Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/
ZeroERLIS:Saya, bu Melani, dan Pak Sapardi sedang menyusun sebuah penelitian mengenai teater eksperimental, saya diminta untuk membaca dan memahami naskah-naskah drama eksperimental.
Saya sudah menonton teater Zero di Cd, saya tidak terlalu puas karena saya tidak dapat merasakan totalitas sebuah pertunjukan teater. Suasana magis yang dicoba dibangunkan lewat pertunjukan tersebut.
Saya membayangkan kalau saya benar-benar ada di arena saya mungkin akan mencium bau dupa atau apa pun bentuk bau lainnya yang membawa kita semua, penonton, ke suasana magis, apakah itu benar?
Saya dulu sekitar tahun 1970-an, saat saya masih di sekolah, SMP dan SMA, pernah beberapa kali menonton teater pak Arifin C. Noer, “Kapai-Kapai” dan “Tengul”, sayang memang saya tidak sempat menonton “Aduh” dan “Lho”, maklum masih anak sekolah.
PW: Menonton langsung dan menonton rekaman pertunjukan memang berbeda sekali. Ketika menonton langsung memang benar bukan tontonan itu, saja yang tertangkap tetapi juga suasana dalam pertunjukan. Enersi dari penonton lain juga ikut menggetarkan saraf-saraf.Sementara rekaman kamera sudah amat dipengarugi oleh potensi kamera itu ( yang kepekaannya beda dengan mata telanjang) juga oleh “selera” juru kameranya. Jadi rekaman seperti juga terjemahan puisi bisa lebih bagus atau lebih buruk dari aslinya.Namun minimal dari sebuah rekaman akan dapat dilihat ide-ide yang mungkin akan terlewatkan dalam pertunjukan langsung, karena rekaman dapat dilihat berkali-kali. Jadi rekaman mesti dilihat berkali-kali dan didiskusikan.
ERLIS:Menonton Zero sedikit mengingatkan saya pada suasana itu, tetapi jauh berbeda. Saya pernah membaca tulisan Goenawan mengenai Teater Indonesia Mutakhir: Sebuah Catatan.Di dalam tulisan itu disebutkan bahwa teater Mutakhir konsepnya adalah sebuah teater puisi, teater puisi yang sesungguhnya, karena semuanya berawal dari sebuah pengalaman berteater, seperti yang saya baca dari artikel-artikel mengenai pertunjukan “Lho” di tahun 1970-an yang semuanya berawal dari sebuah pengalaman “latihan mengolah tubuh”.Apabila “Lho” merupakan sebuah hasil pengalaman berteater Pak Putu di tahun 1970-an, bagaimana proses terjadinya “Zero”, apa perkembangannya dari “Lho”, saya melihat kalau dulu mungkin baru sampai pada tahap pengolahan tubuh, tetapi untuk tahun 2004 pak Putu sudah sampai pada tahap pengolahan warna, bentuk panggung, dan suara yang lebih optimal. PW: LHO saya buat pada tahun 1975, ketika baru pulang dari International; Writing Program di Iowa dan kemudian singgah main di Festival Nancy. Tidak didasari oleh konsep atau keinginan apa pun.Hanya latihan saja tanpa target. Kami lakukan setiap malam, sesudah TIM sepi dan tidak ada kegiatan.
Pesertanya siapa saja. Mereka tidak diundang, tapi bergabung semdiri. Kebanyakan para mahasiswa teater LPKJ (sekarang IKJ) yang waktu itu banyak tidur di kampus yang kerika itu belum dibangun gedung seperti sekarang.Pelukis Nashar tertaruk oleh latihan kami. Dia terus nongkrongin kami dan akhirnya ikut terlibar dalam proses kami. Kami berelatih merespon benda-beneda yang ada di sekitar kamui. Misalnya gerobak samaph, roda pedati, boneka, bambu, topeng. Perlahan-lahan muncul bentuk-bentuk.
Akhirnya setelah 4 buklan berlatih muncul keinginan untuk mementaskan hasil latihan itu di teater Arena TIM. Selama 3 hari pertunjukan dengan dukungan musik oleh Kompyang Raka juga ditambah dengan kehadiran Wayan Diya, pertunjukan berlangusng 3 hari dan padat pengunjung.
Di akhir pertunjukan saya minta penonton keluar, karena pertunjukan akan duilanjutkan di plaza. Kemudian saya minta siapa saja yang bersedia, naik ke gerobak dengan telanjang bulat. Kemudian gerobak ditarik ke kolam. Orang-orang telanjang itu dibuang ke kolam seperti sampah.
Sementara di kolah yang lain, beberapa orang jongkok dengan pakai sarung, seperti kebiasaan orang berak di kali, sambil bicara masalah-masalah politik.
Sesudah LHO saya meneruskan dengan pementasan ENTAH dan NOL, keduanya juga tanpa memakai kata-kata. Tetapi penontonnya susut dan pada NOL nyaris habis. Setelah itu saya memutuskan untuk berhenti, karena merasa penonton memetrlukan cerita dan kata-kata.
Pada 1991, dalam rangka KIAS, pameran kebudayaan Indonesia di Amerika selama setahun penbuh, Teater Mandiri mementaskan pertunjukan di 4 kota Amerika. Waktu itu saya memutuskan untuk kembali kepada LHO dan membawa pertunjukan tanpa kata dan tanpa cerita. Kami mementaskan YEL dengan musik Harry Roesly dan mendapat sambutan bagus sekali.
Pulang dari KIAS saya mulai menekuni pertunjukan tanpa kata-kata itu. Dengan memakai layar besar (15 X 9 meter) saya memainkan bayangan-bayangan, karena tergugah oleh bayangan di air yang tertiup angin.
Dengan melalukan distorsi pada bentuk, muncul sensasi yang fantastis dan mengagetkan. Teater Mandiri kemudian mementaskan YEl II, BOR, NGEH (Art Summit 2).
Pada thn 2000 untuk pertama kalinya kami memainkan naskah orang lain (Kuo Pao Kun dari Singapura: The Coffin is too Big for the Hole) dalam festival di Tokyo.
Atras izin Pao Kun, kami memainkan naskah itu secara visual. Pada 2001 Festival Asia Meets Asia di Jepang, mengundang Mandiri dan Mandiri datang dengan mementaskan WAR.
Ide War adalah kenyataan bahwa dengan dalih mengejar perdamaian, manusia menempuh jalan yang berbeda-beda bahkan bertentangan, sehingga bukan perdamaian yang tercipta tetapi perang.
Pada 2003 Asia Meets Asia berlangusng di Taipe, kembali kami diundang. Saya meneruskan obsessi saya tentang perang. Kalau dalam WAR kami menontonkan bagaimana perdamaian membawa orang untuk berperang, lalu timbul pertanyaan, bagaimana sesungguhnya jalan terbaik untuk sampai pada damai.
Waktu itu saya pikir, sesuai dengan konteks Indonesia yang carut-marut karen reformasi, untuk menghentikan perang, semua orang harus kembali kem zone ZERO. Kita harus sama-sama nol, kosong. Barangkali dengan cara itu baru kitra bisa melangkah bersama-sama.
Dari Taipeh dikabarkan bahwa kami akan main dalam tenda sirkus dengan areal panggung yang relative sempit. Karena tak mungkion menggantung layar lagi, layar kami lepas, dan kami main di dalam layar, sehingga idiom bayangf tetap bisa terpakai.
Walhasil, sebenarnya kami tidak pernah melakukan eksperimen. Semua langkah kami adalah jawaban dari situasi yang ada. ZERO pun adalah sebuah jawaban dari tempat, waktu dan situasi ( dalam pemahaman orang Bali disebut : Desa-Kala-Patra)
Khusus untuk musik. Dalam bekerjasama dengan Harry Roesly, yang sering ter4jadi adalah jam session. Harry membaca gambar-gambar di lantai pentas sebagai partitur dan menciptakan musiknya.
Kami sendiri mencoba merespons musik itu sambil mengusung bentuk-bentuk yang sudah kami rencanakan. Jadi pertunjukan bisa berubah setiap saat. Dalam ZERO, karena orang yang bisa dibawa ke Taipeh terbatas, kami terpaksa hanya membawa rekaman musik Harry.
Mas Roedjito juga tidak dibawa karena sudah tak ada. Itulah awalnya kami bermain tanpa Harry dan DKSB. Sesudah ZERO, kami masih sempat main ZOOM dengan HARRY. Tapi setelah itu Harry meninggal dan saya merasa ZERO seperti semacam persiapan bekerja tanpa Harry dan tanpa Roedjito
LHO, ENTAH dan NOL, saya masih ditemani oleh Kompyang raka dengan musik Bali. Target saya masih hanya penonton di Jakarta. ZERO saya ditemani oleh musik Harry Roesly yang memanfaatkan unsur Sunda, Bali dan musik digital. Targetnya sudah mencakup penonton asing (bukan hanya Indonesia)
ERLIS: Saya menonton “Zero” saya merasa dibawa ke suasana sedih, saya seperti melihat sebuah pertarungan untuk menghadapi kelahiran. Bagaimana pergulatan janin untuk “menjadi”.Munculnya seorang Taiwan di awal pertunjukan membuat suasana menjadi magis karena suara yang dikeluarkannya dalam bahasa Taiwan atau bukan saya tidak tahu membawa kita ke dunia antah berantah, tapi saya ingat suasana “mungkin” ya Pak suasana pemujaan di dalam agama Hindu atau Budha, itu bayangan saya.
Kemudian muncul warna-warna dan bentuk-bentuk tak jelas, yang jelas justru kesan sebuah “pergulatan”. bayangan seorang perempuan muncul dengan mungkin liang rahim. kain-kain transparan yang menutupi membawa pada suasana atau mengingatkan pada bayangan plasenta.
Sebagai seorang ibu saya dapat merasakan dan mengingat kembali bagaimana perjuangan seorang ibu saat melahirkan. Benar pak, saya menjadi teringat kembali saat-saat melahirkan, bayangan itu sudah agak kabur bagi saya karena saya sudah melampaui saat-saat itu enam tahun yang lalu, anak saya terkecil umur 6 tahun, tetapi saat-saat itu tidak terlupakan bagi seorang ibu pak, nah, saya rasakan selanjutnya adalah rasa ketakutan dan rasa kesakitan yang mendalam dari seorang janin yang akan menghadapi dunia yang carut marut, secara fisik saja seorang janin sudah harus berjuang, apalagi secara moral.
Itu yang saya rasakan Pak, saya “merasakan” pak, bukan “memahami” atau “menonton” kalau saya sekadar “menonton” mungkin saya tidak akan mendapatkan apa pun dari apa yang dipertunjukkan, hanya saja sayang sekali yang dapat saya rasakan itu tidak terlalu optimal karena saya tidak hadir secara langsung saat pertunjukan.
PW: Orang Taiwan yang ada dalam rekaman Zero itu adalah Mr. Chung, sutradara dan aktor terkenal di Taipeh. Ia menjadi tuan rumah saya di Taipe dan sengaja datang untuk ikut main.
Dia memberi komentar pada Teater Mandii sebagai People Theatre – teater orang kebanyakan, sebab kami memang tidak “memulyakan” aktor. Semua orang yang bukan aktor bisa/boleh ikut main.
Apa yang dilakukan Chung dalam ZERO adalah keterlibatan yang l;ebih banyak improvisasinya. Saya hanya memberikan sedikit arahan, sesudah itu terserah dia. Kami memang biasa berjalan seperti itu, meneror dan sekalian diteror.
Apa yang tertangkap dan terasa oleh Erlis ketika melihat rekaman ZERO tidak harus dicari pembenarannya pada orang lain atau pada saya atau pada Teater Mandiri. Setiap latar belakang memang akan memiliki reaksi atau penagkapan masing-masing pada imij-imij liar yang kami lemparkan.
Itu menjadi bagian dari kekayaan pementasan itu sendiri. Penonton ikut mencipta. Dan saya ikut menonton apa yang diterima setiap penontin tatkala menonton. Kebenaran dengan demikian jadi bertumpuk dan berlapis-lapis.
ERLIS:Pak, boleh saya bertanya mungkin seorang penonton dapat menafsirkan apa pun mengenai apa yang Bapak pertunjukan, tetapi mungkin Bapak dapat bercerita mengenai bagaimana melakukan pertunjukan tersebut, apa yang membawa Bapak ke sebuah pertunjukan yang demikian, saya menonton dengan seorang Bali, kami berdiskusi apa yang menjadi dasar pertunjukan ini, ternyata di dalamnya ada banyak sekali dasar, Pak Putu tidak saja mendasarkan diri pada budaya Bali, karena teman saya yang orang Bali itu tidak dapat mengenali dengan baik budaya Bali yang “mungkin” muncul dalam pertunjukan tersebut.Saya justru menemukan suara-suara seperti gamelan Jawa dan teman saya yang orang Sunda seperti mendengar suling Sunda. saya jadi curiga bahwa apa yang dipertunjukkan sudah bersifat minimal mengindonesia, kita singkirkan dulu orang Taiwan, kalau dihitung mungkin sudah juga menginternasional.
Pak Putu yang hidup di Jakarta dan bergaul dengan berbagai macam orang membaca berbagai hal, mungkin menjadikan pertunjukan ini menjadi semakin kaya.
PW: Saya orang Bali. Orang tua saya Bali dan saya lahir di Bali dan besar di Bali sajmpai tamat SMA. Tapi seluruh hidup saya lebih banyak di luat Bali. Bila diukurkan dengan orang Bali yang lain, saya mungkin orang Bali yang sudah terkontaminasi. Orang Bali yang sudah salah format.Orang Bali yang sudah eror. Orang Bali yang sudah murtad. Tetapi dengan semua itu, saya jadi memiliki jarak dengan Bali, sehingga saya berpikir tidak sebagaimana orang Bali umumnya. Bali yang Anda lihat dalam garapan saya bukan hanya teater, juga sastra, sudah lain.
Jadi kalau ada orang Bali yang tidak mengenal saya, itu wajar sekali. Namun saya percaya, apa pun saya sekarang, bahkan tidak mengaku pun, saya tetap saja orang Bali. Saya sudah terkutuk sebagai Bali, sehingga walau memakai jean dan makan McDonald dan “bergaya” seperti orang jajasahan jawa dan SUnda (istri saya duklu jawa, sekarang Sunda) saya tetap otang Bali, saya sudah dikutuk jadi orang Balim dan tidak bisa lain lagi.
Dengan berpikir seperti itu, saya selalu bebas dalam bekerja, sama sekali tidak ada keingionan untuk membali-balikan diri.
ERLIS: Satu hal lagi suara angin yang terus menerus mengikuti selama pertunjukan memberi kesan suasana genting.Boleh saya bertanya mengenai konsep reinkarnasi dalam proses “penjadian” manusia dalam budaya Bali yang mungkin menjadi dasar pertunjukan ini. dengan konsep ini sang janin (dalam konsep reinkarnasi yang saya pahami) yang sudah pernah ada di dunia, tentunya akan mengalami banyak sekali ketakutan untuk “hadir” kembali ke dunia.
Pergulatan fisik dan moral pasti akan terjadi, apakah ini yang menjadi konsep dasar pertunjukan ini, atau mungkin yang lain, apa pun sebenarnya tidak menjadi soal, menurut saya hadir di pertunjukan Zero adalah menyediakan diri untuk mendapatkan efek-efek kreativitas seni yang seutuhnya.
PW: Saya suka pada reinterpretasi dan reposisi. Reinkarnasi, tidak harus terjadi dengan kematian terlebih dahulu. Bagi saya pergantian hari, bahkan helaan nafas adalah ptoses bernafas adalah miniature dari reinkarnasi.Kita bisa lahir kembali setiap saat, belajar kembali, mulai dari nol kembali, asal saja kita bersedia dan bertekad untuk layhir kembali setiap saat. Saya memnganggap desa-kala-patra juga semacap fotmula yang menyebabkan manusia bis berreinkarnasi seriap saat asal mau dan bertekad.
Dan itu memang sakit. Karena itu berarti meruntuhkann, menendang, membalik semua yang sudah ada menjadi nol kembali dan baru.
ERLIS: Maaf Pak Putu terlalu panjang ya, mudah-mudahan tidak bosan.Saya akhiri dulu Pak, terima kasih sekali. PW: Saya sengaja menjawab panjang lebar, sebab saya juga ingin mendokumentasikan tanya-jawab ini, bagi beberapa orang, siapa saja yang ingin tahu lebih jauh tentang perjalanan Teater mandiri.Seorang mahasiswi IKJ misalnya kiemaren datang dan menyatakan keingihnannya untuk membuat skripsi tentang gaya pementasan Teater Mandiri sesudah tahun 2000, khusunya ZOOM dan ZERO.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
17/12/08
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar