08/12/10

SASTRA JENDRA

Puji Santosa
http://pujagita.blogspot.com/

Salah satu ilmu rahasia para dewata mengenai kehidupan di dunia adalah Sastra Jendra. Secara lengkap disebut Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwatingdiyu. Sastra Jendra adalah ilmu mengenai raja agung binatara (raja yang besar kekuasaannya layaknya dewata). Hayuningrat artinya kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan dunia. Pangruwating adalah pembebasan atau pelepasan, artinya memuliakan atau mengubah watak dari buruk atau menjadi baik atau elok. Diyu artinya raksasa atau keburukan. Raja disini maknanya bukan harfiah raja, melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia sehingga mampu menguasai hawa nafsu dan pancaindranya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau mengubah keburukan menjadi kebaikan atau kebajikan. Oleh karenanya Sastra Jendra dimaknai sebagai ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk mengubah watak keburukan, kejahatan, atau angkara murka mencapai kemuliaan dunia hingga akhirat. Ilmu Sastra Jendra adalah ilmu sepadan dengan ilmu makrifat yang menekankan sifat amar ma’ruf nahi munkar, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat, nusa, bangsa, negara, dan agama.

Gambaran dari ilmu Sastra Jendra ini adalah mampu mengubah raksasa menjadi manusia ksatria. Dalam dunia pewayangan, raksasa digambarkan sebagai makhluk yang tidak sesempurna manusia ksatria. Misalnya, kisah Prabu Salya raja dari negeri Mandraka yang malu karena memiliki ayah mertua seorang raksasa, Begawan Bagaspati. Demikian halnya dengan Raden Sumantri atau dikenal dengan nama Patih Suwanda dari negeri Mahespati memiliki adik raksasa bajang bernama Sukrasana. Ingat pula kisah Dewi Arimbi, istri Werkudara atau Bimasena, harus dirias sedemikian rupa oleh Dewi Kunthi agar Werkudara mau menerima menjadi isterinya. Kisah lainnya, Betari Uma disumpah-serapahi menjadi raksesi (raksasa perempuan) oleh Betara Guru saat menolak melakukan perbuatan kurang sopan dengan Dewi Uma pada waktu yang tidak tepat. Anak hasil hubungan Betari Uma dengan Betara Guru itu dikemudian hari lahir sebagai raksasa sakti mandra guna, suka pemakan manusia dengan nama “Betara Kala“ (kala berarti keburukan atau kejahatan). Sedangkan Betari Uma kemudian bergelar Betari Durga menjadi pengayom kejahatan dan kenistaan di muka bumi memiliki tempat tersendiri yang disebut “Kahyangan Setra Ganda Mayit“ (tempat yang berbau mayat). Wujud Betari Durga adalah raseksi yang memiliki taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan.

Melalui ilmu Sastra Jendra maka simbol sifat-sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan diubahnya menjadi sifat-sifat manusia yang berbudi pekerti luhur dan mulia. Karena melalui sifat manusia ini kesempurnaan akal budi dan daya keruhanian makhluk ciptaan Tuhan diwujudkan. Dalam kitab suci disebutkan bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Bahkan, ada disebutkan, Tuhan menciptakan manusia berdasar gambaran dzat-Nya, sebagai citra budi Tuhan. Filosof Timur Tengah, Al Ghazali, menyebutkan bahwa manusia seperti Tuhan kecil sehingga Tuhan sendiri memerintahkan para malaikat untuk bersujud. Sekalipun manusia terbuat dari dzat hara (udara, api, air, dan tanah) berbeda dengan jin atau malaikat yang diciptakan dari unsur api dan cahaya. Namun manusia memiliki sifat sifat yang mampu menjadi “khalifatullah“ (wakil Tuhan di dunia).

Akan tetapi, ilmu sastra jendra ini oleh para dewata hanya dipercayakan kepada Begawan Wisrawa, seorang ksatria berwatak wiku atau pendeta yang tergolong kaum cerdik pandai, cendekiawan, arif, dan sakti mandraguna tidak ada yang mampu menadinginya untuk mendapat anugerah rahasia Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Berdasakan atas ketekunan, ketulusan, dan kesabaran Begawan Wisrawa bertpa brata di padepokan Dederpenyu itu menarik perhatian dewata sehingga memberikan amanah untuk menyebarkan manfaat ajaran ilmu sastra jendra tersebut. Sifat ketekunan Wisrawa, keihlasan, kemampuan membaca makna di balik sesuatu yang lahir dan kegemaran berbagi ilmu tersebut membuahkan anugerah dewata datang kepadanya. Sebelum beliau “madeg pandita“ (menjadi mahawiku), Wisrawa telah lengser keprabon negeri Lokapala dan kemudian menyerahkan tahta kerajaaan kepada sang putra, Prabu Danaraja. Sejak saat itu sang wiku gemar bertapa mengurai kebijaksanaan dan memperbanyak ibadah menahan nafsu duniawi untuk memperoleh kelezatan ukhrawi nantinya. Kebiasaan ini membuat sang wiku tidak saja dicintai sesama, tapi juga para dewata.

Sebelum memutuskan siapa manusia yang berhak menerima anugerah Sastra Jendra, para dewata bertanya kepada sang Batara Guru. “Duh, sang Batara Agung, siapa yang akan menerima Sastra Jendra, kalau boleh kami mengetahuinya.“ Batara Guru menjawab: “Pilihanku adalah anak kita Wisrawa“. Serentak para dewata bertanya: “Apakah Paduka tidak mengetahui akan terjadi bencana bilamana diserahkan kepada manusia yang tidak mampu mengendalikannya. Bukankah sudah banyak kejadian yang dapat menjadi pelajaran bagi kita semua” Kemudian sebagian dewata berkata: “Kenapa tidak diturunkan kepada kita saja yang lebih mulia derajatnya dibandingkan daripada manusia“.

Seolah menegur para dewata sang Batara Guru menjawab: “Hee para dewata, akupun mengetahui hal itu, ini sudah menjadi takdir Tuhan Yang Mahakuasa bahwa ilmu rahasia hidup justru diserahkan kepada manusia. Bukankah tertulis dalam kitab suci bahwa malaikat mempertanyakan kepada Tuhan mengapa manusia yang dijadikan khalifah di dunia, padahal mereka ini suka menumpahkan darah“. Serentak para dewata menunduk malu: “Paduka lebih mengetahui apa yang tidak kami ketahui”. Kemudian, Batara Guru turun ke mayapada didampingi Batara Narada memberikan rahasia ilmu Sastra Jendra kepada Begawan Wisrawa.

“Duh anak Begawan Wisrawa, ketahuilah bahwa para dewata memutuskan memberi amanah rahasia ilmu Sastra Jendra kepadamu untuk diajarkan kepada umat manusia”. Begitu mendengar hal itu, menangislah Sang Begawan Wisrama dihadapan dua dewa itu: “Ampun, sang Batara Agung, bagaimana mungkin saya yang hina-dina, masih sukerta, dan lemah ini mampu menerima anugerah ini”. Batara Narada mengatakan: “Anak Begawan Wisrawa, sifat ilmu itu ada tiga. Pertama, harus diamalkan dengan niat tulus ikhlas, tanpa pamrih apa pun, lila legawa. Bilamana ilmu tanpa diamalkan, ibarat pohon tanpa buah. Kedua, ilmu memiliki sifat menjaga dan menjunjung martabat manusia. Dengan memanfaatkan ilmu itulah derajat manusia akan lebih mulia dan bermartabat. Ketiga, jangan melihat baik buruk penampilan semata karena terkadang yang baik tampak buruk dan yang buruk kelihatan sebagai sesuatu yang baik.” Selesai menurunkan ilmu tersebut, kedua dewata kembali ke kayangan.

Setelah menerima anugerah Sastra Jendra dari dewata itu menjadikan Begawan Wisrawa bertmbah masyhur, sakti, dan berwibawa. Sejak saat itu mulailah berbondong-bondong seluruh ksatria, pendeta, dan para cerdik pandai mendatangi beliau untuk minta diberi wejangan ajaran tersebut. Mereka berebut mendatangi pertapaan Begawan Wisrawa di Dederpenyu melamar menjadi cantrik untuk mendapat sedikit ilmu Sastra Jendra. Tidak sedikit yang pulang dengan kecewa karena tidak mampu memperoleh ajaran yang tidak sembarang orang mampu menerimanya. Para wiku, sarjana, ksatria harus menerima kenyataan bahwa hanya orang-orang yang siap dan terpilih mampu menerima ajarannya.

Nun jauh, di negeri Alengka yang separuh rakyatnya terdiri manusia dan separuh lainnya berwujud raksasa. Negeri ini dipimpin oleh seorang raja yang masih sahabat baik Begawan Wisrawa, bernama Prabu Sumali yang berwujud raksasa. Prabu Sumali dibantu adiknya seorang raksasa yang bernama Arya Jambumangli. Sang Prabu yang beranjak sepuh, bermuram durja karena belum mendapatkan calon pendamping bagi anaknya, Dewi Sukesi. Sang Dewi hanya mau menikah dengan orang yang mampu menguraikan teka-teki kehidupan yang diajukan kepada siapa saja yang mau melamarnya. Sebelumnya harus mampu mengalahkan pamannya, yaitu Arya Jambumangli. Beribu-ribu raja, wiku, dan ksatria menuju Alengka untuk mengadu nasib melamar sang jelita. Namun, mereka pulang dengan hampa tanpa hasil mampu mengalahkan kesaktian Arya Jambumangli. Apalagi mampu menjawab teka-teki Sang Dewi yang sulit jawabannya. Tidak satu pun orang yang datang ke Alengka mampu menjawab pertanyaan sang dewi. Berita ini pun kemudian sampailah ke negeri Lokapala, sang Prabu Danaraja sedang masgul hatinya karena hingga kini belum menemukan pendamping hati. Akhirnya, Begawan Wisrawa berkenan menjadi jago untuk memenuhi tantangan Arya Jambumangli dan menjawab teka-teki puteri Alengka.

Berangkatlah Begawan Wisrawa ke negeri Alengka, hingga kemudian bertemu dengan Dewi Suksesi. Senapati Arya Jambumangli bukan lawan sebanding Begawan Wisrawa, dalam beberapa waktu raksasa yang menjadi jago Alengka itu dapat dikalahkan dengan mudahnya. Akan tetapi, hal ini tidak berarti kemenanmgan berada di tangan Begawan Wisrawa. Kemudian tibalah Sang Begawan harus menjawab pertanyaan Sang Dewi. Dengan mudah pula Begawan Wisrawa menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan oleh Sang Dewi. Akhirnya, sampailah sang dewi menanyakan rahasia ilmu Sastra Jendra. Sang Begawan pada mulanya tidak bersedia karena ilmu ini harus dengan laku tanpa “perbuatan“ sia-sialah pemahaman yang ada. Namun, Sang Dewi tetap bersikeras untuk mempelajari ilmu tersebut, agar nanti pada saatnya akan menjadi menantunya.

Luluh hati Sang Begawan, beliau mensyaratkan bahwa ilmu ini harus dijiwai dengan niat luhur dan mulia. Keduanya kemudian menjadi guru dan murid, yakni berkedudukan sebagai antara yang mengajar dan yang diajar. Hari demi hari berlalu keduanya saling berinteraksi memahamkan hakikat ilmu sastra jendra. Sementara di kayangan, para dewata melihat peristiwa di mayapada itu begitu menggetarkan. “Hee, para dewata, bukankah Wisrawa sudah pernah diberi tahu untuk tidak mengajarkan ilmu tersebut kepada bukan sembarang orang“.

Para dewata melaporkan hal tersebut kepada sang Batara Guru. “Apabila apa yang dilakukan Wisrawa, bisa-bisa nanti kahyangan akan terbalik, manusia akan menguasai kita, karena telah sempurna ilmunya, sedangkan kita belum sempat dan mampu mempelajarinya“.

Sang Batara Guru merenungkan kebenaran peringatan para dewata tersebut. “Tidak cukup untuk mempelajari ilmu tanpa laku, Sastra Jendra dipagari oleh sifat-sifat kemanusiaan, kalau mampu mengatasi sifat sifat kemanusiaan baru dapat mencapai derajat para dewa.” Tidak lama kemudian sang Batara Guru menitahkan untuk memanggil Dewi Uma. Mereka akan turun ke mayapada bersama-sama menguji ketangguhan sang Begawan Wisrawa dan muridnya, Dewi Sukesi. Hingga sesuatu ketika, sang Dewi merasakan bahwa pria yang dihadapannya adalah calon pendamping yang ditunggu-tunggu. Biarpun mereka berbeda usia, cinta telah merasuk dalam jiwa sang Dewi hingga kemudian terjadi peristiwa yang biasa terjadi layaknya pertemuan pria dengan wanita. Keduanya bersatu dalam lautan asmara, dimabukkan rasa sejiwa melupakan hakikat ilmu, guru, murid, dan adab susila. Tidak berapa lama kemudian hamillah sang Dewi dari hasil perbuatan asmara dengan sang Begawan. Mengetahui Dewi Sukesi hamil, murkalah sang Prabu Sumali. Namun, tiada daya karena kesaktian dan kemampuan lainnya lebih unggul sang begawan. Takdir telah terjadi, tidak dapat diubah oleh manusia, maka jadilah sang Prabu menerima menantu sahabatnya yang tidak jauh berbeda usia dengannya.

Dari peristiwa ini kemudian terjadilah berbagai musibah atau bencana kehidupan. Musibah pertama, terjadi ketika sang senapati Arya Jambumangli yang malu akan kejadian tersebut mengamuk menantang sang Begawan. Raksasa Jambumangli tidak rela tahta Alengka harus diteruskan oleh keturunan sang Begawan dengan cara yang nista atau hina seperti itu. Bukannya raksasa dimuliakan atau diruwat menjadi manusia, malahan bencana, musibah, malapetaka, dan keangkara murkaan akan tetap bertambah merajalela. Namun, Senapati Arya Jambumangli bukanlah tandingan Begawan Wisrawa. Akhirnya, Arya Jambumangli tewas ditangan Wisrawa dengan tubuh termutilasi oleh senjata sakti Sang Begawan. Sebelum meninggal, sang senapati sempat berujar bahwa besok anaknya akan ada yang mengalami nasib sepertinya ditewaskan seorang ksatria, termutilasi juga. Dalam perang besar Alengka, anak Wisrawa, Kumbakarna, akhirnya juga mati termutilasi oleh anak pan ah Laksmana dan Rama.

Musibah kedua, Prabu Danaraja menggelar pasukan ke Alengka untuk menghukum perbuatan nista ayahnya. Perang pun besar terjadi antara anak dan orang tua selama empat puluh hari empat puluh malam. Sebelum keduanya berhadapan, keduanya berurai air mata, harus bertarung menegakkan harga diri masing-masing. Kemudian Batara Narada turun ke mayapada untuk melerai dan menasihati Sang Danaraja. Kelak Danaraja yang tidak dapat menahan diri, harus menerima akibatnya ketika Rahwana, saudara tirinya menyerang negeri Lokapala.

Musibah ketiga, sang Dewi Sukesi melahirkan darah segunung keluar dari rahimnya kemudian dinamakan Rahwana (rah = darah, wana = hutan atau gunung). Menyertai kelahiran pertama maka keluarlah wujud kuku yang menjadi raksasi, yang kemudian dikenal dengan nama Sarpakenaka. Sarpakenaka adalah lambang wanita yang tidak puas dan berjiwa angkara, mampu berubah wujud menjadi wanita rupawan tapi sebenarnya raksesi yang bertaring. Kedua pasangan ini terus bermuram durja menghadapi musibah yang tiada henti, sehingga setiap hari keduanya melakukan tapa brata dengan menebus kesalahan. Kemudian sang Dewi hamil kembali melahirkan raksasa kembali. Sekalipun masih berwujud raksasa namun berbudi luhur mulia, yaitu diberi nama Kumbakarna, karena lahir berwujud telinga sebesar tempayan (Kumba = tempayan, karna = telinga).

Musibah demi musibah terus berlalu, keduanya tidak putus-putus memanjatkan puja dan puji ke hadlirat Tuhan yang Mahakuasa. Kesabaran, ketabahan, dan ketulusan telah menjiwa dalam hati kedua insan ini (Wisrawa dan Sukesi). Sastra jendra sedikit demi sedikit mulai terkuak dalam hati yang telah disinari kebenaran Ilahi. Pada akhirnya, Sang Dewi melahirkan bayi berwujud manusia yang tampan, elok rupawan, kemudian diberi nama Gunawan Wibisana. Ksatria inilah yang akhirnya mampu menegakkan kebenaran dan keadilan di bumi Alengka, yang kemudian berganti nama menjadi Singgelapura, menggantikan sang kakak Rahwana seusai perng besar melawan wadya bala kera. Sekalipun Wibisana harus disingkirkan oleh saudaranya sendiri, dicela sebagai pengkhianat negera, sesungguhnya Gunawan Wibisanalah yang menyelamatkan negeri Alengka dari kehancuran yang lebih parah dengan menerapkan ilmu Hastha Brata. Gunawan Wibisana menjadi simbol kebenaran mutiara atau permata yang tersimpan dalam lumpur dan sampah, namun tetap bersinar kemuliaannya. Tanda kebenaran yang tidak larut dalam lautan keangkaramurkaan serta mampu mengalahkan keragu-raguan seperti terjadi pada Kumbakarna. Dalam cerita pewayangan, Kumbakarna dianggap tidak bisa langsung masuk suargaloka karena dianggap ragu-ragu membela kebenaran, bahkan lebih suka tidur dan makan.

Melalui Gunawan Wibisana, bumi Alengka tersinari cahaya Ilahi yang dibawa Ramawijaya dengan balatentara jelatanya, yaitu pasukan wanara (kera). Peperangan dalam Ramayana bukan perebutan wanita, tahta, dan harta yang berwujud cinta Sinta, melainkan pertempuran demi pertempuran menegakkan kesetiaan dan keadilan pada kebenaran yang sejati. Pada hakikatnya peperangan besar di Alengka sebagai peperangan melawan hawa nafsu, yakni memerangi nafsu angkara, candala, iri, dengki, malas, tamak, loba, futnah, dan aniaya. Kemudian menggantinya dengan watak rahayu mulia, seperti kasih sayang, jujur, sabar, bersyukur, tawakal, tenang, damai, tentram, iklhas, tekun, religius, sosial, dan suprasosial.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita