17/12/08

Pertunjukan ZERO

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

ZeroERLIS:Saya, bu Melani, dan Pak Sapardi sedang menyusun sebuah penelitian mengenai teater eksperimental, saya diminta untuk membaca dan memahami naskah-naskah drama eksperimental.

Saya sudah menonton teater Zero di Cd, saya tidak terlalu puas karena saya tidak dapat merasakan totalitas sebuah pertunjukan teater. Suasana magis yang dicoba dibangunkan lewat pertunjukan tersebut.

Saya membayangkan kalau saya benar-benar ada di arena saya mungkin akan mencium bau dupa atau apa pun bentuk bau lainnya yang membawa kita semua, penonton, ke suasana magis, apakah itu benar?

Saya dulu sekitar tahun 1970-an, saat saya masih di sekolah, SMP dan SMA, pernah beberapa kali menonton teater pak Arifin C. Noer, “Kapai-Kapai” dan “Tengul”, sayang memang saya tidak sempat menonton “Aduh” dan “Lho”, maklum masih anak sekolah.

PW: Menonton langsung dan menonton rekaman pertunjukan memang berbeda sekali. Ketika menonton langsung memang benar bukan tontonan itu, saja yang tertangkap tetapi juga suasana dalam pertunjukan. Enersi dari penonton lain juga ikut menggetarkan saraf-saraf.Sementara rekaman kamera sudah amat dipengarugi oleh potensi kamera itu ( yang kepekaannya beda dengan mata telanjang) juga oleh “selera” juru kameranya. Jadi rekaman seperti juga terjemahan puisi bisa lebih bagus atau lebih buruk dari aslinya.Namun minimal dari sebuah rekaman akan dapat dilihat ide-ide yang mungkin akan terlewatkan dalam pertunjukan langsung, karena rekaman dapat dilihat berkali-kali. Jadi rekaman mesti dilihat berkali-kali dan didiskusikan.

ERLIS:Menonton Zero sedikit mengingatkan saya pada suasana itu, tetapi jauh berbeda. Saya pernah membaca tulisan Goenawan mengenai Teater Indonesia Mutakhir: Sebuah Catatan.Di dalam tulisan itu disebutkan bahwa teater Mutakhir konsepnya adalah sebuah teater puisi, teater puisi yang sesungguhnya, karena semuanya berawal dari sebuah pengalaman berteater, seperti yang saya baca dari artikel-artikel mengenai pertunjukan “Lho” di tahun 1970-an yang semuanya berawal dari sebuah pengalaman “latihan mengolah tubuh”.Apabila “Lho” merupakan sebuah hasil pengalaman berteater Pak Putu di tahun 1970-an, bagaimana proses terjadinya “Zero”, apa perkembangannya dari “Lho”, saya melihat kalau dulu mungkin baru sampai pada tahap pengolahan tubuh, tetapi untuk tahun 2004 pak Putu sudah sampai pada tahap pengolahan warna, bentuk panggung, dan suara yang lebih optimal. PW: LHO saya buat pada tahun 1975, ketika baru pulang dari International; Writing Program di Iowa dan kemudian singgah main di Festival Nancy. Tidak didasari oleh konsep atau keinginan apa pun.Hanya latihan saja tanpa target. Kami lakukan setiap malam, sesudah TIM sepi dan tidak ada kegiatan.

Pesertanya siapa saja. Mereka tidak diundang, tapi bergabung semdiri. Kebanyakan para mahasiswa teater LPKJ (sekarang IKJ) yang waktu itu banyak tidur di kampus yang kerika itu belum dibangun gedung seperti sekarang.Pelukis Nashar tertaruk oleh latihan kami. Dia terus nongkrongin kami dan akhirnya ikut terlibar dalam proses kami. Kami berelatih merespon benda-beneda yang ada di sekitar kamui. Misalnya gerobak samaph, roda pedati, boneka, bambu, topeng. Perlahan-lahan muncul bentuk-bentuk.

Akhirnya setelah 4 buklan berlatih muncul keinginan untuk mementaskan hasil latihan itu di teater Arena TIM. Selama 3 hari pertunjukan dengan dukungan musik oleh Kompyang Raka juga ditambah dengan kehadiran Wayan Diya, pertunjukan berlangusng 3 hari dan padat pengunjung.

Di akhir pertunjukan saya minta penonton keluar, karena pertunjukan akan duilanjutkan di plaza. Kemudian saya minta siapa saja yang bersedia, naik ke gerobak dengan telanjang bulat. Kemudian gerobak ditarik ke kolam. Orang-orang telanjang itu dibuang ke kolam seperti sampah.

Sementara di kolah yang lain, beberapa orang jongkok dengan pakai sarung, seperti kebiasaan orang berak di kali, sambil bicara masalah-masalah politik.

Sesudah LHO saya meneruskan dengan pementasan ENTAH dan NOL, keduanya juga tanpa memakai kata-kata. Tetapi penontonnya susut dan pada NOL nyaris habis. Setelah itu saya memutuskan untuk berhenti, karena merasa penonton memetrlukan cerita dan kata-kata.

Pada 1991, dalam rangka KIAS, pameran kebudayaan Indonesia di Amerika selama setahun penbuh, Teater Mandiri mementaskan pertunjukan di 4 kota Amerika. Waktu itu saya memutuskan untuk kembali kepada LHO dan membawa pertunjukan tanpa kata dan tanpa cerita. Kami mementaskan YEL dengan musik Harry Roesly dan mendapat sambutan bagus sekali.

Pulang dari KIAS saya mulai menekuni pertunjukan tanpa kata-kata itu. Dengan memakai layar besar (15 X 9 meter) saya memainkan bayangan-bayangan, karena tergugah oleh bayangan di air yang tertiup angin.

Dengan melalukan distorsi pada bentuk, muncul sensasi yang fantastis dan mengagetkan. Teater Mandiri kemudian mementaskan YEl II, BOR, NGEH (Art Summit 2).

Pada thn 2000 untuk pertama kalinya kami memainkan naskah orang lain (Kuo Pao Kun dari Singapura: The Coffin is too Big for the Hole) dalam festival di Tokyo.

Atras izin Pao Kun, kami memainkan naskah itu secara visual. Pada 2001 Festival Asia Meets Asia di Jepang, mengundang Mandiri dan Mandiri datang dengan mementaskan WAR.

Ide War adalah kenyataan bahwa dengan dalih mengejar perdamaian, manusia menempuh jalan yang berbeda-beda bahkan bertentangan, sehingga bukan perdamaian yang tercipta tetapi perang.

Pada 2003 Asia Meets Asia berlangusng di Taipe, kembali kami diundang. Saya meneruskan obsessi saya tentang perang. Kalau dalam WAR kami menontonkan bagaimana perdamaian membawa orang untuk berperang, lalu timbul pertanyaan, bagaimana sesungguhnya jalan terbaik untuk sampai pada damai.

Waktu itu saya pikir, sesuai dengan konteks Indonesia yang carut-marut karen reformasi, untuk menghentikan perang, semua orang harus kembali kem zone ZERO. Kita harus sama-sama nol, kosong. Barangkali dengan cara itu baru kitra bisa melangkah bersama-sama.

Dari Taipeh dikabarkan bahwa kami akan main dalam tenda sirkus dengan areal panggung yang relative sempit. Karena tak mungkion menggantung layar lagi, layar kami lepas, dan kami main di dalam layar, sehingga idiom bayangf tetap bisa terpakai.

Walhasil, sebenarnya kami tidak pernah melakukan eksperimen. Semua langkah kami adalah jawaban dari situasi yang ada. ZERO pun adalah sebuah jawaban dari tempat, waktu dan situasi ( dalam pemahaman orang Bali disebut : Desa-Kala-Patra)

Khusus untuk musik. Dalam bekerjasama dengan Harry Roesly, yang sering ter4jadi adalah jam session. Harry membaca gambar-gambar di lantai pentas sebagai partitur dan menciptakan musiknya.

Kami sendiri mencoba merespons musik itu sambil mengusung bentuk-bentuk yang sudah kami rencanakan. Jadi pertunjukan bisa berubah setiap saat. Dalam ZERO, karena orang yang bisa dibawa ke Taipeh terbatas, kami terpaksa hanya membawa rekaman musik Harry.

Mas Roedjito juga tidak dibawa karena sudah tak ada. Itulah awalnya kami bermain tanpa Harry dan DKSB. Sesudah ZERO, kami masih sempat main ZOOM dengan HARRY. Tapi setelah itu Harry meninggal dan saya merasa ZERO seperti semacam persiapan bekerja tanpa Harry dan tanpa Roedjito

LHO, ENTAH dan NOL, saya masih ditemani oleh Kompyang raka dengan musik Bali. Target saya masih hanya penonton di Jakarta. ZERO saya ditemani oleh musik Harry Roesly yang memanfaatkan unsur Sunda, Bali dan musik digital. Targetnya sudah mencakup penonton asing (bukan hanya Indonesia)

ERLIS: Saya menonton “Zero” saya merasa dibawa ke suasana sedih, saya seperti melihat sebuah pertarungan untuk menghadapi kelahiran. Bagaimana pergulatan janin untuk “menjadi”.Munculnya seorang Taiwan di awal pertunjukan membuat suasana menjadi magis karena suara yang dikeluarkannya dalam bahasa Taiwan atau bukan saya tidak tahu membawa kita ke dunia antah berantah, tapi saya ingat suasana “mungkin” ya Pak suasana pemujaan di dalam agama Hindu atau Budha, itu bayangan saya.

Kemudian muncul warna-warna dan bentuk-bentuk tak jelas, yang jelas justru kesan sebuah “pergulatan”. bayangan seorang perempuan muncul dengan mungkin liang rahim. kain-kain transparan yang menutupi membawa pada suasana atau mengingatkan pada bayangan plasenta.

Sebagai seorang ibu saya dapat merasakan dan mengingat kembali bagaimana perjuangan seorang ibu saat melahirkan. Benar pak, saya menjadi teringat kembali saat-saat melahirkan, bayangan itu sudah agak kabur bagi saya karena saya sudah melampaui saat-saat itu enam tahun yang lalu, anak saya terkecil umur 6 tahun, tetapi saat-saat itu tidak terlupakan bagi seorang ibu pak, nah, saya rasakan selanjutnya adalah rasa ketakutan dan rasa kesakitan yang mendalam dari seorang janin yang akan menghadapi dunia yang carut marut, secara fisik saja seorang janin sudah harus berjuang, apalagi secara moral.

Itu yang saya rasakan Pak, saya “merasakan” pak, bukan “memahami” atau “menonton” kalau saya sekadar “menonton” mungkin saya tidak akan mendapatkan apa pun dari apa yang dipertunjukkan, hanya saja sayang sekali yang dapat saya rasakan itu tidak terlalu optimal karena saya tidak hadir secara langsung saat pertunjukan.

PW: Orang Taiwan yang ada dalam rekaman Zero itu adalah Mr. Chung, sutradara dan aktor terkenal di Taipeh. Ia menjadi tuan rumah saya di Taipe dan sengaja datang untuk ikut main.

Dia memberi komentar pada Teater Mandii sebagai People Theatre – teater orang kebanyakan, sebab kami memang tidak “memulyakan” aktor. Semua orang yang bukan aktor bisa/boleh ikut main.

Apa yang dilakukan Chung dalam ZERO adalah keterlibatan yang l;ebih banyak improvisasinya. Saya hanya memberikan sedikit arahan, sesudah itu terserah dia. Kami memang biasa berjalan seperti itu, meneror dan sekalian diteror.

Apa yang tertangkap dan terasa oleh Erlis ketika melihat rekaman ZERO tidak harus dicari pembenarannya pada orang lain atau pada saya atau pada Teater Mandiri. Setiap latar belakang memang akan memiliki reaksi atau penagkapan masing-masing pada imij-imij liar yang kami lemparkan.

Itu menjadi bagian dari kekayaan pementasan itu sendiri. Penonton ikut mencipta. Dan saya ikut menonton apa yang diterima setiap penontin tatkala menonton. Kebenaran dengan demikian jadi bertumpuk dan berlapis-lapis.

ERLIS:Pak, boleh saya bertanya mungkin seorang penonton dapat menafsirkan apa pun mengenai apa yang Bapak pertunjukan, tetapi mungkin Bapak dapat bercerita mengenai bagaimana melakukan pertunjukan tersebut, apa yang membawa Bapak ke sebuah pertunjukan yang demikian, saya menonton dengan seorang Bali, kami berdiskusi apa yang menjadi dasar pertunjukan ini, ternyata di dalamnya ada banyak sekali dasar, Pak Putu tidak saja mendasarkan diri pada budaya Bali, karena teman saya yang orang Bali itu tidak dapat mengenali dengan baik budaya Bali yang “mungkin” muncul dalam pertunjukan tersebut.Saya justru menemukan suara-suara seperti gamelan Jawa dan teman saya yang orang Sunda seperti mendengar suling Sunda. saya jadi curiga bahwa apa yang dipertunjukkan sudah bersifat minimal mengindonesia, kita singkirkan dulu orang Taiwan, kalau dihitung mungkin sudah juga menginternasional.

Pak Putu yang hidup di Jakarta dan bergaul dengan berbagai macam orang membaca berbagai hal, mungkin menjadikan pertunjukan ini menjadi semakin kaya.

PW: Saya orang Bali. Orang tua saya Bali dan saya lahir di Bali dan besar di Bali sajmpai tamat SMA. Tapi seluruh hidup saya lebih banyak di luat Bali. Bila diukurkan dengan orang Bali yang lain, saya mungkin orang Bali yang sudah terkontaminasi. Orang Bali yang sudah salah format.Orang Bali yang sudah eror. Orang Bali yang sudah murtad. Tetapi dengan semua itu, saya jadi memiliki jarak dengan Bali, sehingga saya berpikir tidak sebagaimana orang Bali umumnya. Bali yang Anda lihat dalam garapan saya bukan hanya teater, juga sastra, sudah lain.

Jadi kalau ada orang Bali yang tidak mengenal saya, itu wajar sekali. Namun saya percaya, apa pun saya sekarang, bahkan tidak mengaku pun, saya tetap saja orang Bali. Saya sudah terkutuk sebagai Bali, sehingga walau memakai jean dan makan McDonald dan “bergaya” seperti orang jajasahan jawa dan SUnda (istri saya duklu jawa, sekarang Sunda) saya tetap otang Bali, saya sudah dikutuk jadi orang Balim dan tidak bisa lain lagi.

Dengan berpikir seperti itu, saya selalu bebas dalam bekerja, sama sekali tidak ada keingionan untuk membali-balikan diri.

ERLIS: Satu hal lagi suara angin yang terus menerus mengikuti selama pertunjukan memberi kesan suasana genting.Boleh saya bertanya mengenai konsep reinkarnasi dalam proses “penjadian” manusia dalam budaya Bali yang mungkin menjadi dasar pertunjukan ini. dengan konsep ini sang janin (dalam konsep reinkarnasi yang saya pahami) yang sudah pernah ada di dunia, tentunya akan mengalami banyak sekali ketakutan untuk “hadir” kembali ke dunia.

Pergulatan fisik dan moral pasti akan terjadi, apakah ini yang menjadi konsep dasar pertunjukan ini, atau mungkin yang lain, apa pun sebenarnya tidak menjadi soal, menurut saya hadir di pertunjukan Zero adalah menyediakan diri untuk mendapatkan efek-efek kreativitas seni yang seutuhnya.

PW: Saya suka pada reinterpretasi dan reposisi. Reinkarnasi, tidak harus terjadi dengan kematian terlebih dahulu. Bagi saya pergantian hari, bahkan helaan nafas adalah ptoses bernafas adalah miniature dari reinkarnasi.Kita bisa lahir kembali setiap saat, belajar kembali, mulai dari nol kembali, asal saja kita bersedia dan bertekad untuk layhir kembali setiap saat. Saya memnganggap desa-kala-patra juga semacap fotmula yang menyebabkan manusia bis berreinkarnasi seriap saat asal mau dan bertekad.

Dan itu memang sakit. Karena itu berarti meruntuhkann, menendang, membalik semua yang sudah ada menjadi nol kembali dan baru.

ERLIS: Maaf Pak Putu terlalu panjang ya, mudah-mudahan tidak bosan.Saya akhiri dulu Pak, terima kasih sekali. PW: Saya sengaja menjawab panjang lebar, sebab saya juga ingin mendokumentasikan tanya-jawab ini, bagi beberapa orang, siapa saja yang ingin tahu lebih jauh tentang perjalanan Teater mandiri.Seorang mahasiswi IKJ misalnya kiemaren datang dan menyatakan keingihnannya untuk membuat skripsi tentang gaya pementasan Teater Mandiri sesudah tahun 2000, khusunya ZOOM dan ZERO.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita