22/11/08

Kemerdekaan di Tengah Kemiskinan

Catatan Pentas Monolog ''Merdeka'' Putu Wijaya
Ribut Wiyoto*
http://www.jawapos.com/

Dengan sedikit tertatih, Putu Wijaya memasuki panggung dengan memanggul kursi. Ia lontarkan beberapa sindiran. ''Umur saya telah seratus tahun. Tapi saya masih kuat. Itu karena saya tidak memiliki apa-apa. Saya hanya memiliki satu kursi. Saya tak pernah korupsi.''

Di atas panggung sisi kiri, ada tiang berbendera merah putih. Ditancapkan sedikit miring. Di sisi kanan, dua buah sapu lidi berdiri tegak. Dan tepat di atas panggung, tergantung sangkar. Isinya bukan burung, tetapi kantong plastik tepung. Putu lantas meletakkan kursi tepat di bawah sangkar.

''Cucu saya, yang masih SD, bertanya. Kek, apakah kita telah merdeka? Tentu saya heran, ini anak SD apa kerasukan setan. Tiba-tiba mempertanyakan kemerdekaan," ujarnya setengah melompat ke belakang.

Adegan bermuatan sindiran tersebut mengawali pentas monolog Putu Wijaya di Gedung Serbaguna Unair, Rabu (19/11) malam. Pendiri Teater Mandiri itu kemudian memerankan dialog seorang kakek dengan cucunya. Sebuah dialog yang janggal.

Mengapa janggal? Ini terkait dengan logika tekstual. Seorang bocah SD, apalagi zaman sekarang, mempertanyakan kemerdekaan adalah sesuatu yang tidak lazim. Tidak logis. Terlebih, si cucu itu memaparkan makna kemerdekaan di tengah situasi politik yang tak jelas. Kemerdekaan dikontraskan dengan kemiskinan yang mendominasi kondisi rakyat Indonesia. ''Benarkah kita telah merdeka, Kek. Padahal kemiskinan kian merajalela.''

Si anak terlalu cerdas untuk ukuran kewajaran. Pertanyaan maupun pendapat seperti itu lebih layak keluar dari mulut mahasiswa. Setidaknya mulut pelajar SMA yang memiliki perhatian pada wacana nasionalisme. Seliar apa pun, tidak mungkin keluar dari mulut atau pikiran siswa SD.

Pembukaan dialog yang dimainkan Putu terkesan klise. Tanpa dasar. Dan, selebihnya omong kosong. Putu gagal menurunkan pemikirannya ke dalam tataran praktis. Padahal, lelaki kelahiran Tabanan Bali, 11 April 1944, itu tampaknya hendak mengungkapkan makna kemerdekaan melalui dialog keseharian dalam keluarga. Obrolan ringan yang memiliki makna mendalam.

Tapi, memang, kegagalan serupa kerap menghampiri tradisi tekstual di Indonesia. Itu seperti kefatalan yang menimpa tubuh teks Pengakuan Pariyem karya mendiang Linus Suryadi A.G. Prosa liris yang memaparkan dunia batin seorang babu kraton bernama Pariyem. Mana ada seorang babu mampu menguraikan pemikiran Jawa secara detail dan sublim. Merepresentasikan filosofi kehidupan secara mendalam, babu karangan Linus terlalu cerdas. Ia lebih mungkin sebagai mahasiswa filsafat daripada seorang babu, meskipun ia hidup di lingkungan kraton.

Bandingkan dengan penokohan yang digarap Iwan Simatupang dalam novel Merahnya Merah. Sang tokoh diberi identitas gelandangan. Namun sebelumnya, dia adalah bekas pejuang. Dia juga mantan siswa seminari yang gagal menjadi pastor. Sang tokoh mengelandang bukan karena tertimpa kemiskinan. Tetapi memang itulah pilihan hidupnya. Dia hendak mencari kebebasan.

Bersandar dari identitas tersebut, sang tokoh menjadi logis ketika memaparkan berbagai persoalan filsafat, nasionalisme, maupun teologi. Artinya, ada kesesuaian antara latar belakang tokoh dengan pembicaraan yang dilontarkan. Hasilnya adalah keutuhan penokohan. Tokoh berbicara sesuai dengan kapasitasnya.

Pada monolog Putu, kegagalan membangun logika tekstual itu diperparah dengan paparan-paparan sang kakek terhadap cucunya. Bagi ukuran keseharian, jawaban-jawaban sang kakek lebih mirip kuliah dosen mata kuliah Kewiraan di hadapan mahasiswa. Bayangkan saja, si kakek dengan penuh semangat mendeskripsikan kebobrokan yang melanda birokrasi Indonesia. Membedah beragam efek ketimpangan sosial. Mengolok-olok sikap pemerintah yang tidak menghargai pahlawan. Dan, oleh pertanyaan si cucu, sang kakek seperti tersadarkan bahwa Indonesia belum layak dianggap merdeka.

Ini sungguh tidak masuk akal. Bahkan, tokoh kritis sekelas Arif Budiman pun tidak akan melakukan hal konyol seperti dalam pentas Putu Wijaya. Untungnya, logika tekstual bukanlah satu-satunya ukuran keberhasilan sebuah pentas monolog. Ada aspek-aspek lain yang turut signifikan. Putu Wijaya memang gagal mengembangkan logika tekstual. Tapi, perlu banyak catatan, tokoh teater yang pernah 7 bulan berkeliling pelosok Jepang untuk bermain drama ini sukses menyuguhkan drama komikal yang menghipnotis pengunjung. Selama satu jam, pengunjung tak lepas dari sajian panggung Putu.

Putu Wijaya berhasil mengatur ritme emosi dan simpati penonton. Pada kriterium ini, Putu memamerkan kapasitasnya sebagai dramawan tangguh. Di usianya yang telah 64 tahun, Putu mampu memainkan monolog secara stabil. Staminanya tak pernah kendur. Mulai tengah babak, suara Putu memang terdengar serak. Tapi, suara serak itu tertutupi oleh olah vokalnya yang prima.

Putu kadang bersuara lirih. Kadang datar. Berteriak. Kadang malah berteriak lantang dengan ritme cepat. Apakah ada dramawan setangguh dia di Jawa Timur? Bisa jadi tak ada.

Putu juga melompat. Menghentak-hentakkan kakinya ke lantai kayu. Berlarian. Merentangkan tangan lebar-lebar. Kesemuanya dalam porsi yang tepat. Kesemuanya memperlihatkan ketangguhan seorang aktor kawakan. Menghasilkan artistik yang terukur. Terencana. Dan, selebihnya menghipnotis. Sama sekali tidak terlihat ia letih atau kedodoran.

Kesederhanaan properti di atas panggung mampu diisi dengan mobilitas pemeranan. Bloking yang mengisi seluruh ruang. Bahkan, pada bebeberapa momen, Putu turun dari panggung. Membawakan dialognya dekat dengan penonton terdepan. Putu tiba-tiba juga menubruk kain belakang panggung hingga menimbulkan kesan terjatuh. Saat-saat tertentu, Putu berdiri tegak di atas kursi. Pada saat yang lain, Putu melemparkan kursi ke udara. Pada batasan tertentu, Putu memang jagoan di ranah monolog.

Segala properti menjadi tidak sia-sia. Eksplorasi Putu melibatkan seluruh benda yang ada di atas panggung. Dia bergerak ke kiri untuk menciumi bendera, menarik-nariknya, mengibas-kibaskannya. Sekejap, dia berlari berlutut dan bersujud di lantai. Secara apik pula, dia juga mengekplorasi tongkat, sapu lidi, sangkar, dan kursi. Di bagian akhir adegan, Putu memukul-mukul sangkar dengan tongkat. Hingga sangkar tercerai berai. Berhamburan. Dan, kesemuanya menghasilkan efek artistik yang manis.

Dramawan yang juga menghasilkan lusinan cerpen, beberapa novel, naskah drama, dan rajin menulis ulasan seni pertunjukan ini juga berhasil membangun komunikasi interaktif dengan penonton. Beberapa kali dia melontarkan dialog yang seakan-akan improvisasi. Semisal memarahi bagian properti yang mengepulkan asap ke panggung. ''Asapnya jangan sampai terlambat, saya potong honor kamu nanti,'' katanya.

Dia juga menegur bagian properti yang tidak segera menurunkan dan menaikkan tali sangkar. ''Ini akibatnya kalau latihan hanya dua hari. Telat terus,'' ujarnya. Mendengar komentar Putu, tak ayal, penonton pun terbahak.

Tak berhenti sampai di situ. Putu beberapa kali juga menyapa penonton. Bahkan mengajak penonton menirukan suara burung perkutut. Oleh sebab sajian Putu yang menghipnotis, penonton pun serempak menirukan suara perkutut. Berkali-kali.

Hasilnya, hubungan antara panggung dengan penonton menjadi cair. Berbagai kritik sosial yang dilontarkan Putu bisa diterima penonton tanpa perlu mengerutkan dahi. Kritik sosial Putu memang dikemas dan diperankan secara komedian. Menuntun penonton untuk tertawa. Semisal, tiba-tiba Putu berceletuk. ''Asap jangan dikeluarkan terlalu banyak. Harus dihemat. BBM mahal," ujar Putu kepada bagian properti panggung.

Begitulah Putu Wijaya, sang dramawan yang tak henti berkarya. Tak mau tinggal diam melihat beragam ketimpangan sosial. Melihat kemacetan kinerja birokrasi. Melihat makna kemerdekaan yang terus dipangkas. Menyaksikan kemiskinan kian merajalela. Pemerintah yang tak bisa menyelesaikan persoalan kenegaraan. Justru sebaliknya, pemerintah kerap kali justru bertindak blunder dengan kebijakan-kebijakan non-progresif.

Tapi, apakah Putu Wijaya memberi solusi atas berbagai persoalan yang dia ungkap? Tidak. Putu sebatas memaparkan persoalan-persoalan di negeri Merah Putih ini. Dia hanya memakai ketimpangan sosial untuk menggambarkan kegalauan hati seorang kakek yang pernah berjuang memerdekakan negerinya. (*)

*) Anggota Forum Studi Sastra & Seni Luar Pagar Surabaya dan Komunitas Teater Gapus Surabaya.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita