Han Gagas
http://suaramerdeka.com/
AKU begitu suka melihat bulan. Entah kenapa. Mungkin karena bulan adalah benda yang kali pertama kulihat. Dulu.
Setiap bayi ketika mampu melihat dunia selalu dijemur di bawah matahari. Memang aku mengalami itu tapi tak cuma begitu. Ayahku -yang merupakan satu-satunya orang tua-membawa mataku pada rembulan dan kecerahan malam dengan bintang-gemintang. Tentu saja dengan balutan kain berlipat-lipat yang membungkus tubuh.
Pertama -seperti kebetulan- Ayah memperlihatkan bulan yang bundar, bulat penuh, dengan sinar terang yang melingkari.
Itulah bulan yang sepenuhnya bola, ìBulan tengah purnama, bayiku.
Ada cincin melingkari bulan itu dalam rentang sinar yang sama, berkas cahaya yang terangnya sama, yang disebut ayah sebagai halo. Selepas halo, semesta di luar cincin halo, warna gelap membentang tak terbatas dengan taburan bintang yang berjuta kerlip, beberapa buah lebih kentara terangnya, dipanggil oleh ayah: kejora.
Lalu ia akan mendendangkan sebuah lagu yang hingga kini masih terdengar indah di benakku.
Kupandang langit penuh bintang bertaburan/ Berkelap-kelip seumpama intan berlian/ Nampak sebuah lebih terang cahayanya/ Itulah bintangku bintang, kejora yang indah selalu//
Bulan tengah purnama dan bintang kejora, padanan yang paling kusenangi.
Esoknya, malam demi malam, perlahan-lahan bulan mengalami penyusutan. Memipih karena ditarik sekumpulan tenaga magis tak kasat mata. Perlahan namun pasti, sedikit demi sedikit, malam demi malam, tarikan magis itu makin kuat menarik lempengan satu sisi bulan makin ke dalam, makin ke dalam, hingga lapisan demi lapisan menjadi tak tampak. Bulan tanggal setengah bagian, mendung menggelayut dengan mesra.
Mendung serupa kapas-kapas putih itu tampak begitu lembut. Ada yang tebal, ada yang tipis, kadang membentuk pola tertentu seperti sapi, pohon, bunga terompet, kelinci, ayam, sebuah mata -mungkin mata Tuhan karena kata ayah Tuhan ada di langit- juga kadang tak berbentuk apa pun. Mereka berarak beriringan, kadang cepat kadang lamban, kata Ayah itu karena ditiup angin. Hampir selalu, bulan tanggal setengah bagian, digelayuti awan tipis bagai kapas.
Itulah bulan seperti irisan semangka yang selalu disuapi ayah padaku, “Bulan tengah separuh, anakku.”
Malam-malam berikutnya, makin tebal lapisan yang tanggal menghilang, makin banyak yang berlepasan, dan ditarik makin ke dalam, atau disedot ke dalam sumur yang memusar hingga bulan tampak menjadi sebilah sabit.
“Itulah bulan sabit, anakku. Atau sebilah celurit, ah bukan, sesisir pisang anakku. Celurit atau sabit tak boleh ada dalam mulut kita.”
“Kenapa tak boleh, Ayah?”
“Kita bakal celaka, nanti kita bakal dikira komunis.”
“Komunis itu apa, Ayah?”
“Sesudah kau agak besar nanti Ayah akan cerita apa itu komunis.”
Kami bercakap sambil melihat bulan dari jendela kamar yang tirainya sengaja tak pernah ditutup ayah. Dari kamar ini pula mata kami bisa dengan mudah membandingkan jarak antara satu bintang dengan bintang lainnya. Dan, jauh-dekatnya bintang dari titik mata kami. Langit serupa kembang api yang bertempelan di atas sana, menjadi tiga dimensi yang bertaburan cahaya.
Aku tak tahu kenapa, kenapa Ayah begitu senang melihat bulan, apakah mungkin ada hubungannya dengan keputusannya menjual televisi yang selalu membuat hatinya kesal itu. Atau tak ada lagi panorama di dunia ini yang bisa mengalahkan keindahan bulan dan langit malamnya. Tapi aku rasa mungkin Ayah lebih suka memandangi bulan hingga begitu lama karena tak ada perempuan di rumah ini. Perempuan berbadan besar maksudku, karena aku sendiri perempuan tapi tubuhku masih serba kecil.
Dulu, sepanjang yang kuingat, ketika malam-malam awal menatap bulan, aku melihat wajah lain di samping muka Ayah. Wajah cantik berambut panjang dan memakai anting-anting. Sepertinya itu ibuku. Namun, esok malamnya wajah itu tiada lagi, apakah orang-orang itu telah membawanya pergi. Semenjak siang para tetangga berdatangan, dengan tergesa-gesa dan muka takut mereka mengusung keranda dari rumah kamar kami. Sejak itu hanya wajah Ayah yang menemani.
***
KINI dari jendela kamar yang selalu tirainya tak pernah ditutup oleh Ayah, bulan kami tak tampak lagi. Memang ada cahaya, namun berasal dari lampu persegi dalam apartemen. Bulan telah ditelan oleh kamar itu. Bintang-bintang habis pula dimakan kamar lain. Habis, habis sudah keindahan malam.
Sejak itu aku makin melihat Ayah begitu murung. Kamar ini telah mengisi hidup kami selama sepuluh tahun. Dan, sepertinya memang hanya kamar inilah harta kekayaan Ayah. Isinya cuma sebuah kasur, seperangkat komputer tua, alat pancing, senapan burung, dan sebuah lemari pakaian.
Tak ada kekayaan lain, dan kukira kami memang tak bisa pindah ke tempat lain agar bisa menatap bulan dari kamar rumah sendiri. Tak ada uang. Jika keinginan menatap bulan begitu tak tertahankan, Ayah segera akan mengajakku ke lapangan —sebenarnya bukan lapangan, hanya petak tanah kosong, sudah tiada lapangan di daerah sini— namun hal itu tak bisa kami lakukan berlama-lama.
“Kasihan tubuhmu, angin malam tak baik bagi kesehatan,” begitu ucap Ayah.
Memang, aku merasa tubuhku begitu dingin di lapangan, angin bertiup kencang karena tanah begitu lapang.
Lalu Ayah akan memelukku erat, menangkupkan jaketnya di tubuhku. Sepertinya bulan tengah tersenyum memandang kami yang tengah rela-rela kedinginan untuk menyapa keindahannya.
***
AYAH seharian hanya mengetik di depan komputer, memandikanku jika aku malas mandi sendiri, menyuapiku makan jika aku malas makan sendiri, mengantarku ke sekolah dengan jalan kaki, dan menjemputku dengan sepeda jengki kami. Oya, sepeda itu juga kekayaan ayah.
Pada hari Minggu selalu aku diboncengkan di kios koran dan saat-saat seperti itulah aku selalu melihat mata Ayah seperti tak biasa, seperti aku ketika gelisah karena hendak ujian sekolah.
Pukul tujuh tepat kios koran buka. Kaki Ayah mengayuh lebih cepat, tubuhnya juga sedikit lebih bergoyang, mungkin perasaan ayah sama dengan perasaanku ketika kedua pahaku kugoyang-goyangkan ketika menemukan soal yang sukar.
Kayuhan kaki Ayah makin cepat ketika kios koran itu mulai terlihat di sudut persimpangan jalan. Kios telah buka. Kaki mengayuh makin cepat, goyangan tubuh Ayah makin keras, pada saat seperti ini aku merasa bukan lagi nomer satu buatnya, tapi tak apa-apa tak lama kemudian ia bakal memelukku, dengan erat, menatap jantung mataku dengan lekat.
Dan, ketika sampai di kios itu, sepeda begitu saja distandarkan sekenanya. Dia menurunkanku dengan perasaan terburu-buru, lalu hanya bilang: “Pagi, Pak,î pada penjual, kemudian tangan mengambil koran. Langsung jari-jarinya mencari halaman bagian dalam. Tangan itu serasa punya mata sendiri sehingga secara otomatis tahu di halaman ke berapa posisi yang hendak dicari. Sekilas memandang bagian paling atas, lalu...
Dunia begitu menjadi indah! Dia tertawa, memelukku erat, mengangkat tubuhku tinggi-tinggi, mengguncang tubuhku, dan dari matanya memancar kebahagiaan yang tiada tara serupa ketika memandang bulan tengah bulat-bulatnya dari kamar kami dulu.
“Dimuat, Pak?!î teriak sang penjual.
Ayah hanya tertawa, lalu dua koran akan dibelinya sekaligus dan sering uang kembalian dengan sengaja ia relakan buat penjual.
Lalu hari itu menjadi pesta kesenangan buat kami. Ayah membelikanku manisan dan permen lalu mengayuhkan sepedanya menuju taman kota yang bakal memuaskan dahagaku bermain. Ada ayunan, plorotan seluncur, petak umpet, jungkat-jungkit, lubang sembunyi, dan istana pasir yang serbagratis.
Pada hari Minggu lain, kadang-kadang matanya jadi resah, dengan tangan tergesa mengambil koran berikutnya, membuka bagian dalam, memandang bagian atas, lalu uhhh...sedih lagi, mengambil koran berikutnya lagi, langsung membuka bagian dalam, dan matanya melihat bagian atas, lalu...
Ia teriak dengan sekeras-kerasnya, jantungnya yang sekian detik tadi berhenti, kini berdenyut lagi. Lalu kami akan melaksanakan kesenangan lagi, membeli manisan dan permen, dan segera meluncur ke taman kota.
Pada hari Minggu tertentu dan sering jumlahnya lebih banyak, ia akan bersedih. Tampak sekali dari matanya, tanpa teriakan gembira, ia memelukku dengan erat, menatap manik mataku dengan lembut, dan mata Ayah yang semula begitu redup mulai bersinar lagi walau serupa lilin kecil.
Apabila kesedihan telah berminggu-minggu datang menggulung Ayah, dan aku sering mendengar, “Tidak dimuat ya, Pak. Sabar...” dari sang penjual koran, maka aku akan begitu sering diajak berboncengan mengayuh sepeda hingga begitu jauh. Ayah akan membawaku ke tempat-tempat yang tak kukenali, belum pernah kukunjungi, dan kebanyakan, aku akan suka melihatnya. Kadang Ayah mengajakku ke sebuah sungai, lalu kami memancing bersama, atau ia mengajakku menembak burung. Hasilnya bisa kami pakai buat lauk, karena Ayah sering juga menanak nasi sendiri.
“Kenapa tak ada perempuan besar yang menanak nasi buat kita, ayah?”
Ayah selalu terdiam jika mendengar pertanyaanku ini. Tapi aku tak terlalu peduli, aku terus bertanya, “Kenapa tak ada ibu yang memasak buat kita, Ayah?”
Karena mungkin sering kudesak atau tak tega padaku, akhirnya Ayah menjawab, “Bangunan itu jahat, Anakku. Tak hanya bulan kita yang ditelannya, tapi juga ibu, ibumu...”
Lantas Ayah akan membisu hingga begitu lama.
Hingga aku tak berani lagi bertanya pada Ayah perihal Ibu, atau perempuan berbadan besar. Aku hanya memendam bara dalam dadaku kepada bangunan yang tinggi itu. Memendam sedikit kebencian pada orang-orang yang keluar masuk gedung tinggi itu yang hampir semua wajahnya tak kelihatan karena mereka tersembunyi dalam kaca mobil.
Aku memendam kebencian, hanya memendam saja.
“Kalau Ibu sudah meninggal kenapa Ayah tak pernah mengajakku ke makamnya?”
Ayah membisu lagi untuk waktu yang teramat lama.
Selanjutnya, tanpa sengaja, suatu siang aku menemukan secarik koran yang terlipat rapi di dalam buku Ayah yang bertuliskan: Pembangunan apartemen menelan korban buruhnya sendiri, seorang perempuan anak mantan tokoh PKI ini terjatuh dari lantai 27...
Aku yakin itu ibuku. Perempuan berbadan besar.
“Ayah, aku ingin menengok Ibu di makamnya.”
Graha Aksara-Solo, 18 Agustus 2010
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar