21/10/08

Sastra dan Keindonesiaan Kita

Jafar Fakhrurozi*
Sumber, www.kabarindonesia.com

KabarIndonesia – Sampai hari ini, sebagian besar dari kita meyakini dan mengakui bahwa kelahiran Budi Utomo 20 Mei 1908 adalah momentum kebangkitan nasional, parameternya terletak pada bangkitnya kesadaran segelintir bangsawan yang dicerdaskan di negeri penjajah. Apakah memang demikian tolak ukurnya? Bicara Nasionalisme adalah berbicara kesadaran bangsa untuk menghargai dan mencintai sekumpulan manusia dalam lokalitas tertentu untuk menuju bangsa yang diakui dan dihormati bangsa lain.

Wacana itu muncul dari semangat senasib sepenanggungan sebagai bangsa terjajah. Dengan demikian nasionalisme muncul pada fase kolonialisme Eropa.

Di Sumatera misalnya, ada Cut Nyak Dien, Teuku Umar, Imam Bonjol, serta Panglima Polim yang dianggap sebagai pahlawan nasionalisme.

Di Jawa, ada pangeran Dipenogoro, jendral Sudirman, Sukarno. Di Kalimantan ada Pangeran Antasari, Sultan Hasanudin di Sulawesi, Pattimura di belahan timur Indonesia. Apakah deretan perjuangan dari pemimpin di atas juga dicatat sebagai momentum kebangkitan nasional? Jika kebangkitan nasional bercirikan kebangkitan kesadaran di tataran ide berupa edukasi, maka ada sebuah unsur yang cukup berperan dalam mengenalkan manusia Indonesia dengan dunia literasi, mencoba membebaskan diri dari keterbelakangan budaya. Sektor itu adalah sastra.

Sastra Nusantara berangkat dari imaji dan nuansa budaya sendiri. Tapi kebanyakan pada masa itu yang berkembang adalah sastra lisan. Di akhir abad IX menurut catatan Maman S Mahayana, telah ada beberapa majalah sastra yang memuat karya sastra berupa hikayat, cerita, dongeng, syair, pantun dan lain-lain seperti yang ditulis dalam sub judul sebuah majalah Sahabat Baik Desember 1980 di Betawi. Selain majalah itu disebutkan sebelumnya juga sudah ada yakni Biang-lala 1868 dan Selompret Melajoe 1860-1910 di Semarang. Kemudian pada awal abad ke-20 semakin banyak muncul majalah sastra seperti Pewarta Prijaji Semarang,1900, Bintang Hindia (Bandung, 1903), Poetri Hindia (Bogor, 1908), Bok-tok (Surabaya,1913).

Kemunculan sastra pada masa kolonialisme tidak mungkin lahir begitu saja, atau lagi-lagi menurut Maman S Mahayana, Kesusateraan Indonesia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan yang melahirkannya seolah wujud begitu saja, tanpa proses, tanpa pergulatan budaya pengarangnya. Penegasan itu adalah sebuah bentuk pembenaran terhadap kajian sosiologi sastra yang mencoba mengaitkan karya sastra, pengarang dan situasi sosial dan budaya yang melingkupinya. Tentunya kajian ini semakin memudahkan untuk menggambarkan bagaimana spirit nasionalisme telah digenggam sastra sejak jaman kolonial serta masa pra kemerdekaan.

Beberapa karya yang dilahirkan pada masa kolonialisme abad ke-19 memang belum bicara nasionalisme Indonesia. Walau begitu, kebanyakan karya tersebut sudah bicara lokalistik, sebuah konsep nasionalisme yang lebih kecil-sama seperti primordialisme. Seperti pada cerpen ”Tjerita Langkara dari Orang Isi Negeri Jang Soeloeng di Poelaoe Djawa” yang bercerita tentang perjalanan seorang raja Rum (romawi) menuju pulau Jawa yang dianggap negeri sepi sesuai keinginan raja. Dalam perjalanannya itu prajurit Raja Rum tidak dengan mudah menaklukan Jawa yang amat besar dan dihuni raksasa, setan, dan jin. (Maman S Mahayana, Perjalanan Estetika Lokal Cerpen Indonesia). Hal itu menunjukkan bahwa pengarang (tidak disebutkan) sudah memiliki kesadaran akan rasa cintanya terhadap tanah kelahiranyya-pulau Jawa-. Pengarang seolah menegaskan bahwa sebagaimana kolonialisme, itu selalu mendapat perlawanan dari penghuni asli. Namun karena keterbatasan imajinasi, pengarang lebih memberikan kemenangan pada Raja Rum, sehingga raja Rum akhirnya mampu menguasai Jawa. Hal yang sama dengan kondisi kolonialisme Indonesia selama 3 setengah abad oleh Belanda. Bahwa kecanggihan Belanda mampu menaklukan banyak perlawanan dari masyarakat nusantara.

Pada masa pra kemerdekaan, karya-karya sastra yang genre dominannya roman malah sudah menampakkan kecenderungan nasionalisme itu, pada masa balai pustaka dan pujangga baru sudah banyak karya-karya yang bermuatan politik, karya-karya sarat kritik terhadap pemerintah kolonial. Roman seperti ”Sitti Nurbaya” karya Marah Rusli, ”Layar Terkembang” Sutan Takdir Alisyahbana termasuk roman yang mengusung ide-ide nasionalisme. Ide-ide itu diselipkan dalam tema-tema percintaan, adat, dan agama. Sitti Nurbaya misalnya, menghadirkan perlawanan masyarakat minang dipimpin Datuk Maringgih melawan Prajurit Belanda. Atau dalam ”Layar Terkembang”, tokoh Tuti menjadi representasi generasi muda yang mampu mencerminkan bangsanya.

Lahirnya sumpah pemuda pada tahun 1928, semakin memperkokoh bangunan nasionalisme kita. Dengan semangat satu nasib keterjajahan, tak terkecuali di ranah sastra, angkatan Pujangga baru dengan majalah Pujangga Baru-nya bersemboyankan "Pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia". Sebagian besar angkatan 45 pun banyak melahirkan karya-karya yang bernuansa nasionalisme, ada Armijn Pane dan Chairil Anwar dengan beberapa puisi patriotisnya. Pengarang selanjutnyapun masih banyak bicara perjuangan nasionalistik. Novel Royan Revolusi karya Ramadhan KH atau Tak Ada Esok karya Mochtar Lubis. Dan yang cukup fenomenal adalah Pramudya Ananta Toer, beliau amat konsisten dengan perlawananya terhadap penindasan, baik yang dilakukan penjajah ataupun pemerintah kita sendiri.

Di Tepi Kali Bekasi dan Keluarga Gerilya adalah contoh karyanya yang menggambarkan semangat perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang selanjutnya Pramudya mengklaimnya sebagai aliran realisme sosialis bersama seniman yang tergabung dalam LEKRA. Karya-karya yang berestetika realisme sosialis seperti klaim beberapa sastrawan LEKRA semakin mempertegas keberadaan bangsa yang tunduk pada penjajah, penindasan pemerintah serta kesengsaraan. Bagi kelompok sastrawan ”kiri”, masyarakat yang berada dalam keterindasan adalah masalah yang harus segera diselesaikan, ketertindasan itu diakibatkan sistem sosial yang menindas, imperialisme, kapitalisme, dan feodalisme yang menyusup dalam sistem pemerintahan Indonesia. Maka perlu adanya perjuangan yang revolusioner untuk menghancurkan tatanan sosial yang menindas itu. Salah satunya adalah dengan menggunakan medium sastra sebagai alat penyadaran dan perjuangan menuju cita-cita luhur sosialisme. Sosialisme yang dimaksud adalah dalam konteks kebangsaan: Indonesia, bagaimana Indonesia berjalan atas dasar sosialisme. Berbeda dengan LEKRA, kelompok Manikebu sebagai opisisi LEKRA memandang nasionalisme sebagai bentuk kehidupan yang lebih humanis, meletakan rasa cinta, jiwa manusia secara lebih umum, tidak berpihak pada satu landasan ideologi, serta lebih mementingkan terjaganya kehidupan yang lebih manusiawi, tidak saling menyakiti homo homini lupus).

Bicara nasionalisme hari ini, antara penting dan tidak penting. Dirasa penting saat kita dihadapkan pada persoalan identitas sebuah bangsa, misalnya ketika menonton pertandingan timnas sepakbola melawan Bahrain tempo lalu. Menjadi tidak penting jika kita melihat cara kerja globalisasi atau Francis Fukuyama menyebutnya era neoliberalisasi. Di mana fungsi negara sudah tak lagi berperan, sebab dengan mudah kepentingan asing masuk ke Indonesia. Rasa-rasanya kita tak punya negara (nation state) melainkan sudah menjadi negara global (global state). Akibatnya, bangsa kita diobok-obok asing, masyarakat yang belum cerdas dipaksa mengikuti arus global, yang susah tetaplah susah dan terbelakang, yang kaya tambah korup. Kalau sudah begitu bisa bubar negara Indonesia. Dalam kondisi yang mahagenting macam itu, hemat saya, sastra harus mengisi posisi dalam ruang-ruang nasionalistik yang sudah terburai, menjahitnya dengan penuh estetis. Ini boleh diartikan sebagai sastra propagandis, tidakpun boleh.

Pramoedya AT mungkin telah banyak membahas perjuangan sektor sastra, bahwa sastra memiliki tugas-tugas revolusioner. Tugas itu lahir dari sobekan realita. Dalam kondisi realitas objektif masyarakat yang tertindas. Sastra dibuat untuk berpihak pada siapa? Penindas atau tertindas, atau sastra hanya menjadi mediator vertikal ketertindasan.

Sastra adalah bertugas. H. B. Jassin sendiri pernah merasa perlu menterjemahkan tugas sastra ini pada tahun-tahun Revolusi Agustus dari karya Sartre, dalam "Mimbar Indonesia" sedang karya Sartre ini kemudian pun dicetak pula dalam majalah "Indonesia" (1949). Bahwa sastra memikul tugas, kini tak banyak lagi disangsikan orang. Pada awal tahun 1950-an sastra banyak kala dianggap sebagai tujuan, sebagai mantra, suatu anggapan yang menyalahi realita. (Pramoedya Ananta Toer, Jang Harus Dibabat dan harus Dibangun, Bintang Timur (Lentera), 7 September 1962). Sebuah aliran yang amat tendensius, para sastrawan ”murni” yang apolitis menganggapnya terlalu berlebihan, dan politis. Beberapa penolakan atas pandangan Pram tersebut memberikan gambaran bahwa telah terdapat perbedaan persepsi mengenai tugas-tugas yang harus diemban sastra itu.
Sebagai representasi jiwa manusia (masyarakat), tidak salah kalau sastra ikut bertanggungjawab atas dinamika perubahan sosial yang terjadi, akankah sastra menghadirkan karya-karya yang mampu membangun kesadaran masyarakat untuk maju. Atau sastra hanya jadi bagian keisengan masyarakat sebagai upaya pelarian dari realitas objektif yang sangat pahit. Senada dengan apa yang dikatakan Ajip Rosidi bahwa bahwa persoalan sastra Indonesia tak dapat dilepaskan dari persoalan politik. Untuk itu keasadaran akan kebangsaan menjadi sebuah keniscayaan dalam sastra.

Namun Apa yang muncul dalam dua dekade terakhir sangat memprihatinkan. Berakhirnya polemik Lekra dan Manikebu seperti mengakhiri dinamika sastra kritis. Sastra kini kebanyakan tak terlalu peduli persoalan kebangsaan. Runtuhnya rezim otoritarian tahun 1998 tidak dipandang sebagai transisi nasionalisme kita. Kita lupa kalau penjajahan gaya baru ala globalisasi semakin mempersempit rasa nasionalisme kita. Sebagian sastrawan malah memanfaatkanya untuk melahirkan karya-karya yang sangat ringan, tidak perlu ruwet, asal diterima masyarakat. Mungkin kita juga lupa kalau masyarakat tengah dikemudikan arus itu. Di manakah kini keindonesiaan kita? Kini tengah sistem sosial seperti itu, kita masih harus optimis dan masih ada peluang bagi sastrawan untuk bicara Indonesia. Itu pula yang mungkin sedang diperdebatkan sebagian sastrawan kini di beberapa media. Mudah-mudahan perdebatan itu cukup menyemangati kembali bagi para sastrawan untuk memikirkan bangsanya..***
-------------------

*) Penggiat sastra di Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI. Gemar bersyair.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita