—meninggalkan rumah untuk mengatur pergerakan kaum muda bersama kawan-kawannya yang ada di Batavia, sedangkan Minke sendiri cukup sibuk dengan kuliahnya di Stovia.
Kesehatan Mei melorot. Dia jatuh sakit dan meninggal dalam kesunyian setelah dirawat dua bulan di rumah sakit. Mei adalah representasi perjuangan melawan ancient regime dan memberi romantika yang indah kepada Jejak Langkah, yang sarat dengan gagasan politik. Sepeninggal Mei, Minke berkenalan dengan seorang gadis cantik berdarah biru, dari latar belakang Indonesia Timur. Gadis Maluku ini bernama Prinses van Kasiruta, dibuang bersama ayahnya ke daerah Priangan, karena gerakan politik. Dia berpendidikan MULO, mahir berbahasa Belanda, dapat berbahasa Melayu dan sedikit Sunda, dan karena itu diminta menjadi pembantu redaksi Medan, yang dipimpin Minke.
Sang Pemimpin Redaksi, Minke, kemudian meminang Prinses pada bapaknya, Tuan Raja, dalam pengasingan, dan mereka menikah. Dibesarkan dalam keluarga pergerakan, Prinses ternyata pandai menunggang kuda dan menggunakan senjata api berkat latihan sejak kecil. Dia menjadi pembela Minke terhadap musuh-musuh politiknya yang selalu mengancamnya secara fisik. Dalam suatu serangan diam-diam terhadap Minke, Prinses, yang menyamar tanpa diketahui suaminya, menghadapi seorang diri anggota geng tersebut, menembak tiga di antaranya, dua mati seketika, dan seorang dapat diselamatkan di rumah sakit.
Sebagai seorang terpelajar, dia tetap mempertahankan etos perempuan Kasiruta: “Dia akan membunuh suami durhaka. Dan dia akan membunuh pendurhaka suami yang dicintainya.” Karena “yang kuketahui hanya suamiku….” dan “yang ada hanya suamiku”. Bercinta, baginya, adalah saling melindungi. Apakah di sini pengarang telah bergulat dengan masalah gender equality bahkan jauh sebelum istilah itu muncul dalam wacana kaum feminis? Lalu Piah, pembantu rumah tangga yang melayani Minke dan Prinses. Di luar pengetahuan Minke, Prinses telah memberinya pendidikan politik. Ketika Minke dibuang ke luar Jawa tanpa dapat ditemani oleh istrinya (karena dilarang pemerintah), Piah dimintanya bersumpah setia untuk Prinses. Jawaban Piah sangat menggetarkan perasaan: “Sampai hati Juragan menuntut sumpah dari sahaya, sumpah untuk tuan sahaya, sumpah untuk pemimpin sahaya? Tidakkah cukup saya sebagai anggota Syarikat?”
Ketika Minke mengucapkan selamat tinggal dan menitipkan Prinses, jaminan Piah adalah: “Juragan tetap di hati kami.” Perempuan desa ini merepresentasikan orang kecil berjiwa besar. Perempuan yang paling berhasil tentulah Siti Soendari, anak teman sekolah Minke, yang tinggal di Pemalang. Ditinggal mati oleh ibu, Siti Soendari dibesarkan ayahnya dalam suasana terpelajar. Selepas sekolah, Soendari memilih menjadi perempuan merdeka yang bekerja untuk cita-citanya. Dengan sopan tetapi teguh dia menampik setiap bujukan ayahnya yang dipaksa oleh Belanda, agar segera menikahkan anaknya.
Dia berhasil mengatasi rasa takut kepada ayahnya demi mempertahankan cita-citanya, suatu hal yang masih tak dapat diwujudkan oleh R.A. Kartini sebelumnya. Kalau dia hidup tahun 1990-an tentulah Soendari juga akan mengucap: Women’s right: Human right. Sebaliknya, tokoh lelaki dalam roman-roman Pulau Buru adalah tawanan kekuatan sejarah. Bagi mereka sejarah menjadi captive history, yang membawa mereka turun naik bersama alunan gelombang.
Sastrotomo adalah prototip pribumi pegawai kolonial yang melihat jabatan sebagai tujuan hidup. Dia bersedia merendahkan diri, mempertaruhkan keluarga dan menjual anak perempuannya sendiri untuk membayar kenaikan pangkat sebagai juru bayar di pabrik gula. Anak gadisnya, Sanikem, diserahkan ke administratur Herman Mellema, yang kemudian menjadi pemilik perkebunan Boerderij Buitenzorg, tempat Sanikem mendapatkan namanya Nyai Ontosoroh.
Kisah yang sama berulang pada anak laki-laki Sastrotomo bernama Sastro Kassier, pemegang kas di pabrik gula Tulangan. Dia juga harus menyerahkan anak perempuannya, Surati, kepada penguasa pabrik gula yang baru, Frits Homerus Vlekkenbaaij, yang oleh penduduk setempat dipanggil Tuan Plikemboh. Sebelum menyerahkan diri ke Plikemboh, Surati sengaja menularkan dirinya dengan penyakit cacar, yang sedang mewabah. Plikemboh kena tular dan meninggal dunia, sedangkan Surati diambil kembali oleh keluarganya dan hidup dengan muka penuh bopeng.
Tipe laki-laki lainnya adalah si Darsam dan Trunodongso, dua pendekar yang selalu siap mati untuk tanah majikan dan tanahnya sendiri. Sayangnya, mereka tidak menyadari bahwa senjata parang yang mereka banggakan tak dapat menghadapi kekuatan politik yang tak mereka pahami, tetapi yang akibatnya mereka rasakan setiap hari. Demikian pula Marko, yang dengan semangat berkobar bekerja untuk Medan, terlalu sedikit pengetahuan politiknya, sehingga menurunkan berita yang dianggap menghina Gubernur Jenderal. Akibatnya, Minke sebagai Pemimpin Redaksi Medan harus menjalani hukum pembuangan ke luar Pulau Jawa.
Ada pula Pangemanann, seorang pribumi asal Minahasa yang beruntung mendapatkan pendidikan tinggi, dan bahkan sempat mengikuti kuliah beberapa tahun di Universitas Sorbonne. Dengan jabatan yang sangat tinggi sebagai komisaris polisi, dia kemudian menjadi pegawai Algemeene Secretarie pusat, yang mengatur kekuasaan kolonial di Hindia Belanda. Bergaji besar dan status sosial yang tinggi, dia praktis tidak mengalami tekanan ekonomi apa pun, menjadi anggota Kamar Bola, tempat orang dapat menemui pejabat-pejabat tinggi di Batavia pada waktu senggang. Anehnya, semua itu tidak sanggup menghilangkan kompleks inferioritasnya karena merasa tidak memiliki keberanian yang ada pada Minke.
Dia goyah di antara kekagumannya kepada tokoh pergerakan itu dan kewajibannya untuk menangkapnya. Di pihak orang Eropa, terlihat bahwa para penguasa pabrik gula, “orang dengan lidah api”, mempunyai moral yang dekaden. Mereka dapat menyuruh bunuh para petani dengan gerak jari tangannya, atau memaksakan seorang bawahannya menyerahkan anak gadisnya untuk dijadikan nyai. Ada pula orang Eropa pegawai tinggi yang bunuh diri dengan sublimat seperti Simon de Lange, seorang lulusan universitas di Belanda, bujangan muda yang dipuja banyak wanita.
Tipe lainnya adalah ahli hukum yang hanya bekerja untuk uang seperti halnya Mr. Deradera Lelliobuttocks, yang buruk rupa. Sebaliknya orang-orang Eropa yang mendukung perjuangan Minke biasanya gagal atau cacat. Pelukis Prancis Jean Marais, yang ikut berperang di Aceh untuk Belanda, terpaksa hidup dengan satu kaki. Atau Dr. Martinet, yang merawat Annelies dan sangat paham psikoanalisa, gagal merebut hati Nyai Ontosoroh. Ada juga Herbert de la Croix, asisten residen, tak sanggup membela perkara Minke, meletakkan jabatan dan kembali ke Eropa. Atau Henrik Frischboten, ahli hukum yang selalu membantu Minke dengan nasihat-nasihat hukumnya, menderita impotensi seksual dalam perkawinannya dengan Miriam de la Croix.
Sikap terhadap laki-laki dan perempuan ini rupanya berdampak pada komposisi dan teknik literer. Pembicaraan antara Minke dan perempuan selalu akrab dan menyenangkan. Terasa benar bahwa teks sendirilah yang menghasilkan dan mengharuskan munculnya percakapan-percakapan tersebut. Pada hemat saya, dialog yang terbagus selalu berlangsung antara Minke dan Bundanya. Ibu ini menjadi gabungan yang unik antara sikap naif dan kedalaman filosofis. Sebaliknya, percakapan dengan Nyai Ontosoroh menyajikan kecerdasan alamiah, kekerasan hati dan dendam yang tak teratasi yang justru menjadi energi untuk maju.
Percakapan Minke dengan Mei adalah lukisan cinta dua orang yang tak sepenuhnya saling memahami, tetapi penuh kepercayaan satu pada yang lainnya. Sebaliknya percakapan-percakapan dengan Annelies yang labil mengungkapkan saktinya cinta yang menyembuhkan. Di pihak lain dialog antara Minke dan laki-laki hampir selalu menjadi diskusi yang kering dan serebral.
Renungan-renungan Pangemanann lebih merupakan risalah filsafat. Pembicaraan Minke dengan Gubernur Jenderal Van Heutz sangat mirip notulen diskusi politik. Demikian pula uraian-uraian Tuan R., seperti Pangemanann, layak dijadikan makalah studi perbandingan kebudayaan Jawa dan Eropa. Tak kurang menjemukan pembicaraan Minke dengan ayahnya yang berputar sekitar kekuasaan dan pentingnya jabatan tinggi. Contoh seperti ini dapat diperbanyak dengan mudah dan dapat dipungut secara random dari keempat jilid yang dibicarakan di sini.
Pertanyaan yang menarik: Mengapa dalam hubungan dengan perempuan cerita menjadi tekstual dan pengarang menjadi story-teller yang mahir, sementara dalam hubungan dengan laki-laki cerita menjadi autorial, dan pengarang menjadi komentator ceritanya sendiri? Salah satu sebabnya, mungkin, karena dalam hubungan dengan perempuan dialog terjadi antara dua atau beberapa pribadi. Sebaliknya dalam dialog dengan laki-laki, pembicaraan berlangsung antara dua gagasan. Maka yang menentukan bukanlah apa yang dibicarakan, tetapi apakah ada suasana yang melahirkan pembicaraan itu secara wajar tanpa dipaksakan oleh sebuah rencana.
Bahkan pembicaraan tentang sejarah dan kebudayaan yang bersifat ilmiah pengetahuan hidup dan akrab, sebagaimana terjadi antara Minke dan dua gadis bersaudara De la Croix, Miriam, dan Sarah (Bumi Manusia: 133-141). Diskusi itu penuh senda-gurau dan sindir-menyindir khas siswa-siswa HBS, dan muncul sebagai hasil interaksi antara tiga pribadi dengan tiga watak. Sementara itu diskusi Pangemanann dengan Tuan R. dan Tuan L. (juga mengenai sejarah dan kebudayaan) tidak berhubungan dengan watak tertentu, dapat terjadi antara siapa saja, asal saja ada keahlian cukup pada para pembicara tentang sejarah kebudayaan (Rumah Kaca: 66-71; 113-116). Yang muncul adalah pertemuan dua atau tiga gagasan (dan bukan dua atau tiga pribadi) sekalipun diskusi itu mengandung kritik kebudayaan dan keterangan sosiologis yang bermutu tinggi.
Apakah ini berarti lelaki menjadi korban yang ditelan oleh kekuatan sejarah zamannya, sedangkan perempuan adalah representasi kehendak moral yang bebas? Seandainya pun tipologi ini benar, ini hanyalah sebuah kecenderungan, sebuah pola, yang ternyata tidak dimutlakkan oleh pengarangnya sendiri.
Annelies, anak gadis Nyai Ontosoroh, dan Herman Mellema, adalah gadis labil menjadi frigid karena pernah dicoba digagahi oleh abang kandungnya sendiri, Robert Mellema. Dia dinikahkan dengan Minke, sebentar menjadi “Bunga Akhir Abad” dengan semerbak yang merebak ke seantero Jawa, dipisahkan dari suaminya, dan meninggal dalam kesendirian di sebuah kota kecil di Belanda. Dia gugur sebagai korban pertarungan dua dunia (Belanda dan Jawa), dua hukum (Eropa dan Islam), dan dua moralitas (Belanda dan pribumi).
Demikian pula Nyai Ontosoroh, yang akhirnya dapat berbahagia dengan pelukis timpang, Jean Marais, setelah mereka meninggalkan Hindia Belanda dan mencoba peruntungan baru di Prancis. Hindia Belanda pada akhirnya menjadi representasi sempurna kekuatan sejarah yang tak terlawankan.
Orang dapat memilih mengikut ke mana pun arus sejarah akan membawanya. Orang dapat pula memilih menantangnya, sekalipun dengan kepastian tentang kekalahan yang akan dideritanya. Pilihan lain adalah meninggalkan sama sekali Hindia Belanda. Sebab, kematian, seperti juga kebahagiaan, bukanlah bahagian sejarah tetapi berada nun jauh di luar sana, entah di mana.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar