12/03/11

Percikan Tasawuf dalam Perawan Mencuri Tuhan

Miziansyah J.
Minggu Pagi, Minggu kedua Januari 2006

Dorongan dan minat untuk mengekspos seperangkat puisi sufi ke dalam satu antologi ternyata bukan cuma hura-hura penyair, tapi betul-betul kesucian niat tanpa mengharap pernik-pernik yang bersifat riya.

Begitulah halnya yang terjadi dengan Amien Wangsitalaja, penyair kelahiran Wonogiri, 19 Maret 1972, yang sekarang tinggal di Samarinda, yang telah merampungkan antologi Perawan Mencuri Tuhan (Pustaka Sufi, Yogyakarta, 2004) yang memuat 73 puisi sufinya. Motivasi Amien memang didasari oleh ketulusan yang ikhlas tanpa pretensi yang profan.

Menulis puisi sufi, bagi setiap yang mampu, adalah suatu keharusan bukan sesuatu yang musykil. Namun, tidak setiap orang mampu melahirkan puisi dengan bobot ilahiyat yang patut. Bila seseorang mengungkap sesuatu tanpa didasari oleh pancaran sikap jujur dan benar, bobot yang dikandung hanya semata hipokrit.

Gambaran kesucian dari sikap penyair dalam Perawan Mencuri Tuhan dapat terlihat, misalnya, pada puisi “Sajak Sufi 1”, “Sajak Sufi 2”, dan “Sajak Sufi 3”. Ketiga puisi tersebut memiliki ending dengan motif yang sama yang menyatakan minat tentang pengeksposan puisi sufi. Ketiga puisi diakhiri oleh kuplet yang sama bunyinya: karena itu / sebab pekerti, bolehkah aku / menulis sajak sufi?

Secara vulgar penyair telah menunjukkan suatu kesimpulan dalam hal motivasi penulisan puisi, yaitu suatu keharusan dan keputusan dari tingkah dan amal penyair yang murni, yang akhirnya melahirkan tanda tanya besar yang bersifat retorik bolehkah menulis sajak sufi. Tanda tanya tidak memerlukan jawaban karena jawabannya tergambar pada premis yang sudah muncul pada kuplet sebelumnya sebagai kausalitas dari kesucian dan kemurnian.

Kuplet pertama dan kedua “Sajak Sufi 1” mengungkapkan betapa ikhlasnya pengejawantahan tingkah dan amal, termasuk ibadah mahdhah. Dikatakan dalam kuplet pertama: tak harus kau tahu / syahadatku qaim / shalatku daim / shiyamku lazim / hajiku naim dan dalam kuplet kedua: tak harus kaupandu / judi aku tak / mabuk aku tak / zina aku tak / korupsi aku tak.

Sikap ikhlas terungkap dalam baris tak harus kau tahu yang menafikan ketakaburan dan keriyaan. Selain itu, pernyataan vulgar menolak segala tingkah kemunkaran diawali dengan tak harus kaupandu menunjukkan suatu jaminan intensitas yang cukup meyakinkan.

Pada puisi yang berjudul “Sajak Sufi 2” penyair mengungkapkan kesederhanaan dalam beramal, seperti dikatakannya: aku pun / beramal secara wajar / tak harus besar-besar. Kemudian, pada “Sajak Sufi 3” dikatakan: kepada perampok dan ahli tenung / aku memang tak berkata langsung / tapi kudidik kawan-kawan / tentang cara-cara membela badan, menampakkan performen subjektif dalam menyikapi kejahatan, yang tidak konfrontatif (berkata langsung) tapi lebih memilih memperkuat diri (membela badan).

Antologi yang memuat 73 judul puisi ini memiliki tipografi yang mirip, yaitu sebentuk puisi alit yang terdiri dari satuan gramatika yang tersusun dari frasa-frasa tanpa banyak “sayap”. Dengan kesederhanaan gramatikalnya (dan susunan sintaksis yang normatif dan wajar), kontekstualisasi puisi tidak memerlukan upaya kontemplasi yang terlalu rumit.

Dalam antologi Perawan Mencuri Tuhan ini tema-tema sosial berjalin berkelindan dengan panduan semangat religius. Artinya, puisi-puisi berdimensi sosial itu diungkapkan dengan perspektif profetik. Kita lihat misal pada puisi berjudul “Intelektual dan Sejarah”: sempatkan dirimu / untuk memikirkan negeri ini / sebagaimana engkau memikirkan budi dan hati // (kulihat / engkau mulai menulis / sebuku epos atau sebait puisi / tentang keraguanmu / kepada negeri ini / dan keraguan negeri ini / kepada budi dan hati) // dan sebagaimana / engkau meragukan negeri ini / negeri ini pun / meragukan tulisanmu.

Tercabik-cabiknya kemapanan faktual sejarah menyebabkan bablasnya orientasi nilai sehingga orang-orang merasa ragu terhadap suatu kebenaran. Penyair menyeru kepada kaum intelektual dan sejarahwan untuk sedapat mungkin turut memikirkan suasana negeri yang terlanjur morat-marit. Agaknya tidak gampang karena ada semacam keraguan terhadap signifikasi nilai akibat sistem kelola sejak dari peletakan batu atau pemasangan prasasti yang diaduk dalam ranah kekuasaan. Maka, sikap syak wasangka terhadap nilai dan akurasi sejarah terus berkembang menuju suasana ketakpastian dan tidak mustahil menimbulkan kesalingcurigaan di antara elemen masyarakat (engkau mulai menulis / sebuku epos atau sebait puisi / tentang keraguanmu / kepada negeri ini / dan keraguan negeri ini / kepada budi dan hati). Maka, yang sangat diperlukan dalam hal ini adalah penanganan serta adanya sikap kejujuran bagi kaum intelektual dan sejarahwan.

Aspek sosial lain yang sarat dengan penggarapan sudut pandang kenabian (profetik) di antaranya adalah puisi yang berbicara tentang banjir, berjudul “Air”: aku melihat: / sehabis kota tertimpa banjir / beberapa kita sibuk merumuskan bencana / beberapa kita sibuk merias berita // (beberapa meraka yang paling tertimpa / tak sempat menakar duka) // aku tahu: / nuh tidak pernah / merekayasa air bah.

Potret yang klasik jika terjadi banjir adalah orang hanya sibuk “merumuskan” bencana, hanya membuat pengukuran maksimum/minimum untuk dijadikan laporan rutin. Tidak ada usaha ke arah penanggulangan lebih lanjut. Inilah yang disindir oleh penyair.

Penyair kemudian mengajak menoleh kepada potret Nuh a.s. Bagi Nuh, sebuah bencana adalah sebuah misteri. Hikmah dari bencana adalah ujian tentang sempurna atau tidaknya aqidah seseorang atau suatu kaum.

Peristiwa banjir terbesar dalam sejarah peradaban manusia adalah di zaman Nabi Nuh. Sebelum terjadinya peristiwa itu Nuh diperintah melalui wahyu untuk membuat bahtera demi menyelamatkan sebagian makhluq hidup (berjenis-jenis binatang buas, binatang jinak, tetumbuhan, dan manusia yang memiliki aqidah dan beriman kepada Nabi Nuh.

Peristiwa penyelamatan melalui bahtera ini sekaligus penyeleksian umat yang beriman serta terciptanya suatu lingkungan kesejahteraan yang damai di antara sesama makhluq yang terangkut bahtera. Mereka yang ikut bahtera adalah mereka yang tidak memiliki sikap menantang dan sombong. Sementara itu, anak Nuh sendiri, yang selalu menantang dan menolak ajakan penyelamatan karena mengingkari aqidah akhirnya tenggelam.

Puisi yang lain, berjudul “Banjir 1” berbunyi: nuh / aku bukan anakmu / nuh / aku bukan anakmu / nuh / aku bukan anakmu. Barangkali, redundansi seruan ini merupakan ungkapan supernatural yang mungkin menyelamatkan, minimal meringankan cobaan yang menimpa. Kita bukan anak nuh, maka kita memohon untuk bisa selamat.

“Banjir 2” berbunyi: dua syeikh berbincang // “tahukan tuan korelasi / antara bencana banjir dengan politik / dengan ekonomi?” // “hamba tak tahu. yang kutahu korelasi / antara bencana banjir / dengan keakraban sesama / dengan kejahatan sesama”. Puisi ini merefleksikan bahwa secara hukum kausalitas, peristiwa bencana memang memiliki suatu penyebabnya, kadang dari kesengajaan atau kelalaian.

Sementara itu, “Banjir 3” juga memiliki koherensi dengan “Banjir 2”, yaitu masing-masingnya mengungkapkan tentang kausalitas. Banjir lebih bisa dipahami sebagai kesengajaan yang memang dikehendaki seperti halnya kesengajaan aristokrat “menghendaki” suatu negara: kutahu / banjir ada yang membuat / seperti kata aristokrat / negara aku yang membuat.

Masih soal musibah, puisi “Api 1” berkisah tentang kebakaran. Kebakaran juga bisa terjadi karena disengaja atau tanpa disengaja. Namun, setelah terjadi kebakaran, akibat yang ditimbulkannya selalu negatif, yaitu beralihtangannya hak milik. Biasanya, dengan alasan “penertiban”, kepemilikan hak dipaksa untuk diputihkan ke tangan pemerintah (cara mudah merampas tanah / adalah membakar pasar / atau menghanguskan rumah).

“Api 2” juga mengintrodusir tentang pemusnahan. “Api 2” mengungkapkan peristiwa kebakaran di suatu senja di sebuah koloni. Puisi itu menyiratkan bahwa masa ini sering terjadi “penggusuran” terhadap sekelompok orang atau koloni yang muncul dari sikap kemanusiaan yang usang yang menyulutkan rasa dendam. Ini adalah dampak negatif dari kepentingan politik dan ideologi pembangunan: senja / api membakar sirap / atap rumah penduduk koloni // hati orang bising / oleh pembangunan / dan kemanusiaan yang usang / berseloroh dendam.

Puisi “Perawan Mencuri Tuhan” (yang juga dijadikan sebagai judul buku) adalah puisi renungan sufistik. Perawan adalah pengibaratan dari jiwa muda perjaka dengan alam pandangan realitas. Ketika perawan merasakan perangkat iderawi ketuhanan, ia justru bersembunyi dari pengawasan inderawi manusia. Ia memiliki kekhawatiran, seperti orang perahu yang hanya seorang dalam kesendirian daya dan karya tanpa tergantung pada siapa pun, lepas dari segala bentuh ma’unah supernatural apa pun.

Yang tertangkap dari puisi ini adalah jiwa kembara tanpa menggantungkan harap kepada siapa pun, tanpa rasa rindu, cinta, kasih, perlindungan, dan lain-lain karena ia tengah “mencuri tuhan”.

ada perawan bersembunyi
di balik meja dan almari kayu
takutnya serupa orang perahu
yang sedang berlayar sendiri

ia perawan yang bersembunyi
di balik meja dan almari kayu
agar ibu tidak melihatnya
agar bapak tidak melihatnya
agar kakak tidak melihatnya
agar adik tidak melihatnya
agar semua tidak melihatnya
: ia tengah mencuri tuhan mereka

***
Miziansyah J. (almarhum), Penyair, guru agama di SDN 033 Samarinda, Kaltim
Alamat: d.a. SDN 033 Sungai Kapih, Samarinda Ilir, Samarinda 75011

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita