16/10/10

Teater Papua dan Manusia yang Berharap

Dorothea Rosa Herliany
http://www.jawapos.com/

Sekumpulan perempuan berbalut pakaian rumbai-rumbai dari kulit pohon (saly) dan tas di kepala (noken) meratap sedih sambil menari-nari. Genderang tifa, triton, dan sejumlah alat musik tradisional menyihir suasana menjadi pilu. Seorang di antara pemain dengan suara lengking dan terasa menyayat menyanyikan syair neno, neno, nene, wadoi kwonso sup ineno / yore mamo mamo / wadoi kwonso sup mambesak / sup ineno // neno, neno, nene, manseren nanggi, wado i / kwonso papua sup ineno / yoro mamo mamo wadoi / kwonso nona papua sup ine (Ya Tuhan, turunlah dan tinggal bersama kami di negeri mambesak ini, Tuhan Langit, berkati negeri Papua serta kekayaannya). Saat itu, ikon yang menjadi hero mereka, Angganetha, akan dibunuh dengan dipenggal kepalanya oleh tentara Jepang.

Begitulah cuplikan pementasan teater perempuan Orchide Papua Teater di beberapa panggung kesenian dan arena terbuka lain di Biak dan Jayapura pada 30 Juli-7 Agustus 2010. Nyanyian dan tarian dengan panah dan busur khas masyarakat Biak Numfor yang disebut Wor mewarnai pertunjukan tersebut. Meski itu tampak khas, ada yang lebih menarik, terutama bagi para penonton yang rata-rata belum pernah menyaksikan pementasan teater tersebut, yakni tersedianya ruang bebrayan (Jawa) atau ruang bersama yang tidak menakutkan -tak ada kesenjangan antara pemain-penonton- dan mereka berada dalam satu wilayah yang sama pada rasa senasib sepenanggungan sebagaimana diucapkan para pemainnya dalam dialog.

Penonton seperti menjadi bagian dari pertunjukan itu sendiri. Sedangkan, teater mewakili dirinya sendiri. Alhasil, dengan bebas mereka memberikan celetukan-celetukan ketika ada dialog/monolog yang menarik. Misalnya, ketika seorang pemain dengan lantang mengatakan bahwa ”Kalau kita ingin anak-anak kita jadi pe­gawai negeri, kita harus sediakan 30 sampai 50 juta untuk pelicin!” Maka, banyak pemuda yang merasakan langsung ketidakadilan itu spontan berteriak dengan keras, ”Betulll!!” Persoalan satu ini memang sedang jadi topik hangat di kalangan anak muda Papua.

Isu-isu lain seputar lingkungan, eksploitasi alam, ketidakadilan dalam pendidikan, hukum, ekonomi, miras (minuman keras), dan HIV/AIDS yang merajalela, peristiwa kekerasan serta berdarah, dan sebagainya coba dipaparkan melalui teater. Namun, sebetulnya pementasan tersebut juga ingin mengedepankan tokoh perempuan pendekar setempat bernama Angganetha yang gugur karena kegigihannya melawan penjajahan Jepang. Itu memang sebuah jenis teater pembebasan. Teater perempuan yang bernama ”Orchide Papua Teater” ini merupakan yang pertama di tanah Papua. Ang­ganetha menjadi simbol perlawanan masyarakat setempat, terutama kaum perempuan, untuk berbicara masalah-masalah yang terjadi di Papua.

Semua pemain, kecuali pemusik, kebetulan memang para perempuan. Mereka adalah para aktivis gereja, warga jemaat yang menjadi korban kekerasan karena konflik dan mengalami trau­ma, seniman perempuan Biak, bahkan ada dua pendeta perempuan yang terlibat dan menjadi tokoh utama dalam teater tersebut. Semua pemain adalah orang-orang yang awam bermain teater. Dengan arahan sutradara Lena Simanjuntak, dalam tempo sekitar dua bulan, mereka yang sebelumnya diberi workshop mampu tampil menjadi pemain-pemain teater yang tak kalah andal dengan pemain teater profesional yang dididik bertahun-tahun dalam suatu padepokan teater mapan.

Lena Simanjuntak dalam hal ini berada di posisi sebagai mediator yang secara terus-menerus menggali, memancing, bertanya kepada semua yang ikut terlibat aktif agar mereka mampu mengungkapkan, menganalisis, membahas, menyarankan, memutuskan, serta merencanakan berbagai hal yang menyangkut dunia mereka sendiri.

”Teater diciptakan untuk menyampaikan kebenaran kepada masyarakat tentang kehidupan dan situasinya,” demikian dikatakan Stella Adler, seorang pemain teater Amerika.

Pernyataan itu menjadi pas sebagaimana sedang dilakukan saat ini oleh Orchide Papua Teater. Kalau selama ini masyarakat Biak, baik yang tinggal di pantai maupun di gunung-gunung, telah memiliki berbagai budaya tari-tarian yang di dalamnya terdapat berbagai macam bentuk gerak -inilah jenis kesenian mereka yang sering dimainkan dalam berbagai kesempatan (penyambutan tamu terhormat, penyambutan para turis asing, dan dalam upacara adat)- kini mereka punya jenis kesenian ”baru” bernama teater. Teater tersebut menjadi sebuah media untuk memaparkan berbagai hal yang bertujuan akhir mengangkat derajat, martabat, dan harkat orang Papua. Keadilan, kesejahteraan, dan perdamaian dalam masyarakat hanya bisa dicapai dengan adanya penghormatan akan hak-hak kehidupan manusia maupun alam. Dan, waktu untuk melakukan semua gerakan itu adalah sekarang. ”Faiman Indo”, demikian seruan ajakan dalam bahasa setempat yang berarti ‘’segera”, sekaranglah saatnya memulai sesuatu.

Para perempuan Biak yang tergabung dalam Orchide Papua barangkali mengingatkan kita pada sejarah awal teater dulu sekitar abad ke-5 SM. Saat itu, penulis bernama Aeschylus (525-456) menjadikan teater sebagai persembahan untuk memohon kepada dewa-dewa. Sedangkan, dalam kelompok teater Papua tersebut, seluruh pemain mempersembahkan teater itu untuk memohon kepada dewa-dewa lain, yakni elite penguasa agar lebih manusiawi dan tidak berlaku sewenang-wenang. Tak heran, kelompok tersebut tak menganggap gedung kesenian sebagai satu-satunya tempat pertunjukan, namun -sebagaimana yang mereka lakukan selama beberapa hari itu- mereka juga main di halaman gereja, di depan pasar, di pantai, dan lain-lain.

Ini memang bentuk teater sebagai media pendidikan populer -sebagaimana ajaran pendidik Brazil Paulo Freire- yang melihat pendidikan sebagai hal membebaskan rakyat dari keadaan yang menindasnya. Media pendidikan bertujuan untuk mempelajari permasalahan yang ada secara bersama-sama dan membuat rakyat tidak dililit ketergantungan. Sebetulnya, hal itu diperkenalkan pertama oleh Bertolt Brech, penyair, dramawan, sutradara teater Jerman. Namun, pertunjukan tersebut baru dipentaskan seabad kemudian, tepatnya pada ‘70-an oleh Augusto Boal di Amerika Latin dalam konteks pembebasan. Boal (yang juga teman baik Freire) memelopori suatu eksperimen teater yang dimulai dengan me­libatkan kaum tertindas, rakyat miskin yang tinggal di daerah kumuh, dan orang-orang jalanan. Pada Lena Simanjuntak, teater pem­bebasan tersebut dalam penerapan artistiknya disesuaikan dengan identitas tempat masyarakat itu berasal.

Bentuk itu banyak dikembangkan di Jogjakan pada era Teater Dinasti tahun ‘70-an. Mereka me­libatkan penonton dalam pertunjukan dengan mengangkat tema keseharian yang sedang terjadi di masyarakat. Kelompok teater tersebut konsisten pada pilihan sikap kepedulian sosial dan budaya. Penulis-penulis lakonnya, antara lain, Emha Ainun Nadjib, Fajar Suharno, Gajah Abiyoso, Simon H.T., Yama Widura, dan Agus Istiyanto, di samping mereka juga mementaskan naskah karya Kuntowijoyo dan Arifin C. Noer. Setelah Dinasti, disusul Kelompok Teater Rakyat Indonesia (KTRI) dan Teater Gandrik yang melakukan pertunjukan dengan visi yang sama.

Di Indonesia, Lena Simanjuntak yang melakukan hal itu sejak 1999 dengan fokus pada perempuan terpinggirkan - mulai PSK (pekerja seks komersial), perempuan korban konflik (di Aceh dan Poso), pembantu rumah tangga, kaum buruh, hingga para pengungsi- menceritakan, tak sedikit dirinya mendapatkan cap sebagai teater pesanan LSM. Itulah memang stempel yang akan ditudingkan bagi teater jenis satu ini. Barangkali, itu merupakan sinisme yang dikembangkan oleh sistem Orde Baru. Sebab, kesenian kritis dikhawatirkan menciptakan kondisi sosial politik yang demokratis. Itulah sebabnya, kesenian yang bebas dikebiri, meski kini pengekangan relatif sudah lebih longgar.

Dalam situasi yang terasa lebih demokratis itulah, Orchide Papua Teater menyuarakan problem-problem yang dihadapi masyarakatnya dan terlebih lagi menyampaikan semangat pembebasan terhadap penindasan rakyat kecil, hak asasi manusia, keadilan, dan perdamaian. Semua pemain tampak bergairah main dari satu tempat ke tempat lain hingga melintasi lautan. Padahal, mereka adalah ibu-ibu yang meninggalkan anak dan suami di rumah, awin-awin (nenek-nenek) yang meninggalkan cucu-cucu, para pelajar yang harus izin tidak bersekolah, atau pendeta yang harus mening­galkan jemaatnya. Mereka penuh semangat melakukan kerja (baca: tugas, perjuangan) teater itu sebagaimana tebersit dalam lagu yang dinya­nyikan pada akhir pementasan:

Hitam kulit keriting rambut, aku Papua…

Biar nanti langit terbelah, aku Papua…

Setiap kali lagu itu terdengar, penonton seperti tertegun. Lalu, pada akhir pementasan -mengingatkan kepada penonton di bioskop-bioskop zaman dulu- banyak di antara mereka, terutama para perempuan, yang meninggalkan ”ruangan” sambil mengusap mata sedih dan terharu. Ada sesuatu yang telah menyentuh mata batin mereka. Kalau saja pementasan itu juga banyak dihadiri para petinggi yang menjadi tujuan mereka bersuara, barangkali akan ada kisah baru di tanah Papua yang diceritakan dalam lagu, sungainya mengalirkan emas… (*)

*) Penyair, tinggal di Bumi Prayudan Magelang, pernah menerima anugerah Sastra Katulistiwa. Pada 2009 bersama suaminya, pelukis Andreas Damtoz, mendapatkan beasiswa selama empat bulan dari Yayasan Heinrich Böll di Koeln, Jerman.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita