21/10/08

Revolusi Nasional dan Sastra Indonesia

Max Lane*
Sumber, http://www.sinarharapan.co.id/

Bukan hanya dalam bidang ekonomi Orde Baru menjeremuskan Indonesia ke dalam situasi nation-surrendering dan bukan nation-building. Ini juga terjadi di dalam bidang kebudayaan. Adalah sebuah kenyataan bahwa di sekolah-sekolah negeri Indonesia, sastra dan kebudayaan Indonesia, yaitu sastra dan kebudayaan hasil proses revolusi nasional, banyak diabaikan. Karya-karya sastra yang menjadi bahan pelajaran biasanya berhenti sampai Chairil Anwar.

Sedikit sekali, bahkan hampir tidak ada khazanah sastra revolusi nasional dipelajari dari periode sesudah tahun 1949. Perkembangan dan pergulatan sastra selama kurun 1950-1965 hilang dari dunia pelajaran di sekolah maupun di kurikulum-kurikulum universitas. Yang sangat jelas ialah bahwa dalam spektrum perkembangan sastra dan budaya aliran Soekarnois dan alirian radikal kiri hilang sama sekali. Dan memang hilang – bukan tetap dipelajari dan kemudian dikritisi melalui paradigma Orde Baru. Bukan. Hilang. Tidak diterbitkan, tidak dijual. Tidak dibaca.

Sitor Situmorang dan Pramoedya Ananta Toer, misalnya, hilang dari dunia bacaan selama Orde Baru – dan banyak lagi.
Yang lebih mengagetkan lagi ialah bahwa tulisan-tulisan Soekarno sendiri, yang merupakan sastra politik yang sangat bernilai tidak dipelajari – sampai sekarang. Sering baru-baru ini, menjelang 17 Agustus, saya bertanya pada mahasiswa atau mantan mahasiswa: tulisan mana dari Soekarno yang sudah Anda baca? Jawabannya dalam 99% kasus ialah: belum pernah membaca sebuah tulisan apa pun. Nasionalisme, Islam dan Marxisme ? Belum. Indonesia Menggugat ? Belum. Di perpustakaan sekolah tidak ada. Di perpustakaan universitas juga tidak ada. Memang dilarang, sehingga hilang.

Dengan larangan-larangan seperti ini, bukan hanya aliran kiri yang tertindas sampai hilang. Tetapi sejarah itu sendiri dihilangkan. Siapa yang masih membaca tulisan Bung Hatta, Mohammed Natsir dan lain-lain. Siapa yang bisa mengerti kedudukan pikiran Natsir, Hatta, Sutan Syahrir dan lain-lain, kalau pertarungan antar-ide juga tidak diikuti.

Dan dengan sejarah yang hilang, 17 Agustus juga hilang: pencapaian revolusi nasional dalam bidang sastra dan politik dimatikan.
Sebenarnya proses menghilangkan sebuah bagian dari warisan khazanah sastra revolusi nasional bukan saja berlaku untuk periode revolusi nasional dan nation-building 1950-1965. Apakah karya sastra Mas Marko atau Haji Misbach masuk dalam mata pelajaran sastra dan sejarah Indonesia, sastra revolusi nasional dari periode perlawanan terhadap kolonialisme.

Tetapi sangat sulit mematikan dinamika budaya sebuah masyarakat secara total. Orde Baru, yang memukul mundur revolusi nasional dengan penindasannya terhadap unsur ”merdeka” dalam Indonesia Merdeka, juga merangsang perlawanan. Banyak contohnya. Penyanyi-penyanyi pengamen yang mempertahankan kemampuan sindiran, begitu juga dalang-dalang pembangkang yang masih mau mempersembahkan lakon-lakon wayang Wisanggeni, misalnya. Atau pelawak-pelawak ludruk penyindir, dan seniman-seniman rakyat sejenisnya yang tak pernah bisa dibisukan.

Di dunia sastra sendiri ada cukup banyak penyair dan novelis yang menyumbang ke khazanah sastra Indonesia selama Orde Baru. Tetapi tidak banyak berperan mempertahankan dinamika revolusi nasional. Sebagian besar mengakomodasi diri dengan situasi atau menyelipkan sindirian dan kritiknya di dalam karyanya, sehingga tak terlalu terasa ada dinamika perlawanan demi kemerdekaan.

Situasi ini terus berlangsung sampai tahun 1990-an. Dalam tahun 1990-an perlawanan terhadap Orde Baru semakin meningkat dan mulai juga banyak seniman angkat suara: Wiji Thukul, penyair yang hilang dari muka bumi sangat mencurigakan bahwa dia adalah korban penindasan politik; Teater Koma, dan banyak lainnya, termasuk Harry Rusli dan pelawak-pelawak penyindir lain yang kaya akan nilai budayanya.

Dalam tahun 1970-an dan 1980-an dimana perlawanan belum bangkit terdapat dua nama yang menonjol: W.S. Rendra dan Pramoedya Ananta Toer. Mereka adalah dua orang seniman dari aliran dan perspektif politik yang berbeda, tetapi kedua-duanya berjasa besar dalam mempertahankan keberlangsungan semangat demokrasi dan kerakyatan revolusi nasional Indonesia.

W.S. Rendra mempelopori perlawanan budaya terhadap kediktatoran Orde Baru pada tahun 1970-an. Sandiwara-sandiwaranya, seperti Mastadon dan Kondor dan Kisah Perjuangan Suku Naga, merupakan manifesto budaya politik melawan kediktatoran dan kertergantungan pada kapitalisme Barat. Sajak-sajaknya di dalam Pamflet Penyair merupakan pamflet perlawanan yang tajam sekaligus indah dan penuh dengan jiwa solidaritas kerakyatan.

Ketika pulang dari kamp pembuangannya di Pulau Buru, karya-karya roman sejarah Pramoedya diterbitkan oleh penerbit dan editor Yusuf Isak dan almarhum Hasyim Rahman. Penerbitan buku-buku karya Pulau Buru itu sendiri merupakan tindakan membangun kembali kontinuitas semangat revolusi nasional sekaligus tindakan perlawanan dalam bidang kebudayaan. Tetapi bukan saja itu, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca memberi sumbangan besar pada pengertian masyarakat Indonesia akan asal-usal revolusi nasional Indonesia, pada zaman ketika istilah Indonesia itu sendiri belum ditemukan.

Di zaman kolonial, pihak penjajah kolonialis Belanda menolak membangun infrastruktur pendidikan dan kebudayaan yang bisa menyumbang pada proses awal nation-building. Kaum pergerakan perlawanan membangun sebuah gerakan: gerakan sekolah liar. Dimana-mana aktivis-aktivis anti-kolonial mendirikan sekolah di luar pengawasan negara kolonialis, dengan kurikulum sendiri, yang sesuai dengan kebutuhan revolusi nasional dengan tujuan mendirikan Indonesia.

Sekarang Indonesia sudah merdeka. Setiap tanggal 17 Agustus, semua rakyat Indonesia dan pencinta bangsa Indonesia lainnya akan memperingati kemenangan kemerdekaan itu. Sekarang gerakan sekolah liar tidak perlu. Sudah ada sistem sekolah nasional yang seharusnya bisa memperkuat proses penuntasan revolusi nasional Indonesia, proses penuntasan nation-building Indonesia. Ini berarti merombak kurikulum dan isi pengajaran sekolah Indonesia.

Jadi masih juga dibutuhkan sebuah gerakan budaya nasional baru. Tentu saja ada banyak orang dari berbagai sektor masyarakat yang akan punya ide tentang perombakan yang perlu diadakan. Sejarah Indonesia sendiri sudah mulai mengeluarkan kritik-kritiknya. Pasti kaum guru sendiri akan punya banyak ide.

Sebagai Indonesianis yang juga ingin sekali melihat warisan khazanah sastra Indonesia berkembang kembali, saya juga punya usul. Pertama, semua sastra perlawanan selama Orde Baru harus dimasukkan ke dalam bacaan wajib sekolah-sekolah menengah di Indonesia. Wiji Thukul, misalnya. Apalagi karya-karya sandiwara dan sajak Rendra, dramawan dan penyair Indonesia yang menonjol dalam bidangnya, yang seharusnya dibaca juga oleh setiap murid sekolah.

Mungkin yang paling kontroversial ialah usul untuk memasukkan karya sastra Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer ke dalam daftar bacaan wajib sekolah negeri. Buku ini pernah dilarang dan dituduh dan dituding segala rupa, sesuai dengan perbendaharaan kata propaganda hitam Orde Baru. Tetapi sebenarnya ini pun seharusnya tidak kontroversial. Justru aneh sekali bahwa karya Pramoedya tidak masuk kurikulum sekolah negeri. Anak-anak Indonesia di sekolah-sekolah tidak diberi kesempatan membaca karya Pramoedya adalah sama dengan jikalau anak-anak Amerika tidak diberi kesempatan membaca Steinbeck atau anak-anak di Inggris tidak diberi kesempatan mambaca Charles Dickens.

Pemerintah sudah memerintahkan Kementerian Pendidikan mempersiapkan kurikulum baru buat sekolah-sekolah. Apakah Dibawah Bendera Revolusi karya Soekarno; Pamflet Penyair, Rendra; Hanya ada satu kata: lawan, Wiji Thukul dan Bumi Manusia oleh Pramoedya masuk dalam bacaan wajib di zaman baru ini?
------------------------

*) Penulis adalah seorang Indonesianis pada Centre for Asia Pacific Social Transformation Studies, University of Wollongong, Australia.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita