Imamuddin SA
http://sastra-indonesia.com/
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Ungkapan Chairil Anwar itu terasa lantang disuarakan kembali dalam dewasa ini. Kata-kata itu seolah menjiwai setiap pribadi anak bangsa. Sungguh betapa dahsyat aura perjuangan yang tecermin di dalamnya.
Dan hal itu melingkupi segala sektor kehidupan yang ada di bangsa ini. Tengok saja dari sektor ekonomi; anak bangsa kita saling berlomba memperjuangkan nasibnya demi suatu pekerjaan dan kesejahteraan hidup yang mapan. Sektor sosial kemasyarakatan lagi gencar-gencarnya menggalang kerukunan antarkelompok masyarakat. Dari sektor pendidikan, generasi muda kita tengah berjuang untuk meraih masa depannya. Mencoba berusaha mendiami lembaga pendidikan yang sesuai dengan cita-citanya. Dan masih banyak lagi perjuangan-perjuangan yang digencarkan anak bangsa kita demi terciptanya suatu keharmonisan hidup yang sejahtera.
Ada lagi jika dihubungkan dengan aksi teror bom belakangan ini. Pasalnya, pelaku aksi bom bunuh diri kali ini adalah seorang remaja yang berusia belasan tahun. Jangankan peluru, bom saja tengah diterjangnya. Alih-alih ia pasti berdalih berjuang demi menegakkan kebenaran. Tentunya kebenaran yang berdasar pada sudut pandang pribadi dan kelompoknya. Dari kacamatanya, mereka yang melakukan aksi itu pasti melihat banyaknya ketimpangan-ketimpangan sosial atau praktik-praktik tertentu yang dirasa kurang cocok dengan kepribadian dan ideologi meraka. Dan entah, kebenaran mana dan bagaimana yang dalam realitas fisikal ini dapat dikatakan kebenaran yang sesungguhnya. Kebenaran yang muncul hanya bersifat relatif. Yang benar dan menang hanyalah yang mayoritas. Sebab segelintir kebenaran yang hadir di tengah-tengah kesungsangan akan menjadikannya berada dalam posisi yang salah dan terlihat konyol. Dan hanya butuh keajaiban saja, kebenaran itu dapat diakui realitas yang ada. Itu tampak dari tayangan film yang ada di negara kita. Kebanyakan akhir-akhir ini tayangan televisi menayangkan film-film yang berbau magic (keajaiban). Hampir seluruh film populer jebolan Indonesia berbau seperti itu. Ini sebenarnya citra kita dan bangsa kita sendiri yang menjadi pembeda dengan bangsa lain, khususnya bangsa Barat. Lihat saja, setiap film yang diproduksi bangsa Barat, mayoritas yang ditonjolkan adalah heroik logistik. Jadi, dapat diasumsikan bahwa kehidupan mereka membutuhkan pejuang kebenaran yang sesuai dengan kebenaran logika. Selama tindakan yang dilakukan itu dapat diterima akal dan berdalih kuat, maka dengan sendirinya masyarakat akan mengakui bahwa itu benar. Dan ini tidak harus menunggu keajaiban datang layaknya realitas di negara kita.
Sebenarnya semua usaha yang mereka lakukan di atas itu tidak lain hanyalah agar hidupnya bermanfaat dan berkenang bagi orang lain. Bahkan akan melampaui usianya. Namanya tetap hidup walaupun jasad telah tiada. Tujuan itulah yang menjadi tonggak eksistensialisme perjuangan mereka. “Mereka ingin hidup seribu tahun lagi”.
Tidak kalah menariknya dengan aksi teror bom beberapa saat yang lalu. Tepatnya pada bulan Juni 2009 kemarin, dunia kesusastraan juga terjangkit serangan bom. Tapi amunisinya bukan mesiu atau yang lain, melainkan karya. Pelakunya adalah Pringadi AS. Pemuda kelahiran Palembang 18 Agustus 1988. Pringadi membombastis dunia kesusastraan dengan meluncurkan antoligi puisi tunggalnya yang berjudul Alusi, yang diterbitkan oleh PUstaka puJAngga 2009. Semangat perjuangan untuk memberi kenangan manis pada kehidupan sesemangat hari kelahiranya, di mana tanggal tersebut adalah masih berbau momen sejarah semangat perjuangan kemerdekaan negara kita. Ia ingin menjadi Chairil muda yang bisa hidup seribu tahun lagi dengan kehadiran karyanya. Semangat perjuangan yang bersifat positif seperti Pringadi inilah yang kiranya patut ditanamkan jauh lebih dalam pada jiwa-jiwa anak bangsa kita. Bukan doktrin-doktrin perjuangan negatiflah yang semestinya ditanamkan. Dan inilah jalur perjuangan hidup yang tampaknya tengah ditempuh oleh Pringadi untuk mengubah tatanan baru kepribadian manusia serta bangsa. Esensial makna sajak yang digurat Pringadi diharapkan mampu menjadi mercusuar bagi seseorang dalam setiap langkahnya.
Ini tampaknya pilihan yang tepat bagi Pringadi untuk berjuang dan menorehkan kenangan manis hidupnya. Dalam ilmu sastra ada istilah majas atau bahasa kiasan. Fungsinya cukup variatif. Dan yang paling menonjol adalah memberikan suasana yang indah bagi jiwa seseorang, meski menggigit hati. Istilahnya memukul dengan perasaan, sehingga orang yang terpukul tidak merasakan sakit, namun justru mampu membuat perubahan yang berarti dalam hidup dan kehidupannya.
Dari sisi judul antologi yang digurat, tujuan Pringadi sudah terlihat jelas. Alusi secara leksikal bermakna sindiran halus. Dengan ini ia ingin berusaha membuat perubahan dalam pribadi seseorang secara halus tanpa menyakiti perasaannya. Setiap orang yang membaca karya ini diharapkan akan tergugah hatinya dan berkenan membuat perubahan dalam hidup dan kehidupannya tanpa sakit hati, meski sedang tersindir oleh kata-kata dan maknanya. Itulah tujuan Pringadi.
Esensial makna sajak yang dibangun Pringadi cukup baik. Ia membangun jiwa manusia ke arah yang lebih positif, baik dari sisi eksistensialisme, religius, sosial, maupun politik. Hanya saja secara struktural, bangun sajak yang diguratnya terasa lemah. Mungkin ini faktor dari usia kepenyairannya. Ia baru mengawali karir kepenyairannya tahun 2007, sebelumnya ia adalah cerpenis. Ada beberapa hal yang patut dijadikan sebagai pusat perhatian dalam sajak-sajak Pringadi. Hal itu di antaranya adalah masalah enjambemen, penulisan huruf kapital, diksi, style, karakter, dan konjungsi.
Enjambemen dalam pengguratan sebuah sajak sangatlah penting. Sebab dengan penyematan enjambemen, seorang penyair akan mampu menciptakan konstruksi makna yang baru atau ambiguitas makna dalam karyanya. Pringadi dalam menggurat sajaknya masih kurang memperhatikan adanya enjambemen sehingga tafsiran sajaknya terasa datar dan kentara.
Penulisan huruf kapital dalam sebuah karya puisi Indonesia lama biasanya dilakukan dalam setiap kata pertama dalam setiap baris sajak. Itu merupakan ciri khasnya. Perkembangan puisi Indonesia baru, penulisan huruf kapital tersebut mengalami sedikit perubahan. Dalam sajak-sajak puisi Indonesia baru kebanyakan huruf kapital hanya disematkan pada awal kata dalam setiap bait serta hanya disematkan pada penulisan kata yang merujuk pada hal-hal yang berkaitan dengan nilai ketuhanan. Dalam puisi Indonesia kontemporer, penulisan huruf kapital sudah jarang ditemukan dalam karya-karya penyair. Kebanyakan mereka menuliskannya dengan huruf kecil semua kecuali judul puisinya. Untuk membiaskan makna dan penafsiran, mereka juga menanggalkan penulisan huruf kapital pada hal-hal yang berkaitan dengan ketuhanan. Alasan lain meniadakan penulisan huruf kapital adalah agar tidak mengganggu fokus dan konsentrasi pembaca saat melakukan proses penikmatan karya.
Karya-karya Pringadi sangat variatif. Dalam sajaknya, ia menggunakan gaya puisi Indonesia lama, baru, serta kontemporer. Namun kadang kala dalam penulisan sajaknya sebagian kata ada yang ditulis dengan huruf kapital semua. Ia tampaknya kurang memperhitungkan efek penulisan tersebut. Padahal dengan tindakan itu, suasana pikiran pembaca akan terusik sehingga mampu memecah konsentrasi penikmatan karya. Andaikan penulisan tersebut dilakukan pada kata-kata yang berkekuatan, ini bisa jadi berfungsi sebagai penajaman makna. Namun ini beda, Pringadi melakukannya pada kata-kata biasa yang tidak memiliki daya magis tertentu. Dan inilah yang saya kira mengganggu dalam kadar mengganggu yang bersifat negatif.
Dari sisi diksi, sajak-sajak Pringadi kurang menunjukkan kepadatan. Ia kerap melakukan pemborosan kata. Hadirnya konstruksi konjungsi juga menjadikan sajak-sajak Pringadi terasa encer. Sajaknya juga kerap terlihat menggurui pembaca. Ia seolah-olah menganggap bahwa pembaca adalah orang yang tidak mengerti akan esensial makna sajaknya. Hal itu terlihat dari penyematan dan penegasan kata-kata yang ditandai dengan tanda kurung dalam sajaknya. Tindakan ini justru malah melemahkan dan mengencerkan eksistensi sajak yang telah diguratnya.
Karakter cerpenis masih begitu mendominasi puisi-puisi Pringadi. Hal itu menyebabkan style bahasa yang dipergunakan dalam setiap puisi Pringadi terlihat dan terasa seperti style cerpen. Namun ini dapat dimaklumi sebab basik dasar Pringadi adalah seorang cerpenis. Ini terbukti dari prestasi yang tengah dirainya, yaitu sebagai juara lomba 1 Cerpen Hoki Literary Award 2008, juara harapan lomba menulis cerpen 2008 di kolomkita.com. Selanjutnya perhatikan sajak-sajak Pringadi berikut ini.
SPRINTER
BARU saja dipecahkan rekor lari seratus
meter atas namannya sendiri yang dibuatnya
tahun lalu (dalam debutnya)
dari eSDe, sehingga eSeMA, dia selalu
menjadi yang tercepat, pernah sampai
empat koma dua dalam empatpuluh yard
(dunia kecepatan cahaya yang sulit
dan langkah ditempuh manusia)
BESAR kepalanya akhirnya dengan medali
emas digantung di leher yang semakin
jenjang dan panjang dengan nama yang
semakin sering dicetak di media mana-mana
dia tak lagi shalat dan bayar zakat, dia
lupa ceramah masa kecil tentang akhirat
dan pertimbangan segala manfaat
“Orang yang paling baik adalah orang yang
paling banyak manfaatnya bagi orang lain.”
DIPIKIRNYA dia sudah bermanfaat bagi negara,
Berarti seluruh rakyat yang duaratus juta jiwa itu
Harus berterimakasih kepadanya karena telah dia
Membuat negara bangga dan berjaya
TOH jikapun dia masuk neraka, dia bisa lari
kapan saja sebab tak ada yang lebih cepat
darinya – dari kakinya yang sudah sudah itu.
(Alusi, hal 51)
PEMILU
tak usah pilih kaus mana yang hendak kupakai
di masa kampanye damai. mana saja kuterima
apalagi jika disertai berlembar rupiah entah itu
bitu atau merah atau hijau pun bolehlah. asal
tak kurang itu.
kau ajak aku konvoi ke senayan pun tak masalah
asal tak lupa kau gantikan bensin yang biasa habis
untuk narik ojek sampai petang sebab tlah dipecat
aku dari kerjaku akibat krisis ekonomi kemarin.
dan tak usah kau paksa aku jadi tim sukses yang
mempromosikan dirimu sebagai caleg, entah itu
apa kepanjangannya: calon budeg kah? ah tak
masalah asal rupiah kau titipkan di kupiahku
yang sudah kumal dan bulukan.
tapi untuk hak pilih tak bisa kaupaksa. atau terima
apa saja tapi hak pilih adalah privasi seperti hak
opsi yang kautawarkan dalam perjanjian. asasi
yang dilindungi peraturan dan undang-undang
bisa kutuntut di mahkamah jika kau paksa.
(Alusi, hal 36)
Terjun Bebas
Ini areal bebas terjun kan? kita
tak perlu takut pada ketinggian
yang sering membuat kita gemetar
menyebut “akbar, akbar” padahal
sebelumnya TAK PERNAH.
TANYA dulu, berapa meter kita dari
permukaan laut? berapa cadangan
oksigen yang mampu mengembungkan
parasut yang dua dan dijamin akan
mampu membuka dalam keadaan
apapun itu?
kompensasi surga tak cukup meski
segala dosa tak digubris, lesat
saja seperti kereta tak tua di
gerbang pertimbangan kelak
TIDAK. TIDAK. kami ingin terjun
-terjunan saja, dari atas atap
rumah kami yang bocor, dari ayunan
tua kami yang ringkuh tak mau
dibohongi waktu
pun KAU!
(Alusi, hal 88)
Puisi-puisi panjang Pringadi di atas terasa begitu lemah berdasarkan kriteria yang telah saya ungkapkan sebelumnya. Justru bagi saya, puisi-puisi Pringadi yang berhasil adalah puisi-puisi pendeknya. Pringadi dengan puisi pendeknya mampu menawarkan kealaman makna yang begitu wah kepada pembaca. Pembaca seolah diberi keleluasaan dalam menafsirkan serta mengambil kandungan makna yang ada di dalamya. Namun yang begitu menarik bagi pribadi saya pada Pringadi adalah semangat bekaryanya. Ini yang tidak dimiliki dari kebanyakan orang. Pringadi begitu subur dan eksis dalam menggurat puisi sehingga dengan waktu yang terbilang relatif singkat ini, ia mampu menyuguhkan antologi puisi tunggalnya di hadapan kita semua. Sejenak marilah kita perhatikan sajak-sajak pendek Pringadi berikut.
Halaman Ini
Kau seolah paham: tak ada gerbang
di halaman ini
serumpun babmbu di sudut pertama,
ayunan dari besi tua, dan sebuah kolam yang
tak sempat kau beri nama
Kau cari jejak-jejak itu, sia-sia
(Alusi, hal 75)
Le Mois
Pada secangkir kopi,
tertinggal jejak
bulan malam tadi
(Alusi, hal 76)
Potongan Wajah
Di bibir bulan kutemukan
Sepotong wajahmu yang sempat
Kau lupakan.
(Alusi, hal 85)
Berkacamata pada beberapa puisi di atas, saya kira Pringadi butuh pengenalan karakter puisi yang diguratnya, sehingga ia mampu menentukan bentuk puisi yang bagaimana yang pas baginya. Dan ia pun pada akhirnya akan mampu menggalang kekuatan eksistensialisnya melalui kekuatan sajak-sajaknya. Hal itu tampaknya tengah terlukis dalam cover antologi puisinya ini; Alusi. Antologi ini bercover lonceng yang dikaitkan dengan kupu-kupu. Ini mengisyarahkan bahwa untuk menemukan keindahan sajak yang sesungguhnya, Pringadi masih butuh proses metamorfosa lebih jauh lagi. Ia masih butuh waktu pengenalan karakter pribadinya dan mengenal lebih jauh lagi tentang puisi. Selain itu, ilustrasi covernya yang lain adalah seolah-olah ada kepulan asap yang memerah. Ini menunjukkan bahwa Pringadi butuh semangat yang lebih gigih dan bergairah lagi dalam proses kreatifnya. Ia butuh kedekatan emosional dengan penyair-penyair yang lebih tua usia kepenyairannya untuk memberi dorongan psikologi serta motivasi fisik kepadanya. Selanjutnya, selamat berproses. Selamat bekarya. Dan jika ingin hidup anda menjadi cerita yang luar biasa, mulailah dengan menyadari bahwa anda adalah penulisnya dan setiap hari anda punya peluang untuk menulis satu halaman baru darinya (Mark Houlahan).
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar