23/12/08

Perjalanan Bahasa Indonesia Menuju Bahasa Dunia

Maman S Mahayana
http://www.riaupos.com/

Jika Bahasa Melayu ditempatkan sebagai bahasa daerah, sangat mungkin para pakar bahasa (Indonesia) dan Pusat Bahasa, akan menghadapi tembok besar kegagalan. Bukankah salah satu syarat sebuah bahasa menjadi bahasa resmi PBB ditentukan oleh klaim bahwa bahasa itu telah menjadi bahasa negara, bukan bahasa daerah. Jika yang diusulkan Bahasa Melayu sebagai bahasa Nusantara, kendalanya sama saja, lantaran ia bukan sebagai bahasa negara. Jadi, yang diusulkan sebagai bahasa resmi PBB hendaklah bahasa negara, dan itu tidak lain adalah bahasa Indonesia. Pertanyaannya, apakah Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan beberapa negara ASEAN lainnya akan mendukung usulan itu?

Untuk melihat sejauh mana kemungkinan bahasa Indonesia dapat diterima sebagai bahasa resmi PBB, berikut ini akan dipaparkan argumen yang melandasinya, baik dilihat dari aspek kesejarahan, linguistik, maupun luas penyebarannya. Dalam konteks itulah, perlu kiranya kita menengok ke belakang pada sejarah perkembangan bahasa Indonesia.

Salah satu hasil Kongres Bahasa Indonesia II, di Medan tahun 1954, adalah disepakatinya pembentukan suatu badan yang khusus menyusun peraturan ejaan bahasa Indonesia. Alasannya, bahwa Ejaan Soewandi atau Ejaan Republik yang ditetapkan tahun 1947, perlu disederhanakan dan disempurnakan lagi. Badan tersebut baru terbentuk tahun 1956. Setahun kemudian, berhasil dirumuskan patokan-patokan baru Ejaan Bahasa Indonesia yang terkenal dengan nama Ejaan Pembaharuan.

Belum sempat ejaan ini diresmikan, Persekutuan Tanah Melayu, yakni Malaysia dan sekitarnya, mengadakan kerja sama dengan Indonesia guna membentuk penyeragaman sistem ejaan kedua negara. Hasilnya adalah konsep Ejaan Melayu-Indonesia. Lalu terkenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia). Konsep ini pun, belum sempat diresmikan, lantaran kedua belah pihak terlibat konfrontasi.

Memasuki zaman Orde Baru, baik Indonesia maupun Malaysia menyadari bahwa sesungguhnya perselisihan antar-bangsa, terutama antar-negara bertetangga, tidaklah mendatangkan manfaat. Lalu, hubungan kedua negara pun dijalin kembali. Sebagai realisasi bentuk persahabatan itu, Ejaan Melindo yang pernah disepakati, dihidupkan kembali. Lahirlah Ejaan Baru tahun 1966.

Entah bagaimana pasalnya, ejaan yang terakhir ini pun tidak sempat diresmikan. Sementara itu, perkembangan bahasa Indonesia yang makin pesat, menuntut perlunya penyempurnaan ejaan dengan segera. Maka atas dasar berbagai pertimbangan, antara lain, perlunya penyesuaian ejaan Bahasa Indonesia dengan perkembangannya, ketertiban cara penulisan, usaha pembakuan Bahasa Indonesia secara menyeluruh, serta usaha pengembangannya, keluarlah Surat Keputusan Presiden Soeharto No 57 tentang peresmian berlakunya “Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan”.

Keputusan tersebut, tentulah tidak hanya atas pertimbangan segi kebahasaan semata-mata, melainkan juga ada sejumlah faktor lain yang tak dapat diabaikan. Dalam hubungannya dengan masalah itulah, kita akan melihat betapa tepat dan pentingnya pembakuan pedoman ejaan bahasa Indonesia yang sedang dalam proses pertumbuhannya. Lebih jauh lagi sebagai upaya untuk menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa dunia.

Faktor Kesejarahan

Dalam perjalanan bahasa Indonesia sampai sekarang, yakni sejak dicetuskan pertama kali dalam butiran Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, pedoman ejaan Bahasa Indonesia secara resmi baru dua kali mengalami perubahan. Pertama, melalui Surat Keputusan Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Mr Soewandi, tanggal 19 Maret 1947, yang disusul dengan Surat Keputusan No 345/Bhg A, 15 April 1947. Kedua, Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 7/U/1972, Mashuri, yang kemudian diresmikan pemakaiannya melalui Surat Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.

Sebelum Ejaan Soewandi, pedoman ejaan waktu itu masih menggunakan ejaan van Ophuijsen. Ejaan ini bersumber dari buku yang berjudul Kitab Logat Melajoe hasil penyusunan Charles Adriaan van Ophuijsen dibantu oleh Engkoe Nawawi Gelar Soetan Ma’moen dan Moehamad Ta’ib Soetan Ibrahim. Konsepnya sendiri sebenarnya dimulai tahun 1896, setahun sebelum AA Fokker mengusulkan penyeragaman ejaan Bahasa Melayu dengan huruf Latin. Namun baru diundangkan secara resmi oleh pemerintah Belanda tahun 1901.

Mengingat latar belakang diberlakukannya Ejaan van Ophuijsen, tindakan tersebut cukup punya arti penting bagi perjalanan Bahasa Melayu selanjutnya. Waktu itu, pengaruh Islam di wilayah Nusantara yang amat kuat, menyangkut juga soal bahasa. Masyarakat di Semenanjung Melayu dan sekitarnya, sudah terbiasa menggunakan huruf Arab-Melayu (huruf Jawi atau Pegon—bahasa Melayu dengan huruf Arab). Begitu juga di Pulau Jawa, bahasa daerah setempat banyak juga yang memakai huruf Pegon.

Di samping itu, jauh sebelum bangsa Eropa datang ke wilayah Nusantara, bahasa Melayu sudah menjadi lingua franca bagi penduduk di kepualauan ini. Bahkan perhubungan dengan para pedagang asing seperti India, Arab, Cina, Portugis, dan Persia, juga menggunakan Bahasa Melayu. Dengan sendirinya, di beberapa daerah muncul dialek-dialek Melayu. Kosakata, ejaan, maupun struktur bahasa Melayu, jadi beragam.

Sungguhpun demikian, dialek Melayu Riau yang biasa digunakan oleh para sultan di kepulauan itu, tetap dianggap sebagai Bahasa Melayu Tinggi. Dengan kata lain, Bahasa Melayu yang dianggap standar dan baku waktu itu adalah Bahasa Melayu dialek Riau. Dialek itulah yang kemudian dijadikan model bagi van Ophuijsen dan dua rekannya untuk menyusun pedoman ejaan Bahasa Melayu.

Maka sejak tahun 1901, perkembangan Bahasa Melayu harus berpatokan pada pedoman Ejaan van Ophuijsen, yang pada hakikatnya berlandaskan pada Bahasa Melayu dialek Riau. Semua kosakata yang berasal dari bahasa asing —Cina, Arab, India, Inggris, Portugis, dan Belanda— serta yang berasal dari daerah-daerah di kawasan Nusantara, harus disesuaikan dengan ejaan Bahasa Melayu.
Perkembangan yang amat menonjol ditandai dengan berdirinya Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat), 14 September 1908, kurang dari empat bulan setelah lahir Boedi Oetomo, 20 Mei 1908. Buku-buku yang diterbitkan komisi ini diseleksi secara ketat. Tidak hanya isinya yang harus sejalan dengan garis politik kolonial Belanda, tetapi juga harus menggunakan Bahasa Melayu tinggi sesuai dengan Ejaan van Ophuijsen.

Pada tahun 1917, komisi ini berganti nama menjadi Kantor Voor de Volkslectuur (Balai Pustaka). Penggantian nama ini, sama sekali tidak mengubah kebijaksanaan sebelumnya. Kaidah-kaidah kebahasaan tetap berpedoman pada Ejaan van Ophuijsen. Di balik itu, para pemuda terpelajar kita makin merasakan pentingnya mempunyai bahasa sendiri. Emosi kebangsaan mereka makin menggelora. Sampai puncaknya, pada tanggal 28 Oktober 1928, para pemuda dari berbagai daerah membulat tekadnya, “Bertanah airyang satu —Indonesia, berbangsa yang satu— Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan: bahasa Indonesia.”

Ikrar para pemuda itu, pada awalnya bersifat politis, namun sesungguhnya dalam perkembangannya benar-benar telah mampu meleburkan persoalan suku, adat, ras, dan agama. Kepentingan dan kesatuan bangsa lebih diutamakan dari kepentingan lainnya. Dengan demikian, tekad untuk mengusir penjajah, serta hasrat untuk membentuk negara kesatuan yang merdeka dan berdaulat, nyata sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi.

Melihat Kelemahan

Dalam persoalan bahasa, para pemuda terpelajar kita mulai melihat adanya beberapa kelemahan yang terdapat dalam Ejaan van Ophuijsen. Khususnya ketidakcocokan konsep gramatika Belanda dan Arab yang diterapkan dalam Bahasa Melayu. Fonem-fonem asing seperti ain, hamzah, ch, sj, oe, dl, dan ts, seringkali menimbulkan cara penulisan dan pembacaan yang keliru. Lantaran itulah, dalam Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, 25—28 Juni 1938, diputuskan perlunya ejaan baru, di samping gagasan untuk menyempurnakan dan menyederhanakan Ejaan van Ophuijsen.

Ternyata, tindak lanjutnya baru dilakukan dua tahun setelah Bahasa Indonesia dinyatakan sebagai bahasa negara yang tertuang dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945. Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Mr Soewandi, 19 Maret dan 15 April 1947, mencanangkan penggantian Ejaan van Ophuijsen dengan Ejaan Republik.

Beberapa perubahan yang dilakukan, antara lain, digantinya fonem oe menjadi u, bunyi vokal e (E) dan e (e) diwakili oleh satu fonem e serta ucapan kata-kata asing atau pinjaman yang disesuaikan dengan cara pengucapan bahasa Indonesia. Namun, bentuk kata yang diulang masih dibolehkan memakai angka dua (2). Hal ini tentu saja dapat mengacaukan dengan kata ulang atau reduplikasi, seperti kupu-kupu, paru-paru, biri-biri, dan banyak lagi reduplikasi yang sebenarnya bukan merupakan kata yang diulang.

Sejumlah kelemahan yang terkandung dalam Ejaan Soewandi, dikecam cukup pedas oleh Prof Dr Prijono. Menurutnya, Ejaan Soewandi tidak lebih dari “pindah tulis” dan bentuk lain dari Ejaan van Ophuijsen. Lalu dalam Kongres Bahasa Indonesia II di Medan, 23 Oktober—2 November 1954, mulailah Ejaan Soewandi “ditinjau” kembali.

Setelah tersusun konsep Ejaan Pembaharuan atau yang dikenal juga dengan nama Ejaan Prijono—Katoppo, Persekutuan Tanah Melayu mengadakan kerja sama dengan Indonesia guna menyusun pedoman ejaan bagi kedua negara itu. Namun batal diresmikan karena terjadi konfrontasi. Baru kemudian dihidupkan kembali lewat pertemuan di Kuala Lumpur 21—23 Juni 1967, dengan nama Ejaan Baru Bahasa Indonesia untuk Indonesia dan Ejaan Baru Bahasa Melayu untuk Malaysia.

Sebenarnya, konsep ejaan ini bertumpu pada konsep hasil penyusunan Panitia Crash Program Ejaan Bahasa Indonesia LBK, Agustus 1966. Panitia yang diketuai oleh Anton M Moeliono ini, mendasari konsepnya atas konsep Ejaan Pembaharuan tahun 1957, dan Ejaan Melindo tahun 1959, serta berpegang pada prinsip “satu fonem, satu tanda”.

Hambatan utama terlaksananya hasil rumusan panitia tersebut, sebenarnya lebih menyangkut soal pembiayaan daripada soal kebahasaan. Maka atas berbagai pertimbangan, rumusan itu mengalami beberapa perubahan lagi. Sampai kemudian, keluarlah keputusan yang memberlakukan Ejaan Yang Disempurnakan, 17 Agustus 1972.

Menuju Bahasa Dunia

Pada masa awal diberlakukannya EYD (Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan), reaksi timbul dari berbagai kalangan. Yang tidak setuju, umumnya melihat dari segi pembiayaan semata-mata. Sedangkan yang setuju, melihatnya jauh ke depan. Sesungguhnya, Keputusan Presiden No 57 itu ibarat langkah yang tidak hanya hendak mengokohkan peran bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, melainkan juga upaya mendudukkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi ASEAN dan bahasa dunia.

Dalam lingkup ASEAN, tampaknya Filipina dan Muangthai saja yang mungkin masih merasakan beberapa hambatan. Sungguhpun demikian, berdasarkan unsur kekerabatan, korespondensi fonemis, faktor geografis, struktur gramatika, maupun unsur kebahasaan lainnya, bahasa Tagalog di Filipina dan bahasa Siam di Muangthai, mempunyai hubungan yang erat dengan Bahasa Melayu yang merupakan asal dan dasar Bahasa Indonesia. Begitu juga dengan Bahasa Cham di Kamboja.

Apabila kita membandingkan sejumlah kosa kata yang terdapat di negara-negara tersebut —seperti yang dilakukan Gorys Keraf dalam bukunya, Linguistik Historis Komparatif— kita akan mendapatkan bukti kuat, bahwa bahasa-bahasa di kawasan Asia Tenggara (rumpun bahasa Austronesia) sebenarnya masih satu keluarga bahasa yang sama. Kita tak perlu heran, jika orang Filipina berkata ku:lang (kurang), ilung (hidung), dan bu’guk (buruk). Pendeknya, bahasa Tagalog dengan Bahasa Melayu umumnya mempunyai bentuk dan bunyi yang mirip, bahkan sama.

Bukti lain dapat kita lihat dari hasil penelitian Dr H Kern tahun 1889. Ia membandingkan sejumlah kata dari 100 bahasa yang tersebar dari Malagasi sampai Amerika Selatan. Kesimpulannya, mustahil jika kesamaan bunyi dan bentuk dari nama-nama tumbuh-tumbuhan dan binatang yang terdapat di kawasannya, terjadi secara kebetulan. Artinya, dapat dilacak lebih jauh adanya hubungan kerabat dari satu nenek moyang atau protobahasa yang sama.

Jadi jelas, Bahasa Melayu bagi negara-negara ASEAN, sesungguhnya dapat pula mempererat hubungan antar-negara bertetangga ini. Malaysia, Singapura, dan Brunei, bahkan juga di Muangthai (khasnya Patani) dan Filipina (khasnya Mindanau), menyadari hal itu. Malaysia menempatkan bahasa Melayu sebagai bahasa kebangsaan. Demikian juga Brunei Darussalam sejak tahun 1959 —sebagaimana yang dinyatakan Pangeran Badaruddin— “bahwa Bahasa Melayu adalah bahasa resmi dan mesti digunakan di dalam segala bidang.”

Bagi Indonesia, persoalan tentu tidak semata-mata menjadikan bahasa Melayu (baca: Indonesia) sebagai bahasa resmi ASEAN, tetapi juga sebagai bahasa resmi dunia, seperti juga bahasa Inggris atau Perancis. Dan syarat-syarat untuk itu, memang sudah dimiliki Bahasa Indonesia. Antara lain, Bahasa Indonesia merupakan lingua franca bagi lebih dari 136 juta penduduk, bentuk dan strukturnya mudah dipelajari dan sederhana, bentuk tulisan dan ujaran tidak mengandung banyak perbedaan, menyerap secara bebas unsur dan istilah bahasa asing, mampu digunakan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, serta merupakan mata ajaran wajib di semua tingkatan sekolah.

Lebih dari itu, bahasa Indonesia juga sudah diajarkan di banyak perguruan tinggi negara-negara sahabat. Tokyo, Seoul, Beijing, Melbourne, Canberra, Cornel, Yale, Mokow, Paris, Praha, Leiden, Warsawa, Berlin, Mesir, dan banyak lagi universitas di luar negeri yang membuka jurusan tersendiri tentang bahasa dan kesusastraan Indonesia. Paling sedikit, memberikan mata ajaran Bahasa Indonesia. Ini merupakan satu indikasi, betapa Bahasa Indonesia sangat berpotensi untuk menjadi bahasa resmi internasional.

Melihat kenyataan tersebut, tidaklah sepatutnya jika masih ada suara sumbang yang meremehkan peran Bahasa Indonesia. Tidak patut pula jika kita tidak bangga pada bahasa sendiri. Dalam menyikapi perkembangan zaman dan arus globalisasi, peran bahasa Indonesia tentu berlainan dengan waktu pertama kali dicanangkan dalam ikrar Sumpah Pemuda. Jika dulu mampu berperan sebagai alat persatuan dan kesatuan bangsa, maka kini, mampukah ia mengangkat citra keagungan bangsa dan negara Indonesia di mata dunia. Oleh karena itu, gagasan untuk menempatkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa dunia atau bahasa resmi PBB sesungguhnya lebih terterima dibandingkan dengan Bahasa Melayu. Semoga saja harapan ini menjadi kenyataan.***

*) Pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (UI). Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media di Indonesia, Malaysia dan Brunai Darusallam, dan sudah banyak dibukukan. Tinggal di Depok.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita