Dorothea Rosa Herliany
http://www.jawapos.com/
Sekumpulan perempuan berbalut pakaian rumbai-rumbai dari kulit pohon (saly) dan tas di kepala (noken) meratap sedih sambil menari-nari. Genderang tifa, triton, dan sejumlah alat musik tradisional menyihir suasana menjadi pilu. Seorang di antara pemain dengan suara lengking dan terasa menyayat menyanyikan syair neno, neno, nene, wadoi kwonso sup ineno / yore mamo mamo / wadoi kwonso sup mambesak / sup ineno // neno, neno, nene, manseren nanggi, wado i / kwonso papua sup ineno / yoro mamo mamo wadoi / kwonso nona papua sup ine (Ya Tuhan, turunlah dan tinggal bersama kami di negeri mambesak ini, Tuhan Langit, berkati negeri Papua serta kekayaannya). Saat itu, ikon yang menjadi hero mereka, Angganetha, akan dibunuh dengan dipenggal kepalanya oleh tentara Jepang.
Begitulah cuplikan pementasan teater perempuan Orchide Papua Teater di beberapa panggung kesenian dan arena terbuka lain di Biak dan Jayapura pada 30 Juli-7 Agustus 2010. Nyanyian dan tarian dengan panah dan busur khas masyarakat Biak Numfor yang disebut Wor mewarnai pertunjukan tersebut. Meski itu tampak khas, ada yang lebih menarik, terutama bagi para penonton yang rata-rata belum pernah menyaksikan pementasan teater tersebut, yakni tersedianya ruang bebrayan (Jawa) atau ruang bersama yang tidak menakutkan -tak ada kesenjangan antara pemain-penonton- dan mereka berada dalam satu wilayah yang sama pada rasa senasib sepenanggungan sebagaimana diucapkan para pemainnya dalam dialog.
Penonton seperti menjadi bagian dari pertunjukan itu sendiri. Sedangkan, teater mewakili dirinya sendiri. Alhasil, dengan bebas mereka memberikan celetukan-celetukan ketika ada dialog/monolog yang menarik. Misalnya, ketika seorang pemain dengan lantang mengatakan bahwa ”Kalau kita ingin anak-anak kita jadi pegawai negeri, kita harus sediakan 30 sampai 50 juta untuk pelicin!” Maka, banyak pemuda yang merasakan langsung ketidakadilan itu spontan berteriak dengan keras, ”Betulll!!” Persoalan satu ini memang sedang jadi topik hangat di kalangan anak muda Papua.
Isu-isu lain seputar lingkungan, eksploitasi alam, ketidakadilan dalam pendidikan, hukum, ekonomi, miras (minuman keras), dan HIV/AIDS yang merajalela, peristiwa kekerasan serta berdarah, dan sebagainya coba dipaparkan melalui teater. Namun, sebetulnya pementasan tersebut juga ingin mengedepankan tokoh perempuan pendekar setempat bernama Angganetha yang gugur karena kegigihannya melawan penjajahan Jepang. Itu memang sebuah jenis teater pembebasan. Teater perempuan yang bernama ”Orchide Papua Teater” ini merupakan yang pertama di tanah Papua. Angganetha menjadi simbol perlawanan masyarakat setempat, terutama kaum perempuan, untuk berbicara masalah-masalah yang terjadi di Papua.
Semua pemain, kecuali pemusik, kebetulan memang para perempuan. Mereka adalah para aktivis gereja, warga jemaat yang menjadi korban kekerasan karena konflik dan mengalami trauma, seniman perempuan Biak, bahkan ada dua pendeta perempuan yang terlibat dan menjadi tokoh utama dalam teater tersebut. Semua pemain adalah orang-orang yang awam bermain teater. Dengan arahan sutradara Lena Simanjuntak, dalam tempo sekitar dua bulan, mereka yang sebelumnya diberi workshop mampu tampil menjadi pemain-pemain teater yang tak kalah andal dengan pemain teater profesional yang dididik bertahun-tahun dalam suatu padepokan teater mapan.
Lena Simanjuntak dalam hal ini berada di posisi sebagai mediator yang secara terus-menerus menggali, memancing, bertanya kepada semua yang ikut terlibat aktif agar mereka mampu mengungkapkan, menganalisis, membahas, menyarankan, memutuskan, serta merencanakan berbagai hal yang menyangkut dunia mereka sendiri.
”Teater diciptakan untuk menyampaikan kebenaran kepada masyarakat tentang kehidupan dan situasinya,” demikian dikatakan Stella Adler, seorang pemain teater Amerika.
Pernyataan itu menjadi pas sebagaimana sedang dilakukan saat ini oleh Orchide Papua Teater. Kalau selama ini masyarakat Biak, baik yang tinggal di pantai maupun di gunung-gunung, telah memiliki berbagai budaya tari-tarian yang di dalamnya terdapat berbagai macam bentuk gerak -inilah jenis kesenian mereka yang sering dimainkan dalam berbagai kesempatan (penyambutan tamu terhormat, penyambutan para turis asing, dan dalam upacara adat)- kini mereka punya jenis kesenian ”baru” bernama teater. Teater tersebut menjadi sebuah media untuk memaparkan berbagai hal yang bertujuan akhir mengangkat derajat, martabat, dan harkat orang Papua. Keadilan, kesejahteraan, dan perdamaian dalam masyarakat hanya bisa dicapai dengan adanya penghormatan akan hak-hak kehidupan manusia maupun alam. Dan, waktu untuk melakukan semua gerakan itu adalah sekarang. ”Faiman Indo”, demikian seruan ajakan dalam bahasa setempat yang berarti ‘’segera”, sekaranglah saatnya memulai sesuatu.
Para perempuan Biak yang tergabung dalam Orchide Papua barangkali mengingatkan kita pada sejarah awal teater dulu sekitar abad ke-5 SM. Saat itu, penulis bernama Aeschylus (525-456) menjadikan teater sebagai persembahan untuk memohon kepada dewa-dewa. Sedangkan, dalam kelompok teater Papua tersebut, seluruh pemain mempersembahkan teater itu untuk memohon kepada dewa-dewa lain, yakni elite penguasa agar lebih manusiawi dan tidak berlaku sewenang-wenang. Tak heran, kelompok tersebut tak menganggap gedung kesenian sebagai satu-satunya tempat pertunjukan, namun -sebagaimana yang mereka lakukan selama beberapa hari itu- mereka juga main di halaman gereja, di depan pasar, di pantai, dan lain-lain.
Ini memang bentuk teater sebagai media pendidikan populer -sebagaimana ajaran pendidik Brazil Paulo Freire- yang melihat pendidikan sebagai hal membebaskan rakyat dari keadaan yang menindasnya. Media pendidikan bertujuan untuk mempelajari permasalahan yang ada secara bersama-sama dan membuat rakyat tidak dililit ketergantungan. Sebetulnya, hal itu diperkenalkan pertama oleh Bertolt Brech, penyair, dramawan, sutradara teater Jerman. Namun, pertunjukan tersebut baru dipentaskan seabad kemudian, tepatnya pada ‘70-an oleh Augusto Boal di Amerika Latin dalam konteks pembebasan. Boal (yang juga teman baik Freire) memelopori suatu eksperimen teater yang dimulai dengan melibatkan kaum tertindas, rakyat miskin yang tinggal di daerah kumuh, dan orang-orang jalanan. Pada Lena Simanjuntak, teater pembebasan tersebut dalam penerapan artistiknya disesuaikan dengan identitas tempat masyarakat itu berasal.
Bentuk itu banyak dikembangkan di Jogjakan pada era Teater Dinasti tahun ‘70-an. Mereka melibatkan penonton dalam pertunjukan dengan mengangkat tema keseharian yang sedang terjadi di masyarakat. Kelompok teater tersebut konsisten pada pilihan sikap kepedulian sosial dan budaya. Penulis-penulis lakonnya, antara lain, Emha Ainun Nadjib, Fajar Suharno, Gajah Abiyoso, Simon H.T., Yama Widura, dan Agus Istiyanto, di samping mereka juga mementaskan naskah karya Kuntowijoyo dan Arifin C. Noer. Setelah Dinasti, disusul Kelompok Teater Rakyat Indonesia (KTRI) dan Teater Gandrik yang melakukan pertunjukan dengan visi yang sama.
Di Indonesia, Lena Simanjuntak yang melakukan hal itu sejak 1999 dengan fokus pada perempuan terpinggirkan - mulai PSK (pekerja seks komersial), perempuan korban konflik (di Aceh dan Poso), pembantu rumah tangga, kaum buruh, hingga para pengungsi- menceritakan, tak sedikit dirinya mendapatkan cap sebagai teater pesanan LSM. Itulah memang stempel yang akan ditudingkan bagi teater jenis satu ini. Barangkali, itu merupakan sinisme yang dikembangkan oleh sistem Orde Baru. Sebab, kesenian kritis dikhawatirkan menciptakan kondisi sosial politik yang demokratis. Itulah sebabnya, kesenian yang bebas dikebiri, meski kini pengekangan relatif sudah lebih longgar.
Dalam situasi yang terasa lebih demokratis itulah, Orchide Papua Teater menyuarakan problem-problem yang dihadapi masyarakatnya dan terlebih lagi menyampaikan semangat pembebasan terhadap penindasan rakyat kecil, hak asasi manusia, keadilan, dan perdamaian. Semua pemain tampak bergairah main dari satu tempat ke tempat lain hingga melintasi lautan. Padahal, mereka adalah ibu-ibu yang meninggalkan anak dan suami di rumah, awin-awin (nenek-nenek) yang meninggalkan cucu-cucu, para pelajar yang harus izin tidak bersekolah, atau pendeta yang harus meninggalkan jemaatnya. Mereka penuh semangat melakukan kerja (baca: tugas, perjuangan) teater itu sebagaimana tebersit dalam lagu yang dinyanyikan pada akhir pementasan:
Hitam kulit keriting rambut, aku Papua…
Biar nanti langit terbelah, aku Papua…
Setiap kali lagu itu terdengar, penonton seperti tertegun. Lalu, pada akhir pementasan -mengingatkan kepada penonton di bioskop-bioskop zaman dulu- banyak di antara mereka, terutama para perempuan, yang meninggalkan ”ruangan” sambil mengusap mata sedih dan terharu. Ada sesuatu yang telah menyentuh mata batin mereka. Kalau saja pementasan itu juga banyak dihadiri para petinggi yang menjadi tujuan mereka bersuara, barangkali akan ada kisah baru di tanah Papua yang diceritakan dalam lagu, sungainya mengalirkan emas… (*)
*) Penyair, tinggal di Bumi Prayudan Magelang, pernah menerima anugerah Sastra Katulistiwa. Pada 2009 bersama suaminya, pelukis Andreas Damtoz, mendapatkan beasiswa selama empat bulan dari Yayasan Heinrich Böll di Koeln, Jerman.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar