08/01/11

Mengeja Orgasmaya, Sebuah Tadarus Dari Orang Tak Saleh

Abu Salman
http://dunia-awie.blogspot.com/

Sebagai seorang penyuka dan penikmat puisi yang tak saleh alias seorang awam puisi. Yang tentu tak bisa kusuk dalam tadarus dan menafsir kitab puisi, maka bagi saya menikmati karya puisi itu seperti menempuh suatu perjalanan. Perjalanan dari kota ke kota. Perjalanan menelusur dari kata ke kata. Dari frasa ke frasa. Kadang seperti melaju di jalanan yang lempeng-lempeng saja tanpa kesan dan tanpa hambatan, terkadang dapat nemu berbagai menu rasa dari tangkapan indra yang terangsang oleh berbagai pemandangan dan peristiwa.

Demikian pula ketika menikmati suatu karya puisi terkadang berlalu begitu saja tanpa tersisa apa-apa sehingga terkadang timbul juga rasa kecewa. Terkadang muncul pula rasa-rasa dalam dada yang tidak tahu entah itu apa. Begitu sulit menjelaskannya. Namun terasa begitu berkesan. Seperti ingin mengulang-ulang pembacaan atas karya-karya yang menyentuh dan menggetarkan atau mengeluh dan mentertawakan tentang sebuah hidup dan kehidupan dan mungkin juga sebuah kepulangan.

Mungkin adanya kesesuaian dengan imaji-imaji yang saya tangkap dari diksi-diksi yang tersaji dengan mimpi dan melankoli atau kenangan yang tersimpan atau berbagai angan dan ingin yang terpendam dalam relung terdalam. Mereka-duga tema dan makna dari paduan rima dan kata, metafora dan frasa. Sehingga seperti mengaduk-aduk berbagai rasa seperti sukabahagia, lukadukalara, sendupilu, pedihperih, dan rindudendam atau bahkan memotivasi untuk berpikir atau melaksanakan sesuatu yang sesuai atau tak sesuai dengan set mind saya sebelumnya.

Tentu saja bukan suatu karya puisi yang buruk bila tak secuil kesan pun timbul dari pembacaan yang saya lakukan, karena rasa-rasa yang saya punya bukanlah sebuah kriteria. Kriteria untuk menjustifikasi sebuah puisi yang baik atau puisi yang tak baik. Dan memang bukan bidang dan hak saya untuk menilai baik dan buruknya suatu karya puisi. Sebagai penyuka dan penikmat puisi saya hanya merasa cocok atau tidak cocok dengan suatu karya puisi.

Hal itulah yang mendasari saya untuk berlama-lama “menghabiskan” sebuah kitab puisi atau kembali meletakkannya di tempat “terhormat”. Sebuah almari sederhana tempat “koleksi” buku puisi yang tak begitu banyak kuantitasnya tapi ingin selalu saya upayakan bertambah setiap waktunya.

Kegagalan menyelami ruh puisi tersebut bukanlah karena karya puisi yang saya baca merupakan karya yang tak baik, mungkin lebih karena faktor tak ada amunisi file-file yang tersimpan dalam memori saya sebagai bahan dalam memikir, menafsir, dan “mendzikir” kata-kata sang penyair.

Setelah menunggu beberapa lama, dengan penuh harap-harap cemas. Akhirnya datang juga. Sebuah paket kiriman bersampul Harian Pagi Batam Pos berisi sebuah kitab puisi dengan tajuk ORGASMAYA sebuah kumpulan sajak dengan tanda tangan pengrajin aslinya Hasan Aspahani (HAH) di lembar kedua setelah cover depan. Tentu nama seorang jurnalis yang juga penyair atau penyair yang jurnalis ini, serta pengelola blog terkenal http://sejuta-puisi.blogspot.com/ dan http://www.hasanaspahani.com/ adalah sebuah nama tak asing bagi penikmat cybersastra dan penikmat puisi koran minggu.

Tentu saja bersuka cita, siapa yang tak? Dapat kiriman free book yang semula pingin memiliki (baca: membeli). [Thanks a lot ya Bang HAH saya tunggu kiriman yang lainnya he..he..maksud saya terbitan karya berikutnya].

Dengan rasa berdebar dan hati tak sabar segera saya jelajahi lembar demi lembar Orgasmaya. Ternyata saya sungguh betah untuk berlama-lama menikmatinya. Terpesona oleh indahnya paduan kata-kata, dengan rima yang dijaga dan tema-tema yang di usung berbagai ragamnya serta expresi yang kaya dengan berbagai gaya ucapnya. Mulai dari yang religius, politik, sampai dengan yang filsafat.

Mungkinkah karena saya “rajin” menikmati puisi-puisi sang penyair di blog sejuta puisinya (dan copy paste tentu saja) sehingga bisa menikmatinya? Meskipun menurut Akmal N. Basral (jurnalis Tempo) kadang-kadang kelihatan diksi pilihan masih kerap “kelelahan” juga mengandung beban makna, katanya pada kolom komentar di sampul belakang (blurb).

Kitab puisi yang diterbitkan oleh Yayasan Sagang Pekanbaru, pada cetakan pertama bulan November 2007 yang sedang saya nikmati ini terdiri dari vi+119 halaman. Terbagi dalam tiga bagian yaitu bagian pertama Bibirku Bersujud Di Bibirmu, bagian kedua Monografi Mitologi, dan bagian ketiga Risalah Dongeng. Keseluruhan terdapat 74 buah karya puisi dalam kitab puisi tersebut. Jumlah masing-masing bagian adalah 32 buah puisi pada bagian pertama, 21 buah puisi pada bagian kedua, dan pada bagian ketiga juga terdapat 21 buah puisi.

Seperti biasa ketika menikmati sebuah kitab puisi, saya selalu punya keinginan yang tak pernah bisa bertahan, yaitu ingin membaca puisi-puisi dalam suatu kitab puisi secara tertib dan berurutan mulai lembar ke satu, kedua dan seterusnya. Namun selalu saja digoda oleh puisi-puisi pada halaman-halaman berikutnya. Lalu, pada akhirnya selalu saja membolak-balik halaman-halaman berikutnya , mencari sesuatu yang mungkin lebih menarik hati.

Tidak seperti karya-karya puisi yang telah saya nikmati lainnya, pada pengantar penulis dibuat berupa imajinasi wawancara antara sang penyair dan Pablo Neruda, penyair yang disukai oleh HAH, berjudul Seandainya Saya Bertemu Pablo Neruda. Menariknya dalam pengantar tersebut menurut HAH puisi tak perlu diantar (diberikan pengantar) karena dapat mengganggu kemandirian sajak. Mungkin pengantar dapat mengarahkan penikmat sebuah karya pada tafsir tertentu, tidak bebas lagi.

Namun, sebagai seorang awam puisi, bagi saya sebuah pengantar dalam kitab puisi sangat saya harapkan dan saya biasanya sangat menikmatinya. Ibarat seorang pengelana di rimba kata-kata maka sebuah pengantar bagi saya adalah salah satu petunjuk arah dalam peta perjalanan. Petunjuk arah yang dapat memekarkan imajinasi selanjutnya sehingga dapat mencegah saya tersesat di rimba frasa.

Bibirku Bersujud Di Bibirmu

Dalam kamar yang lengang, saya pun mulai mencoba menikmati karya-karya HAH. Pada bagian pertama Bibirku Bersujud di Bibirmu langsung saya coba selami sebuah puisi berjudul Tak Tahu Sebab, Apa Sebab, Kita pun Lupa Berbagi Jawab.

Membaca bait demi bait sajak ini mengingatkan saya pada sebuah perjalanan hidup manusia. Betapa hingar bingar dunia membutakan dan melupakan kita. Kita seperti berlari dikejar dan mengejar yang maya.

INI perahu terus berlayar. Kita jauh terlempar.
Pada pulau tak lagi berkabar. Kita jatuh terdampar.

Tiba-tiba saja ketika menyadari,

Batang-batang kelapa rebah, menjemput laut.
Tiang-tiang dermaga patah, kita rubuh, disentuh maut!
Kita seperti terbangun dari mimpi pahit. Merasa seperti hambar dan terlempar dari dimensi yang entah dan menuju ke dimensi yang penuh teka-teki dan misteri. Tak kita kenali kecuali dari konsep-konsep dan dogma-dogma yang membuat kita seperti terpenjara dan selalu menyisakan tanya. Sibuk berspekulasi dan berdebat. Hingga kita Tak Tahu Sebab, Apa Sebab, Kita pun Lupa Berbagi Jawaban hakikat hidup yang sebenarnya.

Ah, kita sudah lama yatim, ditinggal Bunda Penggambar Peta,
Kini tak tahu sebab, apa sebab, kita pun lupa berbagai jawab.

Menelisik sajak berikutnya Tak Ada Penjual Kartu Pos di Halaman Masjid Tua Itu entah mengapa tiba-tiba saja saya teringat sebuah stasiun TV yang menayangkan fragmen adzan magrib, lalu lalang para manusia berkendara dijalanan, hanya beberapa yang terpanggil bersujud. Lalu sebuah pertanyaan muncul dimanakah kita berada?

”Lihat, ada paku liar, jadi gulma lebat, di pucuk ikamat,”
tapi tak ada yang tergesa, tak ada yang ingin bersegera.

Suasana kamar lengang dan terkadang hanya suara sedikit berisik dari cicak-cicak yang berkejaran di dinding kamar masih setia mengiringi saya menikmati sajak berikutnya. Orgasmaya. Sebuah sajak panjang dua halaman yang juga dijadikan judul karya sang penyair dari Batam ini.

Membaca sajak ini beberapa kali masih tak menemukan ide apa sebenarnya yang diusung dalam sajak ini. Lalu saya pun mereka-duga sambil membacanya lagi dan lagi. Mungkinkah ini rasa ekstase dari sang kita/aku lirik kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang lainnya? Dengan lompat trampolin sebagai salah satu metaforanya. Mungkin kunci kalimat pada sajak ini menurut saya adalah:

”Sebab pada kita, mereka-reka kita:
Persetubuhan Terindah di dunia”
Persesukmaan pertama kita
di bentang ranjang maya, lengang angkasa raya.
Ya sebuah ”pertemuan” sang penyair dengan Tuhan atau mungkin yang lain, yang melahirkan rasa ekstase bertempat di ranjang maya dan kondisi lengang atau sunyi di angkasa raya.

Rasa ekstase yang melegakan dada. Sebuah beban rasa rindu dan gairah bertemu di dada membuncah pada akhirnya menemui ”klimaksnya”.

KAU memelukku seperti Hawa pada Adamnya
Lelaki yang tak beribu, yang tak tahu bagaimana
Melelakikan tubuhnya pada perempuan Hawanya.

”Ke dadaku saja. Ke dadaku saja. Ke dadaku saja”
Sajak berikutnya yang menarik bagi saya adalah Bibirku Bersujud di Bibirmu yang juga dijadikan subjudul pada bagian pertama. Menyimak sajak ini tak pelak mengingatkan saya pada peristiwa tsunami di Aceh yang menewaskan ribuan orang. Gelombang maharaksasa yang tak pernah diharapkan oleh siapapun kedatangannya.

ADUHAI laut yang mengenal semua kapal, kau tahukah?
Pada separuh luruh usia tubuh, ada sepertiga subuh
yang tak pernah hendak menunggu jangkarmu berlabuh.

Namun kehendak kita tak selalu sama dengan kehendak Yang Kuasa, maka:

Siapa mengarak riak jadi mahagelombang maharaksasa?
AKU semakin tak sanggup. Dengar. Dendang itu semakin sayup:

Kenapa harus gelombang,
gelombang,
gelombang,
gelombang
gelombang,
Kenapa harus gelombang,
gelombang,
gelombang,
gelombang,
gelombang,
gelombang.
Kenapa harus gelombang.

Tema lain yang diusung oleh sang penyair adalah tentang ”kepulangan”. Pada sajak Dari Mana Memulai dan Ke mana kembali seolah-olah mengingatkan kita dari mana kita berasal dan kemana kita nantinya kita kembali. Akan saya kutip secara utuh sajak tersebut yang menggunakan metafora gempa sebuah bencana alam yang sering disinyalir sebagai peringatan dari Tuhan kepada umat manusia.

TAPI, aku cuma gempa, yang singgah dari kota ke kota

Mungkin dengan sedikit getar, jauh dari dalam tanah ini,
bisa sekejap mengingatkan, dari mana dulu kau memulai.

Tapi, aku Cuma gempa, yang singgah dari kota ke kota.

Mungkin dengan gerak sebentar, jauh dari ulu bumi ini
Bisa sekedar mengabarkan, kemana nanti kau kembali

Tema serupa dengan sajak diatas adalah ada pada sajak Malaikat Pencopet Nyawa, sebuah personalan hidup yang diangkat dengan jenaka. Menyimak sajak ini saya jadi teringat puji-pujian dari load speaker yang berkumandang dari masjid atau mushola di tempat sekitar saya.

Puji-pujian yang dilagukan setelah adzan dikumandangkan dan menjelang pelaksanaan shalat sebelum iqomat.

……………….
Ojo siro banget bungah
Ono ing alam donya
malaikat juru pati
lirak-lirik marang siro
Olehe nglirik si malaikat
Arep njabut nyowo siro
Olehe njabut angenteni
Dawuhe kang Maha Mulya
………………

Gaya jenaka sajak tersebut dapat saya kutipkan dibawah ini:

”HALO, Bos, apa kabar?
kata seorang berwajah
seram menyapa.
”Ah, jangan
pura-pura lupa, Master!”

Karena ada yang harus dipertanggunjawabkan dalam hidup setelah kehidupan di dunia, maka membuat saya lirik berhati-hati.

DI kedai kopi,
saya disambut
ciuman janda pelayan,
saya juga dapat rayuan,
”Malam ini menginap
di sini ya, Tuan?
Saya tak berani mengiyakan,
Soalnya di ujung pasar
Kulihat berdiri
Malaikat Pencopet Nyawa.
Seperti sebuah ketakutan yang dijenakakan, kita simak lanjutannya.

Sesekali kupergoki matanya
Melirik ubun-ubun saya

Saya yakin dia sedang
Mengincar saya

Tapi saya takut
Beliau hanya
Salahsasaran

Pada bagian pertama karya ini diakhiri dengan sajak-sajak yang berjudul awal kisah, seperti Kisah Kota Penjara, Kisah Kota Hujan, Kisah Kota Mimpi, dan lain-lain seperti sebuah cerita yang berkisah tentang suatu peristiwa sesuai dengan judul-judulnya.

Monografi Mitologi

Monografi Mitologi merupakan bagian kedua dari kumpulan sajak Orgasmaya ini. Asing dengan kata-kata tersebut saya mencoba membuka Kamus Besar terbitan Balai Pustaka. Menurut kamus tersebut Monografi adalah tulisan (karangan, uraian) mengenai satu bagian dari suatu ilmu atau mengenai suatu masalah tertentu. Sedangkan Mitologi adalah ilmu tentang bentuk sastra yang mengandung konsepsi dan dongeng suci mengenai kehidupan dewa dan makhluk halus dalam suatu kebudayaan.

Secara sederhana mungkin yang dimaksud Monografi Mitologi dalam bagian ini adalah tulisan (krangan, uraian) yang tentu saja dalam bentuk puisi tentang konsepsi atau dongeng atau muasal sesuatu.

Menyimak bagian ini saya tertarik dengan sajak yang berjudul Mitologi Cinta. Sajak itu seperti berkisah bahwa asal muasal Cinta yang tumbuh dihati manusia adalah dari malaikat yang bersemayam dalam hati manusia. Ditugaskan oleh Tuhan untuk mengikuti manusia pertama yang diusir dari surga hingga sampai kini karena para malaikat itu akhirnya betah juga dengan tugas-tugasnya.

……………maka dua malaikat
meminta agar mereka ditugaskan saja mengiringi
Bunda Hwa dan Bapa Adam ke dunia tapi Tuhan hanya
Mengizinkan keduanya terikut di dalam hati dan
Tuhan pun mengubah dua malaikat itu menjadi Cinta
yang serta merta menghadirkan rindu yang pertama
sehingga terciptalah pertemuan yang pertama
lalu terselenggaralah persetubuhan yang pertama dan
ketika diminta kembali dua malaikat itu meminta
diri untuk meneruskan tuga yang hingga kini
tak pernah membuat keduanya jenuh menunaikannya.
Lalu dalam hati saya pun bertanya-tanya, apakah itu tentang cinta yang dilembagakan dengan segala kriteria dan persyaratannya atau segala cinta yang terkadang melibatkan birahi? Entahlah.

Masih ada 20 sajak lagi dalam bagian Monografi Mitologi ini. Dalam sajak-sajak dibagian ini rata-rata hanya ada satu atau dua kalimat karena hanya terdiri dari satu atau dua tanda titik yang mengakhiri kalimatnya. Namun tiap-tiap kalimat adalah rangkaian kalimat-kalimat yang sangat panjang yang mungkin akan cukup untuk bisa dibuat beberapa kalimat. Mungkin sang penyair sengaja membuat kalimat-kalimat panjang dalam sajak-sajaknya sebagai bentuk permainan teks.

Risalah Dongeng

Masih betah menjamah. Saya teruskan menyusuri kata-kata yang disajikan dalam Orgasmaya menuju bagian ke tiga.

Saya langsung terpana oleh permainan kata-kata dalam sajak pertama bagian ketiga, Dongeng Pintu. Sajak ini langsung memunculkan imajinasi saya pada para tunawisma dan orang-orang tak beruntung yang sering ditayangkan di media. Sebuah persoalan klasik berakar dari kemiskinan yang tak kunjung usai di negara berkembang seperti negeri kita tercinta ini.

Simaklah betapa sang penyair, lagi-lagi mengangkat persoalan hidup, kesulitan hidup manusia dengan jenaka atau mungkin semacam ironi.

Dia menyebut rumahnya: rumah pintu.
sebab atapnya pintu, lantainya pintu,
dindingnya pintu, langit-langitnya pintu,
jendelanya pintu, apalagi pintunya: tetnu saja pintu!

Ketika pertama kali menempati rumah itu,
sang hujanlah yang pertama kali bertamu.

Lalu pagi hari ia nyalakan matahari.
Klik. Saklar dipencet sekali, lalu teranglah sepanjang hari.
Kalau terlalu menyegat panas, dia bentangkan gorden awan.
Dan nasib memang tak pernah berpihak, meski dalam kondisi hidup yang serba sulit tetap saja harus terusir dengan alasan pembangunan atau ketertiban, maka:

SEKARANG dia menjadi pengelana. Mengembarai waktu.
Mengendarai kaki sendiri. Memedomani hati sendiri.

Apakah kehidupan yang tak pernah berpihak itu akan selamanya tak mau kompromi dengan mereka hingga tiba waktunya: Mencari rumah yang tanpa pintu. / Rumah yang entah dimana, / tapi dia tahu: di sana sudah lama ia ditunggu.

Menikmati sajak-sajak pada bagian ketiga ini mengingatkan saya pada kumpulan puisi dalam Celana Pacar Kecilku Dibawah Kibaran Sarung-nya Joko Pinurbo. Rasa-rasanya seperti ada ”taste”nya Jokpin dalam Risalah Dongeng ini. Jenaka dan berirama namun tetap mengena.

Dalam Dongeng Penyair Pemburu Kaos Oblong misalnya menohok para politikus dengan jenaka pula.

”Anda kenal dengan dua badut itu?”
”Tidak, tapi katanya mereka berdua sekarang buta.
Karena ada yang mencoblos kedua matanya….”

Bait berikutnya mengingatkan saya pada Pinoccio tokoh anak dalam film yang akan memanjang hidungnya bila berbohong.

”Coba perhatikan lidahnya…”
”Kenapa lidahnya?”
”Makin lama makin panjang”
”He he he. Itulah akibatnya, kalau kebanyakan dusta”

Tak ada jejak waktu yang tertuang dalam sajian puisi-puisi ini sehingga akan sulit bila saya ingin menarik puisi-puisi tersebut dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi.

Mungkin memang tak terkait dengan peristiwa-peristiwa diluar diri penyair, mungkin merupakan hasil perenungan-perenungan dari dalam diri sang penyair atau peristiwa diluar diri penyair yang terkait memang sebuah peristiwa ”abadi”, yang terus menerus terjadi.

Dalam Dongeng Empat Musim, sajak yang menjadi bagian ketiga Risalah Dongeng mengingatkan saya pada peristiwa politik di Indonesia.

Ada empat musim di negeri itu.

Pertama, musim berdusta,
Kedua musim berjanji,
Ketiga musim berpura-pura
Keempat musim lupa.
Untuk memperoleh kekuasaan, para politikus akan mulai membangun image dirinya, bahkan yang sekian tahun lalu bergelimang darah rakyat pun akan membuat citra positif melalui iklan dan tulisan. Dengan uang yang bertumpuk tentu hal itu akan mudah dilakukan.

Lalu dengan janji-janji pun ditebarkan untuk memperoleh simpati dan suara. Mereka pun berpura-pura baik dengan memberikan segala sesuatu yang seolah-olah diperlukan rakyat. Tiba saatnya tujuan telah tercapai mereka seolah-olah lupa akan janji-janjinya untuk memprioritaskan rakyat. Dan janji pun tinggal janji kosong.

Sajak berikutnya dalam bagian ketiga yang menarik minat saya adalah Dongeng Tukang Kunci.

Dalam sajak ini penyair seolah ingin mengemukakan bahwa untuk mengetahui segala sesuatu harus ada rasa curious atau ingin tahu.

”Tuan, buatkan saya sebuah duplikat kunci
yang bisa membuka semua pintu buku.”

Si tukang kunci lalu mengembil sesuatu
dari pikiran si pemesan lalu menempanya
menjadi kunci berbentuk Tanda Tanya,

(Notes: mungkin salah ketik pada kata ”….buatkan saya sebuah….”diatas tertulis buatkah)

Ah, penat seperti berkelebat saat hampir mendekat di akhir kalimat. Dengan ditutup sebuah sajak berjudul Dongeng Penyair Mau Mudik seolah bercerita tentang penyair yang kehabisan kata-kata. Ditinggalkan oleh kata-kata sehingga tidak hanya menunggu datangnya ide. Namun mengejar ide-ide untuk dituangkan dalam sajak.

…………….
LALU, kata-kata itu berpamitan meninggalkan penyair yang pura-pura
tabah itu, padahal hatinya sungguh gundah sangat gulana. Diam-diam
sebenarnya dia ingin menguntit kemana gerangan rombongan kata itu
pulang, dimana rumahnya dan siapa orang tuanya……..

Meski penat betapa terasa nikmat, berada di kamar sunyi menikmati sajian diksi-diksi dalam puisi mengantarkan saya menyelami diri sebagai bagian dari puisi kehidupan.

Gresik, November 2008

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita