Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Jurnal Jombangana, Nov 2010
Mengetengahkan persoalan bagaimana kegiatan keseharian sebagai reperesentasi konsumsi narasi menjadi sesuatu yang sedang mengalami masa pasang. Setelah ilmu sosial menampilkan tema-tema gigantis tentang kuasa politik sebagai satuan utama dalam mencari kualitas kebebasan manusia, berganti menjadi pembahasan yang berkaitan dengan kedekatan antar personal dengan kelengkapan-kelengkapan simbolisnya. Peristiwa yang terjadi dalam rentang waktu yang pendek lebih disukai daripada membayangkan milenearisme, tindakan yang berhubungan dengan benda-benda dan logika keseharian yang akrab menjadi lebih penting daripada membayangkan konsep-konsep yang tidak dapat diraba langsung. Ini bukan sebuah gejala posmodernisme, melainkan kebutuhan untuk bereaksi langsung dengan ekonomi tanda menjadi sesuatu yang tidak dapat ditunda. Bahkan negara yang tidak ingin kehilangan popularitasnya harus bersinergi dengan tema-tema seperti ini, realisasi kongkritnya ada pada kebijakan publik.
Susah untuk membayangkan perkara-perkara seperti ini pada masyarakat yang masih berdekatan dengan komitmen metafisik dalam memutuskan mana yang baik dan buruk yang umumnya ada pada zaman-zaman ideologi. Zaman dimana kebutuhan melanggengkan nalar-nalar keagungan manusia dalam term borjuisme lama. Dibutuhkan kesantunan berpikir yang bahkan meminta gerakan-gerakan ideologis paling liar untuk beradaptasi. Hingga zaman modernisme, tidak ada yang layak dibicarakan oleh mereka-mereka yang menginkan perubahan dalam cara melihat konstruksi kreatif. Hanya yang berani untuk berubah dari dalam dan mendapat saat yang tepat untuk meluncurkannya dihadapan publik yang memiliki potensi pembaharuan, Arnold Schoenberg misalnya. Pergantian pikiran filosofis Schoenberg adalah persoalan temperamen. Sebagai anak asli Wina dia memilki bnayak pilihan. Pandangan umum mengenai eksistensi pada masa mudanya berupa kesinisan ringan, dengan sedikit warna ironi. Kecanggihan kelas menengahnya secara garis besar didasarkan pada derajat kemampuan menyikapi persoalan budaya dengan jernih. Bahkan seniman-seniman waktu itu diharapkan untuk bersikap bijak, menjaga argumen-argumen mereka selaras dengan café. Begitu kuatnya atmosfir ini menekan untuk menyatakan idealismenya dalam tingkat yang sangat menyiksa hati, padahal energi yang dimilikinya bisa diserap oleh bagian besar lain Eropa.
Kegiatan kultural merefleksikan penekanan salah satu fungsi eksistensial manusia yang dianggap sebagai hal paling utama dalam masyarakat, dan hal itu memiliki perbedaan-perbedaan seiring dengan siklus dominasi. Pergantian tendensi bukan sesuatu yang aneh dalam masyarakat meskipun bisa dikatakan terdapat stabilitas struktural yang inhern dan menjadi identitas yang bisa dijadikan acuan dalam kurun waktu lama. Pada masyarakat kontemporer praktik keseharian terproyeksikan dalam produk-produk kultural yang dalam proses apresiasinya sendiri sudah mengisyratkan dibutuhkannya penggalan tertentu dari manusia untuk dikuatkan.
Penciptaan film di Iran, kenangan yang kuat berdasar tradisi Muharram memberikan alasan yang tidak bisa dikesampingkan. Bagaimana film yang salah satu media seni era produksi massal bisa menjadi alat yang tepat untuk menyebarkan spektrum mistisisme mullah. Logika komodifikasi dibawah kapitalisme telah membawa kepada sebuah bentuk pencitraan yang mereduksi dunia imajinal ke dalam dunia inderawi. Sebagai akibatnya persepsi indera manusia terkorupsi dengan penggunaannya dalam proses karakterisasi dan produksi, proses pengutaraan voyeuristic dan fetishistic membangun citra yang terkomodifikasi yang terdapat pada sinema dominan di untuk dianggapa sebagia realitas itu sendiri. Dengan logika ini, bagian-bagian perceptual para pengiman, setelah dimurnikan dapat mengakses dunia imajinal dan memanggil gambar-gambar bersanding bersama di ruang antah berantah (Na-koja-Abad) untuk memperbaiki kesalahan, melepaskan tubuh pengiman dari agressor-agresor. Banyak ucapan dan tulisan Ayatollah Khomeini menegaskan bahwa teknologi penglihatan dan pendengaran, sebagai perluasan prostetik dari penginderaan tubuh kolektif nasional, sekali dimurnikan akan memungkinkan pengiman untuk mengakses dunia imajinal – sebuah dunia di luar semua koordinat.
Apapun kepentingannya, semua berkaitan dengan konsumsi ide dan sebelah mana bagian dari eksistensi yang paling membutuhkan prioritas sangat menyangkut yang terjadi hari ini. Bagain paling mendesak harus segera dipenuhi dan untuk mencukupinya kadang perlu persediaan yang diasumsikan, investasi yang cukup untuk menjamin masyrakat tidak gelisah dan mampu untuk menenangkan mereka. Salah satu hal penting dalam diskusi sosiologi saaat ini, modal sosial.
Modal sosial menarik bagi teoritisi sosial selain alas an integritas asli kelanjutan profesional dalam upaya menjaga jarak dari neo-liberalisme, negaraisme (statism), reduksionoisme, Marxisme, posmodernisme, dan isme-isme yang lain yang telah menjadi kebiasaan dilecehkan sebagai symbol-simbol dogmatisme dan kurangnya sikap realistis. Dan masalah positif modal sosial sebab dapat dijadikan kerangka peran untuk dimainkan dalam pembangunan ekonomi dan sosial oleh masyarakat sipil atau apa saja yang terdapat diantara pasar dan negara.
Perkiraan Ben Fine itu bukan sesuatu yang benar-benar steril, bahkan untuk kepentingan paling praktis sekalipun. Sisi tersembunyi dalam kepala manusia selalu mengindikasikan yanng ideal dan tidak terlihat langsung dalam kesibukan yang sadar, dengan tetap berhati-hati terhadap abosulutisme psikoanalitik, kadar delusi selalu butuh interpretasi yang seringkali hanya bisa tampak melalui strategi hasrat. Semuanya menjadi lebih kentara dalam pilihan konsumsi.
Permintaan akan barang dianggap sebagai agregat dan konsekwensinya mengganti sifat personal kebutuhan menjadi suatu amuk massa baik ukuran deografis dan populasi tertentu. Produsen hanya akan menanggapi permintaan sejauh itu memberikan selisih yang masuk akal. Kondisi yang dianggap masuk akal dalam pemenuhan benda budaya, baik yang abstrak maupun material, diukur melalui kesenangan umum. Keberlimpahan yang sesuai dengan prinsip-prinsip kesenangan akan selalu dapat diserap oleh masyarakat dibandingkan ekstasi yang rumit. Singkatnnya, tidak ada lagi nilai obyektif sebuah produk budaya, melainkan kesenangan yang bisa masuk dalam jangkauan pasar. Metode untuk menanggapi pasar juga telah banyak mendukung, riset-riset sistematis tentang layak tidaknya produk dijual telah banyak dijumpai. Yang indah dan yang buruk bisa diukur dengan perilaku tergeneralisasi, yang jika kurang yakin lagi bisa ditambah dengan pemantapan penekanan-penekanan biologis. Seperti karya yang sedih harus mampu membuat audiens mencucurkan air mata dan kegembiraan diukur melalui nyaring tidaknya gelak tawa. Sesederhana itu.
Jika Kant mengizinkan bahwa karya keindahan dapat dibentuk oleh manusia dia akan mempertahankan pendapat karya tersebut sebagai obyek yang indah tidak dapat direduksi oleh aturan-aturan yang pasti. Dengan demikian dalam posisinya dia akan menyatakan karya seni mesti memaparkan orisinalitas. Tetapi penting untuk dicatat, dalam membuat klaim ini dia tidak bermaksud mengatakan karya seni dibuat tanpa beberapa aturan yang mengarahkan maksud apa yang disebut indah. Harus ada beberapa aturan, bahkan jika itu tidak dapat dibayangkan oleh kita secara pasti, tetapi kita tidak dapat berpendapat bahwa obyek yang dimaksudkan dibentuk sebagai karya indah dengan demikian dapat dikatakan sebagai seni. Dalam kebutuhan memenuhi permintaan akan keindahan di pasar, tidak ada orisinalitas. Yang dibutuhkan adalah bagaimana dibutuhkan aturan-aturan tertentu yang dengan redaksional terukur mampu menetapkan karya akan menjamin kelangsungan produksi atau seharusnya dikesampingkan saja.
Karya yang dapat dikatakan indah produksinya harus muncul dari bakat penciptanya, yang artinya sebuah tindakan orisinal. Itu mengapa Kant bersiteguh seniman haruslah seorang jenius, mereka menciptakan seni mereka tidak dengan mengikuti eturan-aturan pasti –bahkan yang secara tidak sadar- tetapi mereka sendiri yang harus memberikan aturan-aturan seni. Dengan demikian aturan ini tidak dapat dirumuskan dari konsep-konsep spesifik (yang dengannya kita dapat menentukan lebih jauh mana obyek yang indah), ini hanya bisa ditunjukkan dalam karya itu sendiri. Bahkan sang seniman sendiri tidak dapat menspesifikasi dalam sebuah tatanan algoritma bagaimana mereka bisa mencapai hasil itu.
Tindakan orisinal artistik yang mencoba beradaptasi dengan produksi massal memeang tidak akan selalu berakhir dengan kekecewaan, tetapi tidak banyak produsen yang cukup berani berjudi dengan situasi semacam ini. Dengan memperhatikan rating perolehan minat dalam masyrakat, sebuah produksi membayangkan konsep-konsep artistik yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Trend adalah ukuran utama, jika tidak menghiraukannya sama saja membuang modal. Modal ekonomi tidak selalu bersinggungan dengan modal kultural juga modal sosial.
Kant menyatakan berkaitan dengan orisinalitas, sebagai kondisi kejeniusan, karya yang diproduksi oleh pikiran orisinal harus menjadi teladan. Gagasannya adalah bahwa seseorang dapat menghasilkan karya orisinal yang non-sense atau sampah, dan kebanyakan karya secara nyata tidak cukup menjamin kita untuk mengatakannya sebagai sumbangan untuk fine art. Oleh karenanya apa yang dihasilkan oleh jenius harus menjadi teladan.dalam pengertian diperlakukan sebagai model atau standar keputusan untuk mengestimasi karya mereka dalam gaya yang sama (dalam rangka menfasilitasi perkembangan selera penikmat) dan dalam waktu yang sama sebagai stimulus jenius lainnya untuk membentuk kekuatan orisinal mereka sendiri kedalam irama kreatif. Sebuah karya jenius sejati mesti mampu menstimulasi imajinasi untuk membebaskan dirinya sendiri dari jeratan aturan-aturan tertentu, sementara pada saat yang sama bekerja dalam sebuah deretan dari ide-ide terpisah yang berkesesuaian dengan tuntutan untuk penyatuaan paham.
Produk artistik merupakan sekelumit dari kompleksitas kemasyarakatan yang secara bertahap mengalami perubahan dalam melihat prioritas kesehariannya. Konsumsi terhadap karya-karya teladan merupakan sebuah parameter keberhasilan mereka mendidik diri. Teladan seperti apakah yang menjadi panutan tergantung pada kesanggupan dan kemampuan mengurai realitas obyektif yang ada di dalamnya. Produk artistik tidak sekedar pelepasan, tetapi juga memberikan reaksi balik terhadap kelanjutan masyarakat itu sendiri. Saat ini nilai penting itu ditetapkan oleh agen-agen gagasan dengan pertimbangan diluar kepentingan untuk menstimulasi imajinasi, melainkan merawat kedalaman pengaruh lewat politisasi budaya untuk memuaskan fantasi tentang hegemoni yang sempit yang tidak bisa dijamin kualitas kritisnya.
Dengan sejarah budaya yang serba limbung, ditarik kesana kemari tanpa menawarkan produk yang lebih banyak lagi untuk dikonsumsi secara massal dan mempunyai integritas kritis, bukan kebiasaan yang bertanggung-jawab untuk melupakan pembahasan yang mendasar mengenai upaya penyediaan modal kultural dan sosial dalam usaha yang lebih berani. Mendasarkan diri pada pemujaan atas masa lalu dan chauvinisme paradigmatis yang hanya memuaskan secara artifisial atau menjadikannya sebagai senjata apa adanya dalam berhadapan dengan pihak luar, perlu lebih banyak lagi spekulasi yang imajinatif. Spekulasi yang menghindarkan publik dari kecenderungan kehilangan potensi yang lebih jauh untuk berada di dunia di luar semua koordinat Dengan beberapa aturan tentunya, bahkan jika itu tidak dapat dibayangkan oleh kita secara pasti.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar