12/11/08

Puisi-Puisi Riswan Hidayat

http://www.kompas.com/
belajar berjalan

/1/
ada sebagian diriku ingin berucap baik baiklah di kanak kanak itu
mengisi waktu dengan serangga dan unggas unggas
lepaskan relakan yang bertikaman akan gugur dilarutan waktu
dari kamar yang akan tumbuh resah resah selalu aku masuki
awal mulaku disana dan aku berkejaran gugup mengeja tanda
puring palem cemara dan rumput mengering
aku merindukan masa kanak kanakku yang kembali rantas
engkau baik baiklah sebagian dirimu menjelma kunang kunang
menuntun menyeberangkan resah resahku

/2/
bayangkanlah dirimu menjadi kanak kanak yang belajar menapak
kaki kaki kecil itu ada di benakmu mari menari
membayangkan suara suara yang memanggil
‘aku datang memenuhi panggilanmu aku datang’ raih panggilan itu pegang erat
kelilingi dirimu mengambang tanpa meninggalkan jejak
lari kan dirimu kecil kecil bagai engkau malaikat bersayap
bayangkanlah setan itu ada didirimu lalu tikamkan tanpa ragu
sisakan untuk dirimu sendiri seseorang berdiri tegak

/3/
aku masih menjadi kanak kanak yang tak berani menatapmu
membuka menutup pintu dengan puisi yang terus berdenyut
membayangkan surgamu telah retak dan koyak koyak

yogya september 2007



belajar menuju rumah

/1/
angin membawa kerinduan akan rumahmu dihirupnya aroma nya keras
berdiri menatap langit dengan gumam lirih
gugur daun daun adalah doa mu tentang maut berkelebatan antara dua hidup dan mati
siapakah dia yang terbaring di ranjang penyakitnya
pengendara pengendara yang kemalaman yang menantang angin serta gugur daun daun
atau hanya kanak kanak yang berlarian mengejar dewasa
atau siapakah aku yang menunggu dikamar dengan pengharapan
mengulang ulang doa doa yang tak sampai sampai
atau siapakah mereka yang pura pura merasakan sakitnya
bila maut kemudian menjemput berapa tahun lagi kita kuburkan cita citanya

/2/
baringkanlah kau selagi aku memalingkan tubuh
sentuhan pasang pasang mata jadikanku orang asing mendiami muka yang asing
akan selalu gagap maka sembuhkan segala rayuan di diri mu
atau perlihatkan rutemu di rangka daun daun yang tengkurap
akan terlihat jelas akan menuju mana jalanmu

/3/
dikelokan ini kau tak harus berhenti
pesan dari moyang mu tak masalah kalah atau menang rumah menanti kepulangan
menggumamkan kabar pada mereka yang berpapasan raih pundaknya
lantunkan lagu lagu tentang unggas yang bergegas pulang petang

yogya september 2007



belajar berkata kata

/1/
aku temukan kata katamu pada sore itu asing dan tersesat
merengek rengek untuk antarkanmu singgah ke penyair pujaan
tapi aku lagi sibuk dengan diri sendiri dengan kata kata yang lincah berlari
jahanamlah dia yang liar merubuh rubuhkan imaji
terkutuklah jalan jalannya yang membabat jalan jalanku
baik engkau kusapa dan pergilah dengan baik baik
pada kata kataku yang jinak biarkan ia memamah biak
mengembarakan dirinya di waktu waktu yang lalu
menyusun kata kata masa depan puisinya

/2/
ia tetap merayu melantunkan gumam kesepian
kutanya dia masaksih cuma aku yang kau rayu
lihat penyair itu mengetuk ketuk pintu mu mungkin ingin menyewa kata kata
sambutlah dengan genit senyuman

/3/
kali ini aku ingin kau perkasa dan manis seperti unggas unggas
persiapkan dirimu jangan merayu
atau pergilah sebelum aku membantai kelamin kelaminmu

yogya september 2007



belajar beternak

ia mengobral bermacam kata kata dilepasnya di udara di laut di darat
berharap seseorang yang culas menangkap dan memenjarakan
dalam kandang kandang besar keangkuhannya

ingin kutangkap unggas unggas yang beterbangan dari kilat masa lalumu
akan kurawat kuternakkan dengan senyum dan telaten
kau jangan terkejut bila aku datang dengan senyum lebar
kata katamu telah bertelur dalam diriku
sedang belajar menetas kemudian memamah biak
aku tahu ia bukan mahluk dari planet asing tapi tersesat di negerinya sendiri
ia yang bayi masih menyesap nyesap sepi
ingin terus bergelayut di payudara ketololanmu
akan ku culik ku sapih dengan tidak kejam aku rawat dengan tekun
ketika mereka besar ku ekspor ketempat asal para pengobral kata kata
kenegeri negeri para penyair palsu

yogya september 2007



belajar untuk tidur

ia bangkit dari ranjang yang sudah bosan dengan dirinya
ranjang itu membenci malam malam yang terengah engah
berdecitdecitnya juga membuat ngilu
ia tak mau dirinya dipakai untuk menternakkan kata kata lagi
yang ketika dewasa beterbangan melupakan muasalnya

ia ingin menyepi kali ini diselonjorkannya impian impian
ia jadi terkekeh geli membaca baca file file tentang rahasia rahasia tidur mu
aneh kata semua orang kau ingin belajar tidur di hari sabtu
lalu siapa yang mengorok sepanjang malam malam
membuatku menjagai malam minggu

ranjang itu bangkit dan menguap pelan ditubuh penyair palsu
ia agak tertekan menjajal tubuh barunya
tapi segerombolan kata kata terus menyerbu kepalanya
ia pun cepat bosan dan memutuskan untuk tidur seharian

yogya september 2007



belajar mencetak kata kata

segerombolan kata kata yang kerap menyambangimu malam malam
yang dilepaskan oleh penyair pujaanmu
yang coba kau tangkap kau ternakkan dalam kandang kecilmu
yang coba kau pahat kau matematika kan
yang coba kau cetak dengan cetakan puisinya
kini menjadi vampire dimalam malammu menyergap otakmu mengkramkan otakmu
mengalakazamkan dirimu menjadi dirinya

seperti katak hup kata kata itu kau tangkap
dan menyeretnya dibawah langit yang berlapis lapis
meramukannya dalam geremis cuaca kata kata
kau ucap mantra sihir itu yang mencetak dirimu sendiri dari kegaiban kegaiban
seorang yang tolol yang menangkap kata kata dan tergelincir
dalam malam malam puisi
mengecipakkan diri sendiri dideras aliran kata kata

yogya september 2007



belajar menjadi tua

pada malam yang kering imajinasi
penyair palsu itu mengatakkan sesuatu kepada umur yang kerap membuntutinya
seharian kau telah berdansa dengan kata kata istirahatlah dengan tenang
kau ingin kukecup sebelah mana lalu kupakaikan selimut yang lugu
kasihan ia sangat letih menanggung keinginan keinginan membuka topengnya
tapi itu bukan masalahku aku ambil jaket pakai sepatu
pamit dalam lelapnya yang lagi berlagak membaca sajak sajak
kau ingin oleh oleh apa aku akan berburu kata kata
yang belum pernah kujumpai disisa hidupku

yogya september 2007



belajar dari kabut

syahdan kabut menjelma dalam derai derai keinginan asing
ia mulai memakai gincu dan bedak tebal tebal sepanjang jalanan
hei kau di sana tak lagikah mengenalku seseorang yang biasa mengecup pipi dalam kesendirian
berkabar tentang luas angkasa berceloteh tentang cinta yang diobral dari derit sebuah ranjang
mula mula ia hanyalah suara suara asing yang dilarikan oleh kesepian kesepian
lalu takluk oleh tawa yang kembali asing

seorang malaikat terus membuntuti membisikkan lakon lakon tragis para pendahulu
hari ini ia tak ingin jadi nabi yang mengkotbahkan masa depan sunyi
ketika dirinya sendiri adalah kesunyian

kabut itu menebal lagi sebentar dendam seseorang akan pudar
kelak hanya kisahnya yang terbawa dan kau dengar lamat lamat
pada angin yang menjamah dan membugilkan pohon pohon
pada hujan hujan yang cerewet membuat basah
ingin ia ucap kunjungi aku dan selimuti gigilku

september 2007



ziarah bapak

menatap kau dalam doa doa sendiri dan tolol
membayangkan moyangmu berkuda mengembara di bukit bukit
derap larinya masih kau dengar ketika sunyi malam malam
ringkik kuda juga gemerincing kereta yang lewat
di dirimu kupandang sisa prajurit itu layu
gagah terkikis jaman yang tak lagi menyimpan gaung
bukan bagian ku lagi
di jalan jalan yang semakin panjang dan pudar
atas sisa sisa masa lalu bertanggalan dalam kecamuk pikiran yang tak diucap
retak dibongkah bongkah nisan
bapak diam dengan tatapan mata yang tunduk

desember 2007



ziarah kata kata

ia akan menggumam lirih tentang kata kata mengeluh tentang masa depan
seseorang yang letih dan banyak berharap pada masa lalu
membanggakan sesuatu yang tanggal
ayolah minum obat mu lekas sembuh ya ini baca buku penyair pujanmu
kau berharap lebih lebih membuat nyaman
menguntit kata kata lincah dan riang seperti seorang paparazi
memotret murung dan kesepiannya yang tertangkap sekilas
ayolah kau lebih cerdas dari itu
telah lebih ¼ abad kau taklukan waktu atau jangan jangan kau tergelincir didalamnya
menggapai gapai dalam deras jaman
engkau kah
terbentur dinding dinding chairil berdarah darah didalamnya
terperosok terpincang pincang karena sutardji
terlamun di awan abadi bersama sapardi
ya kau boleh memaki kata kata telah dicuri habis para pendahulu
bila haus memburumu
kau tinggal selangkangan saja di televisi sepanjang malam di bulan desember
dalam petuah nabi nabi baru

desember 2007



ziarah ibu puisi

ibu hendak kemanakah kulesakkan puisiku yang datang berduyun duyun ketika petang
ketika awan bergegas ketika pengendara pengendara menatap langit dengan cemas
atau biarkan ia menjadi ranjang untukmu menemani hari hari dengan gumam dengan mimpi mimpi untuk berlari menuju kabah

ibu maghrib hampir tiba kan kukunci semua jendela duduklah ditepi ranjang yang pengap
dari puisi puisi yang kubiarkan merana dan mati maaf kubersihkan nanti

aku sendiri terluka bu menatap jaman menatap diri sendiri dan kesepian
terbabat waktu dan membiakkan hari hari dalam keberuntungan dan ketakberuntungan nasib
puisi puisi yang tak kukenali lagi menyapa pelan tetapi menggelisahkan ku
adakala kutemukan dirinya dalam unggas unggas dalam pengendara pengendara yang melaju
yang mengkepak kepakkan waktu diredup cahaya

ya tadi malam aku impikan kursi rodamu ia melesat cepat pergi
kulihat kau berlari lari kecil mengejarnya ku bayangkan itu ditanah suci
impian impian tentangmu adalah mimpi mimpiku sendiri bu
dan kau adalah aku yang mengakrabi ranjang demi ranjang puisi yang jenuh tapi tak beranjak

beranjaklah puisiku seperti ibuku dulu dari kanak menjadi dewasa kawin dan berbiak
jangan sakit jangan berdiam saja diranjang seperti ibuku dia memang sakit
belajarlah menjadi luka chairil yang kan berlari membawa hilang pedih perihnya

beranjaklah puisiku jadikan aku pengendara kata yang bergegas seperti unggas unggas disore hari
ada kepastian untuk pulang dan membaringkan tubuh di ranjang kumel dengan puisi
seharian terasing dalam rutinitas dan aku tenggelam didalamnya tak keluar keluar
sebagai burung yang pulang senja aku terkapar lagi

dengus kereta yang melaju dan aroma para pengembara antar kota kota masih merayap pelan di mimpi mimpi pagiku mengantarkan puisi puisi tentang perjalanan di akhir malam
aku terkapar dalam ranjang dan membangun puisi dari batuk dan rewelnya ibu
yang sering memanggilku malam malam ketika puisi tak lagi disampingku
ia menderit dikursi roda yang kudorong pelan sementara bapak para sajak lelap tidurnya
ia lelah dan mulai menua

maaf ibu ini hanya ziarah ku padamu pada puisi puisiku

yogyakarta, februari 2008



ziarah tuan penyair

aku ingin merekam gerak angin dari perjalananmu tuan dari desir dari cemas mungkin mual
membaca gelegak persinggahan persinggahan kata yang berbiak liar dan binal
ia yang kikuk bermain kata ia yang canggung menggiring kata
membuka menutup folder menanggung kesepian sepanjang hidup
semua telah tertata rapi tuan dalam file file masa depan puisi puisi palsu
yang seolah berlari cepat ditempat semula jangan bertanya tentang apa apa
kau yang mulai mengutil gaya dan kata kata penyair terdahulu dalam gerak senantiasa terbaca
ya mari bergaya tuan dalam suasana pop dan banal peragakan posemu dalam gaya itu
ketika kata kata mengkelabu dalam denyut denyut pasar pasar
urat nadi penyairmu tak lagi berpancaran lesu berhadapan dengan teriak anak anak sekolah
mampus berhadapan dengan chairil sutarji sapardi gunawan dan para bangsat pendahulu

(aku ziarahi kau berulang ulang tuan atas segala berulangnya kematian
dari rahim kata kata yang belum selesai mengamukkan sepi aku tuntas sendiri
malam nanti mungkin kau tikam dirimu mungkin kau akan amis sajak sajak
ayo tergelaklah bersamuku dalam tak tik keyboardmu
sebelum virus menghapus huruf huruf ditimbunan segala sajak copy paste ini )

tuan tidakkah kau lelah membaca tanda tanda dan tak tahu tersesat didalamnya
dari deru perjalanan tak usai usai mengkibas kibaskan nasib dideras kata mengalir
gerbang demi gerbong telah langsir kau sadari kau wayang sekaligus dalang dan penontonnya
kau mayat penyair yang akan mengubur dirimu sendiri
mari tuan telanjang dan bergaya dalam suasana melodrama menjelmakan diri sebagai darwis sang penari
mari bersuka mari berlupa menyakiti diri sendiri dalam lamun kanak kanak abadi
jangan kau menanyakan sesuatu yang menyelinap dalam serpih waktu tentang kesetiaan
bercerminlah mengagumi diri sendiri dan mengenang gairah gairah konyol di perjalanan puisi
membisik lirih dari rusuh dadamu apa lagi yang harus kubeli selain mimpi mimpi
dalam gerak lambat dibangunkan oleh kuyu dirinya ia ucap: banyak yang belum rampung tuhan

yogyakarta, februari 2008



bapak menanam jagung

‘menanam jagung tidak usah mencangkul dalam dalam’ kata bapak ia akan serampangan saja menabur benih di halaman dalam beberapa hari benih benih itu tumbuh makin tinggi
bapak rajin menengoknya kadang dia berbisik seperti bercakap cakap dengan kekasih
ibu menggerutu dan kumat rewelnya merasa diduakan
‘menanam kedelai saja sekarang mahal harganya’ ibu berteriak dari kursi roda dengan bersungut
tapi bapak seorang yang berpendirian keras dan teguh dulu ia mengganyang komunis tanpa ampun
pikirnya telah mempunyai beberapa keledai dirumah untuk apa memelihara banyak banyak
‘merepotkan lebih murah beli dari luar negeri’ jawabnya tapi ia sangat mencintai indonesia
karena tiap bulan masih menerima gaji dari sana

benih jagung itu tumbuh membesar dan bapak makin sering menyanyikan lagu menanam jagung
pada bagian ‘cangkul cangkul cangkul yang dalam...’ diulang ulangnya dengan nada nada tinggi
entah mengapa aku merasa ia seperti puisi yang sukar dibaca karena kelelahan menggapai makna
kusahut dengan lagu burung kakak tua kesukaanku ‘ kakek sudah tua giginya di jendela..’
ia akan muram dan membenamkan diri dalam tanaman jagung tak mau bicara sampai sore
kudengar kikik ibuku seperti trilili lili lili nya burung kutilang
agar tak merepotkan nanti kubantu bapak mencabuti rumput rumput yang selalu tumbuh
sambil bercerita sekenanya tentang naiknya harga harga bahan pokok matinya mantan presiden
dan banjir dimana mana ia tertawa dan aku senang untuk tak membujuk bujuknya makan malam

ibu sangat suka kupu kupu tapi bapak membenci ulat ulat yang menggerogoti daun daun jagung
pinta ibuku biarkan ulat memakan daun daun jagung biarkan mereka menjadi kupu kupu
ibu merasa gembira pada terbang kupu kupu naik turunnya dan mengembara kemana mana
ia akan merasa tidak di kursi roda terlebih kupu kupu akan memberi pilihan banyak warna
bapak merasa letihnya hilang bila pohon jagungnya tak ada ulat yang merobek daun daun
membuatnya kesetanan membantai ulat ulat
menghitung situasi yang menyebabkan mereka bisa perang ku usulkan agar bapak menanam jagung di tanah tetangga sebarlah benih jagung disana saranku biarkan pohon pohon jagung disini untuk ulat ulat dan kalau mau perang dengan tetangga saja pikirku sambil tergelak
bibit itu mulai tumbuh bapak gembira dan menenggelamkan dirinya seharian disana
‘cangkul cangkul cangkul yang dalam...’kusemangati bapak dengan lagu itu

yogyakarta februari 2008



belajar mencangkul

karena terkenang akan lagu dimasa kecilnya yang riang dan guru sd nya yang kemayu
diusianya yang kepala enam itu ia ingin belajar mencangkul
mengisi waktu waktu luang dari masa pensiun dan membunuh rasa frustasi akan sepi
ia ke pasar dan pulang membawa cangkul
‘tanamlah gandum’ pinta istrinya karena harga gandum makin tinggi saja
‘tanam kedelai saja pak' kedelai kini hilang dan menjadi buronan di telivisi’ kata sang anak
‘tanam pohon jati saja supaya kampung kita bebas banjir’ sahut tetangganya ikut ikutan
tapi ia tak bergeming ia hanya ingin mencangkul saja tanpa menanam apa apa
ia punya harapan pada suatu waktu ia akan menanam dirinya menanam mimpi mimpi utopianya
dikenang akan penguburan mantan presiden di televisi
dipersiapkannnya calon kuburannya itu dengan cermat
tapi semak semak di halaman makin gagah meninggi membuatnya capai dan gerah
dengan tekun dan telaten dicangkulnya halaman itu inci demi inci seperti sepasang pengantin muda
tapi halaman yang ia cangkul minggu lalu kini tumbuh rumput lagi dan itu mengecoh
karena lelah ia tertidur disela sela mencangkul dan bermimpi cangkul itu mengejarnya
ia tergagap bangun dan cangkul itu masih meringis disampingnya diayunkanlah cangkul itu ketanah dengan keras ia masih dendam karena dalam mimpi cangkul tadi mengejar ngejar
hendak menumpahkan darahnya tanpa ampun
diayunkankan cangkul itu ketanah seperti kesetanan
menerjang batu batu menerjang tembok tembok bisu tanpa sadar kakinya berdarah darah

dimalam ketika tidur cangkul itu datang lagi mengejar ngejarnya dalam mimpi
ia lari sekencangkencangnya tetapi terjungkal karena kelelahan ia terkapar dan pasrah
cangkul itu berdiri didepannya hanya diam mengenangkan sesuatu lalu menangis
aku sangat lelah katanya jangan gunakan aku lagi ia meminta dan memohon mohon untuk memensiunkan dini dirinya dan berkeluh aku tak punya teman petani lagi
ia tergagap bangun dari mimpinya dan belum sempat mengatakan sesuatu
dengan terpincang ia menuju dapur menengok cangkul itu yang kelihatan sendu dan basah
dielusnya gagang cangkul seperti mengelus kepala bocah yang merajuk
‘ya ya baiklah besok akan ku cangkul sawah sawah itu’ gumamnya seperti berkata pada seorang cucu

yogyakarta februari 2008



pergi kepasar burung

pak tua merasa sunyi dihari tuanya suara suara yang dulu kerap mendatangi ketika masih berkuasa kini hening seperti malam malam hanya bolak balik cemas ketika ia bercermin selalu bertambah kerut kerut diwajahnya ‘kenapa ya tidak seganteng dulu’ jerit lirihnya pilu
dipandangnya sepeda tua yang dulu dipakai ayahnya mengantar sekolah kini kusam tak terawat
kenangan kenangan itu menyergapnya ketika letih bercermin menyesali tubuh yang digerogoti waktu baru seperti kemarin ia melintas gagah tanpa sempoyongan
‘besuk antar aku ke pasar burung ya’ kata pak tua kepada sepeda itu sambil membersihkan luka luka
diberinya pelumas pada ruas ruas usia dipompanya roda roda waktu yang menggelindingkannya
dalam akhir usia dalam keterlantaran hidup diusapnya rangka rangka itu pelan pelan tak ada senandung lagi dalam karatnya

pagi pagi ia bangun mengeluarkan sepeda menggenjot sekuat tenanga ke pasar burung
ngosngosan langsung menyergap ditikungan pertama dan ia mengutuk masa produktifnya
tapi sampai juga ia disana ditengah hari dalam sedu sedan binatang yang terbuang
digelontorkan sepeda itu dan menabrak tembok di parkiran dan tersungkur ia sendiri berdiri nampak tak bertenaga gagah 45 di lamunannya byar pet berkunang kunang
berkeliling juga akhirnya menyusur los los menyusuri masa lalunya
ia nampak tertarik dengan burung yang digantung di los pasar paling depan
burung hitam gagah dengan pandangan galak dan lincah mengingatkan akan masa muda penuh gairah
kubeli ini kata pak tua kepada penjualnya diulungkannya uang tanpa menawar

meskipun kesulitan membawanya pak tua memancal pedal sepeda pelan pelan
tangan kirinya menjinjing kurungan burung yang besar dan gagah
di gang masuk desanya ia disalip raungan motor seorang pemuda membuatnya tergagap dan oleng kurungun itu terpental dan jatuh juga suara gelepar burung yang menjauh

digantungya kurungan sunyi itu diteras sambil diingat ingatnya akan burung hitamnya
besar hitam gagah dan lincah ‘seperti masa laluku’ katanya pelan pada diri sendiri
karena tak ada burung yang di pandangi sambil membaca kenangan ia pun lekas bosan
ingin ia tunjukkan burungnya dibukanya sarung dilihatnya isinya kurus layu dan berkerut kerut
ah

yogyakarta februari 2008



sajak orang laut (1)

pernah aku minta izin ibuku untuk menjadi orang laut bermain main ombak seharian
memancing dengan senar senar yang melambai menjaring kecipak ikan dengan riang
menggosongkan tubuh menjadikannya liat dan legam di bawah terik matahari dan amis ikan ikan
‘nenek moyangku orang pelaut’ senandungku kelu mencari celah agar ibu tak membenci laut
ibu membenci pantai dan kapal kapal nelayan dengan bendera kecil yang berkibar kibar
ibu membenci ombak, penyu, lumba lumba, ganggang ganggang dan udang udang
bapak pergi ketika paceklik ikan ikan dan laut bergelombang dengan angin bergemuruh
dalam sajak sajak cengeng tentang cuaca ’bapak ditelan ombak’ begitu kata ibu ketika kecilku merajuk di tempat tidur merindukan bapak
‘semua kotoran akan berujung disana’ tegas kata katanya melarangku
tapi tubuhku liat legam amis ikan ikan dan aku tak inginkan ibu dalam sajak sajak sendu

(bagaimana kulit ibu bersih tak tersentuh angin laut?
bagaimana ia dapat hidup di tempat yang di bencinya?
adalah sajak sajak pengembara dari jauh dengan sawah sawah, gunung gunung, pepohonan , ungas ungas, tangis terusir dan kalah)

aku menginginkan gemuruh laut dengan gelombang gelombang yang menerjang karang
keras menghempas di wajah wajah para nelayan di wajahku perahu yang membelah ombak
melempar jaring dan kail di laut yang dalam
aku tak mau kecut memandang gelombang ketika kapal kapal raksasa membongkar jangkar
mengangkut segala hasil laut
tapi cuaca makin mengamuk dan gelombang menghempaskan perahu perahu remuk
orang orang laut terlempar bagai buih buih terpinggir dan jatuh
memandang tiang tinggi berbendera merah putih compang camping mencoba tegar berkibar kibar

yogyakarta februari 2008



sajak orang laut (2)

perompak malaka itu telah merebut pulau demi pulau
merampas para pemuda untuk dijadikan tentara
menjadikan budak para perempuan kami

jadi kau hanya kecipak dari lamunan ombak menggigil tak sampai sampai
menghembus hembuskan kejayaan silam dengan bendera di perahu yang berkibar kibar
melebarkan daratan dari semenanjung ke semenanjung dengan teriak lantang
dari denting pedang para pendahulu
dan aku letih menanti
darataan demi daratan di tengah samudra bukan milikmu lagi
pasir laut diangkut juga penyu, lumba lumba, ganggang ganggang dan udang udang

nenek moyangku orang pelaut dan kau perahu nelayan yang gamang berlayar
miris pada gelepar angin kecut memandang gelombang datang
kau terlempar di sebuah pulau asing yang tak bernama dari nama para pahlawan
menjadikannmu pengecut memakan amis mentah ikan ikan meminum air hujan hujan
melayari daratan dengan punggung tertekuk
dihembus cerita cerita tentang moyangku yang menjadi amis ikan ikan
perahu perahu yang didorong menepi dari ganas gelombang tak mampu bangkit lagi

yogyakarta februari 2008



sajak orang laut (3)

mari mendewasakan diri dalam amuk gelombang
masuki pasang laut bagai ikan ikan masuki mulut induknya
laut adalah mulut bagi induk ikan ikan dan para nelayan
gelombang laut adalah mulut tempat perahu membesarkan dirinya
terserpih di daratan atau hancur di dasar lautan
nelayan itu merasa sebagai anak anak ikan yang dierami induk dalam mulutnya
dimasukinya amuk gelombang laut perahu meluncur terbanting dan karam

selamat tidur nak istirahatlah dengan tenang kukibaskan aroma laut dan kecipak amis ikan ikan

yogyakarta februari 2008



hujan di waktu senja dalam sajak sajaknya

ia ingin berhujan hujan di suatu senja di dalam sajak sajak tentang hujan
ia akan mencoba menangkap titik titik air yang jatuh menyelinapi sinar yang makin pudar
dari sebuah sore yang layu sebelum gelap memerangkap dalam cerita cerita tentang hantu
yang akan keluyuran dalam sajak sajak
ia menduga hujan telah terperangkap dalam sihir sajak sajak
menjadi sendu diwaktu gerimis
menjadi tawa riang ketika panas datang
menjadi ayat ayat dan mantra para peziarah cinta yang selalu disenandungkan

ia mencintai sajak hujan diwaktu senja gemuruhnya membawa banyak cerita
dalam derap derap gerombolan kuda dan ia memimpin di sana memberi perintah
mendatangi padang padang membunuh gersangnya
mendatangi panas hatimu dan memadamkannya

kecipak hujanlah yang mengajari berdansa diwaktu kanak
pada tak tik tak tiknya yang mengajak tamasya kenegeri negeri jauh
yang akan dikunjungi kelak ketika dewasa
tapi hujan menginginkannya menjadi kanak kanak abadi dibawakannya banyak cerita
dan ia terjerumus di sana dalam lengkung pelangi dalam ruji ruji deras air di waktu senja

yogyakarta februari 2008



suatu hari ia ingin menjadi penyair

suatu hari ia ingin menjadi penyair ketika habis dibaca sebuah puisi tentang perahu nelayan
semua kata kata itu rontok dan menjadi ombak yang mengamuk dikepalanya ganas
dicarinya jalan untuk menjadi penyair dibukanya buku buku yang mengulas tentang puisi
pada kekasih kesunyiannya pada cuaca pada unggas unggas di mintanya untuk menuntun ke jalan puisi sebagai pengendara sunyi
susah payah ia membangun membabat rimbun dan belukar kata kata tak cerdas
ditemukannlah jalan itu dari kegelisahan pengendara pengendara yang bergegas
yang menengok mencari arah yang terus berguman ‘kemana kemana sunyiku pergi ?’
sambil membuang senyap senyapnya yang dingin
hanya ungas unggas yang berkelepakan di udara begitu bila ia berpaling dan terkecoh
didengarnya gaung dari gumamnya ‘perjelas jalan mu dengan waktu’
membuatnya semakin tolol menyusur dipengembaraan amis kata kata
dalam semua jalan yang kini menjadi persinggahan yang tak kekal
menjadikan kanak kanak yang rewel menangis merindukan ibu yang merindukannya
memimpikan ibu yang memimpikannya menjelmakan kata kata yang menjelmakan dirinya
pada hari itu ia ingin sekali menjadi penyair
membacakan sajak dengan kalem seperti gerimis yang ragu ragu dibulan april
berpose tolol dan serampangan dalam diri selebritis ngepop dan banal
berteriak dalam rusuh angin dan menyesap nyesap sepinya

(tuan, konon penyair itu terbuang dari kawanannya dan melangkah terseok sendiri sedang mencari cari jalan maukah kau memperlakukan sebagai kanak kanak yang periang?
lihatlah jalan yang kerap dilewatnya rumput tak tumbuh tanahnya licin dan sehangat pelukan
lihatlah sampah sampah yang menumpuk buram disitu penuh igauan igauannya
tuan, orang itu kini ada dalam diriku menimbun sepi sepi mencurangi takdir mengakali segala cuaca
memanipulasi tanda tanda mengangkangi jalan dan menjelmakan diriku menjadi hantu atas segala nasib
tuan, aku akan mendatangimu malam malam dan mencekikmu dari mimpi mimpi)

yogyakarta februari 2008



apa yang kau pikirkan ketika membuka halaman peta

apa yang kau pikirkan ketika membuka halaman peta dunia
betapa kau bisu untuk berkata membayangkan ragam bahasa yang tak kau mengerti
dapat juga kau tanyakan apa arti sebuah buku puisi disini
ketika kau adalah sebuah koordinat titik yang tak beranjak dari semesta
tak mengerti arti lautan hindia bagi nenek moyang
kau dapat mengira kemana arah angin, luas laut, kedalaman laut, waktu yang tepat untuk mengarung samudra menaklukan badai menguras isi laut atau menjelajah pulau pulau di nusantara
tapi kau angkuh meninggalkan bayang bayang masa lalu melangkah murung di daratan mabuk laut
mengoceh seperti radio dan televisi duapuluh empat jam tanpa jeda dan henti
bercerita tentang puisi jenius yang tak datang datang pada setiap kenalan yang berpapasan

apa yang kau pikirkan ketika membuka halaman peta negaramu
tentang hasil bumi dan laut: padi jagung sagu kopi karet kelapa ikan udang mutiara
tentang pertambangan: emas perak minyak gas intan
tentang flora fauna: anggrek bunga bangkai tapir orang hutan
apakah itu dusta ketika kita saksikan itu bukan milik kita lagi

yogjakarta mei 2008

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita