14/11/10

Bangunan Itu Menelan Ibu dan Bulanku

Han Gagas
http://suaramerdeka.com/

AKU begitu suka melihat bulan. Entah kenapa. Mungkin karena bulan adalah benda yang kali pertama kulihat. Dulu.

Setiap bayi ketika mampu melihat dunia selalu dijemur di bawah matahari. Memang aku mengalami itu tapi tak cuma begitu. Ayahku -yang merupakan satu-satunya orang tua-membawa mataku pada rembulan dan kecerahan malam dengan bintang-gemintang. Tentu saja dengan balutan kain berlipat-lipat yang membungkus tubuh.

Pertama -seperti kebetulan- Ayah memperlihatkan bulan yang bundar, bulat penuh, dengan sinar terang yang melingkari.
Itulah bulan yang sepenuhnya bola, ìBulan tengah purnama, bayiku.

Ada cincin melingkari bulan itu dalam rentang sinar yang sama, berkas cahaya yang terangnya sama, yang disebut ayah sebagai halo. Selepas halo, semesta di luar cincin halo, warna gelap membentang tak terbatas dengan taburan bintang yang berjuta kerlip, beberapa buah lebih kentara terangnya, dipanggil oleh ayah: kejora.

Lalu ia akan mendendangkan sebuah lagu yang hingga kini masih terdengar indah di benakku.

Kupandang langit penuh bintang bertaburan/ Berkelap-kelip seumpama intan berlian/ Nampak sebuah lebih terang cahayanya/ Itulah bintangku bintang, kejora yang indah selalu//

Bulan tengah purnama dan bintang kejora, padanan yang paling kusenangi.
Esoknya, malam demi malam, perlahan-lahan bulan mengalami penyusutan. Memipih karena ditarik sekumpulan tenaga magis tak kasat mata. Perlahan namun pasti, sedikit demi sedikit, malam demi malam, tarikan magis itu makin kuat menarik lempengan satu sisi bulan makin ke dalam, makin ke dalam, hingga lapisan demi lapisan menjadi tak tampak. Bulan tanggal setengah bagian, mendung menggelayut dengan mesra.

Mendung serupa kapas-kapas putih itu tampak begitu lembut. Ada yang tebal, ada yang tipis, kadang membentuk pola tertentu seperti sapi, pohon, bunga terompet, kelinci, ayam, sebuah mata -mungkin mata Tuhan karena kata ayah Tuhan ada di langit- juga kadang tak berbentuk apa pun. Mereka berarak beriringan, kadang cepat kadang lamban, kata Ayah itu karena ditiup angin. Hampir selalu, bulan tanggal setengah bagian, digelayuti awan tipis bagai kapas.

Itulah bulan seperti irisan semangka yang selalu disuapi ayah padaku, “Bulan tengah separuh, anakku.”

Malam-malam berikutnya, makin tebal lapisan yang tanggal menghilang, makin banyak yang berlepasan, dan ditarik makin ke dalam, atau disedot ke dalam sumur yang memusar hingga bulan tampak menjadi sebilah sabit.

“Itulah bulan sabit, anakku. Atau sebilah celurit, ah bukan, sesisir pisang anakku. Celurit atau sabit tak boleh ada dalam mulut kita.”

“Kenapa tak boleh, Ayah?”
“Kita bakal celaka, nanti kita bakal dikira komunis.”
“Komunis itu apa, Ayah?”
“Sesudah kau agak besar nanti Ayah akan cerita apa itu komunis.”

Kami bercakap sambil melihat bulan dari jendela kamar yang tirainya sengaja tak pernah ditutup ayah. Dari kamar ini pula mata kami bisa dengan mudah membandingkan jarak antara satu bintang dengan bintang lainnya. Dan, jauh-dekatnya bintang dari titik mata kami. Langit serupa kembang api yang bertempelan di atas sana, menjadi tiga dimensi yang bertaburan cahaya.

Aku tak tahu kenapa, kenapa Ayah begitu senang melihat bulan, apakah mungkin ada hubungannya dengan keputusannya menjual televisi yang selalu membuat hatinya kesal itu. Atau tak ada lagi panorama di dunia ini yang bisa mengalahkan keindahan bulan dan langit malamnya. Tapi aku rasa mungkin Ayah lebih suka memandangi bulan hingga begitu lama karena tak ada perempuan di rumah ini. Perempuan berbadan besar maksudku, karena aku sendiri perempuan tapi tubuhku masih serba kecil.

Dulu, sepanjang yang kuingat, ketika malam-malam awal menatap bulan, aku melihat wajah lain di samping muka Ayah. Wajah cantik berambut panjang dan memakai anting-anting. Sepertinya itu ibuku. Namun, esok malamnya wajah itu tiada lagi, apakah orang-orang itu telah membawanya pergi. Semenjak siang para tetangga berdatangan, dengan tergesa-gesa dan muka takut mereka mengusung keranda dari rumah kamar kami. Sejak itu hanya wajah Ayah yang menemani.

***

KINI dari jendela kamar yang selalu tirainya tak pernah ditutup oleh Ayah, bulan kami tak tampak lagi. Memang ada cahaya, namun berasal dari lampu persegi dalam apartemen. Bulan telah ditelan oleh kamar itu. Bintang-bintang habis pula dimakan kamar lain. Habis, habis sudah keindahan malam.

Sejak itu aku makin melihat Ayah begitu murung. Kamar ini telah mengisi hidup kami selama sepuluh tahun. Dan, sepertinya memang hanya kamar inilah harta kekayaan Ayah. Isinya cuma sebuah kasur, seperangkat komputer tua, alat pancing, senapan burung, dan sebuah lemari pakaian.

Tak ada kekayaan lain, dan kukira kami memang tak bisa pindah ke tempat lain agar bisa menatap bulan dari kamar rumah sendiri. Tak ada uang. Jika keinginan menatap bulan begitu tak tertahankan, Ayah segera akan mengajakku ke lapangan —sebenarnya bukan lapangan, hanya petak tanah kosong, sudah tiada lapangan di daerah sini— namun hal itu tak bisa kami lakukan berlama-lama.

“Kasihan tubuhmu, angin malam tak baik bagi kesehatan,” begitu ucap Ayah.
Memang, aku merasa tubuhku begitu dingin di lapangan, angin bertiup kencang karena tanah begitu lapang.

Lalu Ayah akan memelukku erat, menangkupkan jaketnya di tubuhku. Sepertinya bulan tengah tersenyum memandang kami yang tengah rela-rela kedinginan untuk menyapa keindahannya.

***

AYAH seharian hanya mengetik di depan komputer, memandikanku jika aku malas mandi sendiri, menyuapiku makan jika aku malas makan sendiri, mengantarku ke sekolah dengan jalan kaki, dan menjemputku dengan sepeda jengki kami. Oya, sepeda itu juga kekayaan ayah.

Pada hari Minggu selalu aku diboncengkan di kios koran dan saat-saat seperti itulah aku selalu melihat mata Ayah seperti tak biasa, seperti aku ketika gelisah karena hendak ujian sekolah.

Pukul tujuh tepat kios koran buka. Kaki Ayah mengayuh lebih cepat, tubuhnya juga sedikit lebih bergoyang, mungkin perasaan ayah sama dengan perasaanku ketika kedua pahaku kugoyang-goyangkan ketika menemukan soal yang sukar.

Kayuhan kaki Ayah makin cepat ketika kios koran itu mulai terlihat di sudut persimpangan jalan. Kios telah buka. Kaki mengayuh makin cepat, goyangan tubuh Ayah makin keras, pada saat seperti ini aku merasa bukan lagi nomer satu buatnya, tapi tak apa-apa tak lama kemudian ia bakal memelukku, dengan erat, menatap jantung mataku dengan lekat.

Dan, ketika sampai di kios itu, sepeda begitu saja distandarkan sekenanya. Dia menurunkanku dengan perasaan terburu-buru, lalu hanya bilang: “Pagi, Pak,î pada penjual, kemudian tangan mengambil koran. Langsung jari-jarinya mencari halaman bagian dalam. Tangan itu serasa punya mata sendiri sehingga secara otomatis tahu di halaman ke berapa posisi yang hendak dicari. Sekilas memandang bagian paling atas, lalu...

Dunia begitu menjadi indah! Dia tertawa, memelukku erat, mengangkat tubuhku tinggi-tinggi, mengguncang tubuhku, dan dari matanya memancar kebahagiaan yang tiada tara serupa ketika memandang bulan tengah bulat-bulatnya dari kamar kami dulu.

“Dimuat, Pak?!î teriak sang penjual.
Ayah hanya tertawa, lalu dua koran akan dibelinya sekaligus dan sering uang kembalian dengan sengaja ia relakan buat penjual.

Lalu hari itu menjadi pesta kesenangan buat kami. Ayah membelikanku manisan dan permen lalu mengayuhkan sepedanya menuju taman kota yang bakal memuaskan dahagaku bermain. Ada ayunan, plorotan seluncur, petak umpet, jungkat-jungkit, lubang sembunyi, dan istana pasir yang serbagratis.

Pada hari Minggu lain, kadang-kadang matanya jadi resah, dengan tangan tergesa mengambil koran berikutnya, membuka bagian dalam, memandang bagian atas, lalu uhhh...sedih lagi, mengambil koran berikutnya lagi, langsung membuka bagian dalam, dan matanya melihat bagian atas, lalu...

Ia teriak dengan sekeras-kerasnya, jantungnya yang sekian detik tadi berhenti, kini berdenyut lagi. Lalu kami akan melaksanakan kesenangan lagi, membeli manisan dan permen, dan segera meluncur ke taman kota.

Pada hari Minggu tertentu dan sering jumlahnya lebih banyak, ia akan bersedih. Tampak sekali dari matanya, tanpa teriakan gembira, ia memelukku dengan erat, menatap manik mataku dengan lembut, dan mata Ayah yang semula begitu redup mulai bersinar lagi walau serupa lilin kecil.

Apabila kesedihan telah berminggu-minggu datang menggulung Ayah, dan aku sering mendengar, “Tidak dimuat ya, Pak. Sabar...” dari sang penjual koran, maka aku akan begitu sering diajak berboncengan mengayuh sepeda hingga begitu jauh. Ayah akan membawaku ke tempat-tempat yang tak kukenali, belum pernah kukunjungi, dan kebanyakan, aku akan suka melihatnya. Kadang Ayah mengajakku ke sebuah sungai, lalu kami memancing bersama, atau ia mengajakku menembak burung. Hasilnya bisa kami pakai buat lauk, karena Ayah sering juga menanak nasi sendiri.

“Kenapa tak ada perempuan besar yang menanak nasi buat kita, ayah?”
Ayah selalu terdiam jika mendengar pertanyaanku ini. Tapi aku tak terlalu peduli, aku terus bertanya, “Kenapa tak ada ibu yang memasak buat kita, Ayah?”

Karena mungkin sering kudesak atau tak tega padaku, akhirnya Ayah menjawab, “Bangunan itu jahat, Anakku. Tak hanya bulan kita yang ditelannya, tapi juga ibu, ibumu...”

Lantas Ayah akan membisu hingga begitu lama.
Hingga aku tak berani lagi bertanya pada Ayah perihal Ibu, atau perempuan berbadan besar. Aku hanya memendam bara dalam dadaku kepada bangunan yang tinggi itu. Memendam sedikit kebencian pada orang-orang yang keluar masuk gedung tinggi itu yang hampir semua wajahnya tak kelihatan karena mereka tersembunyi dalam kaca mobil.

Aku memendam kebencian, hanya memendam saja.
“Kalau Ibu sudah meninggal kenapa Ayah tak pernah mengajakku ke makamnya?”
Ayah membisu lagi untuk waktu yang teramat lama.

Selanjutnya, tanpa sengaja, suatu siang aku menemukan secarik koran yang terlipat rapi di dalam buku Ayah yang bertuliskan: Pembangunan apartemen menelan korban buruhnya sendiri, seorang perempuan anak mantan tokoh PKI ini terjatuh dari lantai 27...

Aku yakin itu ibuku. Perempuan berbadan besar.
“Ayah, aku ingin menengok Ibu di makamnya.”

Graha Aksara-Solo, 18 Agustus 2010

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita