Abu Salman
http://dunia-awie.blogspot.com/
Sebagai seorang penyuka dan penikmat puisi yang tak saleh alias seorang awam puisi. Yang tentu tak bisa kusuk dalam tadarus dan menafsir kitab puisi, maka bagi saya menikmati karya puisi itu seperti menempuh suatu perjalanan. Perjalanan dari kota ke kota. Perjalanan menelusur dari kata ke kata. Dari frasa ke frasa. Kadang seperti melaju di jalanan yang lempeng-lempeng saja tanpa kesan dan tanpa hambatan, terkadang dapat nemu berbagai menu rasa dari tangkapan indra yang terangsang oleh berbagai pemandangan dan peristiwa.
Demikian pula ketika menikmati suatu karya puisi terkadang berlalu begitu saja tanpa tersisa apa-apa sehingga terkadang timbul juga rasa kecewa. Terkadang muncul pula rasa-rasa dalam dada yang tidak tahu entah itu apa. Begitu sulit menjelaskannya. Namun terasa begitu berkesan. Seperti ingin mengulang-ulang pembacaan atas karya-karya yang menyentuh dan menggetarkan atau mengeluh dan mentertawakan tentang sebuah hidup dan kehidupan dan mungkin juga sebuah kepulangan.
Mungkin adanya kesesuaian dengan imaji-imaji yang saya tangkap dari diksi-diksi yang tersaji dengan mimpi dan melankoli atau kenangan yang tersimpan atau berbagai angan dan ingin yang terpendam dalam relung terdalam. Mereka-duga tema dan makna dari paduan rima dan kata, metafora dan frasa. Sehingga seperti mengaduk-aduk berbagai rasa seperti sukabahagia, lukadukalara, sendupilu, pedihperih, dan rindudendam atau bahkan memotivasi untuk berpikir atau melaksanakan sesuatu yang sesuai atau tak sesuai dengan set mind saya sebelumnya.
Tentu saja bukan suatu karya puisi yang buruk bila tak secuil kesan pun timbul dari pembacaan yang saya lakukan, karena rasa-rasa yang saya punya bukanlah sebuah kriteria. Kriteria untuk menjustifikasi sebuah puisi yang baik atau puisi yang tak baik. Dan memang bukan bidang dan hak saya untuk menilai baik dan buruknya suatu karya puisi. Sebagai penyuka dan penikmat puisi saya hanya merasa cocok atau tidak cocok dengan suatu karya puisi.
Hal itulah yang mendasari saya untuk berlama-lama “menghabiskan” sebuah kitab puisi atau kembali meletakkannya di tempat “terhormat”. Sebuah almari sederhana tempat “koleksi” buku puisi yang tak begitu banyak kuantitasnya tapi ingin selalu saya upayakan bertambah setiap waktunya.
Kegagalan menyelami ruh puisi tersebut bukanlah karena karya puisi yang saya baca merupakan karya yang tak baik, mungkin lebih karena faktor tak ada amunisi file-file yang tersimpan dalam memori saya sebagai bahan dalam memikir, menafsir, dan “mendzikir” kata-kata sang penyair.
Setelah menunggu beberapa lama, dengan penuh harap-harap cemas. Akhirnya datang juga. Sebuah paket kiriman bersampul Harian Pagi Batam Pos berisi sebuah kitab puisi dengan tajuk ORGASMAYA sebuah kumpulan sajak dengan tanda tangan pengrajin aslinya Hasan Aspahani (HAH) di lembar kedua setelah cover depan. Tentu nama seorang jurnalis yang juga penyair atau penyair yang jurnalis ini, serta pengelola blog terkenal http://sejuta-puisi.blogspot.com/ dan http://www.hasanaspahani.com/ adalah sebuah nama tak asing bagi penikmat cybersastra dan penikmat puisi koran minggu.
Tentu saja bersuka cita, siapa yang tak? Dapat kiriman free book yang semula pingin memiliki (baca: membeli). [Thanks a lot ya Bang HAH saya tunggu kiriman yang lainnya he..he..maksud saya terbitan karya berikutnya].
Dengan rasa berdebar dan hati tak sabar segera saya jelajahi lembar demi lembar Orgasmaya. Ternyata saya sungguh betah untuk berlama-lama menikmatinya. Terpesona oleh indahnya paduan kata-kata, dengan rima yang dijaga dan tema-tema yang di usung berbagai ragamnya serta expresi yang kaya dengan berbagai gaya ucapnya. Mulai dari yang religius, politik, sampai dengan yang filsafat.
Mungkinkah karena saya “rajin” menikmati puisi-puisi sang penyair di blog sejuta puisinya (dan copy paste tentu saja) sehingga bisa menikmatinya? Meskipun menurut Akmal N. Basral (jurnalis Tempo) kadang-kadang kelihatan diksi pilihan masih kerap “kelelahan” juga mengandung beban makna, katanya pada kolom komentar di sampul belakang (blurb).
Kitab puisi yang diterbitkan oleh Yayasan Sagang Pekanbaru, pada cetakan pertama bulan November 2007 yang sedang saya nikmati ini terdiri dari vi+119 halaman. Terbagi dalam tiga bagian yaitu bagian pertama Bibirku Bersujud Di Bibirmu, bagian kedua Monografi Mitologi, dan bagian ketiga Risalah Dongeng. Keseluruhan terdapat 74 buah karya puisi dalam kitab puisi tersebut. Jumlah masing-masing bagian adalah 32 buah puisi pada bagian pertama, 21 buah puisi pada bagian kedua, dan pada bagian ketiga juga terdapat 21 buah puisi.
Seperti biasa ketika menikmati sebuah kitab puisi, saya selalu punya keinginan yang tak pernah bisa bertahan, yaitu ingin membaca puisi-puisi dalam suatu kitab puisi secara tertib dan berurutan mulai lembar ke satu, kedua dan seterusnya. Namun selalu saja digoda oleh puisi-puisi pada halaman-halaman berikutnya. Lalu, pada akhirnya selalu saja membolak-balik halaman-halaman berikutnya , mencari sesuatu yang mungkin lebih menarik hati.
Tidak seperti karya-karya puisi yang telah saya nikmati lainnya, pada pengantar penulis dibuat berupa imajinasi wawancara antara sang penyair dan Pablo Neruda, penyair yang disukai oleh HAH, berjudul Seandainya Saya Bertemu Pablo Neruda. Menariknya dalam pengantar tersebut menurut HAH puisi tak perlu diantar (diberikan pengantar) karena dapat mengganggu kemandirian sajak. Mungkin pengantar dapat mengarahkan penikmat sebuah karya pada tafsir tertentu, tidak bebas lagi.
Namun, sebagai seorang awam puisi, bagi saya sebuah pengantar dalam kitab puisi sangat saya harapkan dan saya biasanya sangat menikmatinya. Ibarat seorang pengelana di rimba kata-kata maka sebuah pengantar bagi saya adalah salah satu petunjuk arah dalam peta perjalanan. Petunjuk arah yang dapat memekarkan imajinasi selanjutnya sehingga dapat mencegah saya tersesat di rimba frasa.
Bibirku Bersujud Di Bibirmu
Dalam kamar yang lengang, saya pun mulai mencoba menikmati karya-karya HAH. Pada bagian pertama Bibirku Bersujud di Bibirmu langsung saya coba selami sebuah puisi berjudul Tak Tahu Sebab, Apa Sebab, Kita pun Lupa Berbagi Jawab.
Membaca bait demi bait sajak ini mengingatkan saya pada sebuah perjalanan hidup manusia. Betapa hingar bingar dunia membutakan dan melupakan kita. Kita seperti berlari dikejar dan mengejar yang maya.
INI perahu terus berlayar. Kita jauh terlempar.
Pada pulau tak lagi berkabar. Kita jatuh terdampar.
Tiba-tiba saja ketika menyadari,
Batang-batang kelapa rebah, menjemput laut.
Tiang-tiang dermaga patah, kita rubuh, disentuh maut!
Kita seperti terbangun dari mimpi pahit. Merasa seperti hambar dan terlempar dari dimensi yang entah dan menuju ke dimensi yang penuh teka-teki dan misteri. Tak kita kenali kecuali dari konsep-konsep dan dogma-dogma yang membuat kita seperti terpenjara dan selalu menyisakan tanya. Sibuk berspekulasi dan berdebat. Hingga kita Tak Tahu Sebab, Apa Sebab, Kita pun Lupa Berbagi Jawaban hakikat hidup yang sebenarnya.
Ah, kita sudah lama yatim, ditinggal Bunda Penggambar Peta,
Kini tak tahu sebab, apa sebab, kita pun lupa berbagai jawab.
Menelisik sajak berikutnya Tak Ada Penjual Kartu Pos di Halaman Masjid Tua Itu entah mengapa tiba-tiba saja saya teringat sebuah stasiun TV yang menayangkan fragmen adzan magrib, lalu lalang para manusia berkendara dijalanan, hanya beberapa yang terpanggil bersujud. Lalu sebuah pertanyaan muncul dimanakah kita berada?
”Lihat, ada paku liar, jadi gulma lebat, di pucuk ikamat,”
tapi tak ada yang tergesa, tak ada yang ingin bersegera.
Suasana kamar lengang dan terkadang hanya suara sedikit berisik dari cicak-cicak yang berkejaran di dinding kamar masih setia mengiringi saya menikmati sajak berikutnya. Orgasmaya. Sebuah sajak panjang dua halaman yang juga dijadikan judul karya sang penyair dari Batam ini.
Membaca sajak ini beberapa kali masih tak menemukan ide apa sebenarnya yang diusung dalam sajak ini. Lalu saya pun mereka-duga sambil membacanya lagi dan lagi. Mungkinkah ini rasa ekstase dari sang kita/aku lirik kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang lainnya? Dengan lompat trampolin sebagai salah satu metaforanya. Mungkin kunci kalimat pada sajak ini menurut saya adalah:
”Sebab pada kita, mereka-reka kita:
Persetubuhan Terindah di dunia”
Persesukmaan pertama kita
di bentang ranjang maya, lengang angkasa raya.
Ya sebuah ”pertemuan” sang penyair dengan Tuhan atau mungkin yang lain, yang melahirkan rasa ekstase bertempat di ranjang maya dan kondisi lengang atau sunyi di angkasa raya.
Rasa ekstase yang melegakan dada. Sebuah beban rasa rindu dan gairah bertemu di dada membuncah pada akhirnya menemui ”klimaksnya”.
KAU memelukku seperti Hawa pada Adamnya
Lelaki yang tak beribu, yang tak tahu bagaimana
Melelakikan tubuhnya pada perempuan Hawanya.
”Ke dadaku saja. Ke dadaku saja. Ke dadaku saja”
Sajak berikutnya yang menarik bagi saya adalah Bibirku Bersujud di Bibirmu yang juga dijadikan subjudul pada bagian pertama. Menyimak sajak ini tak pelak mengingatkan saya pada peristiwa tsunami di Aceh yang menewaskan ribuan orang. Gelombang maharaksasa yang tak pernah diharapkan oleh siapapun kedatangannya.
ADUHAI laut yang mengenal semua kapal, kau tahukah?
Pada separuh luruh usia tubuh, ada sepertiga subuh
yang tak pernah hendak menunggu jangkarmu berlabuh.
Namun kehendak kita tak selalu sama dengan kehendak Yang Kuasa, maka:
Siapa mengarak riak jadi mahagelombang maharaksasa?
AKU semakin tak sanggup. Dengar. Dendang itu semakin sayup:
Kenapa harus gelombang,
gelombang,
gelombang,
gelombang
gelombang,
Kenapa harus gelombang,
gelombang,
gelombang,
gelombang,
gelombang,
gelombang.
Kenapa harus gelombang.
Tema lain yang diusung oleh sang penyair adalah tentang ”kepulangan”. Pada sajak Dari Mana Memulai dan Ke mana kembali seolah-olah mengingatkan kita dari mana kita berasal dan kemana kita nantinya kita kembali. Akan saya kutip secara utuh sajak tersebut yang menggunakan metafora gempa sebuah bencana alam yang sering disinyalir sebagai peringatan dari Tuhan kepada umat manusia.
TAPI, aku cuma gempa, yang singgah dari kota ke kota
Mungkin dengan sedikit getar, jauh dari dalam tanah ini,
bisa sekejap mengingatkan, dari mana dulu kau memulai.
Tapi, aku Cuma gempa, yang singgah dari kota ke kota.
Mungkin dengan gerak sebentar, jauh dari ulu bumi ini
Bisa sekedar mengabarkan, kemana nanti kau kembali
Tema serupa dengan sajak diatas adalah ada pada sajak Malaikat Pencopet Nyawa, sebuah personalan hidup yang diangkat dengan jenaka. Menyimak sajak ini saya jadi teringat puji-pujian dari load speaker yang berkumandang dari masjid atau mushola di tempat sekitar saya.
Puji-pujian yang dilagukan setelah adzan dikumandangkan dan menjelang pelaksanaan shalat sebelum iqomat.
……………….
Ojo siro banget bungah
Ono ing alam donya
malaikat juru pati
lirak-lirik marang siro
Olehe nglirik si malaikat
Arep njabut nyowo siro
Olehe njabut angenteni
Dawuhe kang Maha Mulya
………………
Gaya jenaka sajak tersebut dapat saya kutipkan dibawah ini:
”HALO, Bos, apa kabar?
kata seorang berwajah
seram menyapa.
”Ah, jangan
pura-pura lupa, Master!”
Karena ada yang harus dipertanggunjawabkan dalam hidup setelah kehidupan di dunia, maka membuat saya lirik berhati-hati.
DI kedai kopi,
saya disambut
ciuman janda pelayan,
saya juga dapat rayuan,
”Malam ini menginap
di sini ya, Tuan?
Saya tak berani mengiyakan,
Soalnya di ujung pasar
Kulihat berdiri
Malaikat Pencopet Nyawa.
Seperti sebuah ketakutan yang dijenakakan, kita simak lanjutannya.
Sesekali kupergoki matanya
Melirik ubun-ubun saya
Saya yakin dia sedang
Mengincar saya
Tapi saya takut
Beliau hanya
Salahsasaran
Pada bagian pertama karya ini diakhiri dengan sajak-sajak yang berjudul awal kisah, seperti Kisah Kota Penjara, Kisah Kota Hujan, Kisah Kota Mimpi, dan lain-lain seperti sebuah cerita yang berkisah tentang suatu peristiwa sesuai dengan judul-judulnya.
Monografi Mitologi
Monografi Mitologi merupakan bagian kedua dari kumpulan sajak Orgasmaya ini. Asing dengan kata-kata tersebut saya mencoba membuka Kamus Besar terbitan Balai Pustaka. Menurut kamus tersebut Monografi adalah tulisan (karangan, uraian) mengenai satu bagian dari suatu ilmu atau mengenai suatu masalah tertentu. Sedangkan Mitologi adalah ilmu tentang bentuk sastra yang mengandung konsepsi dan dongeng suci mengenai kehidupan dewa dan makhluk halus dalam suatu kebudayaan.
Secara sederhana mungkin yang dimaksud Monografi Mitologi dalam bagian ini adalah tulisan (krangan, uraian) yang tentu saja dalam bentuk puisi tentang konsepsi atau dongeng atau muasal sesuatu.
Menyimak bagian ini saya tertarik dengan sajak yang berjudul Mitologi Cinta. Sajak itu seperti berkisah bahwa asal muasal Cinta yang tumbuh dihati manusia adalah dari malaikat yang bersemayam dalam hati manusia. Ditugaskan oleh Tuhan untuk mengikuti manusia pertama yang diusir dari surga hingga sampai kini karena para malaikat itu akhirnya betah juga dengan tugas-tugasnya.
……………maka dua malaikat
meminta agar mereka ditugaskan saja mengiringi
Bunda Hwa dan Bapa Adam ke dunia tapi Tuhan hanya
Mengizinkan keduanya terikut di dalam hati dan
Tuhan pun mengubah dua malaikat itu menjadi Cinta
yang serta merta menghadirkan rindu yang pertama
sehingga terciptalah pertemuan yang pertama
lalu terselenggaralah persetubuhan yang pertama dan
ketika diminta kembali dua malaikat itu meminta
diri untuk meneruskan tuga yang hingga kini
tak pernah membuat keduanya jenuh menunaikannya.
Lalu dalam hati saya pun bertanya-tanya, apakah itu tentang cinta yang dilembagakan dengan segala kriteria dan persyaratannya atau segala cinta yang terkadang melibatkan birahi? Entahlah.
Masih ada 20 sajak lagi dalam bagian Monografi Mitologi ini. Dalam sajak-sajak dibagian ini rata-rata hanya ada satu atau dua kalimat karena hanya terdiri dari satu atau dua tanda titik yang mengakhiri kalimatnya. Namun tiap-tiap kalimat adalah rangkaian kalimat-kalimat yang sangat panjang yang mungkin akan cukup untuk bisa dibuat beberapa kalimat. Mungkin sang penyair sengaja membuat kalimat-kalimat panjang dalam sajak-sajaknya sebagai bentuk permainan teks.
Risalah Dongeng
Masih betah menjamah. Saya teruskan menyusuri kata-kata yang disajikan dalam Orgasmaya menuju bagian ke tiga.
Saya langsung terpana oleh permainan kata-kata dalam sajak pertama bagian ketiga, Dongeng Pintu. Sajak ini langsung memunculkan imajinasi saya pada para tunawisma dan orang-orang tak beruntung yang sering ditayangkan di media. Sebuah persoalan klasik berakar dari kemiskinan yang tak kunjung usai di negara berkembang seperti negeri kita tercinta ini.
Simaklah betapa sang penyair, lagi-lagi mengangkat persoalan hidup, kesulitan hidup manusia dengan jenaka atau mungkin semacam ironi.
Dia menyebut rumahnya: rumah pintu.
sebab atapnya pintu, lantainya pintu,
dindingnya pintu, langit-langitnya pintu,
jendelanya pintu, apalagi pintunya: tetnu saja pintu!
Ketika pertama kali menempati rumah itu,
sang hujanlah yang pertama kali bertamu.
Lalu pagi hari ia nyalakan matahari.
Klik. Saklar dipencet sekali, lalu teranglah sepanjang hari.
Kalau terlalu menyegat panas, dia bentangkan gorden awan.
Dan nasib memang tak pernah berpihak, meski dalam kondisi hidup yang serba sulit tetap saja harus terusir dengan alasan pembangunan atau ketertiban, maka:
SEKARANG dia menjadi pengelana. Mengembarai waktu.
Mengendarai kaki sendiri. Memedomani hati sendiri.
Apakah kehidupan yang tak pernah berpihak itu akan selamanya tak mau kompromi dengan mereka hingga tiba waktunya: Mencari rumah yang tanpa pintu. / Rumah yang entah dimana, / tapi dia tahu: di sana sudah lama ia ditunggu.
Menikmati sajak-sajak pada bagian ketiga ini mengingatkan saya pada kumpulan puisi dalam Celana Pacar Kecilku Dibawah Kibaran Sarung-nya Joko Pinurbo. Rasa-rasanya seperti ada ”taste”nya Jokpin dalam Risalah Dongeng ini. Jenaka dan berirama namun tetap mengena.
Dalam Dongeng Penyair Pemburu Kaos Oblong misalnya menohok para politikus dengan jenaka pula.
”Anda kenal dengan dua badut itu?”
”Tidak, tapi katanya mereka berdua sekarang buta.
Karena ada yang mencoblos kedua matanya….”
Bait berikutnya mengingatkan saya pada Pinoccio tokoh anak dalam film yang akan memanjang hidungnya bila berbohong.
”Coba perhatikan lidahnya…”
”Kenapa lidahnya?”
”Makin lama makin panjang”
”He he he. Itulah akibatnya, kalau kebanyakan dusta”
Tak ada jejak waktu yang tertuang dalam sajian puisi-puisi ini sehingga akan sulit bila saya ingin menarik puisi-puisi tersebut dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Mungkin memang tak terkait dengan peristiwa-peristiwa diluar diri penyair, mungkin merupakan hasil perenungan-perenungan dari dalam diri sang penyair atau peristiwa diluar diri penyair yang terkait memang sebuah peristiwa ”abadi”, yang terus menerus terjadi.
Dalam Dongeng Empat Musim, sajak yang menjadi bagian ketiga Risalah Dongeng mengingatkan saya pada peristiwa politik di Indonesia.
Ada empat musim di negeri itu.
Pertama, musim berdusta,
Kedua musim berjanji,
Ketiga musim berpura-pura
Keempat musim lupa.
Untuk memperoleh kekuasaan, para politikus akan mulai membangun image dirinya, bahkan yang sekian tahun lalu bergelimang darah rakyat pun akan membuat citra positif melalui iklan dan tulisan. Dengan uang yang bertumpuk tentu hal itu akan mudah dilakukan.
Lalu dengan janji-janji pun ditebarkan untuk memperoleh simpati dan suara. Mereka pun berpura-pura baik dengan memberikan segala sesuatu yang seolah-olah diperlukan rakyat. Tiba saatnya tujuan telah tercapai mereka seolah-olah lupa akan janji-janjinya untuk memprioritaskan rakyat. Dan janji pun tinggal janji kosong.
Sajak berikutnya dalam bagian ketiga yang menarik minat saya adalah Dongeng Tukang Kunci.
Dalam sajak ini penyair seolah ingin mengemukakan bahwa untuk mengetahui segala sesuatu harus ada rasa curious atau ingin tahu.
”Tuan, buatkan saya sebuah duplikat kunci
yang bisa membuka semua pintu buku.”
Si tukang kunci lalu mengembil sesuatu
dari pikiran si pemesan lalu menempanya
menjadi kunci berbentuk Tanda Tanya,
(Notes: mungkin salah ketik pada kata ”….buatkan saya sebuah….”diatas tertulis buatkah)
Ah, penat seperti berkelebat saat hampir mendekat di akhir kalimat. Dengan ditutup sebuah sajak berjudul Dongeng Penyair Mau Mudik seolah bercerita tentang penyair yang kehabisan kata-kata. Ditinggalkan oleh kata-kata sehingga tidak hanya menunggu datangnya ide. Namun mengejar ide-ide untuk dituangkan dalam sajak.
…………….
LALU, kata-kata itu berpamitan meninggalkan penyair yang pura-pura
tabah itu, padahal hatinya sungguh gundah sangat gulana. Diam-diam
sebenarnya dia ingin menguntit kemana gerangan rombongan kata itu
pulang, dimana rumahnya dan siapa orang tuanya……..
Meski penat betapa terasa nikmat, berada di kamar sunyi menikmati sajian diksi-diksi dalam puisi mengantarkan saya menyelami diri sebagai bagian dari puisi kehidupan.
Gresik, November 2008
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar