Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Ketika Sutardji Calzoum Bachri (SCB) memproklamasikan Kredo Puisinya: “membebaskan kata dari beban makna, menghancurkan penjajahan gramatika, dan mengembalikan kata pada awalnya, pada mantera” dan coba mengimplementasikan sikap kepenyairannya itu dalam karya, jagat sastra Indonesia–khasnya puisi— seketika seperti dilanda kegandrungan eksperimentasi. Semangat kembali pada tradisi dan kultur etnik –yang dirumuskan Abdul Hadi WM sebagai kembali ke akar kembali ke sumber— laksana memasuki zaman aufklarung: menyebarkan pencerahan betapa sesungguhnya Nusantara punya warisan kultur agung.
Kumpulan puisi Sutardji Calzoum Bachri, O, Amuk, Kapak (1973) yang sarat mantera seperti saklar yang mengingatkan sastrawan—penyair pada corak keindonesiaan yang menjelma dengan semangat dan elan baru. Bukankah keindonesiaan terbentuk melalui perjalanan panjang dan rumit proses akulturasi dan inkulturasi etnisitas berhadapan dengan kebudayaan Hindu, Buddha, Islam, dan belakangan Barat? Di sana kultur etnik menjadi akar dengan tradisi sebagai sumber wawasan estetiknya. Kembali ke kultur etnik, kembali ke tradisi, itulah gerakan estetik yang diusung sastrawan tahun 1970-an.
Sutardji Calzoum Bachri dan sastrawan seangkatannya memahami tradisi tidak lagi sebagai sesuatu yang statis, selesai, dan dilupakan yang dikatakan oleh generasi Surat Kepercayaan Gelanggang dengan “… kami tidak ingat kepada me-laplap hasil kebudayaan lama sampai ber-kilat dan untuk dibanggakan….” Tradisi bagi sastrawan Angkatan 70-an ini ditempatkan sebagai sesuatu yang dinamis, elastis, terus hidup dan dihidupi masyarakatnya. Maka, ia harus selalu berada dalam semangat melakukan tafsir ulang sesuai dengan keperluan masa kini. Dikatakan Abdul Hadi, tradisi bukan sekadar produk sejarah, melainkan juga sebagai sistem pengetahuan holistik yang berkaitan dengan kehadiran rahasia Yang Transenden dalam kehidupan. Dengan semangat itulah, SCB memperlakukan tradisi Melayu yang melahirkan dan membesarkannya sebagai sumber wawasan estetiknya. Ia menjadi alat kesadaran untuk berbuat—mengungkap-mengucap.
Salah satu sarana untuk mengungkap-mengucap itu adalah puisi. Dan SCB memahami benar, bahwa puisi bermain dalam tataran bahasa dengan kata sebagai intinya. Maka, ia meneroka hakikat kepenyairannya dalam cengkeraman kegelisahan yang hidup yang pencariannya tidak sekadar mencipta ilham atau mengolah kata sebagaimana yang dilakukan Chairil Anwar. Puisi bukan sekadar menghidupkan kembali bahasa yang sudah usang (arkaik) menjadi lebih segar sebagaimana yang dilakukan Amir Hamzah. Juga tidak sebatas memanfaatkan bahasa sehari-hari sebagai alat ucap yang penuh vitalitas, seperti yang diperlihatkan Chairil Anwar.
Bagi SCB, tugas penyair adalah melakukan penjelajahan, menukik—mengorek sampai ke inti kata. Mencipta kata dan membiarkan menemukan maknanya sendiri. Di sinilah, pesan spiritualitas SCB mengembalikan kata pada mantera akan menyesatkan jika ditafsirkan secara letterlijk, harafiah! Pesan spiritualitasnya mesti dimaknai lebih jauh sebagai salah satu upaya mengembalikan rahasia yang transenden sebagai ruh puisi. Maka, puisi bukan semata-mata deretan kata-kata yang membangun makna sintaksis—semantis, melainkan kata yang dapat memancarkan sihir, ritme yang membangun sugesti, dan ekspresi yang dapat menghidupkan saklar imajinasi, inspiring untuk membawa pembaca—pendengarnya menerbangkan asosiasinya ke wilayah pengalaman spiritualitas masing-masing. Puisi harus menyimpan kekuatan magis yang membetot pembaca—pendengarnya ke dalam wilayah transendensi yang mahaluas, tak terbatas ruang dan waktu.
Di situlah SCB berhasil melampaui vitalitas Chairil Anwar dan generasi Surat Kepercayaan Gelanggang yang minta-minta warisan dari kebudayaan dunia. SCB tidak mendurhaka pada Mak Budayanya (Melayu), sekaligus juga tidak bermaksud me-laplap sampai berkilat. Ia membangun wawasan estetiknya dari usaha menafsir ulang tradisi dan sekaligus menghidupinya kembali. Itulah yang dikatakannya sebagai upaya melupa dan mengingat. Dengan begitu, karya-karya SCB laksana simbol perlawanan—pemberontakan estetik pada mitos Chairil Anwar dan sekalian membongkar stagnasi makna metafisik Amir Hamzah, bahkan juga Hamzah Fansuri. Tetapi, ia juga mengenang kembali semangat transendensi sufistik. Begitulah, SCB sesungguhnya coba melupa mantera dan mengingat sihirnya. Ia menghapus pantun dan menorehkan spontanitas sampirannya. Ia juga coba menenggelamkan pencarian dan kerinduan sufistik dan memancarkan semangat spiritualitasnya, penemuannya, dan ekspresi kreatifnya.
***
Harus diakui, pada dasawarsa 1950-an, Ajip Rosidi coba menawarkan kultur keindonesiaan sebagai lahan garapan sastrawan yang kemudian memunculkan begitu banyak kosa-kata bahasa daerah. Tetapi pengucapannya belum lepas dari pengaruh Chairil Anwar dan sastrawan seangkatannya. Seperti Mohammad Yamin yang memperkenalkan tubuh soneta dalam jiwa pantun. Bentuk luar dan kemasannya seolah-olah baru, meskipun isinya belum beranjak dari cengkeraman jiwa yang lama.
Itulah salah satu yang menjadikan akar (kultur ibu—Mak Budaya) dan sumber (tradisi) yang dihidupkan kembali dalam puisi-puisi SCB membawa penyadaran atas keberlimpahan kultur keindonesiaan yang sesungguhnya. Heterogenitas yang sudah mengada sejak lahirnya, bahkan juga sejak dalam kandungan. Di situlah kultur etnik seketika terangkat menjadi kesadaran akan kekayaan kultural. Tradisi serempak jadi bahan pencarian. Tipografi diperlakukan sebagai asesori penting. Kata-kata—bahasa tidak sekadar alat permainan dan sekaligus ukuran kualitas kesastrawanan, melainkan coba didekonstruksi dan dimaknai kembali secara bebas sesuai tuntutan jiwa puisi itu sendiri. Dan manakala SCB harus mempertanggungjawabkan ekspresi puitiknya di depan publik dalam sebuah pementasan, puisi serta-merta menjadi pentas bergengsi. Pembacaan puisi bergerak, membentuk pementasan artistik yang bermartabat. Pembacaan puisi menjadi pagelaran produk budaya yang asyik ditonton!
Dalam pentas dunia, sastra Indonesia kini tak lagi sebagai warga sastra dunia, melainkan menjelma bagian dari sastra dunia itu sendiri. Maka, ketika para pengamat sastra Indonesia –dalam dan luar negeri—secara seksama mencermati karya-karya SCB berikut kiprah kesastrawanannya selama hampir empat dasawarsa ini (Periksa esai-esai dalam buku Raja Mantra Presiden Penyair, Jakarta: Yayasan Panggung Melayu, 2007), Chairil Anwar dan penyair berikutnya mendadak surut ke belakang. Berada dalam cengkeraman ngiau.
***
Popo Iskandar mengungkapkan, bahwa eksplorasi SCB lebih mendalam dibandingkan Chairil Anwar. Konteks pernyataan itu tentu saja bukan pada perbedaan zaman, melainkan pada usaha melakukan penggalian pada hakikat kata, mengorek sampai ke inti kata yang kelak bakal menjadi ruh, jiwa, dan tubuh puisi. Itulah semangat penyair yang hidup. Ia bukan penulis puisi yang cukup menderetkan kata-kata yang membangun rangkaian makna. Penyair adalah pencipta dunia lewat kata-kata. Ia juga seorang pesulap, pawang kata-kata yang piawai menyimpan filosofi seninya, estetika, wawasan, elan, bahkan ideologinya tentang kesenian, kemanusiaan, dan kehidupan. “Ia adalah ruh, semangat, mimpi, obsesi, dan igauan dan kelakar batin yang menjasad dalam bunyi yang diucapkan dan sering dituliskan dalam kata-kata…” begitulah ucap SCB.
Berbagai tanggapan kemudian bermunculan, tetapi tidak ada yang coba membandingkan reputasi dan kebesaran SCB dengan Chairil Anwar. Bahkan A. Teeuw dan Umar Junus, menyebutkan puisi SCB, seperti POT atau SHANG HAI dan beberapa puisi SCB lainnya yang semodel dengan itu sebagai tak ada artinya. Meski begitu, dalam esainya “Terikat pada Pembebasan Kata” (Tergantung pada Kata, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980) A. Teeuw, menyatakan, “… saya tidak menyangkal pula kekuatan dan keorisinalan pendekatan puisi Sutardji. Dialah yang paling radikal dan berani merombak sistem bahasa dalam perontaannya untuk mencari jejak Tuhan….” Dalam esai itu juga, A. Teeuw menegaskan, bahwa SCB berhasil mencipta sendiri makna kata-kata yang digunakannya di luar konvensi bahasa yang berlaku. Sejumlah penyair senior juga tiba-tiba seperti mengalami sindrom buah apel, yaitu ketika seorang melabeli anggur yang menggantung di atas kepalanya sebagai masam, karena ia tidak sanggup meraihnya.
***
Sesungguhnya, sejauh manakah capaian estetik SCB? Relevankah kita mambandingkan monumen yang telah ditancapkan Chairil Anwar atau para penyair lainnya dengan monumen (: capaian estetik) SCB? Jika Dami N. Toda (“SCB: Datu Teknik Perpuisian Indonesia Modern: Studi Bentuk Diksi Puitik O, Amuk, Kapak, 1981”) menempatkan Chairil Anwar sebagai mata kanan dan SCB sebagai mata kiri sastra Indonesia, maka saya –setelah coba mendalami ceruk kedalaman puisi-puisi SCB, coba menangkap makna di balik kesederhanaan dan kelincahpiawaian naratif cerpen-cerpennya, mencermati pandangan kritis para pengamat sastra Indonesia tentang Sutardji Calzoum Bachri dan terhanyut saat menjelajahi filsafat seninya dalam Isyarat (2007), rasanya saya harus berkesimpulan: Sutardji Calzoum Bachri lebih besar dari Chairil Anwar!
*) Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar