Puji Santosa
http://pujagita.blogspot.com/
Salah satu ilmu rahasia para dewata mengenai kehidupan di dunia adalah Sastra Jendra. Secara lengkap disebut Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwatingdiyu. Sastra Jendra adalah ilmu mengenai raja agung binatara (raja yang besar kekuasaannya layaknya dewata). Hayuningrat artinya kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan dunia. Pangruwating adalah pembebasan atau pelepasan, artinya memuliakan atau mengubah watak dari buruk atau menjadi baik atau elok. Diyu artinya raksasa atau keburukan. Raja disini maknanya bukan harfiah raja, melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia sehingga mampu menguasai hawa nafsu dan pancaindranya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau mengubah keburukan menjadi kebaikan atau kebajikan. Oleh karenanya Sastra Jendra dimaknai sebagai ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk mengubah watak keburukan, kejahatan, atau angkara murka mencapai kemuliaan dunia hingga akhirat. Ilmu Sastra Jendra adalah ilmu sepadan dengan ilmu makrifat yang menekankan sifat amar ma’ruf nahi munkar, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat, nusa, bangsa, negara, dan agama.
Gambaran dari ilmu Sastra Jendra ini adalah mampu mengubah raksasa menjadi manusia ksatria. Dalam dunia pewayangan, raksasa digambarkan sebagai makhluk yang tidak sesempurna manusia ksatria. Misalnya, kisah Prabu Salya raja dari negeri Mandraka yang malu karena memiliki ayah mertua seorang raksasa, Begawan Bagaspati. Demikian halnya dengan Raden Sumantri atau dikenal dengan nama Patih Suwanda dari negeri Mahespati memiliki adik raksasa bajang bernama Sukrasana. Ingat pula kisah Dewi Arimbi, istri Werkudara atau Bimasena, harus dirias sedemikian rupa oleh Dewi Kunthi agar Werkudara mau menerima menjadi isterinya. Kisah lainnya, Betari Uma disumpah-serapahi menjadi raksesi (raksasa perempuan) oleh Betara Guru saat menolak melakukan perbuatan kurang sopan dengan Dewi Uma pada waktu yang tidak tepat. Anak hasil hubungan Betari Uma dengan Betara Guru itu dikemudian hari lahir sebagai raksasa sakti mandra guna, suka pemakan manusia dengan nama “Betara Kala“ (kala berarti keburukan atau kejahatan). Sedangkan Betari Uma kemudian bergelar Betari Durga menjadi pengayom kejahatan dan kenistaan di muka bumi memiliki tempat tersendiri yang disebut “Kahyangan Setra Ganda Mayit“ (tempat yang berbau mayat). Wujud Betari Durga adalah raseksi yang memiliki taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan.
Melalui ilmu Sastra Jendra maka simbol sifat-sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan diubahnya menjadi sifat-sifat manusia yang berbudi pekerti luhur dan mulia. Karena melalui sifat manusia ini kesempurnaan akal budi dan daya keruhanian makhluk ciptaan Tuhan diwujudkan. Dalam kitab suci disebutkan bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Bahkan, ada disebutkan, Tuhan menciptakan manusia berdasar gambaran dzat-Nya, sebagai citra budi Tuhan. Filosof Timur Tengah, Al Ghazali, menyebutkan bahwa manusia seperti Tuhan kecil sehingga Tuhan sendiri memerintahkan para malaikat untuk bersujud. Sekalipun manusia terbuat dari dzat hara (udara, api, air, dan tanah) berbeda dengan jin atau malaikat yang diciptakan dari unsur api dan cahaya. Namun manusia memiliki sifat sifat yang mampu menjadi “khalifatullah“ (wakil Tuhan di dunia).
Akan tetapi, ilmu sastra jendra ini oleh para dewata hanya dipercayakan kepada Begawan Wisrawa, seorang ksatria berwatak wiku atau pendeta yang tergolong kaum cerdik pandai, cendekiawan, arif, dan sakti mandraguna tidak ada yang mampu menadinginya untuk mendapat anugerah rahasia Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Berdasakan atas ketekunan, ketulusan, dan kesabaran Begawan Wisrawa bertpa brata di padepokan Dederpenyu itu menarik perhatian dewata sehingga memberikan amanah untuk menyebarkan manfaat ajaran ilmu sastra jendra tersebut. Sifat ketekunan Wisrawa, keihlasan, kemampuan membaca makna di balik sesuatu yang lahir dan kegemaran berbagi ilmu tersebut membuahkan anugerah dewata datang kepadanya. Sebelum beliau “madeg pandita“ (menjadi mahawiku), Wisrawa telah lengser keprabon negeri Lokapala dan kemudian menyerahkan tahta kerajaaan kepada sang putra, Prabu Danaraja. Sejak saat itu sang wiku gemar bertapa mengurai kebijaksanaan dan memperbanyak ibadah menahan nafsu duniawi untuk memperoleh kelezatan ukhrawi nantinya. Kebiasaan ini membuat sang wiku tidak saja dicintai sesama, tapi juga para dewata.
Sebelum memutuskan siapa manusia yang berhak menerima anugerah Sastra Jendra, para dewata bertanya kepada sang Batara Guru. “Duh, sang Batara Agung, siapa yang akan menerima Sastra Jendra, kalau boleh kami mengetahuinya.“ Batara Guru menjawab: “Pilihanku adalah anak kita Wisrawa“. Serentak para dewata bertanya: “Apakah Paduka tidak mengetahui akan terjadi bencana bilamana diserahkan kepada manusia yang tidak mampu mengendalikannya. Bukankah sudah banyak kejadian yang dapat menjadi pelajaran bagi kita semua” Kemudian sebagian dewata berkata: “Kenapa tidak diturunkan kepada kita saja yang lebih mulia derajatnya dibandingkan daripada manusia“.
Seolah menegur para dewata sang Batara Guru menjawab: “Hee para dewata, akupun mengetahui hal itu, ini sudah menjadi takdir Tuhan Yang Mahakuasa bahwa ilmu rahasia hidup justru diserahkan kepada manusia. Bukankah tertulis dalam kitab suci bahwa malaikat mempertanyakan kepada Tuhan mengapa manusia yang dijadikan khalifah di dunia, padahal mereka ini suka menumpahkan darah“. Serentak para dewata menunduk malu: “Paduka lebih mengetahui apa yang tidak kami ketahui”. Kemudian, Batara Guru turun ke mayapada didampingi Batara Narada memberikan rahasia ilmu Sastra Jendra kepada Begawan Wisrawa.
“Duh anak Begawan Wisrawa, ketahuilah bahwa para dewata memutuskan memberi amanah rahasia ilmu Sastra Jendra kepadamu untuk diajarkan kepada umat manusia”. Begitu mendengar hal itu, menangislah Sang Begawan Wisrama dihadapan dua dewa itu: “Ampun, sang Batara Agung, bagaimana mungkin saya yang hina-dina, masih sukerta, dan lemah ini mampu menerima anugerah ini”. Batara Narada mengatakan: “Anak Begawan Wisrawa, sifat ilmu itu ada tiga. Pertama, harus diamalkan dengan niat tulus ikhlas, tanpa pamrih apa pun, lila legawa. Bilamana ilmu tanpa diamalkan, ibarat pohon tanpa buah. Kedua, ilmu memiliki sifat menjaga dan menjunjung martabat manusia. Dengan memanfaatkan ilmu itulah derajat manusia akan lebih mulia dan bermartabat. Ketiga, jangan melihat baik buruk penampilan semata karena terkadang yang baik tampak buruk dan yang buruk kelihatan sebagai sesuatu yang baik.” Selesai menurunkan ilmu tersebut, kedua dewata kembali ke kayangan.
Setelah menerima anugerah Sastra Jendra dari dewata itu menjadikan Begawan Wisrawa bertmbah masyhur, sakti, dan berwibawa. Sejak saat itu mulailah berbondong-bondong seluruh ksatria, pendeta, dan para cerdik pandai mendatangi beliau untuk minta diberi wejangan ajaran tersebut. Mereka berebut mendatangi pertapaan Begawan Wisrawa di Dederpenyu melamar menjadi cantrik untuk mendapat sedikit ilmu Sastra Jendra. Tidak sedikit yang pulang dengan kecewa karena tidak mampu memperoleh ajaran yang tidak sembarang orang mampu menerimanya. Para wiku, sarjana, ksatria harus menerima kenyataan bahwa hanya orang-orang yang siap dan terpilih mampu menerima ajarannya.
Nun jauh, di negeri Alengka yang separuh rakyatnya terdiri manusia dan separuh lainnya berwujud raksasa. Negeri ini dipimpin oleh seorang raja yang masih sahabat baik Begawan Wisrawa, bernama Prabu Sumali yang berwujud raksasa. Prabu Sumali dibantu adiknya seorang raksasa yang bernama Arya Jambumangli. Sang Prabu yang beranjak sepuh, bermuram durja karena belum mendapatkan calon pendamping bagi anaknya, Dewi Sukesi. Sang Dewi hanya mau menikah dengan orang yang mampu menguraikan teka-teki kehidupan yang diajukan kepada siapa saja yang mau melamarnya. Sebelumnya harus mampu mengalahkan pamannya, yaitu Arya Jambumangli. Beribu-ribu raja, wiku, dan ksatria menuju Alengka untuk mengadu nasib melamar sang jelita. Namun, mereka pulang dengan hampa tanpa hasil mampu mengalahkan kesaktian Arya Jambumangli. Apalagi mampu menjawab teka-teki Sang Dewi yang sulit jawabannya. Tidak satu pun orang yang datang ke Alengka mampu menjawab pertanyaan sang dewi. Berita ini pun kemudian sampailah ke negeri Lokapala, sang Prabu Danaraja sedang masgul hatinya karena hingga kini belum menemukan pendamping hati. Akhirnya, Begawan Wisrawa berkenan menjadi jago untuk memenuhi tantangan Arya Jambumangli dan menjawab teka-teki puteri Alengka.
Berangkatlah Begawan Wisrawa ke negeri Alengka, hingga kemudian bertemu dengan Dewi Suksesi. Senapati Arya Jambumangli bukan lawan sebanding Begawan Wisrawa, dalam beberapa waktu raksasa yang menjadi jago Alengka itu dapat dikalahkan dengan mudahnya. Akan tetapi, hal ini tidak berarti kemenanmgan berada di tangan Begawan Wisrawa. Kemudian tibalah Sang Begawan harus menjawab pertanyaan Sang Dewi. Dengan mudah pula Begawan Wisrawa menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan oleh Sang Dewi. Akhirnya, sampailah sang dewi menanyakan rahasia ilmu Sastra Jendra. Sang Begawan pada mulanya tidak bersedia karena ilmu ini harus dengan laku tanpa “perbuatan“ sia-sialah pemahaman yang ada. Namun, Sang Dewi tetap bersikeras untuk mempelajari ilmu tersebut, agar nanti pada saatnya akan menjadi menantunya.
Luluh hati Sang Begawan, beliau mensyaratkan bahwa ilmu ini harus dijiwai dengan niat luhur dan mulia. Keduanya kemudian menjadi guru dan murid, yakni berkedudukan sebagai antara yang mengajar dan yang diajar. Hari demi hari berlalu keduanya saling berinteraksi memahamkan hakikat ilmu sastra jendra. Sementara di kayangan, para dewata melihat peristiwa di mayapada itu begitu menggetarkan. “Hee, para dewata, bukankah Wisrawa sudah pernah diberi tahu untuk tidak mengajarkan ilmu tersebut kepada bukan sembarang orang“.
Para dewata melaporkan hal tersebut kepada sang Batara Guru. “Apabila apa yang dilakukan Wisrawa, bisa-bisa nanti kahyangan akan terbalik, manusia akan menguasai kita, karena telah sempurna ilmunya, sedangkan kita belum sempat dan mampu mempelajarinya“.
Sang Batara Guru merenungkan kebenaran peringatan para dewata tersebut. “Tidak cukup untuk mempelajari ilmu tanpa laku, Sastra Jendra dipagari oleh sifat-sifat kemanusiaan, kalau mampu mengatasi sifat sifat kemanusiaan baru dapat mencapai derajat para dewa.” Tidak lama kemudian sang Batara Guru menitahkan untuk memanggil Dewi Uma. Mereka akan turun ke mayapada bersama-sama menguji ketangguhan sang Begawan Wisrawa dan muridnya, Dewi Sukesi. Hingga sesuatu ketika, sang Dewi merasakan bahwa pria yang dihadapannya adalah calon pendamping yang ditunggu-tunggu. Biarpun mereka berbeda usia, cinta telah merasuk dalam jiwa sang Dewi hingga kemudian terjadi peristiwa yang biasa terjadi layaknya pertemuan pria dengan wanita. Keduanya bersatu dalam lautan asmara, dimabukkan rasa sejiwa melupakan hakikat ilmu, guru, murid, dan adab susila. Tidak berapa lama kemudian hamillah sang Dewi dari hasil perbuatan asmara dengan sang Begawan. Mengetahui Dewi Sukesi hamil, murkalah sang Prabu Sumali. Namun, tiada daya karena kesaktian dan kemampuan lainnya lebih unggul sang begawan. Takdir telah terjadi, tidak dapat diubah oleh manusia, maka jadilah sang Prabu menerima menantu sahabatnya yang tidak jauh berbeda usia dengannya.
Dari peristiwa ini kemudian terjadilah berbagai musibah atau bencana kehidupan. Musibah pertama, terjadi ketika sang senapati Arya Jambumangli yang malu akan kejadian tersebut mengamuk menantang sang Begawan. Raksasa Jambumangli tidak rela tahta Alengka harus diteruskan oleh keturunan sang Begawan dengan cara yang nista atau hina seperti itu. Bukannya raksasa dimuliakan atau diruwat menjadi manusia, malahan bencana, musibah, malapetaka, dan keangkara murkaan akan tetap bertambah merajalela. Namun, Senapati Arya Jambumangli bukanlah tandingan Begawan Wisrawa. Akhirnya, Arya Jambumangli tewas ditangan Wisrawa dengan tubuh termutilasi oleh senjata sakti Sang Begawan. Sebelum meninggal, sang senapati sempat berujar bahwa besok anaknya akan ada yang mengalami nasib sepertinya ditewaskan seorang ksatria, termutilasi juga. Dalam perang besar Alengka, anak Wisrawa, Kumbakarna, akhirnya juga mati termutilasi oleh anak pan ah Laksmana dan Rama.
Musibah kedua, Prabu Danaraja menggelar pasukan ke Alengka untuk menghukum perbuatan nista ayahnya. Perang pun besar terjadi antara anak dan orang tua selama empat puluh hari empat puluh malam. Sebelum keduanya berhadapan, keduanya berurai air mata, harus bertarung menegakkan harga diri masing-masing. Kemudian Batara Narada turun ke mayapada untuk melerai dan menasihati Sang Danaraja. Kelak Danaraja yang tidak dapat menahan diri, harus menerima akibatnya ketika Rahwana, saudara tirinya menyerang negeri Lokapala.
Musibah ketiga, sang Dewi Sukesi melahirkan darah segunung keluar dari rahimnya kemudian dinamakan Rahwana (rah = darah, wana = hutan atau gunung). Menyertai kelahiran pertama maka keluarlah wujud kuku yang menjadi raksasi, yang kemudian dikenal dengan nama Sarpakenaka. Sarpakenaka adalah lambang wanita yang tidak puas dan berjiwa angkara, mampu berubah wujud menjadi wanita rupawan tapi sebenarnya raksesi yang bertaring. Kedua pasangan ini terus bermuram durja menghadapi musibah yang tiada henti, sehingga setiap hari keduanya melakukan tapa brata dengan menebus kesalahan. Kemudian sang Dewi hamil kembali melahirkan raksasa kembali. Sekalipun masih berwujud raksasa namun berbudi luhur mulia, yaitu diberi nama Kumbakarna, karena lahir berwujud telinga sebesar tempayan (Kumba = tempayan, karna = telinga).
Musibah demi musibah terus berlalu, keduanya tidak putus-putus memanjatkan puja dan puji ke hadlirat Tuhan yang Mahakuasa. Kesabaran, ketabahan, dan ketulusan telah menjiwa dalam hati kedua insan ini (Wisrawa dan Sukesi). Sastra jendra sedikit demi sedikit mulai terkuak dalam hati yang telah disinari kebenaran Ilahi. Pada akhirnya, Sang Dewi melahirkan bayi berwujud manusia yang tampan, elok rupawan, kemudian diberi nama Gunawan Wibisana. Ksatria inilah yang akhirnya mampu menegakkan kebenaran dan keadilan di bumi Alengka, yang kemudian berganti nama menjadi Singgelapura, menggantikan sang kakak Rahwana seusai perng besar melawan wadya bala kera. Sekalipun Wibisana harus disingkirkan oleh saudaranya sendiri, dicela sebagai pengkhianat negera, sesungguhnya Gunawan Wibisanalah yang menyelamatkan negeri Alengka dari kehancuran yang lebih parah dengan menerapkan ilmu Hastha Brata. Gunawan Wibisana menjadi simbol kebenaran mutiara atau permata yang tersimpan dalam lumpur dan sampah, namun tetap bersinar kemuliaannya. Tanda kebenaran yang tidak larut dalam lautan keangkaramurkaan serta mampu mengalahkan keragu-raguan seperti terjadi pada Kumbakarna. Dalam cerita pewayangan, Kumbakarna dianggap tidak bisa langsung masuk suargaloka karena dianggap ragu-ragu membela kebenaran, bahkan lebih suka tidur dan makan.
Melalui Gunawan Wibisana, bumi Alengka tersinari cahaya Ilahi yang dibawa Ramawijaya dengan balatentara jelatanya, yaitu pasukan wanara (kera). Peperangan dalam Ramayana bukan perebutan wanita, tahta, dan harta yang berwujud cinta Sinta, melainkan pertempuran demi pertempuran menegakkan kesetiaan dan keadilan pada kebenaran yang sejati. Pada hakikatnya peperangan besar di Alengka sebagai peperangan melawan hawa nafsu, yakni memerangi nafsu angkara, candala, iri, dengki, malas, tamak, loba, futnah, dan aniaya. Kemudian menggantinya dengan watak rahayu mulia, seperti kasih sayang, jujur, sabar, bersyukur, tawakal, tenang, damai, tentram, iklhas, tekun, religius, sosial, dan suprasosial.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
08/12/10
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar