24/11/08

Yang Berkobar di Jalan Sunyi

Syaiful Amin
http://www.korantempo.com/

Ia ingin terus menulis dengan spirit menggebu.

SEHARI BERSAMA JOKO PINURBO Puisi telah memilihku menjadi celah sunyi di antara baris-barisnya yang terang. Dimintanya aku tetap redup dan remang.

Sejumput kalimat puitis yang ditorehkan Joko Pinurbo itu seakan mempertegas pilihan hidupnya sebagai penyair. Dan sebatang pohon sawo kecik yang tumbuh di halaman kantornya menjadi saksi hidup perjalanan kepenyairan Joko. "Di bawah pohon itu saya biasanya duduk-duduk mengendapkan ide-ide puisi," katanya seraya menunjuk sebuah bangku kayu di bawah pohon berdaun rindang itu.

Rabu sore pekan lalu, Joko mengisahkan proses kreatifnya itu di kantornya di bilangan Dalem Tedjokusuman, Yogyakarta. Penampilan sang penyair sore itu sungguh sederhana. Tubuh tipisnya dibungkus baju putih bergaris-garis yang dipadu celana jins. Sambil mengisap rokok kretek filternya--dalam sehari ia menghabiskan minimal dua bungkus--Joko meneruskan ceritanya.

Duduk merenung di bangku kayu di bawah pohon sawo kecik memang telah menjadi bagian kesehariannya. Biasanya Jokpin--sapaan akrab penyair kelahiran Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1962 itu--menjalani "ritualnya" tersebut selepas rutinitasnya mengelola majalah Matabaca dan mengedit naskah-naskah.

Menurut dia, meski tergila-gila puisi sejak duduk di sekolah menengah atas, ia belajar serius menulis puisi justru setelah menjadi mahasiswa. Sambil berkutat dengan diktat-diktat kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta, ia mencatat ide-ide puisinya. Joko mencatat semuanya di buku notes kecil sebelum menumpahkannya menjadi sebuah puisi.

Joko muncul sebagai penyair yang menjelajahi banyak tema. Tapi, bila dicermati, ia sesungguhnya banyak menggeluti obyek keseharian, seperti celana, kamar mandi, atau tubuh manusia. Semua diungkapkan dengan bahasa sederhana, tapi tetap kaya imajinasi, juga parodi.

Di tangan Joko, puisi bisa ditulis dengan bahasa sehari-hari yang cair, tapi tajam, penuh ironi dan humor hitam. Kumpulan puisi pertamanya, Celana, langsung menggebrak. Kumpulan itu berhasil menyabet Hadiah Sastra Lontar 2001. Pada tahun itu juga ia menerima Sih Award (Penghargaan Puisi Terbaik Jurnal Puisi) untuk puisinya, Celana-1, Celana-2, dan Celana-3.

Setahun berselang, kumpulan puisinya bertajuk Di Bawah Kibaran Sarung mendapat Penghargaan Sastra Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Terakhir, antologi puisi Kekasihku, yang ditulisnya pada 2004, meraih Penghargaan Sastra Khatulistiwa 2005.

Toh, semua itu tak menghentikan langkah penyair yang telah menulis delapan kumpulan puisi ini. Ia terus menggali ide-ide kreatif puisinya, merenungkannya, dan kemudian mengendapkannya. Selain di bawah pohon sawo kecik, ia juga kerap menjalani "ritualnya" itu di sebuah sudut ruang tamu rumahnya. Menurut dia, biasanya saat yang pas merenung adalah setelah istri dan kedua anaknya berangkat ke sekolah. "Dan permenungan menjadi lebih indah bila ditemani kopi dan rokok," kata perokok berat itu.

Rumah Joko Pinurbo, Pukul 07.15

Pagi itu suasana rumah Jokpin di Gang Setiyaki, Wirobrajan, Yogyakarta, cukup sepi. Menurut Joko, pagi-pagi sekali istrinya, Nuraeni, telah berangkat mengajar di sebuah sekolah menengah pertama. Dan kedua anaknya, Paska dan Zela, juga telah pergi ke sekolah.

Baru sekitar setahun Joko dan keluarganya tinggal di rumah seluas kira-kira 107 meter persegi itu. Sebelumnya, selama 14 tahun ia menetap di rumah kontrakan di bilangan Patangpuluhan, Yogyakarta. "Saya bisa beli rumah ini dengan susah payah banget," katanya sembari mereguk kopi dan mengisap rokok kretek filter.

Niat bisa punya rumah sendiri sebetulnya telah muncul sejak lulus kuliah dari IKIP Sanata Dharma pada 1987. Saat itu ia menjadi dosen di almamaternya dan telah memiliki penghasilan tetap. Tapi sulung dari lima bersaudara itu mengalokasikan gajinya untuk membantu biaya pendidikan adik-adiknya.

Waktu berlalu. Sejak lima tahun lalu ia mulai mengumpulkan rupiah demi rupiah hadiah dari berbagai penghargaan dan honor membaca puisi untuk membeli rumah. Menurut dia, dana terbesar diperolehnya dari Penghargaan Sastra Khatulistiwa pada 2005. Ia mendapat Rp 50 juta. "Itu pun masih belum cukup untuk membeli rumah ini."

Setelah ditambah honor membaca puisi di sejumlah tempat, kira-kira setahun lalu akhirnya terkumpullah dananya. "Wah, saya senang sekali akhirnya bisa memiliki rumah sendiri," ujarnya semringah.

Rumah Joko berada di permukiman padat. Mobil tak bisa masuk sampai ke rumahnya karena gangnya terlalu sempit. Toh, rumah sang penyair itu cukup asri. Terasnya yang seluas tiga meter persegi dihiasi puluhan pot kembang. Dua di antaranya dari jenis aglaonema dan gelombang cinta.

Rumah bercat putih itu juga baru direnovasi. Sebagian besar ruangannya tersita oleh perpustakaan, yang menyimpan buku-buku Joko dan kedua anaknya. Malahan, saking terbatasnya ruangan, sebagian bukunya masih tersimpan di dalam tiga kardus dan diletakkan di kolong tempat tidur.

Sebenarnya sejumlah kalangan menawarinya menetap di Jakarta dengan iming-iming penghasilan besar. Tapi Joko menolak karena sudah kadung cinta pada Yogyakarta, yang telah membesarkannya. "Saya memilih jadi orang biasa saja seperti sekarang, di mana para tetangga tidak tahu saya seorang penyair," tuturnya.

Kantor Yayasan Dinamika Edukasi Dasar, Pukul 11.30

Joko meluncur dengan motor bebek ke kantor Yayasan Dinamika Edukasi Dasar di bilangan Mrican, Yogyakarta. Hari itu ia telah berjanji dengan sejumlah rekannya di yayasan pendidikan yang dirintis mendiang Y.B. Mangunwijaya tersebut.

Setiba di kantor yayasan yang juga bekas rumah Romo Mangun itu, Joko langsung menemui rekan-rekannya. Siang itu, selain diskusi tentang masa depan yayasan tersebut, Joko dan rekan-rekannya membicarakan seputar rencana acara ulang tahun kelima Matabaca, yang akan digelar pada Agustus 2007.

Sekitar pukul 14.00, pertemuan di kantor yayasan itu kelar. Joko masih berbincang dengan rekan-rekannya. Tiba-tiba ia teringat utangnya kepada Romo Moko, seorang pastor yang gemar membuat karikatur. "Saya diminta membuat puisi sebagai pengantar kumpulan karikaturnya yang akan dibukukan," katanya.

Menurut Joko, kendati puisi merupakan jalan hidupnya, ia merasa kesulitan dalam menuliskannya. Apalagi membuat puisi pesanan sangat sulit karena harus menyesuaikan temanya.

Makanya, dalam setahun belum tentu ia bisa menghasilkan 30 puisi. Menulis puisi itu membutuhkan suasana hati yang nyaman. Dan menulis puisi juga tak bisa dikejar tenggat. "Misalnya, untuk menyelesaikan kumpulan puisi Di Bawah Kibaran Sarung, saya membutuhkan sekitar enam tahun," ia menerangkan.

Lebih jauh lagi, menulis puisi juga membutuhkan tempat yang kondusif. Selain di bawah pohon sawo kecik dan sudut ruang tamu rumahnya, kantor Yayasan Dinamika adalah tempat favoritnya melakukan permenungan serta pengendapan ide.

Di yayasan itu Joko masih bisa merasakan denyut napas almarhum Mangunwijaya, meski romo itu telah lama tiada. Baginya, semangat Romo Mangun yang humanis dan kerakyatan menjadi inspirasi yang tiada habisnya. "Apalagi di kantor yayasan itu tersedia ribuan buku bermutu."

Kantor Redaksi Matabaca, Pukul 14.40

Hujan mengguyur kantor redaksi majalah Matabaca di Jalan Wahid Hasyim, Dalem Tedjokusuman, Yogyakarta. Menempati ruangan 4 x 5 meter, bilik kerja redaksi majalah bulanan itu cukup sederhana. Hanya ada tiga komputer, satu telepon yang terkadang dipakai untuk koneksi ke Internet, dan sebuah rak buku. Ruang tamunya, berukuran 2 x 5 meter, cuma berisi tiga kursi dan meja bambu sederhana.

Sudah lima tahun Joko duduk sebagai wakil pemimpin redaksi majalah yang mengulas dunia perbukuan di Indonesia itu. Dikatakannya, Matabaca lahir karena belum satu pun media di Tanah Air yang khusus mengupas tentang perbukuan. "Padahal jumlah penerbit di sini sangat luar biasa," katanya.

Di kantor yang sederhana itu, Joko juga bekerja sebagai editor bank naskah Grup Gramedia di Yogyakarta. Dan sore itu, rencananya, ia hendak mengirim naskah ke Jakarta sekaligus memutakhirkan blogspot pribadinya. Karena jaringan komputer di kantornya ngadat, ia terpaksa ke warung Internet. "Maklum, gaptek. Kalau komputer di kantor tak bisa beroperasi, saya buru-buru ke warnet," ujarnya terkekeh.

Hampir dua jam Joko berselancar di warnet yang berjarak sekitar 200 meter dari kantornya tersebut. Setelah itu, ia mengajak ke warung bajigur Pak Sudiyanto. "Sudah dua tahun lebih saya menjadi langganan warung itu," kata Joko saat kami melangkah menuju warung yang hanya sepelemparan batu dari warnet itu.

Warung Bajigur Pak Sudiyanto, Pukul 17.00

Joko tampak begitu akrab dengan pemilik warung bajigur. Keduanya berbincang tentang banyak hal. Tak lama berselang, Joko mengeluarkan buku catatan kecil bersampul biru dari sakunya. Sambil menikmati wedang bajigur, ia menulis beberapa kata di buku kecil itu. "Saya memang sering membawa notes," ujarnya. "Kalau ada ide, biasanya langsung saya tulis."

Menurut Joko, begitu ada yang menggoda atau merangsang pikirannya, ia langsung mencatatnya. Biasanya yang dicatat bisa hanya sebuah kata kunci atau calon judul. Bisa pula konsep sebuah frase atau sebuah bait. Itulah nanti, bila sudah ada waktu dan suasana baik, yang dibawanya ke komputer.

Makanya, sehari-hari ia selalu membawa buku catatan kecil. Tapi, bila kebetulan ia tak membawa notes, ide-ide itu ditulis di telepon selulernya. Menurut Joko, setelah waktunya tepat, catatan di notes dan ponsel dibuka, lalu diendapkan. "Kalau ternyata menarik, saya kembangkan menjadi puisi," ia menjelaskan.

Dari kebiasaannya itu, ratusan puisi telah ditulisnya. Menurut Joko, perjalanan kepenyairannya juga banyak dipengaruhi tiga orang: Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, dan Sapardi Joko Damono. Di matanya, ketiga penyair itu punya kelebihan masing-masing. Puisi-puisi Chairil menggunakan bahasa yang efisien dengan diksi tajam dan kuat. "Puisi Chairil serius dalam mengolah kata sehingga sangat padat," ujarnya.

Sedangkan puisi karya Sapardi lebih sederhana. Ia mencomotnya dari peristiwa biasa, tapi diolah sehingga menghasilkan karya luar biasa. Lalu Goenawan Mohamad, puisinya sangat musikal dan merdu. "Membaca puisi Goenawan itu seperti mendengarkan musik yang mengalun indah."

Kendati dipengaruhi tiga penyair itu, Joko tak terseret oleh arus mereka. Menurut dia, karya-karyanya mengambil sisi-sisi yang jarang digarap. Tema-tema puisinya mengambil persoalan sederhana yang memang belum disentuh. "Misalnya tentang kamar mandi, celana, atau sarung," tuturnya seraya meneguk wedang bajigur hingga tandas.

Malam sekitar pukul 21.00, Joko masih menyempatkan kembali ke kantornya, membereskan sejumlah pekerjaannya. Setelah itu, ia kembali ke rumahnya. "Malam ini saya mendapat giliran ronda di lingkungan rumah," ujarnya.

Begitulah. Yang pasti, di sela-sela serangkaian kegiatan kesehariannya kini, Joko terus mengukir kata. Semangat penyair bersahaja itu terus berkobar, seperti sejumput kalimat puitis yang ditorehkan dalam blogspot pribadinya:

Puisi telah memilihku menjadi celah sunyi di antara baris-barisnya yang terang. Dimintanya aku tetap redup dan remang.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita