18/08/10

Menikmati Puisi Dunia Maya

Hamberan Syahbana
http://lina-kelana.blogspot.com/

Membaca sebuah puisi berarti kita menyelami sebuah karya hasil imajinansi pengarang yang dituangkannya dalam: tatanan bunyi, baris, bait, suasana perasaan dan imaji/gambaran pengalaman, baik imaji visual [penglihatan], auditif [pendengaran], maupun imaji taktil [rasa/cecap]. Yang di dalamnya terkandung pesan moral yang ingin disampaikan penulis kepada khalayak.

Ibarat membangun sebuah rumah, maka bahan matrial pada sebuah puisi adalah diksi [pemilihan kata], rima [persamaan bunyi], Ritme [irama] yang biasa ditandai dengan adanya pengulangan kata frase bahkan kalimat, selanjutnya ada imaji [gambaran pengalaman] dan majas [gaya bahasa], bunyi, judul, tema dan amanat. Kesemuanya itu biasa disebut dengan “unsur intrinsik”

Di luar itu semua ada juga matrial lain yaitu: aspek historis, psikologis, filosofis, ekonomis, politis dan religis. Yang ini biasa disebut dengan “unsur ekstrinsik”

Kedua unsur pembangun tsb dapat menambah dan meningkatkan nilai estetika sebuah puisi, sehingga puisi itu akan lebih berasa. Tetapi bukan berarti harus menggunakan semua unsur itu. Lagi pula, umumnya orang menulis puisi hanya mengungkapkan perasaan yang ada di hati lewat puisi, tanpa mempertimbangkan teori-teori tsb.

***
Dalam catatan Menikmati Puisi Dunia Maya bagian 2 ini, tulisan ini bertujuan berbagi rasa dalam menikmati sebuah puisi. Dan saya memposisikan diri sebagai penyuka dan nikmat puisi, bukan sebagai kritikus. Sehingga fokus dalam tulisan ini adalah sebuah upaya mengungkapkan sejauh mana puisi ini dapat dinikmati.
Adapun puisi yang akan kita bicarakan ada 2 buah puisi, yaitu:

1. “Puisi Ngilu” karya Muhammad Faried dari kota Kandangan Kalimantan Selatan.
2. “Demi Masa” karya Lina Kelana dari Kota Babat Jawa Timur.
Marilah kita cermati puisi yang pertama, yaitu “Puisi Ngilu” karya Muhammad Faried berikut di bawah ini:

PUISI NGILU
Muhammad Faried

Suaramu mengalir daun-daun basah
Akal pikiranku di atas bumi gerimis

Duhai …
Mimpi manakah yang membuka peta rahasia
untuk menelaah
perih riwayat manusia?

Sedangkan kenangan tercipta
dari musim basah
dan ngilu kabut
mengapung di benak

Tipografi puisi ini sudah pas. Tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek. Sehingga mudah dibaca dinikmati dihayati dan sekaligus direnungkan. Membaca sepintas lalu puisi ini tidak menggunakan rima atau persajakan. Padahal rima itu mempunya kekuatan dalam meningkatkan rasa nuansa sebuah puisi. Di dalam puisi ini juga tidak ada pengulangan kata, frase, atau kalimat. Padahal pengulangan-pengulangan tsb. bisa menimbulkan irama atau yang biasa disebut ritme. Puisi tanpa ritme/irama akan terasa hambar, tidak ada pesona, dan tentu tidak dapat menggugah dan memukau audiens.

Tetapi, aneh? Setelah kubaca kucermati ternyata aku jadi terkesan. Aku merasa ada pesona di dalam puisi ini. Aku jadi terharu tergugah dan terpukau karenanya. Ternyata di dalam pusi ini ada rima tersembunyi, tidak nampak tapi terasa Kenapa?
Di dalam puisi ini ada rima yang tidak sempurna yaitu bunyi vocal [a] pada kata [basah], [Duhai], [rahasia], [menelaah], [manusia], [tercipta], [basah] dan kata [benak]. Satu-satunya bait yang mempunyai rima adalah bait ke 2 yaitu pada kata [rahasia] di ujung baris ke 4 bersajak dengan kata [manusia] di ujung baris ke 6 sama-sama berakhir dengan bunyi [sia]. Aku jadi ingat waktu di SMA, persajakan pada bait ke 2 ini dikenal dengan pola persajakan abcb.

Memahami “Puisi Ngilu” karya Muhammad Faried di atas, kita juga harus memahami arti dan makna kata-kata yang digunakannya. Baik arti secara tersurat maupun tersirat, secara denotatif maupun secara konotatif.

Puisi ini harus dipahami melalui proses perenungan. Karena memang puisi ini adalah puisi renungan. Kata [ngilu] secara denotatif berarti nyeri khusus untuk gigi dan tulang. Hal ini penting juga dicermati. Gigi adalah bagian terdepan dari alat pencernaan. Sedangkan tulang adalah organ tubuh yang menyebabkan tubuh bisa tegak. Bayangkan kalau gigi terasa ngilu. Tidak hanya kesulitan memotong mengerat dan mengunyah makanan, tetapi juga keseluruhan tubuh merasa sakit. Demikian pula jika tulang terasa ngilu, semua aktivitas bisa macet total.

Tetapi di dalam puisi ini sedikitpun Muhammad Farief tidak sedang membicarakan ngilu gigi dan tulang. Berarti ada “ngilu” yang lain yang sangat mengusik pikirannya. Sehingga puisi ini menjadi sangat menarik untuk dibicarakan.

Puisi ini diawali dengan kata [Suaramu]. Secara denotatif kata [suara] berarti ucapan seseorang, selanjutnya bisa berarti seruan, himbawan, suruhan, ajakan, permintaan, perintah, keputusan, yang ditujukan kepada orang perorangan, kelompok, golongan, bahkan keseluruhan manusia lainnya. Sedangkan kata [mu] adalah orang yang bersuara itu sendiri.

Selanjutnya ada kata [mengalir] dan [daun-daun basah]. Kata [suaramu] berfungsi sebagai subyek atau pokok kalimat, kata [mengalir] adalah predikat, dan obyeknya adalah [daun-daun basah]. Kata [daun-daun] bisa berarti bagian atau kumpulan orang dari suatu komunitas. Sedangkan kata [mengalir] sendiri adalah kata kerja sifatnya yang alamiyah, tenang, angun, lembut, tidak arogan. Yang dicermati oleh Muhammad Faried di kala [bumi] sedang [gerimis].

Kata [bumi] bisa berarti dirinya sendiri, bisa juga keluarga kerabat, atau lingkungan sekitar. Lebih luas lagi bisa diartikan Indonesia secara keseluruhan. Hal ini sejalan dengan sifat ambiguitas sebuah puisi. Maksudnya kata-kata dalam puisi bersifat makna ganda, karenanya bisa dimaknai dengan berbagai makna.

Sedangkan kata [gerimis] dikaitkan dengan konteks kata [ngilu] bisa berarti sedang menangis, sedang bersedih. Lalu: Siapa yang menangis? Siapa yang bersedih? Mengapa ia menangis? Mengapa ia bersedih? Jawabnya ada pada bait-bait berikutnya.

Duhai …
Mimpi manakah yang membuka peta rahasia
untuk menelaah
perih riwayat manusia?

Bait ini adalah sebuah kalimat yang disusun menggunakan majas erotesis/ kalimat tanya. Kalimat ini seutuhnya berbunyi: “Duhai, mimpi manakah yang membuka peta rahasia untuk menelaah perih riwayat manusia?” Kata-kata kunci dalam kalimat ini “ [mimpi manakah], [peta rahasia], [perih riwayat manusia] dengan kata-kata penunjang makna: [Duhai] dan [menelaah].

Kata [mimpi] biasanya dimaknai dengan keinginan, harapan, obsesi. Kata [peta rahasia] bisa bermakna lokasi atau kawasan yang perlu diungkapkan. Terutama dalam konteks [perih riwayat manusia]. Bait ini merupakan sebuah pertanyaan tentang berita-berita penderitaan sedang melanda di negeri ini.

Selanjutnya diringi dengan bait berikutnya:

Sedangkan kenangan tercipta
dari musim basah
dan ngilu kabut
mengapung di benak

Bait ini juga adalah sebuah kalimat yang berbunyi: “Sedangkan kenangan tercipta dari musim basah dan ngilu kabut mengapung di benak.” Kata-kata kunci dalam kalimat ini adalah: [kenangan tercipta], [musim basah], [ngilu kabut], [benak]. Dengan kata-kata penunjang makna: [sedangkan] dan [mengapung].

Secara sederhana kalimat ini berbicara tentang [kenangan] atau kesan duka yang timbul dari atau pada [musim basah] dan [ngilu kabut]. Kata [basah] mengingatkan kita pada air, air mengingatkan kita pada hujan, hujan mengingatkan kita pada banjir dan tanah longsor. Sedangkan kata [kabut] mengingatkan kita pada asap. Asap yang berasal dari dapur rumah tangga dan lingkungan sekitar, kendaraan bermotor, pembakaran hutan yang mengakibatkan kabut dan pencermaran lingkungan di mana-mana, sekaligus menambah masalah pemanasan global. Permasalahan itulah yang menimbulkan [ngilu] [mengapung di benak] yang membuat pusing kepala dibuatnya.

Pada skala kecil puisi ini dapat dimaknai sebagai ungkapan perasaan Muhammad Faried terhadap lingkungan sekitar. Boleh jadi itu dirinya sendiri, atau lingkungan keluarga dan kerabatnya. Lingkungan RT RW tempat di mana hidupnya terganggu. Yang kesemuanya kait berkait menjadi satu, membuat diri dan jiwanya merintih merasa ngilu.

Pada skala besar puisi ini dapat dimaknai sebagai rintihan Indonesia. Khususnya kata [Suaramu] bisa dimaknai sebagai peringatan berupa fakta: banjir, tanah longsor, gempa bumi dan bencana-bencana akibat dari pencemaran dan perusakan lingkungan yang tidak bertanggng jawab. Selain itu ada fakta lain berupa musibah demi musibah yang melanda seakan tiada henti, kemudian ada issue globle warning. Yang kesemuanya itu membuat [bumi gerimis] bumi menangis disebabkan semua perstiwa-peristiwa tsb..

***
Berikutnya marilah kita lanjutkan dengan mencermati puisi kedua, yakni puisi yang berjudul: “Demi Masa” karya Lina Kelana dari Tanah Babat Jawa Timur.
Demi Masa
Lina Kelana
Demi
masa

bumi yang menggelinding
laksana gundu yang mengejar bayang
menampik sentuhan centil sang jari mungil

Demi
masa
aku mengambil cahya mentari
ku selipkan di lipatan siangku,
malamku,
di antaraku

Demi
masa
ku hitung rakitan tulang belulang yang semakin merapuh
terasa sungguh digerogoti kuman jaman

Demi
masa
masa berdemi
: berdharma

Demi masa

Membaca judul puisi karya Lina Kelana ini, kesan pertama yang tertangkap adalah: bahwa puisi ini berbicara tentang waktu. Selanjutnya berturut-turut kita ingat: [1] ayat dalam surah Al Ashri: bahwa sesungguhmya manusia itu dalam merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, [2] kata-kata bijak orang-orang barat: The time is money, waktu adalah uang, dan [3] kata-kata bijak dalam bahasa Arab: Al waktu kasysyaif, waktu itu laksana pedang. Kesemuanya itu menggambarkan bahwa betapa pentingnya sang waktu. Dan tidak seorangpun diantara kita yang tidak terkait dengan waktu. Seperti yang terlihat dalam puisi ini bahwa sang waktu itu juga telah mengusik jiwa, pikiran dan perasaan Lina Kelana. Sehingga Lina Kelana mengganggap perlu mengungkapkannya dalam sebuah puisi.

Puisi Lina Kelana ini dibangun dan diperkaya dengan diksi atau pemilihan kata-kata berkias, penuh pesona, enak dibaca, enak didengar, memiliki nilai keindahan, mempunyai makna ambiguitas yang luas. Di samping itu puisi ini juga diperkuat dengan rima yang tertata rapi. Lihatlah pada bait berikut ini.

baris ke 3 - bumi [yang] menggelinding – [ng]
baris ke 4 - laksana gundu [yang] mengejar bayang – [ng]
baris ke 5 - menampik sentuhan centil [sang] jari mungil

Pada bait diatas terdapat kata [yang] pada baris ke 3 dan baris ke 4, dan kata [sang] pada baris ke 5 yang membentuk rima tengah. Dan pada akhir baris ke 3 ada kata [menggelinding] dan di baris ke 4 ada kata [bayang] kedua kata tsb membentuk rima tidak sempurna yang tandai dengan bunyi sengau [ng]. Pengulangan bunyi sengau [ng] tsb menghasilkan ritme atau irama yang mengalun indah menaik dan menurun. Irama ini akan terasa dengan jelas bila bait ini dibacakan dengan intonasi, penekanan kata, dan tempo.

Bait di atas, di samping dibangun dengan diksi atau pemilihan kata yang memukau, juga diperkuat dengan penggunaan majas simile: “bumi yang menggelinding [laksana] gundu yang mengejar bayang” yang di dalam majas ini juga ada majas personifikasi: gundu yang [mengejar] bayang.

Secara denotatif yang dimaksud dengan [bumi] disini memang benar-benar bumi, yang menggelinding laksana gundu yang mengejar bayang. Maksudnya bumi yang berputar pada porosnya pada pergantian siang dan malam. Yang menampik sentuhan centil sang jari mungil. Pemilihan kata dan penggunaan majas simile “laksana gundu yang mengejar bayang” membuat bait ini jadi sangat menarik untuk dicermati.

Pada skala kecil [bumi yang menggelinding] bisa bermakna diri pribadi Lina sendiri [laksana gundu yang mengejar bayang]. Kata [bayang] bisa berarti suatu keinginan. Keinginan itu bisa berarti orang yang dicintanya, atau sesuatu yang dicita-citakannya, sekurang-kurangnya sesuatu yang diangan-angankannya. Sayangnya ia hanya mengejar bayang tanpa mempertimbangkan [sentuhan centil sang jari mungil]. Bayang yang dikejarnya hanya bisa dilihat tetapi tidak bisa diraba apalagi ditangkap.

Pada skala besar [bumi yang menggelinding] bisa berarti suatu kehidupan yang terus berjalan, atau kehidupan bangsa yang berjuang mengejar keberhasilan semu. Menampik sentuhan centil sang jari mungil, maksudnya: tanpa mempertimbangkan usul dan saran dan pendapat serta suara-suara dari orang-orang lain yang fianggap kecil.

Kesan pertama yang tertangkap pada bait ini adalah suatu “kesia-siaan.” Mana mungkin gundu itu dapat mengejar bayangannya sendiri? Karena bayang itu semakin dikejar semakin menjauh. Karena bayang itu adalah sesuatu yang hanya dapat dilihat, tidak dapat dipegang. Kita boleh saja berjuang mengejar kehidupan yang lebih layak, tetapi tentunya harus lebih bijaksana dengan perhitungan dan pertimbangan yang matang. Bukan malah sebaliknya menampik sentuhan centil sang jari mungil. Sekecil apapun saran dan arahan dari orang lain dapat dijadikan bahan pertimbangan yang berguna.

Berikutnya mari kita cermati rima pada bait berikut ini:

baris ke 6 - Demi
baris ke 7 - masa
baris ke 8 - aku mengambil cahaya mentari
baris ke 9 - ku selipkan di lipatan siangku,
baris ke 10 - malamku,
baris ke 11 - di antaraku

Pada bait di atas jelas terlihat ada rima pengulangan bunyi pada kata [siangku] di baris ke 9, kata [malamku] di baris ke 10, dan kata [antaraku] di baris ke 11 yang semuanya berakhir dengan bunyi [ku]. Dan pada kata [demi] di baris ke 6 dan kata [mentari] di baris ke 7 terdapat rima tidak sempurna yaitu persajakan bunyi [mi] dan [ri]. Pada baris ke 9 terdapat majas pengulangan bunyi vocal [i]. Secara teknis bait ini menjadi lebih berasa dengan adanya irama yang dihasilkan dari pengulangan-pengulangan bunyi tsb.

Bait ini dibangun dan diperkuat dengan pengulangan kata [demi masa], dan juga dibagun dengan diksi ungkapan kata berkias yang memukau: [mengambil cahaya mentari], [ku selipkan di lipatan siangku], [malamku], dan [diantaraku]. Kata [cahaya mentari] bisa berarti suatu harapan atau keinginan. Harapan di sini bisa berarti apa saja, tergantung dari sisi mana dan sudut pandang siapa yang mengharapkannya. Mengambil cahaya mentari bisa berarti mewujudkan harapan atau keinginan menjadi kenyataan. Yang diselipkan atau ditaruh disimpan di lipatan siang, lipatan malam, dan diantara aku dan lipatan-lipatan tsb. Kata di[selipkan di lipatan] mengingatkan kita pada kebiasaan menyimpan uang, surat rahasia, surat berharga, perhiasan dll di lipatan pakaian dalam lemari.

Pesan yang dapat kita tangkap pada bait ini adalah: sebuah peringatan agar kita harus dapat menggunakan waktu untuk mewujudkan harapan, keinginan, dan sesuatu yang kita cita-citakan.
Selanjutnya marilah kita cermati bait berikutnya:

baris ke 12 - Demi
baris ke 13 - masa
baris ke 14 - ku hitung rakitan tulang belulang yang semakin merapuh
baris ke 15 - terasa sungguh digerogoti kuman jaman

Pada bait ini nampaknya Lina Kelana tidak menggunaan rima di akhir baris dan tidak juga di awal baris. Tetapi ia bermain dengan rima yang tersembunyi di dalam kalimat yang biasa disebut asonansi dan aliterasi. Lihatlah pada baris ke 14: “ku hitung rakitan tulang belulang yang semakin merapuh” terdapat rima asonansi persajakan bunyi vocal [u] pada kata [ku], [hitung], [tulang belulang], [merapuh]. Sedangkan pada kata [hitung], kata [rakitan], dan kata [semakin] ada persajakan bunyi vokal [i]. dan pada kata [hitung], [tulang], [belulang], dan kata [yang] ada persajakan bunyi sengau [ng]. Bukan itu saja di sini juga ada rima aliterasi bunyi konsonan [t] pada kata [hitung], kata [rakitan], kata [tulang]. Dan pada baris ke 15 ada aliterasi bunyi [t] pada kata [terasa] dan [digerogoti], serta pengulangan bunyi [man] pada kata [kuman] dan [jaman]. Sehingga pengulangan bunyi itu menjadi ritme atau irama yang memperkuat bait ini.

Bait ini dibangun dan diperkuat kembali dengan pengulangan kata [demi masa], dan juga dibagun dengan diksi ungkapan kata berkias yang memukau: pada baris ke 14 ada kata [rakitan tulang belulang] dan [semakin merapuh], pada baris ke 15 ada frase [terasa sungguh] dan [digerogoti kuman jaman].

Pada skala kecil kata [rakitan tulang belulang] itu benar-benar susunan tulang atau kerangka tubuh manusia yang [semakin merapuh] karena [digerogoti] oleh [kuman jaman]. Hal ini sesuai dengan kondisi seiring dengan usia yang semakin menua. Pada skala lain ini bisa dikiaskan dengan kehidupan. Kehidupan tsb bisa berarti kehidupan penulisnya sendiri. Atau sesuatu yang lain yang menarik dan perlu diungkapkan dalam sebuah puisi. Kesan yang tertangkap dalam bait ini adalah: sebuah pesan moral yang mengingatkan kita bahwa seiring dengan berlalunya waktu, sesuatu yang dulunya tegar, kuat, kini sudah mulai rapuh, sudah mulai uzur, sudah sepuh, yang pada gilirannya nanti pasti akan berakhir.

Selanjutnya marilah pula kita cermati bait terakhir berikut ni.
baris ke 16 - Demi
baris ke 17 - masa
baris ke 18 - masa berdemi
baris ke 19 -: berdharma
baris ke 20 - Demi masa

Puisi ini diakhiri dengan rima konvensional dengan pola abab. Pada baris ke 16 kata [Demi] bersajak dengan kata [berdemi] di baris ke 18, sama-sama diakhiri dengan bunyi [mi]. Dan pada kata [masa] di baris ke 17 ada rima tidak sempurna bersajak dengan kata [berdharma] di baris ke 19, keduanya sama-sama diakhiri dengan bunyi vocal [a].

Pada bait ini bukan hanya ada rima atau persajakan, tetapi juga ada ritme atau irama yang kuat terasa alunannya. Irama itu terjadi karena ada pengulangan bunyi sengau [m] yang berulang-ulang di setiap kata pada bait tsb.

Akhirnya Lina Kelana mengakhiri puisi ini dengan permainan diksi [demi], [masa], dan [dharma] dengan pesan moral yang jelas yaitu: gunakanlah waktu demi waktu yang ada dengan hal-hal yang berguna [berdharma], baik bagi diri kita sendiri maupun bagi sesame, dan lebih luas lagi bagi Indonsia tercinta.

Banjarmasin, 28 Mei 2010

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita