Max Lane*
Sumber, http://www.sinarharapan.co.id/
Bukan hanya dalam bidang ekonomi Orde Baru menjeremuskan Indonesia ke dalam situasi nation-surrendering dan bukan nation-building. Ini juga terjadi di dalam bidang kebudayaan. Adalah sebuah kenyataan bahwa di sekolah-sekolah negeri Indonesia, sastra dan kebudayaan Indonesia, yaitu sastra dan kebudayaan hasil proses revolusi nasional, banyak diabaikan. Karya-karya sastra yang menjadi bahan pelajaran biasanya berhenti sampai Chairil Anwar.
Sedikit sekali, bahkan hampir tidak ada khazanah sastra revolusi nasional dipelajari dari periode sesudah tahun 1949. Perkembangan dan pergulatan sastra selama kurun 1950-1965 hilang dari dunia pelajaran di sekolah maupun di kurikulum-kurikulum universitas. Yang sangat jelas ialah bahwa dalam spektrum perkembangan sastra dan budaya aliran Soekarnois dan alirian radikal kiri hilang sama sekali. Dan memang hilang – bukan tetap dipelajari dan kemudian dikritisi melalui paradigma Orde Baru. Bukan. Hilang. Tidak diterbitkan, tidak dijual. Tidak dibaca.
Sitor Situmorang dan Pramoedya Ananta Toer, misalnya, hilang dari dunia bacaan selama Orde Baru – dan banyak lagi.
Yang lebih mengagetkan lagi ialah bahwa tulisan-tulisan Soekarno sendiri, yang merupakan sastra politik yang sangat bernilai tidak dipelajari – sampai sekarang. Sering baru-baru ini, menjelang 17 Agustus, saya bertanya pada mahasiswa atau mantan mahasiswa: tulisan mana dari Soekarno yang sudah Anda baca? Jawabannya dalam 99% kasus ialah: belum pernah membaca sebuah tulisan apa pun. Nasionalisme, Islam dan Marxisme ? Belum. Indonesia Menggugat ? Belum. Di perpustakaan sekolah tidak ada. Di perpustakaan universitas juga tidak ada. Memang dilarang, sehingga hilang.
Dengan larangan-larangan seperti ini, bukan hanya aliran kiri yang tertindas sampai hilang. Tetapi sejarah itu sendiri dihilangkan. Siapa yang masih membaca tulisan Bung Hatta, Mohammed Natsir dan lain-lain. Siapa yang bisa mengerti kedudukan pikiran Natsir, Hatta, Sutan Syahrir dan lain-lain, kalau pertarungan antar-ide juga tidak diikuti.
Dan dengan sejarah yang hilang, 17 Agustus juga hilang: pencapaian revolusi nasional dalam bidang sastra dan politik dimatikan.
Sebenarnya proses menghilangkan sebuah bagian dari warisan khazanah sastra revolusi nasional bukan saja berlaku untuk periode revolusi nasional dan nation-building 1950-1965. Apakah karya sastra Mas Marko atau Haji Misbach masuk dalam mata pelajaran sastra dan sejarah Indonesia, sastra revolusi nasional dari periode perlawanan terhadap kolonialisme.
Tetapi sangat sulit mematikan dinamika budaya sebuah masyarakat secara total. Orde Baru, yang memukul mundur revolusi nasional dengan penindasannya terhadap unsur ”merdeka” dalam Indonesia Merdeka, juga merangsang perlawanan. Banyak contohnya. Penyanyi-penyanyi pengamen yang mempertahankan kemampuan sindiran, begitu juga dalang-dalang pembangkang yang masih mau mempersembahkan lakon-lakon wayang Wisanggeni, misalnya. Atau pelawak-pelawak ludruk penyindir, dan seniman-seniman rakyat sejenisnya yang tak pernah bisa dibisukan.
Di dunia sastra sendiri ada cukup banyak penyair dan novelis yang menyumbang ke khazanah sastra Indonesia selama Orde Baru. Tetapi tidak banyak berperan mempertahankan dinamika revolusi nasional. Sebagian besar mengakomodasi diri dengan situasi atau menyelipkan sindirian dan kritiknya di dalam karyanya, sehingga tak terlalu terasa ada dinamika perlawanan demi kemerdekaan.
Situasi ini terus berlangsung sampai tahun 1990-an. Dalam tahun 1990-an perlawanan terhadap Orde Baru semakin meningkat dan mulai juga banyak seniman angkat suara: Wiji Thukul, penyair yang hilang dari muka bumi sangat mencurigakan bahwa dia adalah korban penindasan politik; Teater Koma, dan banyak lainnya, termasuk Harry Rusli dan pelawak-pelawak penyindir lain yang kaya akan nilai budayanya.
Dalam tahun 1970-an dan 1980-an dimana perlawanan belum bangkit terdapat dua nama yang menonjol: W.S. Rendra dan Pramoedya Ananta Toer. Mereka adalah dua orang seniman dari aliran dan perspektif politik yang berbeda, tetapi kedua-duanya berjasa besar dalam mempertahankan keberlangsungan semangat demokrasi dan kerakyatan revolusi nasional Indonesia.
W.S. Rendra mempelopori perlawanan budaya terhadap kediktatoran Orde Baru pada tahun 1970-an. Sandiwara-sandiwaranya, seperti Mastadon dan Kondor dan Kisah Perjuangan Suku Naga, merupakan manifesto budaya politik melawan kediktatoran dan kertergantungan pada kapitalisme Barat. Sajak-sajaknya di dalam Pamflet Penyair merupakan pamflet perlawanan yang tajam sekaligus indah dan penuh dengan jiwa solidaritas kerakyatan.
Ketika pulang dari kamp pembuangannya di Pulau Buru, karya-karya roman sejarah Pramoedya diterbitkan oleh penerbit dan editor Yusuf Isak dan almarhum Hasyim Rahman. Penerbitan buku-buku karya Pulau Buru itu sendiri merupakan tindakan membangun kembali kontinuitas semangat revolusi nasional sekaligus tindakan perlawanan dalam bidang kebudayaan. Tetapi bukan saja itu, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca memberi sumbangan besar pada pengertian masyarakat Indonesia akan asal-usal revolusi nasional Indonesia, pada zaman ketika istilah Indonesia itu sendiri belum ditemukan.
Di zaman kolonial, pihak penjajah kolonialis Belanda menolak membangun infrastruktur pendidikan dan kebudayaan yang bisa menyumbang pada proses awal nation-building. Kaum pergerakan perlawanan membangun sebuah gerakan: gerakan sekolah liar. Dimana-mana aktivis-aktivis anti-kolonial mendirikan sekolah di luar pengawasan negara kolonialis, dengan kurikulum sendiri, yang sesuai dengan kebutuhan revolusi nasional dengan tujuan mendirikan Indonesia.
Sekarang Indonesia sudah merdeka. Setiap tanggal 17 Agustus, semua rakyat Indonesia dan pencinta bangsa Indonesia lainnya akan memperingati kemenangan kemerdekaan itu. Sekarang gerakan sekolah liar tidak perlu. Sudah ada sistem sekolah nasional yang seharusnya bisa memperkuat proses penuntasan revolusi nasional Indonesia, proses penuntasan nation-building Indonesia. Ini berarti merombak kurikulum dan isi pengajaran sekolah Indonesia.
Jadi masih juga dibutuhkan sebuah gerakan budaya nasional baru. Tentu saja ada banyak orang dari berbagai sektor masyarakat yang akan punya ide tentang perombakan yang perlu diadakan. Sejarah Indonesia sendiri sudah mulai mengeluarkan kritik-kritiknya. Pasti kaum guru sendiri akan punya banyak ide.
Sebagai Indonesianis yang juga ingin sekali melihat warisan khazanah sastra Indonesia berkembang kembali, saya juga punya usul. Pertama, semua sastra perlawanan selama Orde Baru harus dimasukkan ke dalam bacaan wajib sekolah-sekolah menengah di Indonesia. Wiji Thukul, misalnya. Apalagi karya-karya sandiwara dan sajak Rendra, dramawan dan penyair Indonesia yang menonjol dalam bidangnya, yang seharusnya dibaca juga oleh setiap murid sekolah.
Mungkin yang paling kontroversial ialah usul untuk memasukkan karya sastra Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer ke dalam daftar bacaan wajib sekolah negeri. Buku ini pernah dilarang dan dituduh dan dituding segala rupa, sesuai dengan perbendaharaan kata propaganda hitam Orde Baru. Tetapi sebenarnya ini pun seharusnya tidak kontroversial. Justru aneh sekali bahwa karya Pramoedya tidak masuk kurikulum sekolah negeri. Anak-anak Indonesia di sekolah-sekolah tidak diberi kesempatan membaca karya Pramoedya adalah sama dengan jikalau anak-anak Amerika tidak diberi kesempatan membaca Steinbeck atau anak-anak di Inggris tidak diberi kesempatan mambaca Charles Dickens.
Pemerintah sudah memerintahkan Kementerian Pendidikan mempersiapkan kurikulum baru buat sekolah-sekolah. Apakah Dibawah Bendera Revolusi karya Soekarno; Pamflet Penyair, Rendra; Hanya ada satu kata: lawan, Wiji Thukul dan Bumi Manusia oleh Pramoedya masuk dalam bacaan wajib di zaman baru ini?
------------------------
*) Penulis adalah seorang Indonesianis pada Centre for Asia Pacific Social Transformation Studies, University of Wollongong, Australia.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar