10/11/10

Konflik Etnis atau Konflik Politik?

Ignas Kleden *)
http://majalah.tempointeraktif.com/

SEBAGAI konsep ilmu sosial, etnisitas baru berusia 30 tahun, setelah Fredrik Barth menerbitkan bukunya, Ethnic Groups and Boundaries, 1969. Kata ethnic dalam bahasa Inggris diturunkan dari kata Yunani, ethnos, yang dalam masa Yunani Antik digunakan untuk menunjuk kelompok-kelompok bukan-Yunani, yang dianggap berada di pinggiran, asing, dan sedikit barbar.

Orang Yunani sendiri menyebut diri mereka genos Hellenon atau bangsa Hellas, sedangkan orang-orang di Laut Tengah lainnya dinamakan to Medikon ethnos. Terjemahan Latin dari pengertian-pengertian ini adalah populus untuk diri orang Roma sendiri (populus Romanus), sedangkan suku-suku lain dinamakan natio, yang kira-kira sama artinya dengan ethnos dalam pemakaian Yunani Antik.

Pengertian Latin dan Yunani ini kemudian menjadi terbalik dalam bahasa Anglo-Saxon, yang memakai kata nation untuk menunjuk dirinya sendiri, sambil menyebut imigran-imigran asing ethnic minorities. Dalam studi-studi budaya, etnisitas mengalami pergeseran arti sejalan dengan pergeseran pengertian kebudayaan. Ini akibat beralihnya pengertian kebudayaan dan etnisitas dalam studi-studi antropologi budaya ke konsepsi tentang kedua pengertian tersebut dalam disiplin ilmu budaya baru yang dinamakan cultural studies (selanjutnya disebut CS).

Kebudayaan dalam antropologi budaya dipahami sebagai sistem pengetahuan yang membantu sekelompok orang memahami dunia dan lingkungan hidupnya, dan sistem nilai dan norma-norma yang membimbing mereka dalam tingkah lakunya sehari-hari. Dalam konsepsi ini, kebudayaan dipandang sebagai produk yang sudah jadi, dan diterima sebagai given from the beginning. Dianggap, kebudayaanlah yang membentuk orang-orang yang hidup di dalamnya sehingga kebiasaan serta kepribadian partisipan suatu kebudayaan bergantung pada esensi kebudayaan itu, yang dianggap selesai dan tetap.

Selain itu, kebudayaan dipandang dengan cara yang relatif apolitis. CS memberikan pembalikan paradigmatis. Pertama, kebudayaan sama sekali bukan “sudah dari sononya begitu”, melainkan dibuat oleh partisipannya sendiri sehingga bergantung pada agennya. Kebudayaan tidak pernah given, tetapi selalu socially constructed. Maka, bukan saja kebudayaan yang membentuk partisipannya, tetapi orang-orang dalam suatu kelompok secara aktif membentuk kebudayaannya.

Kedua, kebudayaan tidak dilihat secara empiris semata-mata, tetapi juga secara historis dengan memperhatikan genealogi, yaitu proses pembentukannya. Proses pembentukan itu diandaikan tidak terlepas dari usaha berbagai kelompok memperebutkan sumber daya, sehingga selalu mengandung persaingan kekuatan. Sementara antropologi budaya melihat kebudayaan secara esensialis dan apolitis, CS melihat kebudayaan secara konstruksionis dan sangat politis. Atas cara yang sama, etnisitas pertama-tama didekati secara primordialis. Istilah primordial menunjukkan hubungan-hubungan yang didasarkan pada faktor-faktor yang menentukan status seseorang, tanpa pilihannya sendiri.

Faktor-faktor tersebut adalah hubungan berdasarkan darah, agama, daerah, kebiasaan/adat-istiadat, dan ras. Etnisitas dalam hal ini dilihat secara askriptif, seperti halnya seseorang menjadi Jawa bukan karena pilihannya, atau seseorang yang dilahirkan di Indonesia dalam keluarga Indonesia dengan sendirinya menjadi warga negara Indonesia, tanpa kemauan dari yang bersangkutan. Pendekatan seperti ini digunakan oleh Edward Shils dan Clifford Geertz, khususnya dalam melihat ketegangan antara negara modern yang memerlukan integrasi baru yang didasarkan pada kesadaran nasional dan ikatan-ikatan lama yang bersifat primordial dan “alamiah”.

Paham ini dikritik sebagai terlalu statis dan tidak dapat menerangkan bentuk pengelompokan etnis yang dapat berubah dari waktu ke waktu. Pendekatan lainnya dinamakan situasionalis, yang dipelopori oleh Fredrik Barth, dan mempunyai pengaruh dominan hingga tahun 1980-an. Di sini ditekankan organisasi sosial dari perbedaan-perbedaan etnis sebagai hasil dari interaksi dengan kelompok sosial lainnya, dan mobilisasi politik, yang berkaitan dengan kelompok-kelompok kepentingan tertentu.

Dekat dengan pandangan ini adalah paham instrumentalis, yang menekankan kompetisi antarelite dan manipulasi simbol yang mereka lakukan dalam mendapatkan dukungan massa. Di sini etnisitas bukanlah askripsi, melainkan hasil perjuangan politik untuk memakai identitas etnis dalam memperebutkan sumber daya ekonomi dan politik. Paham ini kemudian dikritik sebagai terlalu materialistis dan mengabaikan aspek-aspek afektif dalam etnisitas.

Semenjak tahun 1980-an, perhatian ilmiah beralih dari organisasi sosial ke kesadaran dan imajinasi sebagai faktor konstitutif etnisitas. Buku Benedict Anderson, Imagined Communities, 1983, misalnya, dianggap sebagai salah satu karya penting yang mengawali pendekatan baru ini. Dalam paham ini ditekankan bahwa faktor-faktor yang dianggap menentukan etnisitas, seperti halnya kesamaan turunan, kesamaan sejarah dan masa lampau, atau kesamaan daerah asal, pada akhirnya tidak harus merupakan faktor-faktor yang dibenarkan secara historis, asal saja dipercaya dan diyakini dalam persepsi dan imajinasi sekelompok orang.

Pendekatan-pendekatan ini besar sumbangannya kepada pengertian tentang mengapa etnisitas bisa berubah, mengapa ada kelompok etnis yang dapat bertahan ratusan tahun, dan mengapa pula ada yang hilang tanpa meninggalkan bekas. Konsep-konsep tersebut di atas sampai tingkat tertentu dapat membantu kita sebagai arkeologi (dalam artian Michel Foucault) atau latar belakang untuk meninjau apa yang sekarang sering muncul di berbagai tempat di Indonesia dan dikenal sebagai konflik antaretnis.

Pertama, politik pada saat ini di Indonesia ditandai oleh kecemasan bahwa bangkitnya komunitas-komunitas etnis menjadi ancaman untuk kesatuan nasional. Ketegangan ini rupanya hanya dapat di-kelola dan tidak bisa diatasi sepenuhnya, kecuali dengan represi politik.

Bagaimana mencari imbangan optimal antara wawasan Nusantara dan pluralitas etnis yang menjadi ciri yang kuat dari masyarakat Indonesia? Pada titik inilah terlihat relevansi paham multikulturalisme, yang mempertanyakan mengapa kelompok-kelompok budaya yang selama puluhan atau ratusan tahun memandang dirinya sebagai kesatuan budaya, yang tercakup dalam lingkup teritorial tertentu, harus mengorbankan kebiasaan dan nilai-nilai mereka agar mendapat tempat dalam kesatuan nasional.

Berbagai kelompok ini biasa dinamakan minoritas etnis atau suku bangsa, padahal mereka selama waktu yang cukup lama hidup sebagai “bangsa”, walaupun ditulis dengan huruf kecil. Maka, oleh para teoretisi multikulturalisme diusulkan agar nama negara-bangsa atau nation-state lebih realistis kalau diganti dengan multination-state.

Ketika bangsa-bangsa ini menyadari kesatuannya dan menuntut hak yang lebih besar dan tempat yang lebih pantas dalam kehidupan bersama, mereka segera dicap sebagai gerakan etnis, yang dipertentangkan dengan kepentingan nasional.

Pengertian Bangsa (dengan kapital), yang berasal dari Eropa, dianggap sangat diperkuat oleh Universal Declaration of Human Rights, yang menegaskan kesamaan semua orang padahal dalam kenyataannya setiap orang berbeda sesuai dengan kelompok etnis atau kelompok budayanya.

Para pengkritik menganggap bahwa konsepsi manusia seperti itu terlalu buta warna dan mengakibatkan diabaikannya minoritas (dengan hak-haknya), yang dianggap harus menyesuaikan diri dengan kelompok yang lebih besar. Pada titik itu teori multikulturalisme bergandengan dengan filsafat komunitarian dalam menghadapi liberalisme, baik dengan menekankan hak minoritas maupun dengan menempatkan kepentingan komunitas di atas kepentingan individu.

Kedua, etnisitas tidak selalu merupakan askripsi, tetapi dapat merupakan pilihan dan hasil keputusan politik. Pada dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-20, misalnya, dibuat perjanjian bilateral antara Jerman dan Polandia yang menetapkan bahwa kelompok etnis Polandia yang tinggal di Jerman akan diberi hak dan diperlakukan sebagai orang Jerman, asal saja kelompok etnis Jerman yang tinggal di Polandia diberi hak yang sama dan diperlakukan sama dengan orang Polandia.

Di Kalimantan, orang-orang Dayak yang masuk Kristen tetap merasa diri sebagai orang Dayak, tetapi orang Dayak yang menjadi Islam kemudian menganggap dirinya orang Melayu. Dalam Orde Baru, kelompok keturunan Tionghoa di Indonesia diharap menanggalkan ciri-ciri kebudayaannya (seperti mengganti nama) dan dilarang melakukan ekspresi budayanya secara publik (seperti tidak boleh memakai bahasa Cina dalam media cetak ataupun elektronik), dan berasimilasi dengan kelompok yang lebih besar yang dianggap asli.

Pelajaran yang kita dapat, baik dari studi-studi kebudayaan maupun dari pengalaman politik di Indonesia, adalah bahwa etnisitas sering mempunyai implikasi politik yang kuat, seperti juga perubahan politik selalu mempunyai dampak terhadap posisi etnisitas. Kalau etnisitas adalah social construction, dengan mudah kekerasan di-lakukan terhadap suatu kelompok bukan karena adanya sifat-sifat etnis tertentu pada kelompok tersebut, melainkan supaya terhadap kelompok tersebut dikenakan sifat-sifat etnis yang tak disukai.

Pada waktu terjadi kekerasan terhadap kelompok etnis Tionghoa di Jakarta pada pertengahan Mei 1998, seorang teman dari kelompok ini (kalau tak salah Ariel Heryanto) menulis bahwa orang-orang itu diperlakukan dengan keras, dikejar-kejar, dan dibunuh bukan karena mereka Cina, melainkan sebaliknya: siapa saja yang diperas, dikejar, dan dibunuh akan dinamakan Cina. Seseorang bukannya dikejar dan dijarah karena dia Cina, tetapi dia justru dijadikan Cina supaya boleh dijarah dan dibunuh.

Kalau diperhatikan konflik-konflik yang muncul semenjak 1997 di Pontianak hingga 2001 di Papua dan Poso, akan kelihatan ciri-ciri berikut.

Selalu ada dua kelompok terbatas yang terlibat dalam konflik dan kekerasan, sementara konflik tersebut tidak menyebar ke kelompok lain, padahal hubungan-hubungan antaretnis selalu kait-mengait dan lebih cenderung difus daripada terbatas dalam boundaries.

Di Pontianak pada 1997 terjadi kekerasan antara Dayak dan Madura, di Sambas pada 1999 antara Melayu dan Madura, di Ambon pada 1999 antara Islam dan Kristen, di Sampit pada 2001 antara Dayak dan Madura, di Papua sekarang antara OPM dan PDP (Presidium Dewan Papua), yang menjadi semakin keras oleh kematian Theys dari PDP dan hilangnya Willem Onde dari OPM, sedangkan di Poso antara penduduk setempat dan para perusuh dari luar.

Demikian pun konflik selalu terjadi antara dua golongan yang kira-kira seimbang dalam jumlah dan pengaruhnya, dan bukannya antara minoritas dan mayoritas, atau antara dominant culture dan subkultur.

Melihat pola-pola tersebut, dan mengingat etnisitas pada dasarnya sangat politis sifatnya, timbul pertanyaan apakah konflik-konflik tersebut masih dapat disebut konflik antaretnis atau lebih mirip konflik politik yang didorong oleh kepentingan tertentu yang mungkin saja menginginkan destabilisasi politik.

Kalau etnisitas adalah konstruksi sosial, berarti apa yang dinamakan konflik etnis besar kemungkinan hanyalah political construction, yang harus ditangani dengan keputusan politik dan tindakan politik dan bukan dengan imbauan-imbauan yang moralistis.

*)Sosiolog, Direktur Pusat Pengkajian Indonesia Timur (Center for East-Indonesian Affairs), Jakarta

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita