08/01/11

Produksi Budaya, Orisinalitas, Dan Selera Kolektif

Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Jurnal Jombangana, Nov 2010

Mengetengahkan persoalan bagaimana kegiatan keseharian sebagai reperesentasi konsumsi narasi menjadi sesuatu yang sedang mengalami masa pasang. Setelah ilmu sosial menampilkan tema-tema gigantis tentang kuasa politik sebagai satuan utama dalam mencari kualitas kebebasan manusia, berganti menjadi pembahasan yang berkaitan dengan kedekatan antar personal dengan kelengkapan-kelengkapan simbolisnya. Peristiwa yang terjadi dalam rentang waktu yang pendek lebih disukai daripada membayangkan milenearisme, tindakan yang berhubungan dengan benda-benda dan logika keseharian yang akrab menjadi lebih penting daripada membayangkan konsep-konsep yang tidak dapat diraba langsung. Ini bukan sebuah gejala posmodernisme, melainkan kebutuhan untuk bereaksi langsung dengan ekonomi tanda menjadi sesuatu yang tidak dapat ditunda. Bahkan negara yang tidak ingin kehilangan popularitasnya harus bersinergi dengan tema-tema seperti ini, realisasi kongkritnya ada pada kebijakan publik.

Susah untuk membayangkan perkara-perkara seperti ini pada masyarakat yang masih berdekatan dengan komitmen metafisik dalam memutuskan mana yang baik dan buruk yang umumnya ada pada zaman-zaman ideologi. Zaman dimana kebutuhan melanggengkan nalar-nalar keagungan manusia dalam term borjuisme lama. Dibutuhkan kesantunan berpikir yang bahkan meminta gerakan-gerakan ideologis paling liar untuk beradaptasi. Hingga zaman modernisme, tidak ada yang layak dibicarakan oleh mereka-mereka yang menginkan perubahan dalam cara melihat konstruksi kreatif. Hanya yang berani untuk berubah dari dalam dan mendapat saat yang tepat untuk meluncurkannya dihadapan publik yang memiliki potensi pembaharuan, Arnold Schoenberg misalnya. Pergantian pikiran filosofis Schoenberg adalah persoalan temperamen. Sebagai anak asli Wina dia memilki bnayak pilihan. Pandangan umum mengenai eksistensi pada masa mudanya berupa kesinisan ringan, dengan sedikit warna ironi. Kecanggihan kelas menengahnya secara garis besar didasarkan pada derajat kemampuan menyikapi persoalan budaya dengan jernih. Bahkan seniman-seniman waktu itu diharapkan untuk bersikap bijak, menjaga argumen-argumen mereka selaras dengan café. Begitu kuatnya atmosfir ini menekan untuk menyatakan idealismenya dalam tingkat yang sangat menyiksa hati, padahal energi yang dimilikinya bisa diserap oleh bagian besar lain Eropa.

Kegiatan kultural merefleksikan penekanan salah satu fungsi eksistensial manusia yang dianggap sebagai hal paling utama dalam masyarakat, dan hal itu memiliki perbedaan-perbedaan seiring dengan siklus dominasi. Pergantian tendensi bukan sesuatu yang aneh dalam masyarakat meskipun bisa dikatakan terdapat stabilitas struktural yang inhern dan menjadi identitas yang bisa dijadikan acuan dalam kurun waktu lama. Pada masyarakat kontemporer praktik keseharian terproyeksikan dalam produk-produk kultural yang dalam proses apresiasinya sendiri sudah mengisyratkan dibutuhkannya penggalan tertentu dari manusia untuk dikuatkan.

Penciptaan film di Iran, kenangan yang kuat berdasar tradisi Muharram memberikan alasan yang tidak bisa dikesampingkan. Bagaimana film yang salah satu media seni era produksi massal bisa menjadi alat yang tepat untuk menyebarkan spektrum mistisisme mullah. Logika komodifikasi dibawah kapitalisme telah membawa kepada sebuah bentuk pencitraan yang mereduksi dunia imajinal ke dalam dunia inderawi. Sebagai akibatnya persepsi indera manusia terkorupsi dengan penggunaannya dalam proses karakterisasi dan produksi, proses pengutaraan voyeuristic dan fetishistic membangun citra yang terkomodifikasi yang terdapat pada sinema dominan di untuk dianggapa sebagia realitas itu sendiri. Dengan logika ini, bagian-bagian perceptual para pengiman, setelah dimurnikan dapat mengakses dunia imajinal dan memanggil gambar-gambar bersanding bersama di ruang antah berantah (Na-koja-Abad) untuk memperbaiki kesalahan, melepaskan tubuh pengiman dari agressor-agresor. Banyak ucapan dan tulisan Ayatollah Khomeini menegaskan bahwa teknologi penglihatan dan pendengaran, sebagai perluasan prostetik dari penginderaan tubuh kolektif nasional, sekali dimurnikan akan memungkinkan pengiman untuk mengakses dunia imajinal – sebuah dunia di luar semua koordinat.

Apapun kepentingannya, semua berkaitan dengan konsumsi ide dan sebelah mana bagian dari eksistensi yang paling membutuhkan prioritas sangat menyangkut yang terjadi hari ini. Bagain paling mendesak harus segera dipenuhi dan untuk mencukupinya kadang perlu persediaan yang diasumsikan, investasi yang cukup untuk menjamin masyrakat tidak gelisah dan mampu untuk menenangkan mereka. Salah satu hal penting dalam diskusi sosiologi saaat ini, modal sosial.

Modal sosial menarik bagi teoritisi sosial selain alas an integritas asli kelanjutan profesional dalam upaya menjaga jarak dari neo-liberalisme, negaraisme (statism), reduksionoisme, Marxisme, posmodernisme, dan isme-isme yang lain yang telah menjadi kebiasaan dilecehkan sebagai symbol-simbol dogmatisme dan kurangnya sikap realistis. Dan masalah positif modal sosial sebab dapat dijadikan kerangka peran untuk dimainkan dalam pembangunan ekonomi dan sosial oleh masyarakat sipil atau apa saja yang terdapat diantara pasar dan negara.

Perkiraan Ben Fine itu bukan sesuatu yang benar-benar steril, bahkan untuk kepentingan paling praktis sekalipun. Sisi tersembunyi dalam kepala manusia selalu mengindikasikan yanng ideal dan tidak terlihat langsung dalam kesibukan yang sadar, dengan tetap berhati-hati terhadap abosulutisme psikoanalitik, kadar delusi selalu butuh interpretasi yang seringkali hanya bisa tampak melalui strategi hasrat. Semuanya menjadi lebih kentara dalam pilihan konsumsi.

Permintaan akan barang dianggap sebagai agregat dan konsekwensinya mengganti sifat personal kebutuhan menjadi suatu amuk massa baik ukuran deografis dan populasi tertentu. Produsen hanya akan menanggapi permintaan sejauh itu memberikan selisih yang masuk akal. Kondisi yang dianggap masuk akal dalam pemenuhan benda budaya, baik yang abstrak maupun material, diukur melalui kesenangan umum. Keberlimpahan yang sesuai dengan prinsip-prinsip kesenangan akan selalu dapat diserap oleh masyarakat dibandingkan ekstasi yang rumit. Singkatnnya, tidak ada lagi nilai obyektif sebuah produk budaya, melainkan kesenangan yang bisa masuk dalam jangkauan pasar. Metode untuk menanggapi pasar juga telah banyak mendukung, riset-riset sistematis tentang layak tidaknya produk dijual telah banyak dijumpai. Yang indah dan yang buruk bisa diukur dengan perilaku tergeneralisasi, yang jika kurang yakin lagi bisa ditambah dengan pemantapan penekanan-penekanan biologis. Seperti karya yang sedih harus mampu membuat audiens mencucurkan air mata dan kegembiraan diukur melalui nyaring tidaknya gelak tawa. Sesederhana itu.

Jika Kant mengizinkan bahwa karya keindahan dapat dibentuk oleh manusia dia akan mempertahankan pendapat karya tersebut sebagai obyek yang indah tidak dapat direduksi oleh aturan-aturan yang pasti. Dengan demikian dalam posisinya dia akan menyatakan karya seni mesti memaparkan orisinalitas. Tetapi penting untuk dicatat, dalam membuat klaim ini dia tidak bermaksud mengatakan karya seni dibuat tanpa beberapa aturan yang mengarahkan maksud apa yang disebut indah. Harus ada beberapa aturan, bahkan jika itu tidak dapat dibayangkan oleh kita secara pasti, tetapi kita tidak dapat berpendapat bahwa obyek yang dimaksudkan dibentuk sebagai karya indah dengan demikian dapat dikatakan sebagai seni. Dalam kebutuhan memenuhi permintaan akan keindahan di pasar, tidak ada orisinalitas. Yang dibutuhkan adalah bagaimana dibutuhkan aturan-aturan tertentu yang dengan redaksional terukur mampu menetapkan karya akan menjamin kelangsungan produksi atau seharusnya dikesampingkan saja.

Karya yang dapat dikatakan indah produksinya harus muncul dari bakat penciptanya, yang artinya sebuah tindakan orisinal. Itu mengapa Kant bersiteguh seniman haruslah seorang jenius, mereka menciptakan seni mereka tidak dengan mengikuti eturan-aturan pasti –bahkan yang secara tidak sadar- tetapi mereka sendiri yang harus memberikan aturan-aturan seni. Dengan demikian aturan ini tidak dapat dirumuskan dari konsep-konsep spesifik (yang dengannya kita dapat menentukan lebih jauh mana obyek yang indah), ini hanya bisa ditunjukkan dalam karya itu sendiri. Bahkan sang seniman sendiri tidak dapat menspesifikasi dalam sebuah tatanan algoritma bagaimana mereka bisa mencapai hasil itu.

Tindakan orisinal artistik yang mencoba beradaptasi dengan produksi massal memeang tidak akan selalu berakhir dengan kekecewaan, tetapi tidak banyak produsen yang cukup berani berjudi dengan situasi semacam ini. Dengan memperhatikan rating perolehan minat dalam masyrakat, sebuah produksi membayangkan konsep-konsep artistik yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Trend adalah ukuran utama, jika tidak menghiraukannya sama saja membuang modal. Modal ekonomi tidak selalu bersinggungan dengan modal kultural juga modal sosial.

Kant menyatakan berkaitan dengan orisinalitas, sebagai kondisi kejeniusan, karya yang diproduksi oleh pikiran orisinal harus menjadi teladan. Gagasannya adalah bahwa seseorang dapat menghasilkan karya orisinal yang non-sense atau sampah, dan kebanyakan karya secara nyata tidak cukup menjamin kita untuk mengatakannya sebagai sumbangan untuk fine art. Oleh karenanya apa yang dihasilkan oleh jenius harus menjadi teladan.dalam pengertian diperlakukan sebagai model atau standar keputusan untuk mengestimasi karya mereka dalam gaya yang sama (dalam rangka menfasilitasi perkembangan selera penikmat) dan dalam waktu yang sama sebagai stimulus jenius lainnya untuk membentuk kekuatan orisinal mereka sendiri kedalam irama kreatif. Sebuah karya jenius sejati mesti mampu menstimulasi imajinasi untuk membebaskan dirinya sendiri dari jeratan aturan-aturan tertentu, sementara pada saat yang sama bekerja dalam sebuah deretan dari ide-ide terpisah yang berkesesuaian dengan tuntutan untuk penyatuaan paham.

Produk artistik merupakan sekelumit dari kompleksitas kemasyarakatan yang secara bertahap mengalami perubahan dalam melihat prioritas kesehariannya. Konsumsi terhadap karya-karya teladan merupakan sebuah parameter keberhasilan mereka mendidik diri. Teladan seperti apakah yang menjadi panutan tergantung pada kesanggupan dan kemampuan mengurai realitas obyektif yang ada di dalamnya. Produk artistik tidak sekedar pelepasan, tetapi juga memberikan reaksi balik terhadap kelanjutan masyarakat itu sendiri. Saat ini nilai penting itu ditetapkan oleh agen-agen gagasan dengan pertimbangan diluar kepentingan untuk menstimulasi imajinasi, melainkan merawat kedalaman pengaruh lewat politisasi budaya untuk memuaskan fantasi tentang hegemoni yang sempit yang tidak bisa dijamin kualitas kritisnya.

Dengan sejarah budaya yang serba limbung, ditarik kesana kemari tanpa menawarkan produk yang lebih banyak lagi untuk dikonsumsi secara massal dan mempunyai integritas kritis, bukan kebiasaan yang bertanggung-jawab untuk melupakan pembahasan yang mendasar mengenai upaya penyediaan modal kultural dan sosial dalam usaha yang lebih berani. Mendasarkan diri pada pemujaan atas masa lalu dan chauvinisme paradigmatis yang hanya memuaskan secara artifisial atau menjadikannya sebagai senjata apa adanya dalam berhadapan dengan pihak luar, perlu lebih banyak lagi spekulasi yang imajinatif. Spekulasi yang menghindarkan publik dari kecenderungan kehilangan potensi yang lebih jauh untuk berada di dunia di luar semua koordinat Dengan beberapa aturan tentunya, bahkan jika itu tidak dapat dibayangkan oleh kita secara pasti.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita