Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Multikulturalisme adalah sebuah filosofi liberal dari pluralisme budaya demo-kratis. Multikulturalisme didasarkan pada keyakinan bahwa semua kelompok budaya secara sosial dapat diwujudkan, direpresentasikan, dan dapat hidup berdampingan. Selain itu, diyakini pula bahwa rasisme dapat direduksi oleh penetapan citra positif keanekaragaman etnik dan melalui pengetahuan kebudayaan-kebudayaan lain.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, pengetahuan kebudayaan-kebudayaan lain itu, tentu saja penting artinya dalam rangka pembukaan ruang interaksi antaretnis, antarsuku bangsa dan antarbudaya. Dari sanalah pemahaman adanya perbedaan budaya dapat ditempatkan dalam posisi yang setara, sehingga ia dapat diapresiasi masing-masing etnis dan suku bangsa dengan keanekaragamannya. Secara ideologis, multikulturalisme sangat mengagungkan adanya perbedaan budaya yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai sebuah corak kehidupan kemasyarakatan.
Pusat perhatian dan titik tekan multikulturalisme adalah pada pemahaman dan kesadaran bahwa individu dan kelompok sosial sejatinya hidup dalam berbagai perbedaan, baik perbedaan ideologi, agama, suku bangsa, maupun budaya. Melalui pemahaman dan kesadaran itu, setiap individu sebagai bagian dari kelompok sosial dan warga suku bangsa akan dapat menempatkan perbedaan budaya dalam kerangka kesetaraan derajat, dan bukan dalam kategori kelompok mayoritas yang mendominasi kelompok minoritas.
Kesusastraan sebagai bagian dari kebudayaan, dan secara spesifik sebagai karya yang dihasilkan melalui proses panjang kegelisahan dan pemikiran sastrawannya, tentu saja tidak terlepas dari berbagai persoalan yang dalam konteks multikultural, justru dapat dianggap sebagai representasi salah satu corak kebudayaan. Jadi, ia tidak hanya dapat diperlakukan sebagai dokumen sosial yang menggambarkan corak individu di dalam interaksinya dengan sebuah kelompok masyarakat atau suku bangsa, tetapi juga dapat dimaknai sebagai representasi budaya yang melahirkan, membesarkan, dan melingkarinya. Dengan demikian, karya sastra dapat pula persoalannya ditarik dalam lingkaran cultural studies atau multikulturalisme. Yang kemudian disoroti bukanlah teks, melainkan konteks budayanya yang mengagungkan perbedaan-perbedaan dan pluralisme kultural.
***
Masalah multikulturalisme dalam sastra Indonesia, boleh dikatakan secara praksis muncul bersamaan dengan lahirnya sastra Indonesia modern. Ada beberapa alasan yang melatari pemikiran itu. Pertama, sastra Indonesia modern lahir sebagai hasil pertemuan dengan kebudayaan Barat yang lalu wujud dalam bentuk sastra tulis. Dengan begitu, tradisi lisan (oral tradition), tersisih oleh berbagai ragam sastra tulis. Kedua, sastra Indonesia dilahirkan dari rahim sastrawan yang tidak dapat melepaskan dirinya dari kultur etnik yang membesarkan dan membentuknya. Mengingat sastrawan Indonesia berasal dari pluralitas dan keanekaragaman etnik, maka niscaya khazanah sastra Indonesia mencerminkan juga kenekaragaman itu. Ketiga, sastra Indonesia ditulis dalam bahasa Indonesia, sebuah bahasa yang diangkat dari bahasa etnis Melayu yang penyebarannya di wilayah Nusantara telah punya sejarah yang panjang. Ia juga sudah sejak lama menjadi lingua franca; bahasa perhubungan antarsuku-suku bangsa yang berbeda dan antara pribumi dan orang asing, baik dalam hubungan pemerintahan, maupun perdagangan.
Demikian, kesusastraan Indonesia sejak awal kelahirannya sudah memperlihatkan dirinya sendiri yang multikultural. Ada pluralitas yang mendiami ruh sastra Indonesia, dan dengan demikian ada keanekaragaman, baik yang menyangkut tema yang diangkat, maupun gaya pengucapan yang disampaikannya. Dalam konteks yang lebih luas, sastra Indonesia merupakan representasi pluralisme budaya yang melatarbelakangi, melingkari, dan yang melekat dalam diri pengarangnya.
Di dalam perkembangannya kemudian, representasi pluralitas budaya tadi sering dilupakan atau sengaja dilalaikan. Akibatnya, sastra Indonesia seolah-olah lahir begitu saja, tanpa proses kultural. Ia seperti tak punya kaitan dengan problem yang berada di belakangnya. Ia juga seperti tak berhubungan dengan kegelisahan dan pergolakan kultural yang berkecamuk dalam diri pengarang, baik sebagai individu, maupun sebagai anggota masyarakat yang berkebudayaan. Dengan begitu, secara tersirat kesadaran mengenai identitas kesusastraan Indonesia, sepertinya ditiadakan dan yang muncul ke permukaan adalah wadah persamaan dan kesatuan keindonesiaan yang seolah-olah homogen. Sastra Indonesia jadinya tercerabut dari akar pluralitas kulturalnya.
***
Problem dasar sastra Indonesia dalam kaitannya dengan multikulturalisme adalah kenyataan bahwa lewat wadah bahasa Indonesia, berbagai perbedaan etnis dan budaya, dianggap telah selesai. Padahal, bahasa Indonesia sekadar sarana; hanya alat bagi sastrawan kita untuk mengejawantahkan kegelisahan kulturalnya. Di dalam masyarakat-bangsa yang majemuk, pluralitas etnik adalah kenyataan. Dan kenyataan itu tidak serta-merta lebur dan menjelma dalam keseragamanan, hanya lantaran ia menggunakan bahasa yang sama.
Dalam kaitan itulah, para pendiri bangsa ini merumuskan butiran Sumpah Pemuda dengan kesadaran untuk tidak meninggalkan dan menanggalkan pluralitas etnik. Butiran kedua Sumpah Pemuda: “Kami putra-putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia” tidaklah berhenti hanya sampai di sana, karena ada butiran ketiga yang mengikuti sekaligus yang melengkapinya. Cermati rumusan butir ketiga Sumpah Pemuda: “Kami putra-putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
Demikian, secara politis-ideologis, berbagai perbedaan etnik dapat dipersatukan melalui kesadaran menjunjung bahasa persatuan dan tidak mengaku sebagai bahasa yang satu. Ini berarti ada pengakuan mengenai keberadaan bahasa yang lain. Secara kultural, masing-masing etnis tetap hidup dengan keanekaragaman perbedaan bahasanya. Tersirat, ada pengakuan kesetaraan terhadap perbedaan-perbedaan budaya yang melekat pada keanekaragaman pluralitas etnik.
Bagian itulah yang mestinya dikembangkan sebagai bentuk pengakuan dan sekaligus apresiasi terhadap perbedaan yang memang sejatinya telah ada sebagai kenyataan. Jadi, pemaknaan terhadap butir kedua dan ketiga Sumpah Pemuda itu bukanlah dalam kerangka monokulturalisme yang menekankan penyatuan budaya-budaya sebagai sebuah kesatuan yang seragam, melainkan dalam kerangka multikulturalisme yang mengagungkan dan sekaligus mengakomodasi perbedaan-perbedaan kesukubangsaan .
***
Sejak awal kelahiran dan pertumbuhan sastra Indonesia, politik kolonial Belanda memperlihatkan cengkeraman hegemoninya. Balai Pustaka sebagai lembaga kolonial, secara efektif memperalat sastra Indonesia untuk kepentingan membangun citra positif bangsa Belanda. Langkah-langkah politis melalui kebijaksanaan pendidikan pun lalu dijalankan. Muncullah kemudian sastra Indonesia yang elitis, yang tidak menyinggung perbedaan etnis, yang dilarang mengangkat persoalan agama, dan yang tidak boleh membicarakan semangat kebangsaan.
Hegemoni politik kolonial pun diperluas dengan usahanya membendung pengaruh bacaan-bacaan yang diterbitkan pihak swasta. Dikatakannya, bacaan-bacaan itu sebagai produk agitator dari “Saudagar kitab yang tidak suci hatinya.” Bacaan-bacaan itu berbahaya karena dapat menghasut dan menyesatkan. Dengan menggunakan cap sebagai “Bacaan liar,” karya-karya sastra yang diterbitkan pihak swasta, selalu terhadang memasuki wilayah dunia pendidikan. Jadilah, karya-karya sastra yang terbit di luar Balai Pustaka bergulir dengan konotasi yang buruk sebagai bacaan yang menyesatkan.
Sekadar menyinggung beberapa karya, sebutlah buah tangan para pengarang peranakan Tionghoa, seperti Oey Se (1903) karya Thio Tjien Boen, Lo Fen Koei (1903) karya Gouw Peng Liang, Tjerita si Riboet (1917) karya Tan Boen Kim, Nyai Marsina (1923) karya Numa, Boenga Roos dari Tjikembang (1927) dan Drama dari Krakatau (1929) karya Kwee Tek Hoaij, Itu Bidadari dari Rawa Pening (1929) karya Madame d’Eden Lovely, dan Njai Isah (1931) karya Sie Liplap. Selain itu, karya-karya bangsa pribumi macam Mas Marco Kartodikromo, Studen Hidjo (1919) dan Rasa Medika (Hikajat Soedjanmo) (1924), Semaun, Hikajat Kadiroen (1924), Hamka, Didjempoet Mamaknja (1930), Soeman Hs, Pertjobaan Setia (1931), A. Hasjmy, Melaloei Djalan Raja Doenia (1938), A. Damhoeri, Depok Anak Pagai (1938), dan Merayu Soekma, Menanti Kekasih dari Mekah (1938) termasuk karya yang diterbitkan pihak swasta.
Lalu apa maknanya karya-karya itu dalam konteks pembicaraan multikulturalis-me? Sebagai akibat dijalankannya politik kolonial yang kemudian mengalir terus dalam dunia pendidikan kita selama ini, karya-karya itu secara apriori dimasukkan ke dalam kotak roman picisan --menurut Roolvink-- dan bacaan liar menurut versi kebijaksanaan Balai Pustaka pada masa awal berdirinya lembaga itu. Buku-buku sejarah sastra Indonesia juga tidak memasukkan karya-karya itu dalam kanon resmi perjalanan sastra Indonesia. Akibatnya, banyak nama dengan sejumlah karyanya, masih tetap tercecer, termarjinalisasi, dan tenggelam oleh kanon sastra yang resmi.
Lebih jauh lagi, persoalannya tidak hanya sampai di sana. Karya-karya yang ditulis oleh para pengarang peranakan Tionghoa, banyak yang mengangkat wacana asimilasi sebagai sebuah proses pembauran etnik minoritas ke dalam masyarakat mayoritas. Dalam novel Lo Fen Koei (1903) karya Gouw Peng Liang, misalnya, proses itu tampak masih terbatas pada usaha menampilkan kultur masyarakat Tionghoa, pribumi, dan Belanda.
Hasrat mengangkat wacana pembauran itu lebih jelas lagi tampak dalam Boenga Roos dari Tjikembang (1927) karya Kwee Tek Hoaij. Percintaan antaretnis (Tionghoa dan pribumi) dibumbui pula gambaran budaya Cina dan Sunda. Di dalamnya termasuk juga persoalan kepercayaan (Konghucu dan Islam). Wacana yang juga dimunculkan Madame d’Eden Lovely dalam Itu Bidadari dari Rawa Pening (1929). Dalam karya Mas Marco Martodikromo dan Semaun, konflik budaya feodal dan egaliterian dihadapkan pada persoalan sukubangsa dan kebangsaan.
Masalah kultur etnik dan kritik tajam terhadap feodalisme dan tradisi, memang paling mudah dicari dalam novel-novel terbitan swasta dibandingkan dalam novel-novel terbitan Balai Pustaka. Kecuali novel Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis yang menampilkan hubungan dua budaya melalui Corrie (Indo-Perancis, Barat) dan Hanafi (Minangkabau, pribumi) dan Asmara Jaya (1928) karya Adinegoro yang juga menampilkan dua budaya melalui Rustam (Minangkabau) dan Dirsina (Sunda), sebagian besar novel Balai Pustaka sebelum merdeka, tidak menjadikan kultur etnik dan pertemuan antarbudaya etnik sebagai persoalan atau tema penting. Oleh karena itu, dalam novel-novel Balai Pustaka, kita akan sulit menjumpai tema yang mengangkat konflik antarbudaya atau persoalan yang ditimbulkan lantaran perbedaan-perbedaan budaya, agama, kepercayaan, sukubangsa atau ideologi.
Persoalan itu tentu saja ada kaitannya dengan politik kolonial Belanda. Nota Rinkes (1910) secara eksplisit menyebutkan tiga syarat penting yang digunakan Balai Pustaka dalam menyeleksi naskah-naskah yang akan diterbitkan. Ketiga syarat itu adalah (1) tidak mengandung unsur antipemerintah kolonial, (2) tidak menyinggung perasaan dan etika golongan masyarakat tertentu,dan (3) tidak menyinggung perasaan suatu agama tertentu. Dengan adanya ketentuan Nota Rinkes itu, maka wajarlah jika novel-novel Balai Pustaka cenderung memperlihatkan tokoh-tokoh yang karikaturis dan hitam-putih dengan persoalan seputar perkawinan dan kehidupan rumah tangga.
Persyaratan model Nota Rinkes itu tentu saja tidak berlaku bagi penerbit swasta.
Dengan demikian, penerbit swasta lebih leluasa menerbitkan buku-bukunya tanpa harus mempertimbangkan masalah etnik, agama, kepercayaan, dan golongan. Bahkan, dalam beberapa novel, pengarangnya tampaknya justru sengaja mengeksploitasi konflik-konflik yang ditimbulkan oleh perbedaan sukubangsa, agama, kepercayaan, etnik, dan golongan sebagai bentuk promosi, baik untuk bukunya itu sendiri, maupun untuk majalah tempat cerita itu dimuat secara bersambung. Peristiwa-peristiwa percintaan, kehidupan rumah tangga atau peristiwa apa saja yang menjadi berita, sering kali kemudian diangkat sebagai novel dengan menyebutkan bahwa cerita novel itu berdasarkan kejadian yang sebenarnya. Novel Lo Fen Koei, misalnya, di halaman depannya ada keterangan sebagai berikut: “Tjerita jang betoel soeda kedjadian di pulo Djawa dari halnja satoe toean tana dan pachter opioem di Res. Benawan ...”
Dengan memperhatikan tema-tema yang begitu beragam dari khazanah karya sastra terbitan di luar Balai Pustaka itu, maka di satu pihak, terbuka penelitian yang luas bagi cultural studies dan lebih khusus lagi melalui pendekatan multikulturalisme untuk mencari bentuk multikulturalisme yang pas bagi kehidupan bangsa Indonesia yang majemuk dan pluralis. Di samping itu, sudah saatnya bagi kita membuka lebar-lebar kesadaran tentang berbagai perbedaan dan interaksi kultural untuk menempatkan multikulturalisme sebagai sebuah wadah yang dinamis, ruh yang demokratis.
Meskipun demikian, tentu saja tidak semua khazanah karya yang diterbitkan di luar Balai Pustaka dapat digunakan sebagai bahan kajian. Karya-karya yang cuma sekadar mengeksploitasi konflik-konflik etnis tanpa dibarengi oleh eksplorasi literer-estetik, tentu saja tidak perlu dipertimbangkan. Nilai estetik dan literer, bagaimanapun tetap menjadi bahan pertimbangan, di samping sebagai salah satu usaha menghindar dari kepentingan ideologis tertentu.
***
Khazanah sastra Indonesia selepas merdeka, terutama di awal tahun 1950-an, sebenarnya lebih kuat mencerminkan semangat etnik kedaerahan. Dengan begitu, memperlihatkan juga semangat mengangkat kultur etnik. Hal tersebut dimungkinkan oleh beberapa faktor berikut.
Pertama, pengaruh Balai Pustaka selepas merdeka tidaklah sekencang dan sekuat sebelumnya. Nota Rinkes dan persyaratan penggunaan bahasa Indonesia yang bersih dari unsur etnik, tidak lagi berlaku. Dengan demikian, sastrawan Indonesia selepas merdeka jauh lebih leluasa mengungkapkan kegelisahan kulturalnya.
Kedua, bersamaan dengan pudarnya pengaruh Balai Pustaka, muncul pula penerbit-penerbit lain yang juga cukup luas pengaruhnya.
Ketiga, pudarnya pengaruh sastrawan asal Sumatra dan munculnya sastrawan-sastrawan dari berbagai daerah, terutama Jawa dan Sunda, makin memperkaya style, gaya pengucapan, serta tema-tema yang dikedepankan.
Keempat, masuknya pengaruh asing secara lebih leluasa, membuka ruang yang lebih lebar bagi pemerkayaan tema, gaya atau apapun yang berkaitan dengan usaha sastrawannya meningkatkan kualitas kesastrawanannya.
Keempat faktor itu terjadi pada dasawarsa tahun 1950-an ketika pemerintah Indonesia tidak lagi diganggu oleh militer Belanda. Kini, terjadinya gerakan Reformasi yang melengserkan rezim Soeharto, telah membawa ke dalam situasi yang dalam kesusastraan Indonesia kondisinya hampir sama dengan kondisi awal tahun 1950-an itu. Bahkan kini, arus deras globalisasi dan hilangnya sekat-sekat geografis dalam dunia telekomunikasi, makin meramaikan keberagaman dan kesemarakan budaya. Oleh karena itu, saatnya kini sastrawan kita mengeksploitasi keberagaman dan berbagai perbedaan budaya sebagai lahan garapannya. Ini tentu saja penting tidak hanya untuk menghindari terjadinya konflik etnik, tetapi juga menarik persoalannya dalam kerangka integrasi dan kebangsaan. Dalam konteks itulah, multikulturalisme dapat memainkan peranannya.
***
Kondisi saat ini sesungguhnya membuka kemungkinan yang sangat besar bagi laju perkembangan sastra Indonesia di kancah sastra dunia. Ada sejumlah faktor pendukung yang niscaya membawa kesusastraan Indonesia dengan mudah memasuki wilayah sastra dunia dan memperoleh pengakuan internasional. Beberapa faktor pendukung itu dapatlah disebutkan di sini sebagai berikut:
Pertama, pluralitas kultural yang dimiliki suku-suku bangsa di wilayah Nusantara ini merupakan lahan yang tak bakal habis digali dan dimanfaatkan bagi pemerkayaan khazanah sastra Indonesia. Periksa saja karya-karya yang dihasilkan sastrawan kita yang mengalami kegelisahan kultural atas budaya etniknya sendiri. Dari kultur Minangkabau, misalnya, kita dapat menyebutkan nama-nama Darman Munir lewat novelnya, Bako (1983) dan Dendang (1990), Wisran Hadi, Orang-Orang Blanti (2000), dan Gus tf Sakai, Tambo: Sebuah Pertemuan (Grasindo, 2000). Dari kultur Jawa, dapat disebutkan di antaranya, karya Arswendo Atmowiloto, Canting (1986), Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Umar Kayam, Para Priyayi (1992), Kuntowijoyo, Pasar (1994), dan Danarto, Asmaraloka (1999) dan antologi cerpennya, Setangkai Melati di Sayap Jibril (2001). Dari kultur Melayu dapat disebutkan karya Ediruslan Pe Amanriza, Dikalahkan Sang Sapurba (2000), Taufik Ikram Jamil, Hempasan Gelombang (1999) dan Gelombang Sunyi (2001). Dari kultur Madura dapat kita cermati dari sejumlah antologi puisi D. Zawawi Imron dan dari kultur Dayak, pilihan jatuh pada novel Upacara (1978) karya Korrie Layun Rampan.
Tentu saja masih banyak nama dan karya lain yang tidak disebutkan di atas yang memperlihatkan kuatnya kegelisahan kultural yang dihadapi pengarangnya. Niscaya pula karya-karya mereka juga sangat pantas menjadi bahan kajian kita.
Kedua, hadirnya begitu banyak penerbit di luar Jakarta, seperti Riau, Padang, Yogyakarta, Surabaya, Magelang, Bandung, Lampung, telah memungkinkan munculnya kesemarakan bagi khazanah kesusastraan Indonesia. Dalam hal ini, karya-karya yang diterbitkan penerbit dari berbagai kota itu memperlihatkan kuatnya kultur etnik.
Ketiga, munculnya sastrawan-sastrawan wanita dengan latar belakang budaya yang berbeda, ikut pula meramaikan peta kesusastraan Indonesia. Yang menarik dari karya-karya mereka adalah beragamnya bentuk representasi yang jika dilihat dari perspektif multikultural, justru memperlihatkan pengagungan pada keanekaragaman dan pluralitas. Periksa misalnya dua novel Ayu Utami, Saman (1998) dan Larung (2001), Dewi Lestari, Supernova (2001), antologi cerpen Dorothea Rosa Herliany, Perempuan yang Menunggu (2000) dan antologi puisinya, Kill the Radio (2001), Helvy Tiana Rosa, Manusia-Manusia Langit (2000) dan Nyanian Perjalanan (2000), Fira Basuki, Jendela-Jendela (2001), Abidah el-Khalieqy, Perempuan Berkalung Sorban (2001) dan antologi cerpen Menari di atas Gunting (2001), antologi cerpen Ratna Indraswari, Namanya, Massa (2001), dan dua novel Oka Rusmini, Tarian Bumi (2000) dan Sagra (2001).
Keempat, diberlakukannya otonomi daerah makin melebarkan peluang bagi sastrawan daerah untuk melakukan eksplorasi kekayaan budaya suku bangsanya sendiri. Dengan demikian, bakal meramaikan konstelasi kesusastraan Indonesia melalui eksplorasi dan penggalian berbagai budaya etnik. Pada gilirannya, kondisi ini makin mempertegas adanya keanekaragaman budaya dan pluralitas yang melekat dalam diri sastrawan kita.
***
Menempatkan kesusastraan Indonesia dalam perspektif multikulturalisme pada akhirnya menggulirkan pertanyaan mendasar: peranan apa yang hendak dimainkan sastra Indonesia di dalam kerangka multikulturalisme?
Melihat kenyataan pahit bahwa di berbagai daerah terjadi konflik etnis dan agama serta munculnya benih-benih disintegrasi, sangat boleh jadi pemicunya lantaran hilangnya toleransi dan pemahaman budaya etnik yang lain. Dalam konteks itulah, sastra Indonesia yang merupakan salah satu bentuk representasi kultural sastrawannya, dapat menjadi alat yang efektif untuk saling mempelajari kebudayaan-kebudayaan lain. Jadi, melalui karya-karya sastra sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bangsa ini dapat memulai program pendidikan kebudayaan suku-suku bangsa lain yang tersebar di Nusantara ini. Bersamaan dengan itu, boleh pula dicobakan pendidikan multikultural yang bahan-bahannya, di antaranya, juga karya-karya sastra tadi. Persoalannya tinggal, bagaimana pendidikan kebudayaan-kebudayaan lain lewat karya-karya sastra itu disusun dan disiapkan guna menemukan format yang paling ideal. Barangkali, gagasan ini bolehlah dicobakan!
(Maman S. Mahayana, Pensyarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424)
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar