Miziansyah J.
Minggu Pagi, Minggu kedua Januari 2006
Dorongan dan minat untuk mengekspos seperangkat puisi sufi ke dalam satu antologi ternyata bukan cuma hura-hura penyair, tapi betul-betul kesucian niat tanpa mengharap pernik-pernik yang bersifat riya.
Begitulah halnya yang terjadi dengan Amien Wangsitalaja, penyair kelahiran Wonogiri, 19 Maret 1972, yang sekarang tinggal di Samarinda, yang telah merampungkan antologi Perawan Mencuri Tuhan (Pustaka Sufi, Yogyakarta, 2004) yang memuat 73 puisi sufinya. Motivasi Amien memang didasari oleh ketulusan yang ikhlas tanpa pretensi yang profan.
Menulis puisi sufi, bagi setiap yang mampu, adalah suatu keharusan bukan sesuatu yang musykil. Namun, tidak setiap orang mampu melahirkan puisi dengan bobot ilahiyat yang patut. Bila seseorang mengungkap sesuatu tanpa didasari oleh pancaran sikap jujur dan benar, bobot yang dikandung hanya semata hipokrit.
Gambaran kesucian dari sikap penyair dalam Perawan Mencuri Tuhan dapat terlihat, misalnya, pada puisi “Sajak Sufi 1”, “Sajak Sufi 2”, dan “Sajak Sufi 3”. Ketiga puisi tersebut memiliki ending dengan motif yang sama yang menyatakan minat tentang pengeksposan puisi sufi. Ketiga puisi diakhiri oleh kuplet yang sama bunyinya: karena itu / sebab pekerti, bolehkah aku / menulis sajak sufi?
Secara vulgar penyair telah menunjukkan suatu kesimpulan dalam hal motivasi penulisan puisi, yaitu suatu keharusan dan keputusan dari tingkah dan amal penyair yang murni, yang akhirnya melahirkan tanda tanya besar yang bersifat retorik bolehkah menulis sajak sufi. Tanda tanya tidak memerlukan jawaban karena jawabannya tergambar pada premis yang sudah muncul pada kuplet sebelumnya sebagai kausalitas dari kesucian dan kemurnian.
Kuplet pertama dan kedua “Sajak Sufi 1” mengungkapkan betapa ikhlasnya pengejawantahan tingkah dan amal, termasuk ibadah mahdhah. Dikatakan dalam kuplet pertama: tak harus kau tahu / syahadatku qaim / shalatku daim / shiyamku lazim / hajiku naim dan dalam kuplet kedua: tak harus kaupandu / judi aku tak / mabuk aku tak / zina aku tak / korupsi aku tak.
Sikap ikhlas terungkap dalam baris tak harus kau tahu yang menafikan ketakaburan dan keriyaan. Selain itu, pernyataan vulgar menolak segala tingkah kemunkaran diawali dengan tak harus kaupandu menunjukkan suatu jaminan intensitas yang cukup meyakinkan.
Pada puisi yang berjudul “Sajak Sufi 2” penyair mengungkapkan kesederhanaan dalam beramal, seperti dikatakannya: aku pun / beramal secara wajar / tak harus besar-besar. Kemudian, pada “Sajak Sufi 3” dikatakan: kepada perampok dan ahli tenung / aku memang tak berkata langsung / tapi kudidik kawan-kawan / tentang cara-cara membela badan, menampakkan performen subjektif dalam menyikapi kejahatan, yang tidak konfrontatif (berkata langsung) tapi lebih memilih memperkuat diri (membela badan).
Antologi yang memuat 73 judul puisi ini memiliki tipografi yang mirip, yaitu sebentuk puisi alit yang terdiri dari satuan gramatika yang tersusun dari frasa-frasa tanpa banyak “sayap”. Dengan kesederhanaan gramatikalnya (dan susunan sintaksis yang normatif dan wajar), kontekstualisasi puisi tidak memerlukan upaya kontemplasi yang terlalu rumit.
Dalam antologi Perawan Mencuri Tuhan ini tema-tema sosial berjalin berkelindan dengan panduan semangat religius. Artinya, puisi-puisi berdimensi sosial itu diungkapkan dengan perspektif profetik. Kita lihat misal pada puisi berjudul “Intelektual dan Sejarah”: sempatkan dirimu / untuk memikirkan negeri ini / sebagaimana engkau memikirkan budi dan hati // (kulihat / engkau mulai menulis / sebuku epos atau sebait puisi / tentang keraguanmu / kepada negeri ini / dan keraguan negeri ini / kepada budi dan hati) // dan sebagaimana / engkau meragukan negeri ini / negeri ini pun / meragukan tulisanmu.
Tercabik-cabiknya kemapanan faktual sejarah menyebabkan bablasnya orientasi nilai sehingga orang-orang merasa ragu terhadap suatu kebenaran. Penyair menyeru kepada kaum intelektual dan sejarahwan untuk sedapat mungkin turut memikirkan suasana negeri yang terlanjur morat-marit. Agaknya tidak gampang karena ada semacam keraguan terhadap signifikasi nilai akibat sistem kelola sejak dari peletakan batu atau pemasangan prasasti yang diaduk dalam ranah kekuasaan. Maka, sikap syak wasangka terhadap nilai dan akurasi sejarah terus berkembang menuju suasana ketakpastian dan tidak mustahil menimbulkan kesalingcurigaan di antara elemen masyarakat (engkau mulai menulis / sebuku epos atau sebait puisi / tentang keraguanmu / kepada negeri ini / dan keraguan negeri ini / kepada budi dan hati). Maka, yang sangat diperlukan dalam hal ini adalah penanganan serta adanya sikap kejujuran bagi kaum intelektual dan sejarahwan.
Aspek sosial lain yang sarat dengan penggarapan sudut pandang kenabian (profetik) di antaranya adalah puisi yang berbicara tentang banjir, berjudul “Air”: aku melihat: / sehabis kota tertimpa banjir / beberapa kita sibuk merumuskan bencana / beberapa kita sibuk merias berita // (beberapa meraka yang paling tertimpa / tak sempat menakar duka) // aku tahu: / nuh tidak pernah / merekayasa air bah.
Potret yang klasik jika terjadi banjir adalah orang hanya sibuk “merumuskan” bencana, hanya membuat pengukuran maksimum/minimum untuk dijadikan laporan rutin. Tidak ada usaha ke arah penanggulangan lebih lanjut. Inilah yang disindir oleh penyair.
Penyair kemudian mengajak menoleh kepada potret Nuh a.s. Bagi Nuh, sebuah bencana adalah sebuah misteri. Hikmah dari bencana adalah ujian tentang sempurna atau tidaknya aqidah seseorang atau suatu kaum.
Peristiwa banjir terbesar dalam sejarah peradaban manusia adalah di zaman Nabi Nuh. Sebelum terjadinya peristiwa itu Nuh diperintah melalui wahyu untuk membuat bahtera demi menyelamatkan sebagian makhluq hidup (berjenis-jenis binatang buas, binatang jinak, tetumbuhan, dan manusia yang memiliki aqidah dan beriman kepada Nabi Nuh.
Peristiwa penyelamatan melalui bahtera ini sekaligus penyeleksian umat yang beriman serta terciptanya suatu lingkungan kesejahteraan yang damai di antara sesama makhluq yang terangkut bahtera. Mereka yang ikut bahtera adalah mereka yang tidak memiliki sikap menantang dan sombong. Sementara itu, anak Nuh sendiri, yang selalu menantang dan menolak ajakan penyelamatan karena mengingkari aqidah akhirnya tenggelam.
Puisi yang lain, berjudul “Banjir 1” berbunyi: nuh / aku bukan anakmu / nuh / aku bukan anakmu / nuh / aku bukan anakmu. Barangkali, redundansi seruan ini merupakan ungkapan supernatural yang mungkin menyelamatkan, minimal meringankan cobaan yang menimpa. Kita bukan anak nuh, maka kita memohon untuk bisa selamat.
“Banjir 2” berbunyi: dua syeikh berbincang // “tahukan tuan korelasi / antara bencana banjir dengan politik / dengan ekonomi?” // “hamba tak tahu. yang kutahu korelasi / antara bencana banjir / dengan keakraban sesama / dengan kejahatan sesama”. Puisi ini merefleksikan bahwa secara hukum kausalitas, peristiwa bencana memang memiliki suatu penyebabnya, kadang dari kesengajaan atau kelalaian.
Sementara itu, “Banjir 3” juga memiliki koherensi dengan “Banjir 2”, yaitu masing-masingnya mengungkapkan tentang kausalitas. Banjir lebih bisa dipahami sebagai kesengajaan yang memang dikehendaki seperti halnya kesengajaan aristokrat “menghendaki” suatu negara: kutahu / banjir ada yang membuat / seperti kata aristokrat / negara aku yang membuat.
Masih soal musibah, puisi “Api 1” berkisah tentang kebakaran. Kebakaran juga bisa terjadi karena disengaja atau tanpa disengaja. Namun, setelah terjadi kebakaran, akibat yang ditimbulkannya selalu negatif, yaitu beralihtangannya hak milik. Biasanya, dengan alasan “penertiban”, kepemilikan hak dipaksa untuk diputihkan ke tangan pemerintah (cara mudah merampas tanah / adalah membakar pasar / atau menghanguskan rumah).
“Api 2” juga mengintrodusir tentang pemusnahan. “Api 2” mengungkapkan peristiwa kebakaran di suatu senja di sebuah koloni. Puisi itu menyiratkan bahwa masa ini sering terjadi “penggusuran” terhadap sekelompok orang atau koloni yang muncul dari sikap kemanusiaan yang usang yang menyulutkan rasa dendam. Ini adalah dampak negatif dari kepentingan politik dan ideologi pembangunan: senja / api membakar sirap / atap rumah penduduk koloni // hati orang bising / oleh pembangunan / dan kemanusiaan yang usang / berseloroh dendam.
Puisi “Perawan Mencuri Tuhan” (yang juga dijadikan sebagai judul buku) adalah puisi renungan sufistik. Perawan adalah pengibaratan dari jiwa muda perjaka dengan alam pandangan realitas. Ketika perawan merasakan perangkat iderawi ketuhanan, ia justru bersembunyi dari pengawasan inderawi manusia. Ia memiliki kekhawatiran, seperti orang perahu yang hanya seorang dalam kesendirian daya dan karya tanpa tergantung pada siapa pun, lepas dari segala bentuh ma’unah supernatural apa pun.
Yang tertangkap dari puisi ini adalah jiwa kembara tanpa menggantungkan harap kepada siapa pun, tanpa rasa rindu, cinta, kasih, perlindungan, dan lain-lain karena ia tengah “mencuri tuhan”.
ada perawan bersembunyi
di balik meja dan almari kayu
takutnya serupa orang perahu
yang sedang berlayar sendiri
ia perawan yang bersembunyi
di balik meja dan almari kayu
agar ibu tidak melihatnya
agar bapak tidak melihatnya
agar kakak tidak melihatnya
agar adik tidak melihatnya
agar semua tidak melihatnya
: ia tengah mencuri tuhan mereka
***
Miziansyah J. (almarhum), Penyair, guru agama di SDN 033 Samarinda, Kaltim
Alamat: d.a. SDN 033 Sungai Kapih, Samarinda Ilir, Samarinda 75011
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar