11/11/08

PERSENTUHAN DENGAN TUHAN LEWAT SEMESTA*

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Dalam sejarah peradaban umat manusia, hubungan manusia dengan Tuhan selalu diwujudkan lewat berbagai cara; melalui berbagai saluran. Lihatlah masyarakat Yunani kuno yang melakukan pemujaan kepada para dewa melalui pementasan-pementasan drama; perhatikan pula gita puja (hymn; hymne) mereka yang mengagungkan para dewa lewat nyanyian-nyanyian pemujaan; simak pula seruan rohani (invocation) para pujangga yang mengawali karyanya dengan puja-puji dan penghormatan pada kesucian ilahi. Inilah gambaran, betapa hubungan manusia dengan Tuhan atau dengan sesuatu yang Agung menjadi bagian penting dalam refleksi kreatifnya.

Dalam perjalanannya kemudian, pengagungan kepada kesucian ilahi, pemujaan kepada para dewa atau kepada apapun yang transenden, kerap kali diwujudkan melalui karya sastra (puisi). Ia dianggap paling mewakili refleksi transendensi. Maka, tidak perlu heran jika dari zaman ke zaman, sastra (puisi) acapkali merefleksikan situasi ritual macam itu. Bhagavad Gita (The Song of God) adalah contoh klasik pujian dan pengagungan kepada Tuhan diwujudkan dalam bentuk puisi.

Para penyair dunia, juga tidak ketinggalan menyampaikan refleksi religiusitasnya lewat cara-cara demikian. John Donne dan John Milton, dua penyair Inggris terkemuka, ditempatkan sebagai penyair metafisika lantaran karya-karyanya menyampaikan pesan-pesan ilahiah. Tentu kita masih dapat menderetkan penyair-penyair lain berikut karya-karyanya yang menggambarkan hal seperti itu.

Dalam dunia Islam, tradisi pengagungan ilahi lewat karya sastra (puisi) juga bukan hal yang baru. Ibn Arabi, Sadi Jalaluddin Rumi, Rabiah Al-Adawiyah, Mohammad Iqbal, atau Fariduddin Attar –sekadar menyebut beberapa nama penting– niscaya bukan nama asing lagi dalam pembicaraan sastrawan Muslim (sastra sufi). Di Indonesia, Hamzah Fansuri –salah satu karya pentingnya, Syair Perahu– merupakan nama yang tak dapat dilewatkan dalam konteks pembicaraan ini.

Dalam sastra Indonesia modern, Amir Hamzah, juga merupakan tonggak penting yang karyanya dianggap bernafaskan sufistik. Belakangan, karya-karya seperti itu pernah begitu banyak bertebaran pertengahan tahun 1970-an. Apabila kini ada karya yang coba mengangkat persoalan hubungan manusia dengan Tuhan, ia sama sekali bukan hal baru. Tema itu sudah merupakan tema universal. Persoalannya tinggal bagaimana cara penyair menyampaikan kegelisahan, kerinduan atau kecintaannya kepada Sang Khalik.

***

Syair-Syair Taman A’raaf karya Aspur Azhar (1999), secara tematis juga mencerminkan persoalan hubungan manusia dengan Tuhan. Jika ia mengulang persoalan yang sama yang sudah menyejarah itu, masih perlukah karya ini diperbincangkan? Adakah sesuatu yang baru yang dikedepankan penyairnya, sehingga ia berbeda dengan karya-karya sebelumnya yang bertema sejenis?

Karya apapun, tentu perlu diperbincangkan, sejauh ia membuka kemungkinan memberi kontribusi bagi pembacanya. Lebih jauh lagi, sejauh ia punya peluang untuk menjadi karya penting.

Syair-Syair Taman A’raaf, meski diakui, memang beda dengan sejumlah karya penyair seangkatannya. Ia juga secara bersahaja menggunakan judulnya dengan “syair” salah satu bentuk puisi lama yang justru kini sudah banyak ditinggalkan paa penyair modern. Bahkan, tidak sedikit pula di antara penyair kita dewasa ini, sama sekali tidak mengenal atau tidak mau mengenal syair. Dalam konteks ini, judul yang dipakai Aspur jelas hendak memberi tempat yang pantas bagi syair.

Mencermati isinya yang memuat 43 puisi, buku ini lebih dekat kepada bentuk puisi naratif. Bahwa kemudian Aspur menyebutnya syair, niscaya ia bukan hendak menafikan istilah puisi naratif, melainkan memberi penghormatan yang proporsional atas tradisi perpuisian kita. Satu sikap arif yang justru mendatangkan rasa hormat.

Jika dikatakan ia berbeda dengan penyair seangkatannya, justru dalam hal itulah, ia tampak menonjol.

Pertama, pilihan Aspur untuk mengangkat tema hubungan manusia dengan Tuhan memperlihatkan bahwa ia sama sekali tidak tergoda pada persoalan yang sedang melanda negeri ini. Tidak ada kritik sosial, masalah politik, atau refleksi evaluatif atas peristiwa-peristiwa kemanusiaan dewasa ini.

Kedua, pilihan Aspur pada tema itu, juga berbeda dengan tema sejenis yang pernah diangkat penyair seangkatannya. Periksa saja karya Tomon Haryowirosobo, Tuhan telah Hilang (1997) yang menggambarkan pencarian sosok manusia yang gelisah; dan kegelisahannya itu diwujudkan dalam bentuk kerinduannya untuk jumpa dengan Sang Khalik. Aspur justru bukan seorang pencari yang gelisah; ia juga tidak merindukan sebuah perjumpaan aku–Engkau yang paling banyak diejawantahkan karya-karya yang bernafas sufistik.

Ketiga, justru lantaran Aspur bukan sosok seorang pencari, pengagungannya kepada Sang Khalik, bukan lewat bahasa klise puja-puji, melainkan lewat fenomena alam.

Keempat, meski Aspur bukan seorang pencari, tidak berarti pula ia serta-merta menjadi seorang penemu. Akibatnya, nafas panteistik yang banyak dimunculkan para Penemu macam Al-Hallaj, Hamzah Fansuri, Sitti Jenar atau Amir Hamzah, sama sekali tidak tampak menonjol pada karya-karya Aspur.

Kelima, meskipun ada perbedaan-perbedaan sebagaimana yang dipaparkan di atas, ada pola yang tampaknya tidak dapat dihindarkan Aspur, yaitu keterikatannya pada tradisi dan pengaruh-pengaruh yang melatarbelakanginya. Tradisi syair sebagaimana yang tersurat dinyatakan dalam judul bukunya, tampak secara sadar dijadikan sebagai alat, meski kaidah syair sama sekali tidak digunakannya. Pengaruh-pengaruh para pujangga Islam, juga menjadi bagian penting dalam dirinya. Akibatnya, kita akan menemukan gaya Iqbal, Attar, atau Fansuri –untuk menyebut tiga nama yang tampak sangat kuat mempengaruhi diri Aspur– dalam Syair-Syair Taman A’raaf ini.

Mari kita periksa!

***

Dari ke-43 puisi dalam Syair-Syair Taman A’raaf ini, satu ciri yang menonjol adalah pengagungan ilahi atas fenomena alam. Jelasnya, semesta menjadi alat bagi Aspur untuk menyapa dan bersilaturahmi dengan Tuhan. Cara inilah yang hampir tidak pernah kita jumpai dalam karya penyair-panyair seangkatannya. Dalam hal ini, seperti telah disebutkan, Aspur bukan pencari yang gelisah. Ia telah menemukan Tuhannya dalam semesta. Meskipun demikian, ia juga tidak dapat membatasi dirinya dalam ruang yang terbatas. Ia mengge-landang dalam semesta dari satu jazirah ke jazirah yang lain.

Puisi pertamanya berjudul “Di Puncak Menara Karang” penggelandangannya itu diisyaratkan lewat gambaran kemahakuasaan Tuhan: “Melalui kreasi kun fayakun/yang berangsur-angsur/Hidup bergerak menjalar/dari Rahim ke Rahim// Dari sana ia melihat hubungan subjek (aku liris) dengan objek (Tuhan) menjadi hubungan abdi-Tuan; hamba yang dhaif dan Al-Khalik yang mahakuasa. Demikian juga, ketika “Aku merasa seperti insan-insan terlempar/dari ketiadaan tak terpahamkan/ ia tetap menggelandang, bukan sebagai pencari, melainkan sebagai penemu yang belum pernah jumpa.

Posisinya yang menempati sosok penemu yang belum pernah jumpa inilah yang menjadikan aku liris terus menggelandang. Dalam konteks ini, Ana al-Haq, Al-Hallaj atau Hamba dan Tuhan tiada berbeda, Hamzah Fansuri, menjadi tidak relevan bagi Aspur. Jika Al-Hallaj atau Hamzah Fansuri menemukan Tuhannya tidak jauh dari dirinya sendiri, Aspur menemukan Tuhannya dalam kebesaran kesemestaan. Dengan cara ini penggelandangan imajinatif Aspur menjadi lebih leluasa bergentayangan ke sana ke mari; ke Timur–Barat atau ke alam di dunia entah berantah.

Ciri lain yang juga menonjol pada antologi Syair-Syair Taman A’raaf adalah pe-nerjemahan makna iqra (pengetahuan) secara luas. Pemanfaatan majas allegori (kiasan) atau personifikasi terasa cukup kaya. Meski kiasan semacam itu –dalam konteks pembicaraan hubungan manusia dengan Tuhan– banyak disampaikan Hamzah Fansuri (“Syair Perahu” yang mengkiaskan manusia dan Tuhan), Aspur justru memanfaatkannya untuk menerjemah-kan pentingnya ilmu pengetahuan (:ilmu Tuhan). Pernyataan simbolisasi pengetahuan sebagai lembing, merupakan salah sau contoh yang banyak diangkat dalam antologi ini. Dengan demikian, meski ia tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh itu, secara kreatif banyak simbol dan kiasan yang diangkat Aspur, terasa segar.

Posisi Aspur yang bukan pencari yang gelisah, dan bukan juga penemu penyatuan aku-Engkau –manunggaling kawula Gusti–, melainkan penemu lewat fenomena semesta memberi peluang yang begitu luas untuk menggelandangkan imajinasinya secara liar, namun dengan tetap menjaga jarak hubungan aku–Engkau. Fenomena semesta menjadi sekadar alat untuk menjumpai pemikiran lain, pengetahuan lain, dan tokoh-tokoh manapun tanpa terikat oleh ruang dan waktu. Muhammad Iqbal dalam Javid Namah atau Fariduddin Attar dalam Musyawarah Burung, agaknya sangat mepengaruhi penjelajahan imajinasi Aspur. Maka dialog dengan Abduh, Iqbal, Attar, Gibran, atau dengan apapun, menjadi sarana yang memungkinkan penjelajahan imajinasi itu mempunyai cantelan. Lewat cara demikian, berba-gai hal dipersoalankan, diperdebatkan, dan dikontemplasikan sebagai bagian dari penemuan Tuhan lewat semesta.

Sesungguhnya banyak hal yang tidak dapat disederhanakan lewat apresiasi seperti ini. Pemahaman atas antologi Syair-Syair Taman A’raaf memerlukan banyak referensi: Quran, filsafat Islam dan para penyair sufi. Yang menjadikan antologi ini kaya, justru lantaran acuan-acuan itu bukan sekadar tempelan; bukan sekadar pernyataan verbal, melainkan sebagai bagian integral dari penjelajahan imajinasi penyairnya. Mengingat dewasa ini hampir tidak ada penyair seangkatannya yang mengangkat tema macam itu, maka hadirnya antologi Syair-Syair Taman A’raaf tidak hanya penting dalam pemerkayaan khazanah peta perpuisian Indonesia, tetapi juga –menurut hemat saya– menjulang sendiri di antara karya-karya penyair seangkatannya.

Di tengah hingar-bingar tema sosial-politik, pilihan Aspur pada tema hubungan manusia–semesta–Tuhan, jelas merupakan langkah yang serius. Dan ia telah melangkahkan kakinya dengan meyakinkan. Sungguh, Aspur tampil dengan memberi banyak pengharapan Jika saja ia terus menekuni pilihannya ini, kita tinggal menunggu sebuah monumen lahir dari tangannya. (msm/12/10/1999)

****

* Makalah dalam Diskusi Buku Syair-Syair Taman A’raaf karya Aspur Azhar, Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 12 Oktober 1999.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita