Syaiful Amin
http://www.korantempo.com/
Ia ingin terus menulis dengan spirit menggebu.
SEHARI BERSAMA JOKO PINURBO Puisi telah memilihku menjadi celah sunyi di antara baris-barisnya yang terang. Dimintanya aku tetap redup dan remang.
Sejumput kalimat puitis yang ditorehkan Joko Pinurbo itu seakan mempertegas pilihan hidupnya sebagai penyair. Dan sebatang pohon sawo kecik yang tumbuh di halaman kantornya menjadi saksi hidup perjalanan kepenyairan Joko. "Di bawah pohon itu saya biasanya duduk-duduk mengendapkan ide-ide puisi," katanya seraya menunjuk sebuah bangku kayu di bawah pohon berdaun rindang itu.
Rabu sore pekan lalu, Joko mengisahkan proses kreatifnya itu di kantornya di bilangan Dalem Tedjokusuman, Yogyakarta. Penampilan sang penyair sore itu sungguh sederhana. Tubuh tipisnya dibungkus baju putih bergaris-garis yang dipadu celana jins. Sambil mengisap rokok kretek filternya--dalam sehari ia menghabiskan minimal dua bungkus--Joko meneruskan ceritanya.
Duduk merenung di bangku kayu di bawah pohon sawo kecik memang telah menjadi bagian kesehariannya. Biasanya Jokpin--sapaan akrab penyair kelahiran Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1962 itu--menjalani "ritualnya" tersebut selepas rutinitasnya mengelola majalah Matabaca dan mengedit naskah-naskah.
Menurut dia, meski tergila-gila puisi sejak duduk di sekolah menengah atas, ia belajar serius menulis puisi justru setelah menjadi mahasiswa. Sambil berkutat dengan diktat-diktat kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta, ia mencatat ide-ide puisinya. Joko mencatat semuanya di buku notes kecil sebelum menumpahkannya menjadi sebuah puisi.
Joko muncul sebagai penyair yang menjelajahi banyak tema. Tapi, bila dicermati, ia sesungguhnya banyak menggeluti obyek keseharian, seperti celana, kamar mandi, atau tubuh manusia. Semua diungkapkan dengan bahasa sederhana, tapi tetap kaya imajinasi, juga parodi.
Di tangan Joko, puisi bisa ditulis dengan bahasa sehari-hari yang cair, tapi tajam, penuh ironi dan humor hitam. Kumpulan puisi pertamanya, Celana, langsung menggebrak. Kumpulan itu berhasil menyabet Hadiah Sastra Lontar 2001. Pada tahun itu juga ia menerima Sih Award (Penghargaan Puisi Terbaik Jurnal Puisi) untuk puisinya, Celana-1, Celana-2, dan Celana-3.
Setahun berselang, kumpulan puisinya bertajuk Di Bawah Kibaran Sarung mendapat Penghargaan Sastra Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Terakhir, antologi puisi Kekasihku, yang ditulisnya pada 2004, meraih Penghargaan Sastra Khatulistiwa 2005.
Toh, semua itu tak menghentikan langkah penyair yang telah menulis delapan kumpulan puisi ini. Ia terus menggali ide-ide kreatif puisinya, merenungkannya, dan kemudian mengendapkannya. Selain di bawah pohon sawo kecik, ia juga kerap menjalani "ritualnya" itu di sebuah sudut ruang tamu rumahnya. Menurut dia, biasanya saat yang pas merenung adalah setelah istri dan kedua anaknya berangkat ke sekolah. "Dan permenungan menjadi lebih indah bila ditemani kopi dan rokok," kata perokok berat itu.
Rumah Joko Pinurbo, Pukul 07.15
Pagi itu suasana rumah Jokpin di Gang Setiyaki, Wirobrajan, Yogyakarta, cukup sepi. Menurut Joko, pagi-pagi sekali istrinya, Nuraeni, telah berangkat mengajar di sebuah sekolah menengah pertama. Dan kedua anaknya, Paska dan Zela, juga telah pergi ke sekolah.
Baru sekitar setahun Joko dan keluarganya tinggal di rumah seluas kira-kira 107 meter persegi itu. Sebelumnya, selama 14 tahun ia menetap di rumah kontrakan di bilangan Patangpuluhan, Yogyakarta. "Saya bisa beli rumah ini dengan susah payah banget," katanya sembari mereguk kopi dan mengisap rokok kretek filter.
Niat bisa punya rumah sendiri sebetulnya telah muncul sejak lulus kuliah dari IKIP Sanata Dharma pada 1987. Saat itu ia menjadi dosen di almamaternya dan telah memiliki penghasilan tetap. Tapi sulung dari lima bersaudara itu mengalokasikan gajinya untuk membantu biaya pendidikan adik-adiknya.
Waktu berlalu. Sejak lima tahun lalu ia mulai mengumpulkan rupiah demi rupiah hadiah dari berbagai penghargaan dan honor membaca puisi untuk membeli rumah. Menurut dia, dana terbesar diperolehnya dari Penghargaan Sastra Khatulistiwa pada 2005. Ia mendapat Rp 50 juta. "Itu pun masih belum cukup untuk membeli rumah ini."
Setelah ditambah honor membaca puisi di sejumlah tempat, kira-kira setahun lalu akhirnya terkumpullah dananya. "Wah, saya senang sekali akhirnya bisa memiliki rumah sendiri," ujarnya semringah.
Rumah Joko berada di permukiman padat. Mobil tak bisa masuk sampai ke rumahnya karena gangnya terlalu sempit. Toh, rumah sang penyair itu cukup asri. Terasnya yang seluas tiga meter persegi dihiasi puluhan pot kembang. Dua di antaranya dari jenis aglaonema dan gelombang cinta.
Rumah bercat putih itu juga baru direnovasi. Sebagian besar ruangannya tersita oleh perpustakaan, yang menyimpan buku-buku Joko dan kedua anaknya. Malahan, saking terbatasnya ruangan, sebagian bukunya masih tersimpan di dalam tiga kardus dan diletakkan di kolong tempat tidur.
Sebenarnya sejumlah kalangan menawarinya menetap di Jakarta dengan iming-iming penghasilan besar. Tapi Joko menolak karena sudah kadung cinta pada Yogyakarta, yang telah membesarkannya. "Saya memilih jadi orang biasa saja seperti sekarang, di mana para tetangga tidak tahu saya seorang penyair," tuturnya.
Kantor Yayasan Dinamika Edukasi Dasar, Pukul 11.30
Joko meluncur dengan motor bebek ke kantor Yayasan Dinamika Edukasi Dasar di bilangan Mrican, Yogyakarta. Hari itu ia telah berjanji dengan sejumlah rekannya di yayasan pendidikan yang dirintis mendiang Y.B. Mangunwijaya tersebut.
Setiba di kantor yayasan yang juga bekas rumah Romo Mangun itu, Joko langsung menemui rekan-rekannya. Siang itu, selain diskusi tentang masa depan yayasan tersebut, Joko dan rekan-rekannya membicarakan seputar rencana acara ulang tahun kelima Matabaca, yang akan digelar pada Agustus 2007.
Sekitar pukul 14.00, pertemuan di kantor yayasan itu kelar. Joko masih berbincang dengan rekan-rekannya. Tiba-tiba ia teringat utangnya kepada Romo Moko, seorang pastor yang gemar membuat karikatur. "Saya diminta membuat puisi sebagai pengantar kumpulan karikaturnya yang akan dibukukan," katanya.
Menurut Joko, kendati puisi merupakan jalan hidupnya, ia merasa kesulitan dalam menuliskannya. Apalagi membuat puisi pesanan sangat sulit karena harus menyesuaikan temanya.
Makanya, dalam setahun belum tentu ia bisa menghasilkan 30 puisi. Menulis puisi itu membutuhkan suasana hati yang nyaman. Dan menulis puisi juga tak bisa dikejar tenggat. "Misalnya, untuk menyelesaikan kumpulan puisi Di Bawah Kibaran Sarung, saya membutuhkan sekitar enam tahun," ia menerangkan.
Lebih jauh lagi, menulis puisi juga membutuhkan tempat yang kondusif. Selain di bawah pohon sawo kecik dan sudut ruang tamu rumahnya, kantor Yayasan Dinamika adalah tempat favoritnya melakukan permenungan serta pengendapan ide.
Di yayasan itu Joko masih bisa merasakan denyut napas almarhum Mangunwijaya, meski romo itu telah lama tiada. Baginya, semangat Romo Mangun yang humanis dan kerakyatan menjadi inspirasi yang tiada habisnya. "Apalagi di kantor yayasan itu tersedia ribuan buku bermutu."
Kantor Redaksi Matabaca, Pukul 14.40
Hujan mengguyur kantor redaksi majalah Matabaca di Jalan Wahid Hasyim, Dalem Tedjokusuman, Yogyakarta. Menempati ruangan 4 x 5 meter, bilik kerja redaksi majalah bulanan itu cukup sederhana. Hanya ada tiga komputer, satu telepon yang terkadang dipakai untuk koneksi ke Internet, dan sebuah rak buku. Ruang tamunya, berukuran 2 x 5 meter, cuma berisi tiga kursi dan meja bambu sederhana.
Sudah lima tahun Joko duduk sebagai wakil pemimpin redaksi majalah yang mengulas dunia perbukuan di Indonesia itu. Dikatakannya, Matabaca lahir karena belum satu pun media di Tanah Air yang khusus mengupas tentang perbukuan. "Padahal jumlah penerbit di sini sangat luar biasa," katanya.
Di kantor yang sederhana itu, Joko juga bekerja sebagai editor bank naskah Grup Gramedia di Yogyakarta. Dan sore itu, rencananya, ia hendak mengirim naskah ke Jakarta sekaligus memutakhirkan blogspot pribadinya. Karena jaringan komputer di kantornya ngadat, ia terpaksa ke warung Internet. "Maklum, gaptek. Kalau komputer di kantor tak bisa beroperasi, saya buru-buru ke warnet," ujarnya terkekeh.
Hampir dua jam Joko berselancar di warnet yang berjarak sekitar 200 meter dari kantornya tersebut. Setelah itu, ia mengajak ke warung bajigur Pak Sudiyanto. "Sudah dua tahun lebih saya menjadi langganan warung itu," kata Joko saat kami melangkah menuju warung yang hanya sepelemparan batu dari warnet itu.
Warung Bajigur Pak Sudiyanto, Pukul 17.00
Joko tampak begitu akrab dengan pemilik warung bajigur. Keduanya berbincang tentang banyak hal. Tak lama berselang, Joko mengeluarkan buku catatan kecil bersampul biru dari sakunya. Sambil menikmati wedang bajigur, ia menulis beberapa kata di buku kecil itu. "Saya memang sering membawa notes," ujarnya. "Kalau ada ide, biasanya langsung saya tulis."
Menurut Joko, begitu ada yang menggoda atau merangsang pikirannya, ia langsung mencatatnya. Biasanya yang dicatat bisa hanya sebuah kata kunci atau calon judul. Bisa pula konsep sebuah frase atau sebuah bait. Itulah nanti, bila sudah ada waktu dan suasana baik, yang dibawanya ke komputer.
Makanya, sehari-hari ia selalu membawa buku catatan kecil. Tapi, bila kebetulan ia tak membawa notes, ide-ide itu ditulis di telepon selulernya. Menurut Joko, setelah waktunya tepat, catatan di notes dan ponsel dibuka, lalu diendapkan. "Kalau ternyata menarik, saya kembangkan menjadi puisi," ia menjelaskan.
Dari kebiasaannya itu, ratusan puisi telah ditulisnya. Menurut Joko, perjalanan kepenyairannya juga banyak dipengaruhi tiga orang: Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, dan Sapardi Joko Damono. Di matanya, ketiga penyair itu punya kelebihan masing-masing. Puisi-puisi Chairil menggunakan bahasa yang efisien dengan diksi tajam dan kuat. "Puisi Chairil serius dalam mengolah kata sehingga sangat padat," ujarnya.
Sedangkan puisi karya Sapardi lebih sederhana. Ia mencomotnya dari peristiwa biasa, tapi diolah sehingga menghasilkan karya luar biasa. Lalu Goenawan Mohamad, puisinya sangat musikal dan merdu. "Membaca puisi Goenawan itu seperti mendengarkan musik yang mengalun indah."
Kendati dipengaruhi tiga penyair itu, Joko tak terseret oleh arus mereka. Menurut dia, karya-karyanya mengambil sisi-sisi yang jarang digarap. Tema-tema puisinya mengambil persoalan sederhana yang memang belum disentuh. "Misalnya tentang kamar mandi, celana, atau sarung," tuturnya seraya meneguk wedang bajigur hingga tandas.
Malam sekitar pukul 21.00, Joko masih menyempatkan kembali ke kantornya, membereskan sejumlah pekerjaannya. Setelah itu, ia kembali ke rumahnya. "Malam ini saya mendapat giliran ronda di lingkungan rumah," ujarnya.
Begitulah. Yang pasti, di sela-sela serangkaian kegiatan kesehariannya kini, Joko terus mengukir kata. Semangat penyair bersahaja itu terus berkobar, seperti sejumput kalimat puitis yang ditorehkan dalam blogspot pribadinya:
Puisi telah memilihku menjadi celah sunyi di antara baris-barisnya yang terang. Dimintanya aku tetap redup dan remang.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar