Jafar Fakhrurozi*
Sumber, www.kabarindonesia.com
KabarIndonesia – Sampai hari ini, sebagian besar dari kita meyakini dan mengakui bahwa kelahiran Budi Utomo 20 Mei 1908 adalah momentum kebangkitan nasional, parameternya terletak pada bangkitnya kesadaran segelintir bangsawan yang dicerdaskan di negeri penjajah. Apakah memang demikian tolak ukurnya? Bicara Nasionalisme adalah berbicara kesadaran bangsa untuk menghargai dan mencintai sekumpulan manusia dalam lokalitas tertentu untuk menuju bangsa yang diakui dan dihormati bangsa lain.
Wacana itu muncul dari semangat senasib sepenanggungan sebagai bangsa terjajah. Dengan demikian nasionalisme muncul pada fase kolonialisme Eropa.
Di Sumatera misalnya, ada Cut Nyak Dien, Teuku Umar, Imam Bonjol, serta Panglima Polim yang dianggap sebagai pahlawan nasionalisme.
Di Jawa, ada pangeran Dipenogoro, jendral Sudirman, Sukarno. Di Kalimantan ada Pangeran Antasari, Sultan Hasanudin di Sulawesi, Pattimura di belahan timur Indonesia. Apakah deretan perjuangan dari pemimpin di atas juga dicatat sebagai momentum kebangkitan nasional? Jika kebangkitan nasional bercirikan kebangkitan kesadaran di tataran ide berupa edukasi, maka ada sebuah unsur yang cukup berperan dalam mengenalkan manusia Indonesia dengan dunia literasi, mencoba membebaskan diri dari keterbelakangan budaya. Sektor itu adalah sastra.
Sastra Nusantara berangkat dari imaji dan nuansa budaya sendiri. Tapi kebanyakan pada masa itu yang berkembang adalah sastra lisan. Di akhir abad IX menurut catatan Maman S Mahayana, telah ada beberapa majalah sastra yang memuat karya sastra berupa hikayat, cerita, dongeng, syair, pantun dan lain-lain seperti yang ditulis dalam sub judul sebuah majalah Sahabat Baik Desember 1980 di Betawi. Selain majalah itu disebutkan sebelumnya juga sudah ada yakni Biang-lala 1868 dan Selompret Melajoe 1860-1910 di Semarang. Kemudian pada awal abad ke-20 semakin banyak muncul majalah sastra seperti Pewarta Prijaji Semarang,1900, Bintang Hindia (Bandung, 1903), Poetri Hindia (Bogor, 1908), Bok-tok (Surabaya,1913).
Kemunculan sastra pada masa kolonialisme tidak mungkin lahir begitu saja, atau lagi-lagi menurut Maman S Mahayana, Kesusateraan Indonesia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan yang melahirkannya seolah wujud begitu saja, tanpa proses, tanpa pergulatan budaya pengarangnya. Penegasan itu adalah sebuah bentuk pembenaran terhadap kajian sosiologi sastra yang mencoba mengaitkan karya sastra, pengarang dan situasi sosial dan budaya yang melingkupinya. Tentunya kajian ini semakin memudahkan untuk menggambarkan bagaimana spirit nasionalisme telah digenggam sastra sejak jaman kolonial serta masa pra kemerdekaan.
Beberapa karya yang dilahirkan pada masa kolonialisme abad ke-19 memang belum bicara nasionalisme Indonesia. Walau begitu, kebanyakan karya tersebut sudah bicara lokalistik, sebuah konsep nasionalisme yang lebih kecil-sama seperti primordialisme. Seperti pada cerpen ”Tjerita Langkara dari Orang Isi Negeri Jang Soeloeng di Poelaoe Djawa” yang bercerita tentang perjalanan seorang raja Rum (romawi) menuju pulau Jawa yang dianggap negeri sepi sesuai keinginan raja. Dalam perjalanannya itu prajurit Raja Rum tidak dengan mudah menaklukan Jawa yang amat besar dan dihuni raksasa, setan, dan jin. (Maman S Mahayana, Perjalanan Estetika Lokal Cerpen Indonesia). Hal itu menunjukkan bahwa pengarang (tidak disebutkan) sudah memiliki kesadaran akan rasa cintanya terhadap tanah kelahiranyya-pulau Jawa-. Pengarang seolah menegaskan bahwa sebagaimana kolonialisme, itu selalu mendapat perlawanan dari penghuni asli. Namun karena keterbatasan imajinasi, pengarang lebih memberikan kemenangan pada Raja Rum, sehingga raja Rum akhirnya mampu menguasai Jawa. Hal yang sama dengan kondisi kolonialisme Indonesia selama 3 setengah abad oleh Belanda. Bahwa kecanggihan Belanda mampu menaklukan banyak perlawanan dari masyarakat nusantara.
Pada masa pra kemerdekaan, karya-karya sastra yang genre dominannya roman malah sudah menampakkan kecenderungan nasionalisme itu, pada masa balai pustaka dan pujangga baru sudah banyak karya-karya yang bermuatan politik, karya-karya sarat kritik terhadap pemerintah kolonial. Roman seperti ”Sitti Nurbaya” karya Marah Rusli, ”Layar Terkembang” Sutan Takdir Alisyahbana termasuk roman yang mengusung ide-ide nasionalisme. Ide-ide itu diselipkan dalam tema-tema percintaan, adat, dan agama. Sitti Nurbaya misalnya, menghadirkan perlawanan masyarakat minang dipimpin Datuk Maringgih melawan Prajurit Belanda. Atau dalam ”Layar Terkembang”, tokoh Tuti menjadi representasi generasi muda yang mampu mencerminkan bangsanya.
Lahirnya sumpah pemuda pada tahun 1928, semakin memperkokoh bangunan nasionalisme kita. Dengan semangat satu nasib keterjajahan, tak terkecuali di ranah sastra, angkatan Pujangga baru dengan majalah Pujangga Baru-nya bersemboyankan "Pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia". Sebagian besar angkatan 45 pun banyak melahirkan karya-karya yang bernuansa nasionalisme, ada Armijn Pane dan Chairil Anwar dengan beberapa puisi patriotisnya. Pengarang selanjutnyapun masih banyak bicara perjuangan nasionalistik. Novel Royan Revolusi karya Ramadhan KH atau Tak Ada Esok karya Mochtar Lubis. Dan yang cukup fenomenal adalah Pramudya Ananta Toer, beliau amat konsisten dengan perlawananya terhadap penindasan, baik yang dilakukan penjajah ataupun pemerintah kita sendiri.
Di Tepi Kali Bekasi dan Keluarga Gerilya adalah contoh karyanya yang menggambarkan semangat perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang selanjutnya Pramudya mengklaimnya sebagai aliran realisme sosialis bersama seniman yang tergabung dalam LEKRA. Karya-karya yang berestetika realisme sosialis seperti klaim beberapa sastrawan LEKRA semakin mempertegas keberadaan bangsa yang tunduk pada penjajah, penindasan pemerintah serta kesengsaraan. Bagi kelompok sastrawan ”kiri”, masyarakat yang berada dalam keterindasan adalah masalah yang harus segera diselesaikan, ketertindasan itu diakibatkan sistem sosial yang menindas, imperialisme, kapitalisme, dan feodalisme yang menyusup dalam sistem pemerintahan Indonesia. Maka perlu adanya perjuangan yang revolusioner untuk menghancurkan tatanan sosial yang menindas itu. Salah satunya adalah dengan menggunakan medium sastra sebagai alat penyadaran dan perjuangan menuju cita-cita luhur sosialisme. Sosialisme yang dimaksud adalah dalam konteks kebangsaan: Indonesia, bagaimana Indonesia berjalan atas dasar sosialisme. Berbeda dengan LEKRA, kelompok Manikebu sebagai opisisi LEKRA memandang nasionalisme sebagai bentuk kehidupan yang lebih humanis, meletakan rasa cinta, jiwa manusia secara lebih umum, tidak berpihak pada satu landasan ideologi, serta lebih mementingkan terjaganya kehidupan yang lebih manusiawi, tidak saling menyakiti homo homini lupus).
Bicara nasionalisme hari ini, antara penting dan tidak penting. Dirasa penting saat kita dihadapkan pada persoalan identitas sebuah bangsa, misalnya ketika menonton pertandingan timnas sepakbola melawan Bahrain tempo lalu. Menjadi tidak penting jika kita melihat cara kerja globalisasi atau Francis Fukuyama menyebutnya era neoliberalisasi. Di mana fungsi negara sudah tak lagi berperan, sebab dengan mudah kepentingan asing masuk ke Indonesia. Rasa-rasanya kita tak punya negara (nation state) melainkan sudah menjadi negara global (global state). Akibatnya, bangsa kita diobok-obok asing, masyarakat yang belum cerdas dipaksa mengikuti arus global, yang susah tetaplah susah dan terbelakang, yang kaya tambah korup. Kalau sudah begitu bisa bubar negara Indonesia. Dalam kondisi yang mahagenting macam itu, hemat saya, sastra harus mengisi posisi dalam ruang-ruang nasionalistik yang sudah terburai, menjahitnya dengan penuh estetis. Ini boleh diartikan sebagai sastra propagandis, tidakpun boleh.
Pramoedya AT mungkin telah banyak membahas perjuangan sektor sastra, bahwa sastra memiliki tugas-tugas revolusioner. Tugas itu lahir dari sobekan realita. Dalam kondisi realitas objektif masyarakat yang tertindas. Sastra dibuat untuk berpihak pada siapa? Penindas atau tertindas, atau sastra hanya menjadi mediator vertikal ketertindasan.
Sastra adalah bertugas. H. B. Jassin sendiri pernah merasa perlu menterjemahkan tugas sastra ini pada tahun-tahun Revolusi Agustus dari karya Sartre, dalam "Mimbar Indonesia" sedang karya Sartre ini kemudian pun dicetak pula dalam majalah "Indonesia" (1949). Bahwa sastra memikul tugas, kini tak banyak lagi disangsikan orang. Pada awal tahun 1950-an sastra banyak kala dianggap sebagai tujuan, sebagai mantra, suatu anggapan yang menyalahi realita. (Pramoedya Ananta Toer, Jang Harus Dibabat dan harus Dibangun, Bintang Timur (Lentera), 7 September 1962). Sebuah aliran yang amat tendensius, para sastrawan ”murni” yang apolitis menganggapnya terlalu berlebihan, dan politis. Beberapa penolakan atas pandangan Pram tersebut memberikan gambaran bahwa telah terdapat perbedaan persepsi mengenai tugas-tugas yang harus diemban sastra itu.
Sebagai representasi jiwa manusia (masyarakat), tidak salah kalau sastra ikut bertanggungjawab atas dinamika perubahan sosial yang terjadi, akankah sastra menghadirkan karya-karya yang mampu membangun kesadaran masyarakat untuk maju. Atau sastra hanya jadi bagian keisengan masyarakat sebagai upaya pelarian dari realitas objektif yang sangat pahit. Senada dengan apa yang dikatakan Ajip Rosidi bahwa bahwa persoalan sastra Indonesia tak dapat dilepaskan dari persoalan politik. Untuk itu keasadaran akan kebangsaan menjadi sebuah keniscayaan dalam sastra.
Namun Apa yang muncul dalam dua dekade terakhir sangat memprihatinkan. Berakhirnya polemik Lekra dan Manikebu seperti mengakhiri dinamika sastra kritis. Sastra kini kebanyakan tak terlalu peduli persoalan kebangsaan. Runtuhnya rezim otoritarian tahun 1998 tidak dipandang sebagai transisi nasionalisme kita. Kita lupa kalau penjajahan gaya baru ala globalisasi semakin mempersempit rasa nasionalisme kita. Sebagian sastrawan malah memanfaatkanya untuk melahirkan karya-karya yang sangat ringan, tidak perlu ruwet, asal diterima masyarakat. Mungkin kita juga lupa kalau masyarakat tengah dikemudikan arus itu. Di manakah kini keindonesiaan kita? Kini tengah sistem sosial seperti itu, kita masih harus optimis dan masih ada peluang bagi sastrawan untuk bicara Indonesia. Itu pula yang mungkin sedang diperdebatkan sebagian sastrawan kini di beberapa media. Mudah-mudahan perdebatan itu cukup menyemangati kembali bagi para sastrawan untuk memikirkan bangsanya..***
-------------------
*) Penggiat sastra di Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI. Gemar bersyair.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar